Text
Jurnal Syukurku
1. Alhamdulillah untuk rizki yg cukup
2. Alhamdulillah u/ orderan pulsa hp && listrik
3. Alhamdulillah u/ nikmat sehat, nikamt ibadah, nikmat beryukur, nikmat rejeki, nikmat bernafas, nikmat hidup dengan aman dan nyamann
4 notes
·
View notes
Text
Jurnal Syukurku
1. Alhamdulillah... Terimakasih Ya Allah untuk nikmat sehat
2. Alhamdulillah untuk hamba yang masih bisa menghirup oksigen tanpa perlu bantuan alat medis
3. Alhamdulillah untuk orderan 5 kotak ayam geprek malam ini
4. Alhamdulillah untuk energi positif abis ketemu ririn
5. Alhamdulillah ada ibu yang selalu membantu mempersiapkan orderan
6. Alhamdulillah ada robin yang bantu nganterin pesenan
7. Alhamdulillah untuk orang² baik yang mendukung usahaku dan membeli ayam geprekku
8. Alhamdulillah untuk segala fasilitas yang cukup (rumah, air bersih, perabotan, kendaraan, usaha yang di dukung baik dengan tenaga ataupun finansial)
9. Alhamdulillah untuk tempat ibadah yang aman dan nyaman
10. Alhamdulillah untuk setiap rejeki baik yang hamba sadari atau tidak hamba sadari
Terus bimbing hamba untuk senantiasa bersyukur Ya Rabb, Aamiin Ya Rabbal 'alamin..
1 note
·
View note
Text
Jika Anak Bertanya tentang Allah
Utamanya pada masa emas 0-5 tahun, anak-anak menjalani hidup mereka dengan sebuah potensi menakjubkan, yaitu rasa ingin tahu yang besar. Seiring dengan waktu, potensi ini terus berkembang (Mudah-mudahan potensi ini tidak berakhir ketika dewasa dan malah berubah menjadi pribadi-pribadi “tak mau tahu” alias ignoran, hehehe). Nah, momen paling krusial yang akan dihadapi para orang tua adalah ketika anak bertanya tentang ALLAH . Berhati-hatilah dalam memberikan jawaban atas pertanyaan maha penting ini. Salah sedikit saja, bisa berarti kita menanam benih kesyirikan dalam diri buah hati kita. Nauzubillahi min zalik, ya…
Berikut ini saya ketengahkan beberapa pertanyaan yang biasa anak-anak tanyakan pada orang tuanya:
Tanya 1: “Bu, Allah itu apa sih?” Tanya 2: “Bu, bentuk Allahitu seperti apa?” Tanya 3: “Bu, kenapa kita gak bisa lihat Allah? Tanya 4: “Bu, Allah itu ada di mana? Tanya 5: “Bu, kenapa kita harus nyembah Allah?”
Tanya 1: “Bu, Allah itu apa sih?
Jawablah :
“Nak, Allah itu Yang Menciptakan segala-galanya. Langit, bumi, laut, sungai, batu, kucing, cicak, kodok, burung, semuanya, termasuk menciptakan nenek, kakek, ayah, ibu, juga kamu.” (Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum manis)
Tanya 2: “Bu, bentuk Allah itu seperti apa?”
Jangan jawab begini :
“Bentuk Allah itu seperti anu ..ini..atau itu….” karena jawaban seperti itu pasti salah dan menyesatkan.
Jawablah begini :
“Adek tahu ‘kan, bentuk sungai, batu, kucing, kambing,..semuanya.. nah, bentuk Allah itu tidak sama dengan apa pun yang pernah kamu lihat. Sebut saja bentuk apa pun, bentuk Allah itu tidak sama dengan apa yang akan kamu sebutkan.” (Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum manis)
فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٲجً۬ا وَمِنَ ٱلۡأَنۡعَـٰمِ أَزۡوَٲجً۬اۖ يَذۡرَؤُكُمۡ فِيهِۚ لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ۬ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ (١١)
[Dia] Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan [pula], dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. Asy-Syura:11)
Tanya 3: “Bu, kenapa kita gak bisa lihat Allah?
Jangan jawab begini :
Karena Allah itu gaib, artinya barang atau sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Jawaban bahwa Allah itu gaib (semata), jelas bertentangan dengan ayat berikut ini.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir; Yang Zahir dan Yang Batin ; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. [Al-Hadid (57) : 3]
Dikhawatirkan, imajinasi anak yang masih polos akan mempersamakan gaibnya Allah dengan hantu, jin, malaikat, bahkan peri dalam cerita dongeng. Bahwa dalam ilmu Tauhid dinyatakan bahwa Allah itu nyata senyata-nyatanya; lebih nyata daripada yang nyata, sudah tidak terbantahkan.
Apalagi jika kita menggunakan diksi (pilihan kata) “barang” dan “sesuatu” yang ditujukan pada Allah. Bukankah sudah jelas dalil Surat Asy-Syura di atas bahwa Allah itu laysa kamitslihi syai’un; Allah itu bukan sesuatu; tidak sama dengan sesuatu; melainkan Pencipta segala sesuatu.
Meskipun segala sesuatu berasal dari Zat-Sifat-Asma (Nama)-dan Af’al (Perbuatan) Allah, tetapi Diri Pribadi Allah itu tidak ber-Zat, tidak ber-Sifat, tidak ber-Asma, tidak ber-Af’al. Diri Pribadi Allah itu tidak ada yang tahu, bahkan Nabi Muhammad Saw. sekali pun. Hanya Allah yang tahu Diri Pribadi-Nya Sendiri dan tidak akan terungkap sampai akhir zaman di dunia dan di akhirat.
[Muhammad melihat Jibril] ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu Yang Meliputinya. Penglihatannya [Muhammad] tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak [pula] melampaui-Nya. (Q.S. An-Najm: 16-17) {ini tafsir dari seorang arif billah, bukan dari saya pribadi. Allahua’lam}
Jawablah begini :
“Mengapa kita tidak bisa melihat Allah?”
Bisa kita jawab dengan balik bertanya padanya (sambil melatih adik comel berpikir retoris )
“Adik bisakah nampak matahari yang terang itu langsung? Tidak ‘kan..karena mata kita bisa jadi buta. Nah,melihat matahari aja kita tak sanggup. Jadi,Bagimana kita mau melihat Pencipta matahari itu. Iya ‘kan?!”
Atau bisa juga beri jawaban :
Adek, lihat langit yang luas dan ‘besar’ itu ‘kan? Yang kita lihat itu baru secuil dari bentuk langit yang sebenarnya. Adek gak bisa lihat ujung langit ‘kan?! Nah, kita juga gak bisa melihat Allah karena Allah itu Pencipta langit yang besar dan luas tadi. Itulah maksud kata Allahu Akbar waktu kita salat. Allah Mahabesar.
Bisa juga dengan simulasi sederhana seperti pernah saya ungkap di postingan “Melihat Tuhan”.
Silakan hadapkan bawah telapak tangan Adek ke arah wajah. Bisa terlihat garis-garis tangan Adek ‘kan? Nah, kini dekatkan tangan sedekat-dekatnya ke mata Adek. Masih terlihat jelaskah jemari Sobat setelah itu?
Kesimpulannya, kita tidak bisa melihat Allah karena Allah itu Mahabesar dan teramat dekat dengan kita. Meskipun demikian, tetapkan Allah itu ADA. “Dekat tidak bersekutu, jauh tidak ber-antara.”
