Don't wanna be here? Send us removal request.
Video
AYO BANTU GAZA! Ratusan rudal menggempur Gaza, 34 orang Syahid, 100 luka-luka, belasan rumah dan sekolah hancur. Rumah sakit kewalahan menangani korban luka. tenaga, peralatan medis, dan obat-obatan terbatas. Anak-anak tak bisa bersekolah karena bangunannya hancur. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal, bahkan anggota keluarganya. Kondisi akan semakin berbahaya karena sebentar lagi musim dingin, ayo bantu mereka! Kirim donasi terbaik kita untuk Gaza ke Bank Syariah Mandiri a.n SMART 171 no.rek 171-171-1275 Untuk Palestina, akhiran 00 Misal kirim 100.000/1.000.000 #freepalestine #supportGaza #Smart171 #baikberisik https://www.instagram.com/p/B43cEkNHPU5/?igshid=18wkpbb7b2lht
8 notes
·
View notes
Photo
#GazaUnderAttack Oleh: Maimon Herawati (Ketua Smart 171) Gaza diserang tadi pagi waktu Palestina!! Syahid pimpinan Islamic Jihad, Baha' Abu Ata, istrinya dan melukai empat anaknya. Zionist penjajah juga berusaha membunuh pemimpin Hamas Gaza, Yahya Sinwar. Shin Bet menyerang dengan persetujuan Netanyahu. Ini pelanggaran gencatan senjata yang entah ke berapa. Zionist penjajah juga menyerang kediaman pengurus Islamic Jihad di Damaskus, Akram al-Ajouri. Anak lelaki Akram syahid, begitu juga salah satu warga sipil di Suriah. Sepuluh yang lainnya terluka. Saat ini berlangsung pemakaman pemimpin Islamic Jihad, Asy Syahid Baha' Abu Ata. Pintu keluar Gaza ditutup penjajah, perairan laut Gaza juga dikerdilkan menjadi 6 mil dari garis pantai. --- Bantu Gaza dengan menyisihkan donasi terbaik kita melalui rekening Smart 171 171-171-1275 Bank Syariah Mandiri a.n Smart 171 --- Foto kedua adalah rumah Baha' Abu Ata. Foto ketiga Asy Syahid #IsraeliCrimes #GazaUnderAttack #FreePalestine #SMART171 #baikberisik https://www.instagram.com/p/B43awQ1HNhL/?igshid=1pdh714gq8zin
0 notes
Text
RTM : Nasihat Sebelum Menikah
Pernah tidak memperhatikan bagaimana orang lain atau teman yang kita kenal baik menemukan pasangan hidupnya? Hingga mereka mengatakan kepadamu atau kamu mendengarnya dari orang lain tentang bagaimana rumah tangganya berjalan. Entah berita baik atau buruk.
Pernah tidak memperhatikan bagaimana ia bisa menerima orang baru dalam hidupnya? Bersedia menikah dengannya dan bersedia menanggung konsekuensi atas keputusannya — sesuatu yang sampai hari ini tidak kamu miliki—. Dan bagaimana kemudian ia menjalani konsekuensi tersebut.
Anggapan bahwa keputusan besar ini pasti berujung indah – never ending fairytale – seperti yang kita saksikan di media sosial dan sebagainya. Justru bisa menjadi boomerang bagi diri kita sendiri.
Mau dibuat sesederhana apapun, perkara ini sama sekali tidak sederhana. Mau dibuat semanis apapun, perkara ini pasti akan memberikan rasa pahitnya. Dan kami, sekali lagi, tidak ingin menyuruh-nyuruhmu untuk segera berumah tangga. Raih dan genggamlah mimpimu sedemikian erat, jalanilah. Karena di jalan itu, pasti ada orang lain yang menitinya juga. Selesaikanlah urusanmu terhadap dirimu sendiri, orang tuamu, dan hal-hal yang kamu rasa itu amat penting dan berharga bagimu.
