Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Masih Ada Waktu
Setahun saya kerap bertikai dengan waktu. Selama libur 2 bulan saya bermeditasi di sebuah biara di Tibet. Meditasi untuk berdamai dengan waktu.
Sebelum pergi saya beli celana. Penjual celana punya kepala aneh yang dierami rambut putih diatasnya.
"Paskah?"Tanya penjual celana.
"Pas!" Jawab saya gembira.
"Celana itu dibuat ketika Maryam sedih menyaksikan anaknya," penjual celana menambahi.
Untuk menambah penghasilan,penjual celana juga nyambi reparasi jam.
"Saya amat-amati, bapak sudah punya lapak disini sejak saya usia belia. Sebetulnya sejak kapan bapak disini?" Tanya saya.
"Lupa."Pendek saja penjual celana menjawab.
"Kira-kira?"Saya mencecar.
"Lupa. Saya orangnya pelupa."
"Tinggal dimana?"
"Saya juga lupa."
"Loh, kok lupa semua?"
"Lupa: mata waktu yang tidur untuk sementara. Itu sebabnya saya berprofesi sebagai tukang servis jam. Tak lain untuk terus membangunkan waktu.
Pernyataannya membuat saya terus merenung.Saya ngacir saja sambil memakai celana baru.
Saya naik bis untuk pergi ke Tibet. Karena sepeda saya sudah dibawa ke neraka. Saya duduk dengan seorang kakek yang memakai topi pet.
"Anak muda, yang fana hanya waktu, kita abadi," saya tercengang. Orang tua itu seolah tahu gejolak yang ada di kepala saya.
"Oh iya?"Tanya saya.
"Renungkan!"
"Di kehidupan saya, Kek, yang fana itu adalah kita, uang yang abadi."
"Tuan, Oh, tentu bukan Tuhan. Sebentar, saya mau keluar."
Saya sampai di Tibet. Di depan biara saya bertemu rahib kecil yang memakai jubah berwarna merah.
"Ini pukul berapa? Jam saya masih jam Indonesia." Tanya saya.
"Pukul? Jam? Apa itu?"
"Waktu! Waktu!"Saya menegaskan.
"Waktu,kawanku, adalah detik-detik arloji yang merongrong nafas kami sebelum acara dimulai."
Jawabannya kontradiksi. Ya sudah, saya tinggal saja. Sekilas wajahnya mirip Ali Fakhruri, kawan saya yang acapkali mendekam di balik panggung.
Di biara saya bermeditasi selama 2 bulan. Saya bertemu Lama Lobsang Rampa. Di samping saya ada seorang pria yang sudah lebih lama bermeditasi. Kata Lama, ia Stephen Hawking yang ingin meresapi teorinya, segalanya tentang waktu.
Holiday telah usai. Saatnya pulang. Waktu; kini ku paham. Waktu sekedar hitungan, yang melingkar, kekal di kehampaan.
*)Beberapa kutipan meminjam sajak Jokpin, SDD, dan lirik lagu Silampukau.
20 Februari 2017
0 notes
Text
Kebohongan Pencegah Bunuh Diri
[Rekaman percakapan Sindikat Reparasi AC yang beranggotakan Yog, Pog, Rob, di sebuah kontrakan yang hampir habis masa pemakaiannya yang selalu menimbulkan suara tes-tes-tes disebabkan dari keran bocor yang tak kunjung diperbaiki. Direkam dengan alat penyadap yang ditempelkan di tubuh kucing yang biasa menyambangi kontrakan tersebut.]
Y: “O harus meralat pernyataannya. Yang sulit itu bukan menjadi manusia tapi jadi pemimpin!”
P: “Loh, memang pemimpin bukan manusia?”
Y: “Pemimpin bukan manusia. Manusia itu harusnya selalu jujur dan tak pernah bersikap pura-pura. Kalau pemimpin bertingkah laku seperti manusia seutuhnya, bisa kacau semua.”
P: “Tapi lebih sulit rindu deh kayaknya.”
Y: “Rindu: mikirin duit?”
P: “Mikir duit buat apa lagi?”
Y: “Duit buat membeli idealismemu.”
P: “Bukanya idealisme sekarang dijual murah?”