Tanya 4: “Bu, Allah itu ada di mana ?“
Jangan jawab begini :
“Nak, Allah itu ada di atas..di langit..atau di surga atau di Arsy.” Jawaban seperti ini menyesatkan logika anak karena di luar angkasa tidak ada arah mata angin atas-bawah-kiri-kanan-depan-belakang. Lalu jika Allah ada di langit, apakah di bumi Allah tidak ada? Jika dikatakan di surga, berarti lebih besar surga daripada Allah…berarti prinsip Allahu Akbar itu bohong? [baca juga Ukuran Allahu Akbar]
Dia bersemayam di atas ’Arsy. <— Ayat ini adalah ayat mutasyabihat, yaitu ayat yang wajib dibelokkan tafsirnya. Kalau dalam pelajaran bahasa Indonesia, kita mengenal makna denotatif dan konotatif, nah.. ayat mutasyabihat ini tergolong makna yang konotatif.
Juga jangan jawab begini :
“Nak, Allah itu ada di mana-mana.”
Dikhawatirkan anak akan otomatis berpikiran Allah itu banyak dan terbagi-bagi, seperti para freemason atau politeis Yunani Kuno.
Jawablah begini :
“Nak, Allah itu dekat dengan kita. Allah itu selalu ada di hati setiap orang yang saleh, termasuk di hati kamu, Sayang. Jadi, Allah selalu ada bersamamu di mana pun kamu berada.”
“Qalbun mukmin baitullah”, ‘Hati seorang mukmin itu istana Allah.” (Hadis)
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 186)
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.(Q.S. Al-Hadiid: 4)
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 115)
Allah sering lho bicara sama kita.. misalnya, kalau kamu teringat untuk bantu Ibu dan Ayah, tidak berantem sama kakak, adek atau teman, tidak malas belajar, tidak susah disuruh makan,..nah, itulah bisikan Allah untukmu, Sayang.” (Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum manis)
Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Q.S. Al-Baqarah: 213)
Tanya 5: “Bu, kenapa kita harus nyembah Allah?”
Jangan jawab begini :
“Karena kalau kamu tidak menyembah Allah, kamu akan dimasukkan ke neraka. Kalau kamu menyembah Allah, kamu akan dimasukkan ke surga.”
Jawaban seperti ini akan membentuk paradigma (pola pikir) pamrih dalam beribadah kepada Allah bahkan menjadi benih syirik halus (khafi). Hal ini juga yang menyebabkan banyak orang menjadi ateis karena menurut akal mereka,”Masak sama Allah kayak dagang aja! Yang namanya Allah itu berarti butuh penyembahan! Allah kayak anak kecil aja, kalau diturutin maunya, surga; kalau gak diturutin, neraka!!”
“Orang yang menyembah surga, ia mendambakan kenikmatannya, bukan mengharap Penciptanya. Orang yang menyembah neraka, ia takut kepada neraka, bukan takut kepada Penciptanya.” (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani)
Jawablah begini :
“Nak, kita menyembah Allah sebagai wujud bersyukur karena Allah telah memberikan banyak kebaikan dan kemudahan buat kita. Contohnya, Adek sekarang bisa bernapas menghirup udara bebas, gratis lagi.. kalau mesti bayar, ‘kan Ayah sama Ibu gak akan bisa bayar. Di sungai banyak ikan yang bisa kita pancing untuk makan, atau untuk dijadikan ikan hias di akuarium. Semua untuk kesenangan kita.
Kalau Adek gak nyembah Allah, Adek yang rugi, bukan Allah. Misalnya, kalau Adek gak nurut sama ibu-bapak guru di sekolah, Adek sendiri yang rugi, nilai Adek jadi jelek. Isi rapor jadi kebakaran semua. Ibu-bapak guru tetap saja guru, biar pun kamu dan teman-temanmu gak nurut sama ibu-bapak guru. (Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum manis)
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya [tidak memerlukan sesuatu] dari semesta alam. (Q.S. Al-Ankabut: 6)
Katakan juga pada anak:
“Adek mulai sekarang harus belajar cinta sama Allah, lebih daripada cinta sama Ayah-Ibu, ya?! (Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum manis)
“Kenapa, Bu ?”
“Karena suatu hari Ayah sama Ibu bisa meninggal
Karena suatu hari Ayah sama Ibu bisa meninggal dunia, sedangkan Allah tidak pernah mati. Nah, kalau suatu hari Ayah atau Ibu meninggal, kamu tidak boleh merasa kesepian karena Allah selalu ada untuk kamu. Nanti, Allah juga akan mendatangkan orang-orang baik yang sayang sama Adek seperti sayangnya Ayah sama Ibu. Misalnya, Paman, Bibi, atau para tetangga yang baik hati, juga teman-temanmu.”
Dan mulai sekarang rajin-rajin belajar Iqra supaya nanti bisa mengaji Quran. Mengaji Quran artinya kita berbicara sama Allah. (Ucapkan dengan menatap mata anak sambil tersenyum manis).
Wallahua’lam.
Sumber : Jika Anak Bertanya tentang Tuhan | Muxlimo’s
Being a mom is a big deal, preparation is a must. Karena nasib peradaban ini dipercayakan pada tangan para ibu.
Go follow @SuperbMother | superbmother.tumblr.com
5K notes
·
View notes
Text
Ayah... Terimakasih banyak ya.. untuk semua kerja keras dan kasih sayang yg selalu ayah kasih selama ini, terimakasih untuk semua perjuangan dan pengorbanan ayah..
Maaf ya yah, ayah harus menunggu lebih lama untuk bisa melihat aku wisuda bahkan mungkin menikah.
Maaf, untuk ketidakpekaanku atas kondisi ayah yang sebenernya.
Ayah tau aku bukan orang yang pandai merangkai kata, tapi ayah selalu tau kan... Kalau aku,
Aku sayaaang banget sama ayah.
Semoga ayah selalu bahagia di Surga nya Allah SWT
0 notes
Text
26 oktober 2020
Belajar Sabar
Aku termasuk anak yang baperan, mendengar kata2 yang gx enak dikit langsung spontan marah dan kesel. Mungkin ini salah satu ujian dari Allah untuk menahan amarah.
Karena hari ini aku gx sengaja udah bikin ibu kesel dan marah, aku lupa jemurin krupuk nasi yang beberapa hari lalu baru di buat, akibatnya krupuk itu jadi ada yang busuk beberapa. Ibu mengumpat dengan kata2 yang kasar dan berulang "dasar goblog, tolol, kuliah wes rampung mbarang isik ra nalar, uteke ra di enggo, pinter di kuliahne malah dadi goblog," kalimat itu yang selalu di ulang.