Persiapkan segala sesuatu yang kamu takut dan khawatirkan sampai hari ini. Karena ketakutan dan kekhawatiran itu ada karena tidak adanya persiapan. Tidak adanya kesiapan diri kita sendiri. Tidak hanya meratapi nasib dan memikirkan ketakutan itu, lantas bersembunyi dari hiruk pikuk dunia. Masalah itu takkan pergi sampai kamu bersedia menghadapinya.
Barangkali, nasihat paling bijaksana yang bisa kami ambil sampai hari ini adalah:
Keputusan ini kamu yang akan menjalani, kamu pula yang akan menanggung segala konsekuensinya. Bukan orang lain. Bukan siapa-siapa. Kalau kamu tidak siap, jangan pura-pura siap. Kalau kamu tidak yakin, jangan pura-pura yakin. Hati kecil, berbisik lirih tapi banyak benarnya.
Ketakutan-ketakutan itu jangan sampai mengendalikan dirimu. Mengambil alih logikamu hingga kamu gegabah dalam mengambil keputusan-keputusan besar bagi hidupmu sendiri. Keputusan-keputusan permanen, sesuatu yang sekali kamu ambil, menggema sepanjang hidupmu.
©kurniawangunadi
2K notes
·
View notes
Text
Tulisan : Privilege
Mungkin kebanyakan dari kita, terlahir tidak dengan privilege. Orang tua kita bukan siapa-siapa, secara ekonomi juga biasa-biasa saja bahkan mungkin terpuruk. Kita adalah generasi pertama yang memiliki akses pada pendidikan tinggi, generasi pertama yang harus berjuang untuk memperbaiki taraf hidup keluarga. Istilahnya, Babat Alas!
Tapi, karena hal itu pula kita meraba-meraba. Apa yang harus kita lakukan, kita tidak punya orang tua yang paham dengan jalan yang kita pilih. Kita tidak punya jejaring warisan orang tua yang bisa kita gunakan untuk membuka jalan, tidak punya orang dalam, tidak punya akses pada lingkaran-lingkaran hebat di luar sana karena kita belum menjadi apa-apa.
Kebingungan itu bisa mengantarkan kita kepada dua hal; Pertama, membuat kita menyerah dan tidak memiliki keberanian untuk berjuang demi kehidupan yang lebih baik dari saat ini. Kedua, menjadi pemacu dan bersedia lelah, berkorban, tidur lebih sedikit, untuk mendapatkan apa yang dicari.
Ada hal yang paling sering terjadi difase ini pada diri kita. Kita salah mengenali masalah-masalah yang sebenarnya kita hadapi. Kesalahan identifikasi itu berakibat fatal kerena kita kemudian mengambil keputusan atau langkah yang keliru. Kita merasa sudah berjuang, padahal justru sedang menggali kubur sendiri. Hidup bukannya bertambah menjadi lebih baik, malah tambah meresahkan. Menjalani sesuatu yang semakin jauh dari tujuan.
Atau kesalahan identifikasi masalah yang membuat diri kita berpikiran pendek bahwa semua keresahan dan masalah hidup kita akan selesai dengan menikah. Lelah kuliah/skripsi, menikah. Lelah bekerja pengin di rumah biar dinafkahi, menikah. Buntu terhadap rencana hidup, menikah. Lupa jika pernikahan itu menambah masalah baru, tanggungjawab baru yang harus dikerjakan, tidak sekedar kehidupan indah yang seolah never-ending-fairy-tale seperti yang ditampilkan orang-orang di media sosial.
Sebagai anak yang lahir tanpa privilege. Kita sedang berjuang. Maka bersabarlah. Karena memang menjadi generasi pertama itu tidak pernah mudah. Pernah tidak keluar pagi-pagi sekali. Melihat orang-orang suah bergerak untuk kehidupannya. Mencari penghidupan. Beberapa di antara mereka mungkin ada yang seperti orang tua kita, menjadi buruh harian, menjadi pedagang kaki lima, petani, penjual sayur, dan pekerjaan-pekerjaan yang mungkin tidak ada dalam mimpi kita sama sekali. Tapi, mereka berjuang agar anak-anaknya memperoleh pendidikan, memperbaiki kehidupan keluarga di masa yang akan datang.