Y: “Oh, itu sudah jelas dan tak diragukan lagi. Terus kamu mau makan apa? Makan puisi? Makan caption Instagram? Kemewahan yang harus dimiliki oleh pemuda itu bukan idealisme tapi kesadaran. Kesadaran bahwa disekelilingnya benar-benar fana. “Urip iki serba settingan.” Begitulah kata seorang nabi tepat sebelum mengakhiri masa kepemimpinannya. Jadi serba curiga nih dalam menjalani hidup. Kepalsuan dimana- mana. Kepalsuan dimana-mana.”
P: “Sepertinya begitu. Hidup memang terlalu panjang untuk dipikirkan. Terlalu pendek untuk dijalani.”
R: “Gabung Freemason aja yuk.”
Maret, 2018
0 notes
Photo
Cerita Tentang Wellington Reis dan Arliston de Oliviera: Pemain Asing Pertama yang Pernah Memperkuat PSIS Semarang
Kala itu malam larut perlahan. Demikian melankolis lantaran pada pertengahan Agustus 1996 tepat pada beberapa waktu selepas berakhirnya putaran Kompetisi Liga Dunhill(LDH) atau Kompetisi Liga Indonesia II, di Segara Cafe Hotel Graha Santika, dua pemain asing yang sudah membekas secara dalam kesannya, yaitu Wellington Reis dan Arliston de Oliviera pamit untuk pulang ke negara asalnya, Brasil. Acara kecil yang dihadiri oleh Walikota Semarang pada saat itu sekaligus Ketua Umum PSIS Semarang, H. Soetrisno Soeharto, dan Ketua Harian PSIS, Ir.H.Tubagus Mochtar, beserta segelintir wartawan dari sejumlah media untuk ikut serta dalam pelepasan dua legiun asing yang sudah 10 bulan memperkuat PSIS itu berlangsung sederhana saja. Diceritakan, atmosfer di ruangan tersebut digelayuti rasa haru pada setiap orangnya. Melepas punggawa kebanggan. Yang akan terus abadi dalam ingatan.
Sebelum dimulai bergulirnya Liga Indonesia II. Beberapa klub diberikan subsidi oleh PSSI untuk merekrut pemain asing. Tepatnya PSSI akan bekerja dengan Promotor Liga Indonesia untuk memberikan subsidi pemain asing kepada klub peserta divisi utama baik tim itu bekas Galatama maupun Perserikatan. “Kalau pada kompetisi sebelumnya subsidi pemain asing diberikan kepada klub eks-Galatama, maka untuk kompetisi mendatang subsidi ini diprioritaskan kepada klub perserikatan,” kata Sekretaris Umum PSSI, Soeparjo Pontjowinoto. Adapun klub-klub yang akan diberikan jatah subsidi pemain asing tersebut adalah PSIS dan PSMS dengan 2 pemain, Persiku 1 pemain. Sementara untuk Persebaya dan PSM juga 2 namun menambah sendiri dengan bantuan usaha yang dimiliki kedua klub tersebut. Lalu untuk eks-Galatama hanya Gelora Dewata Denpasar dan Arema Malang. Regulasi tersebut disambut gembira oleh Walikota sekaligus Ketua Umum PSIS, H. Soetrisno Soeharto, dan manajer yang memiliki kepedulian tinggi terhadap PSIS, Ganang Ismail, serta hampir semua suporter PSIS Semarang(pada waktu itu belum lahir kelompok suporter Panser Biru dan Snex). Disamping sebagai peningkat prestasi tim, juga dapat dijadikan daya tarik lebih bagi pecinta bola Semarang yang pada saat bersamaan juga dipisahkan fanatismenya oleh adanya klub BPD Jateng.
Dikarenakan masih awam, dan bisa dibilang dari sebuah rintisan untuk kemajuan, pada waktu itu dalam pencarian talenta pemain asing, PSSI adalah garda paling depan. Yang dimana melalui Promotor Liga Indonesia yang salah satu pengisinya bernama ISA (International Sport Association). Pemain asing pertama yang datang adalah Marcos Roberto Alves Neves yang berposisi sebagai striker dan Nunes Dos Santos sebagai gelandang. Ketika mereka dicoba untuk menunjukan kemampuannya melalui sebuah sesi uji coba melawan Arema Malang di stadion Citarum, permainannya sungguh mengecewakan. Dengan label pemain Brasil yang sudah tercitrakan sepak bola indahnya lewat Romario, Rivaldo, dan Pele; alih-alih menunjukan teknik tinggi malah bermain buruk. Dari permainannya tersebut menciptakan olok-olok suporter yang untungnya kedua pemain itu belum terlalu paham bahasa Indonesia. Bahkan Cornelis Soetardi, pengamat sepak bola Semarang, langsung berkelakar. “Permainannya tak lebih baik dari Samuri,” pemain PMC(nama klub liga amatir kompetisi yang dilaksanakan oleh Pengcab PSSI kota Semarang) yang selalu duduk di bangku cadangan. Tidak perlu lama-lama, mereka langsung dikembalikan kepada PSSI. Kemudian datang lagi satu pemaing asing yang berasal dari Nigeria. Ia adalah Jim Omoruyi. Tetapi, ia mendapatkan nasib serupa: langsung dicoret tanpa menunggu waktu lama.