Aku gx nyangka kata2 ibu akan sekasar itu dan sekeras itu, dalam hati perasaan saya sakit, "tega banget ya ibu bicara sekasar itu, seolah aku ini anak yang gx punya perasaan mau diomongin apa aja juga terserah, diem, dengerin, telen dan harus terima, ibu kayak gx mikirin perasaanku, ibu cuma mikirin persaaan ibu sendiri, seolah-olah gx ada manusia yang salah cuma ibu yang boleh salah dan itu wajar faktor usia," kalau ibu berfikir aku anak yang gx punya perasaan dan berhati keras itu semua karena kata2 ibu yang memaksa aku untuk bersikap acuh dan berpura-pura untuk gx peduli
Temen aku pernah nasehatin aku "gx papa mai, biarin aja dan dengerin kalo' orang tua marah, jangan di masukin ke hati, kamu harus belajar berlapang dada, ambil maksud baik orang tua dan harus tetep positif thinking meskipun cara bicara nya ngegas, ngejudge, seolah-olah mengutuk, selama itu gx sampe' menyakiti fisik kamu sebagai anak harus tetep berbakti sama orang tua kan??
apapun itu.. aku tau ibu cuma berharap segala sesuatunya baik, gx ada masalah, gx ada kendala, semua sukses2 aja, semua lancar2 aja
Mengenai hasil itu semua kehendak dari Allah, tugas kamu selalu memperbaiki diri, belajar lebih sabar, dan jangan mudah terpancing klo' ibu lagi marah
"MARAH GX MENAIKKAN HARGA DIRIMU DAN DERAJATMU, KEMARAHAN AKAN MENJATUHKAN DAN MENUNJUKKAN KUALITAS DIRIMU"
Astaghfirullahal'adzim... Ampuni aku Ya Allah, mungkin kemarahan ibu ini bentuk teguran dari Engkau, karena hamba lalai shalat dhuha, dan menyia-nyiakan waktu luang
Alhamdulillahirabbil 'alamin... terima kasih Ya Allah, karena teguran ini menunjukkan bahwa Engkau masih sayang dan memperhatikan hamba
0 notes
Text
Imposter Syndrome,
Kesempatan Untuk Mengenali Diri Sendiri.
Setelah mendapat gelar S.Pd banyak tetangga di kampung dan teman lama yang menganggap saya di atas mereka (soal pengetahuan). Mereka menganggap sarjana itu hebat dan pencapaian yang membanggakan.
Tapi dalam batin saya, saya tidak sehebat itu. Saya belum pandai bahasa inggris, mengerjakan skripsi juga banyak pakai Google translate. Copas jurnal sana sini. Bahkan, menurut saya anak SMA pun bisa mengerjakannya jika punya waktu dan niat.
Skripsi saya biasa saja. Aktifitas kuliah juga biasa saja. Anak SMA pun bisa duduk di kelas menyimak dosen, mengerjakan presentasi kelompok selama 8 semester.
Menjadi mahasiswa bukan sesuatu yang WAH seperti anggapan orang-orang. Bergelar S.Pd rasanya tidak membuktikan kalau saya sudah benar-benar menguasai jurusanku.
Toga dan jubah yang kedodoran seperti menanyai saya, apa yang berbeda dengan diriku 5 tahun lalu. Kok rasanya sama saja. Kenapa sekarang saya mengenakan jubah ini dan punya gelar baru. Apa saya pantas. Bukannya jubah ini untuk mereka para akademisi, para peneliti dan ahli yang kompeten di bidangnya. Kenapa saya ikut memakainya.
Selepas perayaan dan selebrasi ini, di luar sana beberapa tahun lagi mungkin ada yang tanya apa judul skripsiku. Apa yang saya teliti. Bagaimana hasilnya. Barangkali saya tidak bisa menjawab. Saya mungkin lupa dan tidak mempedulikan penelitianku dulu. Semua sudah berlalu. Seperti melewati halang lintang. Lakukan, lewati lalu lupakan.
Saya tentu lupa sebab saya tidak betul-betul concern dan ahli di dalamnya. Mahasiswa nyatanya tidak perlu ahli untuk bisa wisuda. Yang penting sudah terlewati. Yang penting sudah selesai. Yang penting sudah dapat ijasah. Yang penting sudah dapet gelar. Hidup mesti berlanjut. Dunia baru harus dijalani. Fokus baru mesti ditempuh.
Lalu mungkin ada yang bercanda, kamu beneran kuliah kan? Sudah lulus kan?
Mungkin saya bisa membela diri. Tentu. 8 semester penuh perjuangan, mengerjakan skripsi sampai berdarah-darah, mengejar-ngejar dosen pembimbing, minta tanda tangan, koneksi internet susah dll.
But I can't. That's fake. That's drama. Apa yang saya kerjakan dan lalui sepertinya semua orang juga mampu. Saya tidak sehebat itu. Saya hanya bekerja keras. Orang lain yang bekerja sama kerasnya dengan saya pasti juga bisa. Lalu di mana hebatnya saya?
Tahun 2018 saya sempat ikut program unggulan kampus. Saya lolos bersama 20an mahasiswa pilihan dari semua fakultas, dari ribuan mahasiswa. Mahasiswa lain mengganggap kami spesial. Mahasiswa pilihan yang paling unggul. Dapat treatment spesial.
Di luar diri saya bangga, tapi di dalam saya merasa fake. Saya bisa lolos bukan karena saya hebat, tapi karena keberuntungan.
Salah satu form-nya yang harus diisi dalam program itu adalah esai rencana exchange, study abroad dan setelah lulus S1 mau ngapain.
Waktu itu esai yang saya tulis cukup panjang dan ambisius. Sebetulnya saya hanya mengarangnya dan tidak berpikir bisa mewujudkan cita-cita di esai itu semua. Saya buka google, mencari nama Universitas keren di UK dan jurusan yang menurut saya masuk akal. Kebetulan panitia sangat memperhatikan esai yang ambisius. Alhasil saya diloloskan.
Saya tidak tahu berapa nilai toefl saya setelah keluar. Mungkin paling buruk. Saya melihat peserta lain juga tidak jauh berbeda dengan mahasiswa biasa. Kami hanya menang di keberuntungan dan kemauan mendaftar.
Semua mahasiwa bisa saja lolos jika kuota tidak terbatas. Saya tidak sehebat dan sespesial dalam bayangan mahasiswa lain. Keadaan dan programnya saja yang dianggap spesial.
Rektor secara langsung meresmikan program kami di depan ratusan peserta sidang senat terbuka. Kami diharapkan menjadi mahasiswa unggulan. Tapi benarkah kami unggulan. Benarkah saya unggulan. Kemampuan bahasa inggris saya saja masih di bawah mahasiswa-mahasiswa yang tidak lolos. Ada banyak mahasiswa yang lebih kompeten dari saya, tapi kebetulan tidak mendaftar.
Setelah program selesai, saya mendirikan komunitas menulis, menerbitkan buku bersama, mengadakan bedah buku, diundang di seminar. Barangkali mahasiswa lain takjub dan menganggap saya hebat, tapi di tempat duduk saya melihat kosong ke depan.
Kenapa mereka mau melihat saya bicara dan menganggap saya memotivasi mereka. Mereka juga bisa seperti saya. Saya tidak hebat. Saya tidak lebih unggul dari mereka. Tulisan saya tidak bagus-bagus amat. Banyak typo dan editing yang kacau. Jika disuruh membacanya kembali mungkin saya akan merobeknya. Saya kadang malu dengan tulisan saya sendiri. Tulisan saya tidak dahsyat dan sebaik tulisan penulis profesional. Saya sadar itu. Kemampuan saya biasa saja.
Di luar diri, saya bangga berdiri di depan peserta seminar dan melayani orang yang meminta tanda tangan. Di dalam diri, saya sadar bahwa kemampuan saya tidak sehabat itu. Saya tidak pantas bangga. Semua orang juga bisa melakukan apa yang saya lakukan.
Kadang saya takut orang lain tahu kalau yang saya lakukan itu biasa saja. Tidak sehebat yang dikira. Saya hanya menipu keadaan. Saya hanya beruntung. Saya hanya pura-pura jadi mahasiwa dan bergelar S.Pd. padahal kemampuan saya tidak beda dengan anak SMA.