Kita tidak bisa menyalahkan keadaan, mengapa kita lahir dalam kondisi saat ini. Segeralah beranjak. Kita sedang membangun pondasi, jangan khianati masa depan kita, masa depan anak-cucu kita.
©kurniawangunadi | 15 September 2019
1K notes
·
View notes
Text
Bisakah kamu berjanji kepadaku?
Mengapa pada hal-hal yang belum kita miliki, kita selalu memandang dan mengatakan bahwa itu lebih indah, lebih cantik, lebih menarik, lebih bagus, dari apa-apa yang kita miliki?
Nanti, sewaktu kita telah mendapatkannya. Kita begitu bahagia, merasa telah mendapatkan sesuatu yang sangat berarti. Tapi, waktu bergulir, berganti tahun. Apakah kita sanggup mempertahankan rasa syukur kita pada kadar yang sama, seperti saat pertama kali kita mendapatkannya?
* * * *
Apakah kamu bisa mempertahankan rasa syukur itu meski ia telah berubah seiring waktu? Apakah kamu masih akan tetap bersyukur saat ia mungkin tak seperti yang kamu harapkan?
Bukankah ia yang selama ini kamu pandang segala-galanya sebelum kamu memilikinya?
©kurniawangunadi | 18 september 2019
2K notes
·
View notes
Text
Tanah yang gersang dan kering, yang pertama kali dibutuhkan bukanlah bibit dan benih pepohonan agar menjadi taman yang hijau, yang ia butuhkan adalah siraman air. Biarkan ia lunak dahulu hingga pantas untuk disemai benih dan bibit pohon. Kelak, benih dan bibit pohon pun akan mudah tumbuh dan cepat berbunga, lalu menghasilkan buah yang manis.
Melunakkan hati yang keras bukanlah dengan nyanyian-nyanyian, tapi dengan Al Quran. Mustahil seorang yang baru saja berhijrah meninggalkan keburukan, dan mencoba istiqomah pada kebaikan jika dimulai tanpa Al Quran. Tidak cukup jika hanya mendengarkan kajian-kajian islami atau berkumpul dengan orang sholih saja, karena semuanya bermula dari Al Quran. Orang sholih, kajian islam yang mendalam, bahkan mengerjakan kebaikan pun berpondasikan pada Al Quran. Dimulai dari belajar membaca yang benar, merutinkan tilawah setiap harinya, dan sampai pada titik menghafalkan juga mengamalkan.
Sebuah hati yang lembut karena siraman Al Quran itu mudah sekali untuk menumbuhkan kebaikan-kebaikan, hingga ia bisa membesar dan menebarkan banyak kebaikan pada orang lain. Kini, coba periksa bagaimana hubunganmu dengan Al Quran. Semakin jauhnya kamu dari Al Quran, semakin gersang dan kering hatimu, percayalah.
Jangan-jangan, rusaknya hatimu, susahnya kamu menerima kebaikan, susahnya beramal sholih, karena jarangnya kamu membaca Al Quran. Jangankan membacanya, menyentuhnya setiap hari ini pun tidak. Yang aku takut hanya 1, saat Al Quran menjadi saksi buruk atasmu.
Jika sholat sudah, jangan lupa menyisihkan 5 - 10 menit untuk tilawah setelahnya. Membiasakan itu butuh paksaan bukan ?
Ayo ngaji !
