Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Saatnya berbicara dengan anak dengan seni (Part 1)
Saya bukanlah seorang ibu yang palig sabar dan tenang. Tapi selama hampir 5 tahun ini, rasanya sudah harus mengesampingkan perasaan emosi berlebihan yang ingin dilampiaskan khususnya pada anak sendiri. Tidak adanya contoh pembelajaran di lingkungan terdekat, maka mari kita otodidak membaca buku! Buku yang menjadi plihan saya adalah karya Joanna Faber & Julie King yaitu Seni Berbicara pada Anak.
Point pertama dalam buku ini yaitu bagaimana kita bisa menghadirkan peralatan menangani emosi menjadi tools dasar dalam menyikapi permasalahan dalam hubungan anak-orang tua. Mengakui perasaan dengan kalimat adalah peralatan pertama, eits jangan lupa beberapa tindakan memang harus dibatasi ya meskipun semua perasaan dapat diterima. Langkah dalam mengakui perasaan si anak yaitu:
1. Kuatkan hati untuk menahan diri tidak membalas emosinya (saya tau ini susah sekali kalau orang tua sedang tertekan, but keep learning to be better)
2. Pikirkan emosi yang dirasakan.
3. Akui emosi itu dan masukkan dalam kalimat.
Memang benar sih, karna menurut pengalaman saya selama ini, Albee anak saya, akan lebih mudah meledak-ledak ketika saya diamkan atau hanya bilang, “Jangan marah dong” ketika dia marah. Dia lebih cepat tenang ketika saya mengusap air matanya dan berkata, “Albee sedih ya, ibu sibuk ya? Maaf ya kita main sebentar lagi”. Anak lebih mendengarkan ketika perasannya diakui, bahkan orang dewasa juga begitu ya khususnya wanita? Hehe.
Point lainnya dalam mengakui perasaan anak yaitu mengganti kata “tetapi”. Bayangkan ketika kita berbicara “Ibu tau kamu masih bermain, tapi kita harus jemput saudaramu dulu sekarang” rasanya seperti merampas hadiah. Kita bisa menggantinya dengan kalimat Masalahnya adalah yaitu, “Memang kesal harus jemput saudara kamu saat kamu lagi seru bermain, masalahnya adalah kakak sudah menunggu dan sendirian”. Bisa juga dengan kalimat Meski kamu tau, contoh kalimat adalah, “Meski kamu tau ini saatnya menjemput kaka, memang kesal kalau harus pergi saat kamu masih asyik bermain”. Kalimat ini memberi kesempatan anak untuk memahami masalah yang ada dan dia tau bahwa kita berempati dengan apa yang ia rasakan.
Masuk ke peralatan 2 mengakui perasaan dengan tulisan. Ini berguna saat anak yang suka merengek sesuatu ketika pergi berbelanja daripada menjelaskan kepada anak alasannya tidak perlu merengek. Lebih baik kita menulis daftar keinginannya. Hm, bukankah itu membuat anak mengira semua keinginannya akan dipenuhi? Nope, justru cara ini dapat mencegah anak mengamuk dengan mengakui perasaan anak tanpa memanjakannya. Misal saat ia melihat mainan baru di mall, kita bisa bilang, “Kamu ingin sekali robot itu ya, ayo kita tulis didaftar keinginan” sehingga tidak langsung ditolak keinginannya namun orangtuanya mau mendengar apa yang ia rasakan saat menginginkan sesuatu dan secara tidak langsung menunda keinginannya.
Mengakui perasaan dengan seni sebagai peralatan 3, karna terkadang peralatan 1 dan 2 tidak cukup. Misal, anak yang terobsesi dengan kereta api namun rel kereta apinya hancur berantakan, sebelum ia meledak, penulis tidak mengatakan, “Tidak apa-apa, kita bisa memperbaikinya” namun mengakui perasaannya dengan, “Ah, menjengkelkan sekali! Kamu pasti tidak mau keretamu berantakan” lalu menggunakan papan tulis untuk mengajak anak menggambar perasaannnya dengan gambar wajah sedih dan 1 tetes air mata sehingga sang anak merasa didengar bahkan ikut menggambar banyak tetes air mata yang besar seakan mengatakan ia sesedih itu sampai ia puas dan tersenyum kembali.
Tetap saja seorang anak menginginkan sesuatu yang tidak mungkin kita berikan. Biasanya saat kita menjelaskan mengapa kita tidak bisa memberikannya, anak akan marah dan tidak mau mendengar. Jadi mari gunakan peralatan 4; Berikan fantasi yang tak dapat kita berikan dalam realitas. Ketika seorang anak yang merengek dan marah karena tiba-tiba harus pindah kerumah baru, maka penjelasan sulit didengar sehingga kita bisa menggunakan fantasi setelah sebelumnya mengakui perasaan kalau ia benar-benar sedih harus pindah, lalu menanyakan apakah ia mau memilih rumah baru dan bagaimana rumah yang ia inginkan.
Dengan empat peralatan tadi saya jadi menyimpulkan, dalam mengakui perasaan anak agar ia dapat berkomunikasi dengan baik kepada orangtua tanpa meledak-ledak, maka kita harus menangkap emosinya, tidak memanipulasinya, dan memahaminya seperti kalimat “Yaampun, menyebalkan sekali! Hari ini parah sekali, semua orang menyudutkanmu”. Bahkan terkadang kita harus menahan keinginan untuk menanyai anak yang sedang jengkel khususnya ketika ia tidak tau alasan ia marah. Frasa-frasa semacam “Kamu tampak bersedih”, “Pasti terjadi sesuatu”, “Ada yang bikin kamu kecewa” akan memancing anak bercerita.
Peralatan terakhir di bab pertama yaitu akui perasaan dengan perhatian (yang hampir) tanpa suara. Cara ini mungkin tidak begitu menarik tapi efeknya besar. Cukup berempati dengan kata, “Wow, “Oh”, “Mmm”, atau “Wah”. Tentunya dibarengi dengan telinga kita yang mendengarkan mereka atau menggeram dengan simpati untuk memasuki perasaan anak. Tanpa perlu tiba-tiba memberi nasihat, pertnyaan ataupun koreksi supaya tidak mencegah mereka berproses. Karna yang paling penting dan perlu kita berikan pada mereka adalah perhatian penuh dan kepercayaan untuk melakukan semua itu.
Wow, saya akui satu bab saja seakan sudah mengajari kiat-kiat mengatasi 10 anak yang berbeda karena memang didalamnya mencontohkan beberapa kasus dan penanganan dengan peralatan yang berbeda-beda. Sepertinya buku ini akan tampak lusuh saking seringnya saya buka kembali untuk memberi petunjuk apakah tindakan dan respon saya dalam mengatasi komunikasi dengan anak sudah benar atau belum. Saya sakin masalah anak akan semakin bervariasi seiring umur, tentu satu bab tidak akan cukup! Jadi, tertarik untuk melanjutkan ke bagian berikutnya?
5 notes
·
View notes