Saya pura-pura ahli dalam penelitian skripsi saya, padahal saya hanya copas jurnal sana-sini, masukan data lapangan, dan pengolahan yang tidak serumit yang dipikirkan. Saya hanya pura-pura menjadi mahasiswa unggulan yang masuk program (yang katanya unggulan). Saya hanya pura-pura menjadi mahasiwa cumlaude. Saya hanya pura-pura jadi penulis yang tulisannya sebenernya tidak hebat-hebat amat.
Suatu hari seorang kawan mengenalkanku pada istilah psikologis yang mirip dengan keresahan yang selama ini saya alami.
Jauh pada tahun 1978 lalu, Psikolog klinis Pauline R. Clance dan Suzanne A. Imes seperti sudah mengenal baik saya. Mereka berdua menyebut kondisi ini Imposter Syndrome.
Jadi Imposter Syndrom ini merujuk pada kondisi yang dialami orang-orang "berprestasi" yang tak mampu menginternalisasi pencapaiannya. Gejalanya yaitu ketakutan akan dianggap sebagai "penipu".
Katanya bahkan penderita berpikir bahwa bukti kesuksesan yang telah didapatkan merupakan hasil dari menipu orang sekitarnya, agar mereka terlihat kompeten dan berprestasi dibandingkan orang sekitarnya.
Apakah saya sendiri?
Ternyata tidak. Di Vogue Inggris, Emma Watson berujar "Ketika saya menerima penghargaan atas akting saya, saya merasa benar-benar tidak nyaman. Saya merasa tidak pantas menerimanya."
Selain Emma, aktris asal Amerika Serikat, Natalie Portman yang menjadi pemeran utama Black Swan pun ternyata juga mengalaminya. Ia adalah sarjana psikologi di Harvard, ia bahkan mengatakannya saat berpidato tentang apa yang dirasakannya. "Hari ini, saya merasa sama seperti saat saya masuk Harvard pada 199.. Saya merasa seperti ada kesalahan - bahwa saya tidak cukup pintar untuk ada di sini dan setiap saya membuka mulut, saya mesti membuktikan bahwa saya bukan sekadar aktris bodoh,"
Menurut wikipedia orang-orang terkenal ini juga pernah mengalami sindrom tersebut, diantaranya: Tom Hanks, penulis skenario Chuck Lorre, Neil Gaiman, John Green, Tommy Cooper, Sheryl Sandberg, Mahkamah Agung Amerika Serikat Sonia Sotomayor, dan pengusaha Mike Cannon-Brookes.
Terlepas dari bukti eksternal kompetensi mereka, orang dengan sindrom ini akan tetap yakin bahwa mereka adalah penipu dan tidak pantas atas kesuksesan yang mereka capai.
Bukti kesuksesan mereka tersebut diatributkan pada keberuntungan, waktu yang tepat, atau sebagai hasil menipu orang lain, hingga berpikir bahwa orang lain lebih cerdas dan kompeten dibandingkan dirinya.
"Saya telah menulis sebelas buku, tapi setiap kali saya berpikir, 'oh, mereka akan tahu sekarang. Saya sudah mempedaya semua orang, dan mereka akan membongkar saya.''" — Maya Angelou
Ingat ayat bahwa Tuhan menutupi aib kita. Apabila aib kita dibuka, maka alangkah hinanya kita. Seandainya dosa kita berbau, barangkali tidak ada yang mau mendekati kita. Nah, orang dengan Impostor Syndrome ini merasakan rasa takut dan was-was jika aib atau keadaan sebenarnya mereka terbuka.
Namun kemudian psikolog Clance, sang pencipta istilah Imposter Syndrome ini menamakannya ulang dengan istilah “pengalaman penyemu” (Impostor Experience).
Dalam kutipan kata-kata Clance, "Jika saya dapat melakukannya lagi, saya akan menyebutnya sebagai pengalaman penyemu, karena hal tersebut bukanlah suatu sindrom atau suatu kompleks atau penyakit mental, hal tersebut adalah sesuatu yang hampir setiap orang mengalaminya."
Penggantian kosakata ini akhirnya mengubah perspektif orang agar dapat memahami bahwa mereka pun tidak terbebas dari pengalaman tersebut. Bahwa pengalaman penyemu merupakan fenomena umum.
Menurut jurnal "The Impostor Phenomenon" International Journal of Behavioral Science halaman 73–92 yang ditulis oleh Jaruwan Sakulku (2011), 70% orang akan mengalami setidaknya satu episode fenomena penyemu ini dalam kehidupan mereka.
Jadi ini pengalaman "experience" bukan syndrom atau penyakit mental. 70% orang di dunia mengalaminya dan punya pengalaman berada di kondisi seperti saya.
Pertanyaannya, berapa lama orang berada dalam kondisi ini?
Menurut saya ada orang yang nyaman berada di posisi "dianggap hebat atas pencapaian" dan tidak mau terlalu menghiraukan fakta kalau pencapaiannya itu biasa saja atau semua orang aslinya juga bisa (mengabaikan kemampuan asli diri sendiri).
Ada orang yang sadar dan jujur kepada diri sendiri bahwa "duh, aku gabisa terus-terusan pura-pura gini. Aku tahu aslinya akutu biasa aja gak seperti yang orang lain kira. Aku capek pura-pura hebat di hadapan banyak orang."
Orang semacam ini sadar bahwa pencapaianya belum seberapa. Jika ada yg bilang, "wih kamu hebat ya" dia malah malu sendiri. Sebab apa yang dilakukannya sebetulnya biasa saja. Orang lain hanya belum mencapai titik yang sudah ia raih dan orang lain tersebut barangkali punya keinginan untuk mencapai hal yang sama.
Contohnya, orang gak bisa nyetir mobil melihat orang bisa nyetir mobil. Dia akan bilang, wah hebat kamu bisa nyetir mobil. Padahal sopir itu merasa itu biasa aja. Nyetir mobil gak sesusah yang dibayangkan kok.
Wah kamu hebat ya bisa jadi guru. Padahal kita yang jadi guru merasa tidak sesulit dan serumit kelihatannya.
Wah hebat, kamu bisa menerbangkan pesawat. Padahal setiap penumpang bisa menerbangkan pesawat jika tahu caranya dan berlatih.
Wah hebat, designmu bagus. Padahal saya hanya ambil bahan dari freepik.com dan belajar Adobe Ilstrator dari Youtube.
Wah hebat ya, laporanmu rapi dan cepat selesai. Padahal saya hanya memakai formula excel yang bertebaran di google.
Wah bagus ya tulisanmu, bisa detail dan menarik. Padahal saya hanya melakukan riset dengan membaca data peristiwa di buku-buku sejarah, menjadikannya latar waktu dan tempat dalam cerita.
Wah bagus ya puisimu, padahal saya hanya banyak membaca puisi-puisi penyair besar dan meniru gayanya.
Wah hebat ya kamu gini gitu, padahal begini begitu. Semua orang bisa! Saya bukan nabi yang punya mukjizat khusus yang bisa melakukan sesuatu yang hanya saya saja yang bisa.
Masalah yang dihadapi orang yang nyaman berpura-pura adalah dia akan dihantui dengan perasaan was-was jika orang lain tahu bahwa dirinya biasa saja atau tahu rahasia yang disembunyikannya. Ia takut kalau sisi asli yang gak sesuai dengan penilaian orang lain itu terungkap. Pekerjaan yang dilakukan tidak serumit kelihatannya. Pencapaian yang didapatnya sebenarnya karena kebetulan atau orang lain aslinya juga bisa berada di posisinya.