@jndmmsyhd
552 notes
·
View notes
Photo
Sebentar lagi musim dingin tiba. Bagi pengungsi suriah yang masih tinggal di kamp, tak siap berarti tak selamat. Tiap tahun selalu ada bayi dan anak-anak yang meninggal karena hipotermia. Ayo bantu hangatkan dan selamatkan nyawa mereka. Kirim 1 selimut Rp100ribu, atau 1 paket (selimut, batu bara, dan minyak zaitun) Rp250ribu, atau kirim donasi terbaikmu. Kirim ke Bank Syariah Mandiri a.n SMART 171 no.rek 171-171-1275 dengan akhiran 01. Contoh Rp100.001 #winteraid #syrianrefugee #freepalestine #supportGaza #Smart171 https://www.instagram.com/p/B4FRlqwhane/?igshid=1o3gha3b6weg6
0 notes
Video
Sejak Maret 2018 lalu, ada 1000 pejuang aksi Great Return March yang terluka. Penggunaan peluru ilegal, Butterfly Bullet, yang ditembakkan sniper Israel, mampu menghancurkan tulang dan membuat kaki mereka harus diamputasi. Mereka butuh banyak kaki palsu untuk melanjutkan pembebasan Palestina. Kirimkan yuk! Pengobatan dan pembiayaan satu kaki palsu berkisar Rp50-90 juta/orang. Kirim donasi terbaikmu ke Bank Syariah Mandiri a.n Smart 171 no.rek 171-171-1275 dengan akhiran 15. Contoh Rp50.015 atau klik kitabisa.com/kakipalsugaza #freepalestine #supportGaza #baikberisik #smart171 https://www.instagram.com/p/B4DFxG4hbjAvPArzgwgFFEFTuXGL1XemtKJv040/?igshid=1q2du9739k2w7
0 notes
Photo
[Rabu, 16 Oktober 2019] . Alhamdulillah tsumma alhamdulilah. Hari itu menjadi salah satu hari yang sangat menakjubkan dalam hidup. Pertama kalinya, saya membawa pasien anak untuk dilakukan ekstraksi (pencabutan gigi). Panji dan Aura, namanya. 7 tahun usianya. Tapi keberanian mereka layaknya orang dewasa. Tanpa didampingi oleh Ayah Bunda, momen yang luar biasa itu terjadi. Sekita pukul 11.00 WIB, gigi 72 mas Panji berhasil saya cabut. Alhamdulillah. 😭 . Sejak semalam saya hampir tidak bisa tidur karena chat saya dengan ibunya mas Panji tidak dibalas. Namun, pagi hari saya membuka HP terdapat notifikasi balasan yang sedari malam sudah ditunggu-tunggu. Bukan lebih tenang, tapi justru isi chat kami semakin menambah rasa takut dan khawatir. Menurut penuturan sang ibu, mas Panji sudah ketakutan saat mau berangkat ke sekolah. "Aku takut dicabut gigi, Bu", tuturnya kepada sang Ibu. Hal itu membuat Ibu Kardi (ibunya mas Panji) meminta pengertian dan menyampaikan permohonan maaf jika anaknya tidak bersedia untuk dilakukan perawatan. Sejak itu, dalam hati sudah pasrah. Sangat pasrah. "Jika mas Panji tidak mau dilakukan perawatan ekstraksi, aku ikhlas tidak praktek hari ini, ya Allaah" batinku. Sesampainya di sekolah, saya dan Rahma menjemput Panji dan Aura di GOR saat mereka sedang berolahraga. Tanpa disangka, ekspresi mereka justru membuat ku takjub bahagia. Rasa syukur tiada terkira. Alhamdulillah. 😭 . Dengan sepenuh hati, aku berusaha menyelami dunia mereka, dunia anak-anak. Ya. Salah satu hal yang sangat aku senangi. Tahap demi tahap proses praktek kami lalui. Panji dan Aura sangat kooperatif. Sangat. MaasyaAllah. Tibalah saatnya, satu hal yang aku khawatirkan -begitupun Panji- akan segera terjadi. Ekstraksi gigi susu (72). Hal yang cukup menyentuh hati dari mas Panji adalah sesaat sebelum giginya hendak dicabut, wajahnya sangat amat tegang. Jangan tanyakan bagaimana dengan keadaan saya. Gugup luar biasa, keringat dingin mengucur. Tapi mas Panji tetap berusaha tenang dengan merapalkan doa sambil tangannya mengisyaratkan tanda salib. Seketika suasana seolah menjadi sangat sakral. Hening. Dengan mengucap bismillah. Gigi itu berhasil tercabut. {To be continued} https://www.instagram.com/p/B3ti-aGBnJLIi6Le962Pw6--Yre1QwXJQkMG2s0/?igshid=f457brntqzsg
1 note
·
View note
Text
Dunia itu tempat amal.