Buah kesabaran dan usaha akhirnya tiba. Selasa, 14 November 1995. Tahun dan hari dimana Wellington Reis dan Arliston de Oliviera pertama kali menginjakan kaki di kota Semarang. Awalnya mereka tidak hanya berdua. Ada satu lagi pemain dengan KTP yang sama dengan mereka. Ialah Aristeu Rosa. Namun sayang, nasibnya tak semujur kedua kawannya tersebut. Oleh sebab dibekap cedera, Solekan, pelatih kepala pada saat itu tidak merekomendasikannya kepada manajemen. “Rosa sebetulnya mempunyai otak yang brilian. Visinya bermain dapat dikatakan baik. Namun, cedera mengahambat mobilitasnya,” ujar Solekan usai uji coba melawan Mataram Indocement dalam catatan arsip Suara Merdeka, Kamis 16 November 1995.
Wellington dan Arliston, pada esok harinya, langsung memukau tatkala kemampuannya dijajal oleh pelatih Solekan beserta asistennya pada saat itu, yaitu Edi Paryono dan Dullah Rahim di lapangan Banteng Raiders(BR), Srondol. Di saat yang bersamaan, PSIS memang tengah menjalani pemusatan program latihan selama 6 Minggu di markas tentara tersebut. Karena latihan libur, Solekan hanya mengajak beberapa pemain, yang di antaranya adalah, Alfian Tanjung dan Purwono sebagai kiper, serta Sugiono, Anton Wahyudi, Widiyanto, Faisal Maricar dan M. Dhofir untuk menjadi partner dalam melaksanakan pengetesan melalui satu unit pertahanan yang dimaksudkan menjadi penghalang pemain Brazil tersebut. Dalam sesi tersebut, Wellington benar-benar menunjukan kemampuannya. Kedua kakinya hidup dan tandukannya pun mematikan.
Namun ujian tidak pada latihan itu saja. Wellington dan Arliston diberi ruang dalam penunjukan skil lewat uji coba melawan Mataram Indocement. Tidak seperti PSIS, Mataram Indocement telah lebih dulu menetapkan ketiga legiun asingnya, mereka semua adalah: Jaison Rocha, Jaldecir Jesus Dos Santos dan Jose Gabriel Moreira. Singkatnya, laga yang dilaksanakan di Stadion Jatidiri itu akhirnya dimenangkan oleh PSIS dengan skor 1-0. Gol dicetak oleh Jessie Mustamu yang juga kapten tim berjuluk Mahesa Jenar tersebut, berkat dari sontekan Arlison de Oliviera yang muntah karena tak sanggup ditepis kiper Mataram Indocement yang kemudian disambar secara cepat. “Wellington punya naluri yang bagus, terlihat dari sesi latihan kemarin dan pergerakannya yang menyulitkan lawan. Kalau Arliston dia punya mobilitas yang bagus sebagai seorang gelandang. Umpan-umpannya pun akurat. Hanya sayang dia lupa bawa sepatu yang khusus untuk lapangan basah. Nomornya 43. Di Semarang tidak ada.” Ungkap Solekan selepas pertandingan. Hasil dari permainan kedua pemain asing pada uji coba itulah yang menjadi acuan Solekan untuk merekomendasikan kepada manajer tim, Ganang Ismail, agar segera dikontrak.