Dulu waktu sekolah sampai awal kuliah saya senang dan bangga jika dianggap unggul/menonjol. Makin lama saya capek pura-pura bahwa saya gak sehebat yang mereka pikir. Saya capek membangun persona hebat dan hidup dalam rasa was-was kalau orang lain tahu bahwa kemampuan saya biasa saja. Bahkan semakin ke sini semakin gak nyaman dengan pujian dari orang lain.
Masalah orang yang sadar dan ingin keluar dari kepura-puraan seperti saya ini merasa tidak percaya dengan kemampuan diri sendiri karena sadar bahwa kemampuan saya aslinya tidak hebat-hebat amat. Sadar bahwa jauh di dalam diri tidak sesuai dengan penilaian orang lain.
Bahwa saya kurang kompeten di bidang mengajar bahasa inggris meskipun anggapan orang saya ahli karena sarjana keguruan bahasa inggris. Saya kadang tidak percaya diri dengan kemampuan saya karena saya sadar saya belum menguasainya.
Tapi barangkali itulah definisi jujur pada diri sendiri. Yaitu sadar dan berani membaca keadaan diri yang sebenarnya. Menurut saya itu lebih layak dijalani daripada hidup dalam kepura-puraan dan dalam rasa takut.
Jujur pada diri sendiri ternyata lebih menyehatkan mental. Bisa membuat lebih rendah hati juga, bahwa jika tidak kompeten di bidang A maka saya mesti jujur. Bahwa meski dianggap hebat saya bisa tetap rendah hati karena sadar diri bahwa aslinya saya tidak sehebat yang orang lain prasangkakan. Bahwa yang saya lakukan hanya prosedural, pelatihan yang bisa diajarkan dan dikuasai oleh semua orang, tidak hanya saya.
Untuk menghadapi rasa malu saat orang lain kagum pada saya, "Wah hebat kamu ya sudah wisuda, wah hebat kamu ya sudah menerbitkan buku dll" saya dengan percaya diri akan menjawab "ah gak juga. Saya ndak sehebat itu. Semua orang bisa kok seperti saya."
Setelah itu, saya baru merenung. Ya, saya memang tidak sehebat yang mereka kira. Kemampuan saya biasa saja kok. Saya akan jujur pada orang lain sekaligus pada diri sendiri karena kenyataannya memang begitu.
Barangkali pengalaman penyemu ini adalah kesempatan saya untuk lebih dewasa dan rendah hati. Bahwa profesi apa pun tak bisa disombongkan, bahwa pencapaian apa pun tak bisa ditinggi-rendahkan. Bahwa banyak pekerjaan yang bisa dilatihkan dan semua orang bisa.
Saya tidak perlu menyembunyikan "proses mudah yang nampak wah" untuk mendapatkan pujian atau penilaian orang. Saya tidak perlu takut dan was-was. selama saya jujur pada diri sendiri, tidak menghebatkan diri dan tidak mendewakan karya yang saya hasilkan.
Syaikh Abdurrazaq Al Badr Hafidzahullah pernah bilang, "Orang berakal tidak akan memperhatikan pujian dan sanjungan manusia kepadanya karena ia lebih mengetahui kekurangan dirinya sendiri dibanding dengan mereka."
Menurut saya, mengambil penilaian orang lain dalam porsi besar dan menjadikan itu sebagai patokan pencapaian dan kemampuan diri adalah kesalahan. Apa yang orang lain nilai dari saya barangkali adalah persona saya, bukan apa yang sebenarnya. Apa yang sebenarnya hanya saya yang tahu, dan itu jauh lebih penting.
Seharusnya saya yang lebih mengenali diri saya bukan orang lain.
Mengeliminasi penilaian diri (karena nilainya rendah) lalu memakai penilaian orang lain (karena nilainya tinggi) adalah bentuk membohongi diri sendiri. Orang yang paling saya percayai seharusnya adalah diri saya sendiri, bagaimana jika diri saya sendiri saja saya tipu. Siapa lagi yang saya punya.
Saya membayangkan satu waktu, ketika saya sendirian. Yang saya punya hanya saya sendiri. Saya menjalani hidup dengan kaki dan tangan sendiri, kemampuan diri sendiri. Saya berdiri di dalam aula besar dunia asing yang hiruk pikuk. Sebuah negara asing dan semua orang tidak mengenali saya. Yang bisa saya andalkan hanya kemampuan yang saya punya, bukan "Katanya kamu hebat ini itu, katanya kamu sarjana ini itu, katanya kamu dulu pernah ini itu ya?" Tidak ada yang kenal dengan saya. Saya sendirian di negara tersebut.
Pada akhirnya, penilaian orang lain tidak penting lagi. Jika saya mengikuti penilaian orang, saya akan hidup dalam hidup mereka bukan hidup saya sendiri.
Barangkali akan ada suatu waktu ketika saya diberikan pekerjaan yang mereka anggap saya hebat dan kompeten di dalamnya, (padahal saya biasa saja), akan ada rentetan penyembunyian-penyembunyian hasil kerja yang saya lakukan, karena saya tidak sehebat yang mereka kira, dan saya sendiri akan tersiksa untuk memenuhi ekspektasi mereka.
Dalam kesempatan pengalaman penyemu ini saya akan bersikap jujur pada diri sendiri dan berkenalan lebih dalam dengan diri sendiri. Saya yang akan menentukan saya hebat atau tidak. Saya yang akan menentukan berhak diberi pujian/penghargaan (karena sudah melakukan sesuatu dengan sepenuh hati) atau tidak. Saya sendiri yang akan menilai diri saya sendiri. Saya akan memerdekakan diri saya sendiri.
Barangkali inilah kesempatan saya untuk berkenalan dengan diri saya sendiri.
Sehingga "saya" yang ada di kepala saya bukan lagi "saya" menurut orang lain, tapi "saya" yang paling dekat dan paling saya kenal kemampuan dan proses yang sudah ia lewati.
Image: IG @rahasiagadis
500 notes
·
View notes
Text
Ke Mekkah bareng Ust. Adi Hidayat
Rabu, 18-03-2020 11:30 pagi
Tepat aku terbangun dari tidur siang,
mengira mimpi yang aku alami tadi itu nyata Aku bermimpi berada di sebuah PonPes, bertemu dengan beberapa teman, kemudian Ust. Adi datang menghampiri, memberikan beberapa nasihat untuk menghafal dan memahami ayat Al-qur'an, dan setelah hafal insyaAllah nanti akan Haji atau umrah bareng tutur beliau
Ya Allah, aku berharap semoga Engkau mengabulkan keinginanku suatu hari nanti
Aamiin...
Allahumma shalli wa sallim wa baarik 'alaa nabiyyina Muhammad
Ini mimpi yang benar-benar aku harapkan terjadi
0 notes
Text
KEDEWASAAN EMOSI
Salah satu topik yang agak jarang diangkat di Indonesia adalah kedewasaan emosi (emotionally mature).
Yang saya lihat, kebanyakan orang di Indonesia beranggapan bahwa kedewasaan emosi ini akan berjalan seiring dengan umur.
Padahal, berdasarkan pengalaman diri sendiri, kalau nggak sering-sering dikulik, kita jarang sadar bahwa secara emosi, kita kurang dewasa.
Setidaknya, ada 20 tanda kedewasaan emosi seseorang, diantaranya adalah:
1. Sadar bahwa kebanyakan perilaku buruk dari orang lain itu akarnya adalah dari ketakutan dan kecemasan – bukan kejahatan atau kebodohan.