Jadi, kalau kita lelah, capek, pusing, merasa berat ya wajar. Namanya juga tempat beramal.
Layaknya pekerja yang pergi ke kantor tiap harinya. Mengerjakan tugas, project, dan segala permintaan atasannya. Kalau kerjanya tuntas, atasannya senang, imbalannya juga bakal baik. Pulang ke rumah ada rasa aman dan tenang, tanpa ada beban pikiran.
Tapi, kalau kerja seadanya, kadang bolos, gak maksimal. Imbalannya juga gak maksimal. Pulang ke rumah barangkali banyak kepikiran sama kerjaan, atau bahkan dikejar deadline yg gak selesai di kantor. Pahit²nya dipecat dari perusahaan karena kinerja buruk.
Kalau kita mau pulang ke akhiratnya aman, wajar kalau capek di dunia. Kita nuntasin semua kewajiban kita dengan maksimal, biar pulangnya tidak memimbulkan beban dan sengsara.
Selamat beramal, bertumbuh juga :)
119 notes
·
View notes
Text
Hidup bukan arena perlombaan
Setiap kita tidak terlahir untuk dipersiapkan menjadi petarung. Tidak terlahir untuk menginjak orang lain demi menjadi pemenang.
Selama ini dunia yang kita huni layaknya arena lomba. Siapa yang lebih cepat lebih baik, siapa yang bisa mengejar yang lain lebih baik, siapa yang pertama sampai lebih dulu lebih baik.
Selama ini dunia yang kita huni tidak mengajari kita untuk mengalah, tidak mengajari kita untuk menerima kegagalan, tidak mengajari kita untuk memaafkan keterlamabatan. Tetapi melatih kita untuk mengalahkan jutaan manusia lain.
Bagaimanapun caranya kita harus terlahir menjadi seorang pemenang. Harus menjadi yang paling pintar, paling cantik, paling terkenal, paling hebat, paling sukses, dan paling memiliki segalanya.
Kita tidak boleh lembek, kalau kita lembek jutaan orang akan menginjak kita dan mendahului kita. Kita harus berlari sekencang mungkin, menghalangi siapa saja yang berusaha mengejar kita.
Bertahun-bertahun hingga usia kita sekarang, barangkali kita mendefinisikan hidup seperti ini. Hidup dalam bayang-bayang sebuah perlombaan yang tak kunjung henti.
Kita selalu merasa kalah cepat dari yang lain, merasa tertinggal, merasa semua yang kita lakukan terburu-buru karena kita ingin mengejar yang lain.
Padahal satu-satunya orang yang perlu kita kalahkan di dunia ini hanyalah diri kita sendiri. Kita tidak sedang berlomba melawan siapapun.
Pemenang yang sebenarnya adalah ia yang mampu menerima segala kekurangannya, kelambanannya, ketertinggalannya, kegagagalannya, dan kemarahanya.
Pemenang yang sebenarnya adalah ia yang mampu melatih kesabarannya, saat dunia yang ia huni tidak sedang berjalan sesuai dengan yang ia harapkan.
Pemenang yang sebenarnya adalah ia yang mampu menyadari prosesnya, ikhlas menjalani jatuh bangunnya, dan memaafkan diri sendiri atas setiap hal yang tidak mampu ia miliki.
Pemenang yang sebenarnya bukanlah soal siapa yang paling cepat, tetapi soal siapa yang sudah mempersiapkan diri ketika gilirannya nanti sudah tiba.
—ibnufir
587 notes
·
View notes
Text
Cerita Manusia
Saya pernah nonton film di tv. Lupa judulnya apa kalau ga salah judulnya laura dan marsha. Itupun cuma beberapa puluh menit sebelum film berakhir. Yang main salah satunya adinia wirasti dan prisia nasution lupa juga ih siapa yang laura siapa yang marsha. Saya nonton pas sekali pada adegan ketika laura dan marsha sudah lama tidak bersahabat lagi dan scene ini selalu saya ingat sampai sekarang. Ceritanya tokoh yang diperankan prisia ini kecewa berat sama tokoh yang diperanin sama adinia, karena ketika proses perceraian si prisia sama suaminya ini adinia ga ada. Dia ga ada sebagai sahabat.