Wellington punya karier cemerlang sebelum merambah sepak bola Indonesia. Menjadi top skor kompetisi yunior 1991/1992 dengan 25 gol kemudian berpindah ke Redencao 1989/1990. Setelah itu ia Esperto Clube Uniao Bom Retiro sebelum memasuki kasta profesional dengan klub Associacao Atletica Bon Suceso 1994 dan Colegio Fute sou Clube. Sementara Arliston malah sudah memperkuat tim ternama di Brazil dengan mengawali karier di Fluminese, 1992. Setahun kemudian memperkuat Madureira, lalu sebelum ke PSIS ia bermain di Sao Cristavo.“Saya gembira saat ditawari bermain di Indonesia. Saya tidak peduli dengan persepakbolaan di sini, yang penting bisa main di luar negeri,” tukas Arliston saat ditanyai kesan-kesan setelah bermain di Indonesia.
Selama mengarungi kompetisi setahun penuh. Wellington Reis dan Arliston de Oliviera mampu memenuhi harapan jajaran manajemen dan pelatih: mampu menyedot daya tarik masyarakat untuk lebih terdorong agar menyaksikan PSIS pada setiap pertandingannya, serta mampu mengangkat prestasi tim dibanding pada musim sebelumnya. Hal itu terlihat dari jumlah gol yang mereka catatkan. Wellington dengan 13 gol dan Arliston 7 gol. Meskipun dari segi urutan pada klasemen, PSIS belum mampu menyamai tim-tim yang lebih kuat dalam Kompetisi Liga Dunhill(KLD) II, seperti PSM dan Mitra Surabaya, misalnya.
Kehidupan di Semarang
Wellington Reis dan Arliston de Oliviera dapat dikatakan cepat beradaptasi dalam budaya Indonesia khusunya Semarang. Dalam penguasaan bahasa, salah satunya. Bahkan mereka lebih cepat menguasai daripada Carlos de Mello legiun asing milik Mitra Surabaya pada kala itu. Hal lain adalah adaptasi dalam penyesuaian waktu. Jika di Semarang mereka harus berlatih pada pukul 15.30, di negaranya pada pukul tersebut adalah masih pagi, dan tentu orang-orang masih terlelap dalam tidurnya. Begitupun dalam makanan. Sajian makanan-makanan pedas yang sudah mengakar di Semarang menjadi salah satu kendala pada masa-masa awal mereka berdomisili di Semarang. Namun dengan cepat mereka dapat mengatasi kendala tersebut, terutama Wellington yang lebih bandel mencicipi masakan Semarang daripada Arliston yang setelah 2 bulan baru tak gentar menyantap makanan-makanan pedas. “Sekarang saya sudah doyan makanan pedas. Awalnya saya merasa tersiksa dengan makanan Indonesia yang rata-rata dibumbu cabe,” tutur Arliston suatu ketika.
Di tengah-tengah kesibukannya untuk terus berlatih dan mengarungi kompetisi, Wellington dan Arliston tidak lupa menyempatkan waktu untuk rekreasi agar melepaskan penat barang sejenak. Biasanya mereka berjalan-jalan di Simpang Lima dan sekitarnya. Sedikit-banyak, masyarakat Semarang sudah tidak asing lagi dengan kedua wajah pemain yang telah menjadi idola banyak orang tersebut. Kemana-mana mereka selalu bersama. Banyak yang sudah mengakui kekompakan mereka. Betapa tidak? Di dalam maupun di luar mereka tak ubahnya kacang beserta kulitnya. Di penginapan pun mereka tidur di kamar yang sama, kamar no.3 di Hotel Mahkota. Sebagai gelandang Arliston memilik umpan-umpan akurat yang kerap diselesaikan oleh Wellington yang memiliki naluri membunuh tajam. Yang pasti mereka tak pernah menyusahkan teman-teman satu timnya. Salah satu hal yang unik adalah Oliviera menggemari bahkan hafal syair lagu Tenda Biru. Salah satu faktor yang membuatnya hafal lagu tersebut adalah, kebiasaannya dalam menirukan omongan rekan-rekannya seperti Akhmad Wiryo, M. Dhofir, dan Lulut.