2. Sadar bahwa orang gak bisa baca pikiran kita sehingga akhirnya kita tau bahwa kita harus bisa mengartikulasikan intensi dan perasaan kita dengan menggunakan kata-kata yang jelas dan tenang. Dan, gak menyalahkan orang kalau mereka gak ngerti maksudnya kita apa.
3. Sadar bahwa kadang-kadang kita bisa salah – dan bisa minta maaf.
4. Belajar untuk lebih percaya diri, bukan karena menyadari bahwa kita hebat, tapi karena akhirnya kita tau kalau bahwa semua orang sebodoh, setakut, dan se-lost kita.
5. Akhirnya bisa memaafkan orang tua kita karena akhirnya kita sadar bahwa mereka gak bermaksud untuk membuat hidup kita sulit – tapi mereka juga bertarung dengan masalah pribadi mereka sendiri.
6. Sadar bahwa hal-hal kecil seperti jam tidur, gula darah, stress – berpengaruh besar pada mood kita. Jadi, kita bisa mengatur waktu untuk mendiskusikan hal-hal penting sama orang waktu orang tersebut sudah dalam kondisi nyaman, kenyang, gak buru-buru dan gak mabuk
7. Gak ngambek. Ketika orang menyakiti kita, kita akan (mencoba) menjelaskan kenapa kita marah, dan kita memaafkan orang tersebut.
8. Belajar bahwa gak ada yang sempurna. Gak ada pekerjaan yang sempurna, hidup yang sempurna, dan pasangan yang sempurna. Akhirnya, kita mengapresiasi apa yang 'good enough'.
9. Belajar untuk jadi sedikit lebih pesimis dalam mengharapkan sesuatu - sehingga kita bisa lebih kalem, sabar, dan pemaaf.
10. Sadar bahwa semua orang punya kelemahan di karakter mereka – yang sebenarnya terhubung dengan kelebihan mereka. Misalnya, ada yang berantakan, tapi sebenernya mereka visioner dan creative (jadi seimbang) – sehingga sebenernya, orang yang sempurna itu gak ada.
11. Lebih susah jatuh cinta (wadaw).
Karena kalau pas kita muda, kita gampang naksir orang. Tapi sekarang, kita sadar bahwa seberapa kerennya orang itu, kalau dilihat dari dekat, ya sebenernya ngeselin juga 😂 sehingga akhirnya kita belajar untuk setia sama yang udah ada.
12. Akhirnya kita sadar bahwa sebenernya diri kita ini gak semenyenangkan dan semudah itu untuk hidup bareng 😂
13. Kita belajar untuk memaafkan diri sendiri – untuk segala kesalahan dan kebodohan kita. Kita belajar untuk jadi teman baik untuk diri sendiri.
14. Kita belajar bahwa menjadi dewasa itu adalah dengan berdamai dengan sisi kita yang kekanak-kanakan dan keras kepala yang akan selalu ada.
15. Akhirnya bisa mengurangi ekspektasi berlebihan untuk menggapai kebahagiaan yang gak realistis – dan lebih bisa untuk merayakan hal-hal kecil. Jadi lebih ke arah: bahagia itu sederhana.
16. Gak sepeduli itu sama apa kata orang dan gak akan berusaha sekuat itu untuk menyenangkan semua orang. Ujung-ujungnya, bakal ada satu dua orang kok yang menerima kita seutuhnya. Kita akan melupakan ketenaran dan akhirnya bersandar pada cinta.
17. Bisa menerima masukan.
18. Bisa mendapatkan pandangan baru untuk menyelesaikan masalah diri sendiri, misalnya dengan jalan-jalan di taman.
19. Bisa menyadari bahwa masa lalu kita mempengaruhi respons kita terhadap masalah di masa sekarang, misalnya dari trauma masa kecil. Kalau bisa menyadari ini, kita bisa menahan diri untuk gak merespon dengan gegabah.
20. Sadar bahwa ketika kita memulai persahabatan, sebenernya orang lain gak begitu tertarik sama cerita bahagia kita – tapi malah kesulitan kita. Karena manusia itu pada intinya kesepian, dan ingin merasa ada teman di dunia yang sulit ini.
Written by @jill_bobby
Referensi: https://youtu.be/k-J9BVBjK3o
4K notes
·
View notes
Text
"Mertua dan Menantu"
Rutinitas harian saya untuk bertanya kabar kali ini adalah mengakhiri obrolan dengan bertanya pendapat mama tentang 'menantu perempuan'.
Beliau sempat bertanya-tanya ketidakbiasaan saya bertanya tentang ini, lalu beliaupun tertawa, tertawa karena senang sepertinya :D
Alhamdulillahnya, beliau tidak pernah menuntut anak-anaknya yang belum menikah untuk cepat-cepat 'menghadiahi' beliau seorang menantu. Lebih sering 'membekali' dan memberikan teladan kepada anak-anaknya tentang hak dan kewajiban sebagai seorang hamba yang insya Allah nantinya akan menikah.
Kembali ke bahasan diatas, mama pun menjawab: "Intinya begini nak, setiap orang tua.. apalagi seorang ibu, tentunya yang paling utama adalah menginginkan anak lelakinya mendapatkan perempuan yang shalihah.
Dipastikan yang shalihah itu mampu menempatkan diri nantinya ketika menjadi seorang istri, ibu, menantu, dan juga seorang anak. Yang satu sama lain tidak berbeda pemahaman dalam menjalankan agama. Didukung keluarga dari pihak perempuan yang juga sama-sama memahami bahwa anak perempuannya ketika sudah menikah, baktinya akan beralih kepada suaminya.
Mama sama bapak sudah sering membahas apa hak dan kewajiban laki-laki ketika akan dan sesudah menikah bukan? Sepertinya tidak perlu mama bahas kembali, mama yakin sudah tercatat dan diingat dengan baik seperti biasanya. (Beliau ini selalu berprasangka baik dalam segala hal kepada anak-anaknya, ini yang justru membuat saya merasa 'ditampar' ketika melakukan sebaliknya).
Kebanyakan orang tua, terutama seorang ibu ketika anak lelakinya menikah itu takut 'kehilangan' nak. Dan disayangkan, terkadang ada seorang ibu yang 'cemburu' ketika anak lelakinya telah menikah, takut dan cemas posisinya dalam keluarga akan digantikan, dan hubungan dengan anak akan berubah.
Mama belum mengalami, jika pertanyaannya tentang menantu perempuan. Namun hal seperti itu seharusnya tidak perlu sampai terjadi. Mama setidaknya cukup punya pengalaman bagaimana rasanya melepaskan seorang anak perempuan.
Yang tepat adalah memposisikan diri menjadi ibu bagi menantunya. Kenali dan dekati menantunya dengan baik. Tapi juga memahami batasan sebagai orang tua yang anak-anaknya telah menikah. Jangan sampai 'masuk' kedalamnya dengan mengatur ini dan itu.
Seorang ibu baiknya mencukupkan diri untuk selalu memastikan, apakah anak lelakinya sudah menjadi imam yang baik? Apakah menantunya dijaga dengan baik? Dan memastikan agar menantunya tetap menjaga silaturahim dengan orang tua dan kerabatnya.
Karena ketika memutuskan menerima anak lelakinya sebagai suami, selain wajib mentaati Allah.. seorang menantu itu rela 'mengabdikan' hidupnya kepada anak lelakinya, membantu dan mendampingi suaminya untuk berbakti kepada orang tuanya (mertuanya), menomor-satukan baktinya kepada suami daripada kedua orang tua kandungnya. Itu bukan sesuatu yang mudah, nak."
How can I not love you, mama?
1K notes
·
View notes
Text
APAKAH SUDAH PENUH ??