Sejak saat itu mereka jauh tidak lagi bersahabat. Sampai pada suatu hari mereka melakukan perjalanan, saya ga tau kenapa (karena ga nonton dari awal) sepertinya terpaksa. Dan mereka tersesat dan dokumen mereka seperti passport hilang. Si prisia yang perfeksionis selalu nyalahin adinia yang nyantai dan easy going. Udahlah idup jalanin aja dulu. Kira kira gitu pesan si adinia. Prisia yang merasa adinia terlalu santai sampai pada puncaknya dan mereka bertengkar hebat. Keluarlah akhirnya unek unek prisia yang disimpen bertahun tahun tentang kecewanya dia sama sahabatnya. Sahabatnya ninggalin dirinya sendirian di masa paling sulit. Tahu ga apa jawaban adinia? Dia cerita kalau saat prisia telpon dia baru saja melakukan operasi pengangkatan rahim. Saat itu dirinya sebagai seorang perempuan merasa sangat gagal. Merasa berada dititik terendahnya. Mau cerita sama temennya ga bisa, karena temennya juga lagi punya masalah. Di situ saya terhenyak.
Sejak saat itu, setiap kali saya melihat seorang manusia, saya selalu mencoba bertanya "kenapa dia bisa begitu?" Sebelum akhirnya menghakimi atau menaruh prasangka. Orang yang kita anggap lemah lalu kita remehkan jangan jangan adalah orang yang kuatnya tak terbayangkan menanggung masa lalu yang pilu. Orang yang nyebelin luar biasa berapi api. Jangan jangan masih menyimpan amarah dari traumanya yang dulu. Bila kesalahan dilakukan orang lain, saya tak memaklumi kesalahan tetaplah kesalahan terutama bila kesalahan itu adalah dosa. Tapi mencoba mengerti dan memahami alasan orang lain begitu, paling tidak kita bisa berempati untuk tidak kemudian mengambil alih bagian Tuhan untuk menghakimi. Menghapus kesombongan diri dari merasa makhluk suci tanpa aib dan dosa. Kita bisa lebih bijak bersikap, paling tidak.
Alizeti, Jakarta
150 notes
·
View notes
Text
Andai Lelah Menghentikanku
Tak banyak yang tahu bahwa aku sedang berjuang dalam lelahku. Tak kuceritakan ini pada ayah dan ibu, tidak pula aku mengabarkannya pada kotak-kotak persegi empat foto di sosial media. Dalam pikirku, biar aku melakukan semuanya di jalan sunyi, hingga ayah dan ibu menikmati kabar gembiranya saja, dan teman-temanku mencicip seraup hikmahnya saja. Entah bagaimana, aku semacam tidak rela jika jalan sunyiku ini menjadi riuh oleh banyak pertanyaan, harapan, atau juga komentar-komentar dari orang lain, yang bahkan tidak sepenuhnya memahami apa yang aku perjuangkan. Atau, apa mungkin aku belum siap untuk menceritakannya? Ah, aku tidak tahu. Mungkin, nanti aku akan benar-benar menceritakannya pada orang yang sepenuhnya aku percaya. Kamu misalnya, sahabat sejiwa, semakna, dan semoga juga sesyurga.
Di jalan sunyi ini, banyak dinamika telah terjadi. Aku menjadi paham bahwa kata lelah dan segala problematikanya memang tersemat dalam makna kata berjuang. Terang saja, sebab tak ada berjuang yang tak lelah, tak ada berjuang yang jalannya lurus-lurus saja, juga tak ada berjuang yang tidak mempertemukan diri seseorang dengan selemah-lemah kondisi dirinya. Aku jadi ingat pesan ibuku, bahwa berjuang itu harus sampai terasa berkorbannya, sulitnya, juga lelahnya. Sebab, jika tidak demikian, bagaimana jika jangan-jangan sebenarnya kita tidak sedang memperjuangkan apa-apa?