Cukup diketahui bahwa Wellington Reis dan Arliston de Oliviera telah menjadi idola publik pecinta sepak bola Semarang. Ketika mereka berjalan-jalan tak jarang ada yang tiba-tiba minta foto atau tanda tangan. Itulah mengapa tidak hanya sekali saja mereka mengungkapkan kecintaannya pada Semarang dan masyarakatnya. Terutama dengan wanita-wanita Semarang. Tidak sedikit yang mencoba untuk datang ke penginapan mereka. Terakhir kedua pemain ini menjalin ‘pertemanan yang cukup dekat’ dengan atlet PON XIV Jateng, Rini dan Dwi Setyorini. Dan salah satu sebab mereka dengan cepat menguasai bahasa Indonesia adalah karena tak lain lingkungan tempat tinggalnya di Hotel Mahkota. Pemilik Hotel Mahkota dan putri-putrinya sudah seperti keluarga sendiri. Sekalipun terdapat tv di kamar, namun mereka tetap menonton tv bersama keluarga pemilik Hotel Mahkota. “Saya sangat suka masyarakat Semarang. Jika saya datang ke Indonesia lagi dengan undangan PSSI, saya pasti akan memilih PSIS. Saya masih cinta Semarang dan PSIS,” ucap Wellington yang tercatat dalam arsip Suara Merdeka, Kamis 23 Agustus 1996.
Wellington Reis dan Arilston de Oliviera adalah bagian dari catatan perjalanan PSIS Semarang; pasang-surut, hancur dan kemudian bangkit kembali, dan mungkin terus tumbuh untuk seribu tahun lagi. Entah tidak ada yang tahu Wellington dan Arilston kini sedang dan menjadi apa. Bahkan hanya segelintir orang saja yang mungkin mengingat kiprah mereka: orang-orang yang pernah menyaksikan mereka dan pemain-pemain yang pernah bermain dengannya, yang kini juga sudah menjadi pelatih untuk mewarnai jagat sepak bola Indonesia. Ada penggalan penuturan Arilston de Oliviera yang menjadi sebuah ironi, dan yang kemudian patut untuk kita renungi: “Saya gembira saat ditawari bermain di Indonesia. Saya tidak peduli dengan persepakbolaan di sini, yang penting bisa main di luar negeri.”
Acuan Referensi:
- Data dan foto berdasar arsip-arsip koran Suara Merdeka edaran 1995 hingga 1996
0 notes
Text
Selamat Ulang Tahun. Kami Ucapkan
“Kau jangan mati dulu. Nanti kuberi kejutan.”
Itu adalah suara yang selalu saja keluar di akhir pemutaran lagu ciptaan Bastian Steel yang berjudul Takkan Menyerah saat dimanapun ia mendengarkannya. Anehnya penggalan pesan yang muncul di akhir lagu tersebut hanya di didengar oleh Bastian. Tampubolon, sopirnya, yang juga merupakan salah satu pembenci lagu-lagu Bastian karena menurutnya, lagu ciptaan Bastian tak lebih sedap didengar daripada suara wanita yang terus saja mengingatkan untuk membayar pajak dan memakai sabuk pengaman yang tak pernah berhenti mengeluarkan suara di speaker lampu merah itu pun merasa tidak pernah mendengar penggalan pesan misterius yang didengarkan Bastian tersebut. Bahkan menurut Tampubolon lagi, lagu terakhir atau sumber dari permasalahan itu tidak sesuai judulnya, namun lebih seperti untuk menyemangati orang ketika mendorong mobil mogok. Begitupula dengan asistennya, kawan-kawan tajirnya, maupun penggemar labil yang selalu memenuhi kolom komentar ketika setiap kali ia memposting sesuatu di akun sosial medianya.
“Kejadian misterius gue alamin akhir2 ini. Saat gue dengerin lagu Takkan Menyerah, gue seperti mendengar ada orang yang ngomong “Kau jangan mati dulu. Nanti kuberi kejutan” Apa manteman juga mengalami kejadian yang sama?,” tulis Bastian di kolom komentar di sosial medianya. Kemudian, ya, kaum biri-biri berdatangan.
“Enggak tuh. Ah, Babas kecapen mungkin.”
“Iya, enggak tuh. Kok syereem sih.”
“Coba tanya @mbahmijan.”
“Aku enggak.”
“Iya, enggak.”
Hingga akhirnya penggalan pesan itu terus saja berdenging di rambut kriwil Bastian terlebih ketika ia, tentu saja pada beberapa waktu terakhir, menuai teror-teror aneh semenjak ia berpacaran dengan Chelsea Islan. Kali ini adalah teror kelima. Bastian. Sebuah tisu gulung dengan jumlah yang tidak sedikit memenuhi bagian belakang mobil Bastian. Kontan Bastian terkejut bukan main tatkala tisu-tisu gulung tersebut membeludak saat ia membuka pintu mobilnya.