Seorang guru besar di depan audiens nya memulai materi kuliah dengan menaruh topless yg bening & besar di atas meja.
Lalu sang guru mengisinya dengan bola tenis hingga tidak muat lagi. Beliau bertanya: "Sudah penuh?"
Audiens menjawab: "Sudah penuh".
Lalu sang guru mengeluarkan kelereng dari kotaknya & memasukkan nya ke dalam topless tadi. Kelereng pun mengisi sela2 bola tenis hingga tidak muat lagi. Beliau bertanya: "Sudah penuh?"
Audiens menjawab: "Sudah penuh".
* Setelah itu sang guru mengeluarkan pasir pantai & memasukkan nya ke dalam topless yg sama. Pasir pun mengisi sela2 bola & kelereng hingga tidak bisa muat lagi*
Dan para audiens semua sepakat kalau topless sudah penuh dan tidak ada lagi yg bisa dimasukkan ke dalamnya.
* Tetapi ternyata sang guru masih menuangkan sesuatu, yaitu secangkir air kopi ke dalam toples yg sudah penuh dengan bola, kelereng & pasir itu*
Sang Guru kemudian menjelaskan bahwa:
"Hidup kita kapasitasnya terbatas seperti toples. Namun masing2 dari kita berbeda dalam mengisi isi toplesnya:
- Bola tenis adalah hal2 besar dalam hidup kita, yakni tanggung-jawab terhadap Tuhan, orang tua, istri/suami, anak2, pangan, tempat tinggal & kesehatan.
- Kelereng adalah hal2 yang penting, seperti pekerjaan, adab, pendidikan, kendaraan, dll.
- Pasir adalah yg lain2 dalam hidup kita, seperti olah raga, rekreasi, internetan, nonton film, dll.
- Jika kita isi hidup kita dengan mendahulukan pasir hingga penuh, maka kelereng & bola tennis tdk akan bisa masuk. Berarti, hidup kita hanya berisikan hal2 kecil. Hidup kita habis dengan rekreasi dan hobby, sementara Tuhan dan keluarga terabaikan.
- Tapi jika hidup kita isi dengan mendahulukan bola tenis, lalu kelereng dan seterusnya seperti tadi, maka hidup kita akan lengkap, berisikan mulai dari hal2 yg besar dan penting hingga hal2 yg menjadi pelengkap.
Karenanya, kita harus mampu mengelola hidup secara cerdas & bijak. Tahu menempatkan mana yg prioritas dan mana yg menjadi pelengkap.
Jika tidak, maka hidup bukan saja tdk lengkap, bahkan bisa tidak berarti sama sekali".
* Lalu sang guru bertanya: "Adakah di antara kalian yg mau bertanya?"
Semua audiens terdiam, karena sangat mengerti apa inti pesan dlm pelajaran tadi.
* Namun, tiba2 seseorang murid bertanya: "Apa arti secangkir air kopi yg dituangkan tadi .....?"
* Sang guru besar menjawab sebagai penutup: "Sepenuh dan sesibuk apa pun hidup kita, jgn lupa masih bisa disempurnakan dengan bersilaturahim sambil "minum kopi" dengan tetangga, teman, memberikan hadiah, bantuan kepada orang lain, dll.
Saling bertegur sapa, saling membantu, saling melengkapi.😇😇😇
#copas
0 notes
Text
REYNHARD
Oleh Adriano Rusfi ( Ustadz Aad )
Apa yang dapat anda katakan dan simpulkan dari seorang laki-laki 36 tahun yang hidup sepenuhnya ditopang secara finansial oleh kedua orangtuanya yang kaya raya ?
Ia hanya perlu belajar... belajar... dan belajar... Ia tak perlu mencari nafkah, menghadapi kesulitan hidup, atau menghadapi masalah... Ia mungkin jago problem solving untuk soal-soal di atas kertas. Tapi akan begitu keteteran untuk solution making dan decision making di kehidupan nyata...
Seorang Reynhard tak pelak lagi adalah seseorang dengan academic capability yang hebat. Terbukti bahwa dia sedang mengambil program doktoral di Manchester... Tapi apakah dia adalah seorang intelektual ? Dalam perspektif Islam : ia mungkin mampu berpikir, tapi belum tentu telah BERAKAL (aqil) !!!
Ah... dengan perspektif cemas aku jadi ingat percakapan dengan beberapa rekan dosen dari sebuah kampus prestisius di Bandung :
"Bang, mahasiswa S-3 kami di usia 27 tahun belum aqil, Bang... Hidup mereka kebanyakan 100 % ditopang orangtua... Kemandirian belum punya... Dan mudah putus asa... "
Dan aku menjadi setengah panik ketika terngiang prediksi seorang teman dari BKKBN Jogja, tepat 29 Juni 2018 silam :
"Tahu nggak Bang, bahwa di tahun 2035 kami perkirakan kedewasaan mental (aqil) baru terjadi di usia 30..."
Duh...
Karena masalahnya tak sesederhana itu... Karena bersamaan dengan melambatnya aqil, kedewasaan fisik (baligh) justru semakin cepat... Teman-teman dokter bilang :
"Bang, ini era early puberty... Anak kita sudah mulai baligh di usia 9 tahun... Nafsunya mulai bergejolak di usia itu..."
Astaghfirullah... Gas nafsu (baligh) teraktivasi makin cepat, justru ketika rem akal (aqil) teraktivasi semakin lambat... Nafsu, yang terdiri dari syahwat (eros) dan ghadhab (thanatos) membuncah dini justru saat fungsi akal tumbuh melambat...
Aku jadi teringat pernyataan Kohlberg maupun Piaget : Moralitas berkorelasi positif signifikan dengan intelektualitas (aqil)...
Dan Robert Eipstein ngamuk-ngamuk di The Psychology Today : "Kita menghasilkan generasi sampah (trashing teen)... Melakukan pembocahan (infantilization)... Dan Memperpanjang masa kanak (extended childhood)...
Dan Reynhard telah menjadi produk sempurna dari generasi adolescence yang baru muncul sejak awal abad 20 ini... Memperkosa adalah paduan sempurna dari life instinct dan death instinct sekaligus...
Tapi ada yang lebih aku cemaskan : bahwa pendidikan kita sedang menyiapkan generasi baligh non aqil ini... Anak-anak kita dituntut fokus belajar, sehingga tak perlu memikirkan masalah, mencari nafkah, memasak, mencuci pakaian sendiri, berjuang mengatasi hidup...
Apakah kita sedang menanti Reynhard-Reynhard baru ???
Batu, 8 Januari 2020
0 notes
Text
Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Dalam perkembangannya, definisi literasi selalu berevolusi sesuai dengan tantangan zaman. Jika dulu definisi literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Saat ini, istilah Literasi sudah mulai digunakan dalam arti yang lebih luas. Dan sudah merambah pada praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik.
Definisi baru dari literasi menunjukkan paradigma baru dalam upaya memaknai literasi dan pembelajaran nya. Kini ungkapan literasi memiliki banyak variasi, seperti Literasi media, literasi komputer, literasi sains, literasi sekolah, dan lain sebagainya. Hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis diringkas dalam lima verba: *memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks.* *Kesemuanya merujuk pada kompetensi atau kemampuan yang lebih dari sekedar kemampuan membaca dan menulis.*
Sumber: Sevima.con
0 notes
Text
Guru kami pernah menukil sebuah kisah yang disampaikan syaikh beliau saat belajar di Madinah. Dulu, tahun 1950-an, di kalangan para pedagang Madinah ada sebuah budaya yang bagus. Ketika toko seorang pedagang laris, sementara toko sebelahnya sepi, maka si pemilik toko yang laris ini akan mengarahkan sebagian konsumennya agar berbelanja ke toko sebelah. Atau, dia akan menutup tokonya, agar pembeli belanja di toko sebelah.