Beberapa kali, bahkan berkali-kali, aku pernah ingin berhenti. Jalan yang harus kutempuh di depan rasanya gelap sekali. Aku takut tidak mampu melewatinya. Aku khawatir gagal di perjalanannya. Tapi aku lalu berpikir bahwa takut dan khawatir itu boleh jadi memang terasakan oleh siapapun yang berjuang, dan yang menjadi pemenang adalah dia yang berhasil melewatinya, menyelesaikan tantangannya. Aku juga kemudian teringat bahwa aku dibersamai oleh-Nya, yang tentu akan menuntun aku pada jalan-jalan terbaik-Nya. Lantas, apa lagi yang bisa menghentikanku? Tidak ada, maka kuputuskan untuk melangkah lagi, melanjutkan perjalanan dan perjuangan dengan harapan Dia senantiasa membantuku untuk memenangkannya.
Kamu tahu, keputusan untuk terus melangkah ini bukan berarti tanpa resiko. Lelah adalah kudapan sehari-hari. Bukan hanya lelah fisik, tapi juga lelah jiwa, lelah perasaan. Tapi, aku ingin mempersembahkan perjuangan ini sebagai hadiah untuk ayah dan ibu, juga sebagai sebaik-baik amal shalih untuk-Nya. Jika aku berhenti, tentu saja semua itu hanya akan berhenti di angan-angan, menertawakanku yang berhenti karena lelah berjuang. Sudahlah, tak apa, lelah ini biar kupeluk saja. Sebab, bukankah kita tidak diizinkan berhenti ketika lelah dan baru boleh berhenti ketika selesai?
Untukmu yang juga sedang berjuang sepertiku, aku ingin membisikkan sesuatu. Lelah itu boleh, yang jangan adalah menyerah lalu berpasrah pada keadaan. Lelah itu niscaya, yang jangan adalah dikalahkan oleh kelelahan hingga meninggalkan perjuangan. Lelah itu tidak salah, yang jangan adalah menggerutu takdir-Nya dan berpikir bahwa Dia salah perhitungan ketika memberikannya untuk kita.
Selamat berjuang! Semoga semua bisa menjadi semanis-manis amal shalih yang kelak bisa kita banggakan di hadapan-Nya.
__
PS. Tulisan ini repost dari @healyourself.id silakan mampir ke Instagram HY untuk membaca tulisan-tulisan lainnya dan berdiskusi tentang tema-tema lainnya yang berkaitan dengan Psikologi dan Islamic Self-Help. FYI, bulan Oktober nanti insyaAllah kami akan membuka kelas online tentang mental health, lho!
543 notes
·
View notes
Text
Kita tidak seharusnya merasa lebih baik hanya karena mereka tidak merasakan apa yang kita rasakan dalam hidup kita. Jika kamu merasa sangat berjuang. Oranglain pun juga berjuang. Satu orang yang kita temui ketika bangun dari tidur. Artinya, kamu telah dihadapkan pada seseorang dengan ribuan cerita hidup penuh perjuangan. Yang kita tidak tahu, mungkin dia adalah manusia-manusia langit yang di istimewakan. Lalu kita? Masih sibuk ingin menjadi lebih agar bisa merasa lebih baik dari orang lain? Mari terus menjaga niat kita. Agar bisa melangitkan lebih banyak lagi kisah kita.
Sepertinya Masih Hujan Disini
118 notes
·
View notes
Text
Pukau.
Dear, aku tidak terpukau dengan kecerdasan. Istilah istilah canggih, bahasa bahasa ilmiah bila itu hanya menjadi bungkus dari kerusakan sistemik dari cara berpikir, bila kecerdasan itu justru melahirkan kesombongan manusia hingga lupa mawas diri dan merendahkan hati untuk menerima nasihat. Merasa paling benar lalu meremehkan orang lain.
Aku lebih terpukau dengan akhlak yang santun, dengan tutur kata yang terjaga, dengan sikap yang mengerti dimana ditempatkan sesuai waktu sesuai tempat sesuai pada siapa berbicara.