Ini luar biasa. Sebab, kultur ini menabrak prinsip ekonomi berkenaan dengan prospek dan keuntungan. Lazimnya, jika toko kita laris, maka penjualan mesti dioptimalkan. Strategi marketing mesti dirapikan, dibuat lebih canggih, agar konsumen semua mengalir ke toko kita. Jika perlu, celah-celah yang memungkinkan orang belanja ke toko lain ditutup rapat-rapat, agar kita bisa memonopoli pasar. Tapi, ini tidak. Alih-alih menggenjot penjualan dan melakukan ekspansi, pemilik toko ini malah mengarahkan konsumennya agar belanja di toko sebelah yang sedari pagi sepi pelanggan.
Kultur ini tak mungkin tumbuh kecuali di atas landasan akidah yang kuat. Si pedagang yakin bahwa Ar Razaq tidak akan mungkin salah alamat dalam membagi rejeki. Jika Allah ingin memberi, maka tak satu pun yang dapat mencegah. Sebaliknya, jika Allah ingin mencegah, maka tak satu pun akan dapat memberi. Karena itu, meskipun pedagang ini menutup toko atau mengarahkan konsumen ke toko sebelah, ia yakin itu tak akan pernah mengurangi jatah rejeki yang sudah Allah tetapkan untuknya.
Beda sekali dengan sebagian pedagang hari ini yang memiliki pola pikir bersaing. Mereka memandang pedagang lain sebagai kompetitor. Seakan-akan, rejeki Allah itu harus diperebutkan. Pembagian rejeki Allah dikalkulasi dengan pola pikir siapa cepat dia dapat. Akhirnya, masing-masing pedagang melakukan berbagai upaya agar ia lebih unggul dari saingannya. Jika perlu, lewat cara-cara haram yang dicela agama.
Dari kisah singkat itu, saya mendapatkan insight bahwa cakupan akidah ternyata bisa ke mana-mana. Tak terbatas pada soal keyakinan saja. Dampaknya bisa sampai pada muamalah juga. Wallahu a'lam.
0 notes
Text
Ini adik aku, namanya robin..
anak laki2 satu2nya di keluarga kami, dia bandel dan penurut, dia suka banget bikin kehebohan untun ngedapetin perhatian seisi rumah..
kalau lagi capek sepet rasanya dengerin suara dia yg super cerewet..
tapi kalau satu hari aja gx dengerin suara dia rasanya ada yang hilang dari rumah kami
Kehebohan yang dia buat hari ini adalah dari masuk sampai keluar kamar mandi mulut dia nggak sekalipun berhenti bicara, hmm
Ada.. aja kata-kata yang keluar dari mulutnya, kadang heran dia anak laki-laki tapi kenapa bicaranya lebih banyak daripada aku ya? Hmm.. tapi ya gx papa, itu lah perbedaan di keluarga kami, sesekali kalau bicaranya sudah terlampau banyak maka gantian aku yang harus lebih banyak mengeluarkan kalimat padahal baiknya ya aku harus menegur dia supaya nggak kelewat batas
0 notes
Text
Dia anak laki-laki yang kebutuhan berbicaranya lebih banyak dari pada aku😑
0 notes
Text
Tips Mencari Suami
Tanpa bermaksud ke-PeDe-an, sok tahu atau menggurui, saya mau ngasih tips buat para jomblowati yang lagi proses mengenal calon.
Tips ini berisi hal-hal komplementer yg perlu ditanyakan dan diketahui dari calon suami berdasarkan apa yg saya ketahui dan alami sejauh ini, selain tentu hal-hal fundamental seperti visi pernikahan dsb.
Sebagian besar pertanyaan di bawah ini idealnya diajukan kepada kerabat atau teman dari calon suami, biar bisa lebih presisi dan terhindar dari jawaban narsistik.
1. Tanyakan tentang apa yang dia lakukan ketika mengetahui dirinya salah. Melakukan pembenaran atau berusaha memperbaiki keadaan
2. Tanyakan tentang bagaimana ia ketika berjanji. Apakah cenderung menepati atau justru sebaliknya
3. Tanyakan tentang bagaimana dengan perkataanya. Apakah sering berbohong atau selalu berusaha jujur
4. Tanyakan tentang apa yang ia lakukan ketika sedang marah. Berusaha menjaga diri dan mengelola hati agar segera reda atau malah melampiaskan dgn cara yg tidak dibenarkan
5. Tanyakan tentang hal apa yang sering membuatnya menangis. Hal-hal besar atau hanya picisan
6. Tanyakan tentang bagaimana ketika dia meminjam barang atau bahkan berhutang, berusaha mengembalikan, tetap menghubungi sekalipun belum bisa membayar atau lari tanpa pernah dapat ditemui
7. Tanyakan tentang bagaimana ia menjaga amanah yang diberikan. Menjaga dan memenuhinya atau selalu mengkhianatinya
8. Tanyakan tentang bagaimana ia mengisi waktu luang. Memanfaatkannya atau menghabiskan seluruhnya
9. Tanyakan tentang bagaimana sikap ketika mengetahui kesalahan dan/atau permasalahan temannya. Membiarkan bahkan menyebarkan, atau membantu menyelesaikan
10. Tanyakan tentang kapan terakhir kali dia mendo'akan bahkan memberikan hadiah orang tuanya
Jawaban dari pertanyaan di atas akan sangat menunjukan bagaimana ia kelak memperlakukan mu.
Syahdan, istimewanya manusia memang bisa saja berubah. Maka sekalipun sebagian tidak terpenuhi, lihatlah kembali jawaban nomor 1 ketika dia mengetahui kekurangan dirinya, berusaha untuk melakukan pembenaran atau menerima dan siap memperbaikinya. Bersama dengan mu.
Semarang, 21 Januari 2020
@30haribercerita
#30haribercerita
#30hbc2021
#30hbc2021tips
549 notes
·
View notes
Text
Lagi-lagi membahas yasinan
Bukan aku suudzon terhadap orang2, hanya saja ketika yasinan tak pernah kurasakan nikmatnya mengaji, tak pernah kurasakan kekhusyu'an ketika mendengar ayat2 itu di bacakan, namun ketika mayoritas orang2 di sekitar kita melaksanakan hingga seolah2 mewajibkan keluarga kami untuk melakukan hal yang sama hati ini menolak... Tapi aku juga tidak bisa memaksakan kehendakku ke orang lain, baik itu ibu ataupun adik2ku
Lagipula mengadakan yasinan hingga mengkhususkan tanggal dan harinya itu tak ada dalam syariat islam, tak ada dalam Al-qur'an dan sunnah Rasulullah Muhammad Sallallahu 'alaihi Wa sallam
Ketika ada banyak ibadah sunnah yang Rasulullah ajarkan, kenapa harus memilih melaksanakan ibadah yang tidak Rasulullah ajarkan..
Padahal ada banyak ibadah sunnah yang jelas2 memberikan banyak fadhilah, dan kitapun belum tentu mampu melaksanakan semua sunnah2 Rasulullah SAW, lalu untuk apa melaksanakan ibadah yg belum jelas fadhilah atau manfaatnya..
Wallahu a'lam bishawaab...
1 note
·
View note