Aku lebih terpukau dengan kerendahan hati seorang hamba merendah serendah rendahnya pada yang Maha tinggi. Menyadari bahwa ia bukan apa apa di alam raya ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Lalu ia berusaha berbuat baik agar menjadikannya apa apa di mata sang pencipta. Semua perilaku dan tutur kata itu yang secara tidak langsung justru menunjukkan betapa cerdas empunya dengan kesederhanaan sikap, kesederhanaan laku, tutur kata yang mudah dimengerti, dan mengerti untuk terus mau belajar mendengar nasihat.
Bagiku hal hal seperti itu yang justru memberi nilai lebih pada diri seorang manusia. Tapi.. itu bagiku :)
Alizeti, Jakarta
281 notes
·
View notes
Text
Kontraproduktif
Kami berlangganan internet cepat agar bisa menghemat waktu saat berselancar di internet. Tetapi, karena internet yang cepat itu, justru kami jadi nyaman berlama-lama menonton Youtube, Netflix, atau apa saja yang sebenarnya tak selaras dengan ide ‘menghemat waktu’.
Kontraproduktif! XD
328 notes
·
View notes
Text
Hendaknya Kita Mengukur Diri
@edgarhamas
Abu Darda, sahabat besar itu pernah berkata, "tiga alamat orang bodoh; suka takjub dengan diri sendiri dan banyak hal, suka berpikir apa-apa yang sebenarnya tidak untuk dipikirkan, dan memerintah manusia tapi ia sendiri melanggarnya."
Ada lagi satu kata mutiara berujar, "siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya." Itu memang bukan hadits, tapi dikatakan oleh banyak ahli hikmah, di antaranya Yahya bin Muadz Ar Razi. Singkat, tapi begitulah Ulama di zaman dulu, selalu bisa meringkas makna dalam sebaris kalimat.
Dari keduanya, kita belajar untuk pandai mengukur siapa diri kita, tapi bukan dengan kalimat ini : "tau diri lah lu!" Karena itu bukan kalimat untuk mengukur diri, tapi merendahkan diri. Kalimat yang tepat adalah,
"apa yang telah aku lakukan untuk hidup, dan apa yang akan aku lakukan."
Tahun baru Hijriah 1441 ini cocok untuk membuat resolusi. Namun kali ini, hendaknya kita mengukur diri, bukan dengan memaki-maki keadaanmu yang sekarang, karena itu namanya menyalahkan takdir. Mengukur diri adalah: tahu, dimana lebihnya aku dan kurangnya aku. Yang lebih dilesatkan, yang kurang dibenahi.
Entah darimana kaidah ini, tapi saya setuju bahwa kita perlu menyediakan 3 porsi untuk mengukur diri kita. Kaidah itu, 70, 20, 10. 70 persen fokus kita hendaknya digunakan untuk melesatkan potensi kelebihan kita, 20 persen untuk membenahi kekurangan kita, dan 10 persen untuk mengeksplorasi potensi baru.
Hendaknya kita mengukur diri, sebagaimana Umar menasihati, "ukurlah dirimu sebelum kamu mengukur orang lain, dan dan hendaklah kamu menimbang dirimu sebelum kamu ditimbang", sebab "orang beriman lebih sering memuhasabah dirinya dibandingkan rekan kerja tamak yang selalu mengukur kinerjanya demi gajinya" kata Maimun bin Mahran.
Dengan kita tahu dimana posisi kita, kita akan lebih mudah menempatkan diri dalam manusia, dalam kerja-kerja besar untuk semesta.
Setidaknya kita tahu apa yang bisa kita perbuat untuk kebaikan umat ini, sebagai bentuk naik kelasnya kita dari memikirkan diri sendiri.
Hendaknya kita mengukur diri, sebagaimana memang Allah perintahkan kita. Dengan kamu tahu dirimu, kamu bisa memprediksi bagaimana masa depan berpihak padamu, atau berpaling, "Wahai orang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa melihat apa yang sudah dia kerjakan di masa lalu untuk masa depan." (Al Hasyr 18)
Madinah, 1 September 2019
808 notes
·
View notes