Itu belum seberapa. Mungkin teror kali ini tidak sengeri teror-teror sebelumnya. Pernah pada teror yang kedua Bastian dibuat mengenakan topeng selama manggung di suatu kota yang—untungnya juga berada jauh di luar Jawa—sehingga, dengan dibantu manajemennya agar berita tersebut tidak tersebar, masih jauh dari endusan media. Itu semua gara-gara ketika Bastian mencuci muka di wastafel, air tiba-tiba saja berubah menjadi panas. Alhasil, Bastian yang alergi air panas, wajahnya memerah tak karuan,. Padahal itu sudah beberap menit sebelum memasuki panggung. Memang teror ini lebih tragis daripada teror yang terakhir. Namun masalahnya, setelah dicermati lagi pada hampir semua tisu-tisu tersebut dibubuhi tulisan, “kau jangan mati dulu. Nanti kuberi kejutan.”
Teror datang dari pembeci Bastian. Tadinya mereka hanya menghujat di sosial media namun kini mereka melakukannya melalui aksi nyata. Tadinya Bastian tidak peduli karena hanya sebatas di dunia maya, namun kini mereka melakukannya di dunia nyata. Mulanya adalah minuman jeruk Bastian yang dipesan di sebuah restoran cepat saji, namun yang didapati bukan minuman rasa jeruk dengan bongkahan es batu yang menyegarkan, melainkan diisi oleh petis yang biasa dimakan bareng tahu pada varian gorengan. Bastian marah-marah kepada para pegawai namun tidak ada satupun dari mereka yang mengaku melakukan hal mencengangkan tadi. Dan akhirnya pun Bastian sendiri juga mengaku kalau ia melihat sendiri proses pengemasan minuman tersebut. Itu adalah teror pertama. Teror kedua seperti yang sudah disebutkan tadi. Teror ketiga rumah Bastian yang seringkali diliput kanal info selebrita itu didatangi sepuluh anjing yang kemudian nyalaknya memekakan kuping Bastian di suatu pagi. Ketika dihampiri anjing itu sudah pergi sendiri. Kemudian teror keempat dimana pada suatu hari, seharian penuh tubuhnya mendapat jebretan karet yang entah siapa yang melakukannya.
“Woy, kerjaan siapa nih? An***!”
Sekencang apapun ia berteriak-teriak maupun marah-marah tidak ada yang berkutik: pada skala kecil orang-orang akan menunjukan raut wajah yang memerah atau bisa saja tak kuat menahan tawa karena geli melihat ekspresi konyol orang yang dikerjainya. Namun ini, sama sekali tak menunjukan ciri-ciri yang demikian. Bastian tahu perihal seperti itu karena ia juga sering mengerjai teman-temannya. Bastian tahu kalau dijebret karet itu bukan sakit yang dirasa tapi menghasilkan rasa sebal yang luar biasa. Bastian tahu itu semua adalah bentuk kekesalan mereka karena dirinya memacari Chelsea Islan. Bastian sungguh bingung. Kenapa semua orang, kecuali penggemar fanatiknya tentu saja, tidak terima atas hubungannya dengan Chelsea Islan. Apa salahnya jika dia memacari perempuan yang 5 tahun berada di atasnya. Apa salahnya jika ia memacari perempuan cantik dengan segudang prestasi yang telah diraihnya. Sementara teror kelima adalah apa yang barusan terjadi. Dan seperti biasanya penggalan pesan yang berbunyi “kau jangan mati dulu. Nanti kuberi kejutan,” acap berdenging di kepala Bastian.
Belum selesai Bastian dikejutkan teror kelima tadi, datang teror lagi. Dua orang yang diperkirakan berusia dua puluhan dengan mengenakan topeng kera menggeber sepeda motor lalu menempatkan diri di samping mobil Bastian. Dari balik kaca tampak Bastian sedang menunduk menatap gawainya. Dua orang tersebut menanti Bastian untuk menoleh ke arah mereka. Tak kunjung menoleh kedua orang tersebut mengetuk kaca mobil Bastian. Dengan mengacungkan jari tengah kedua orang tersebut melemparkan sekantung palstik yang berisi kotoran sapi. Tindakan itu membuat Bastian terperanjat dan kontan saja dengan mengumpat-umpat Bastian menghimbau Tampubolon untuk langsung mengejar kedua orang yang melempar kantung kotoran tadi.
“Sialan! Kejar. Kejar mereka, Bolon!”
Namun percuma. Seberapa cepat Tampubolon memacu mobilnya itu, kedua orang tadi sudah lenyap. Sepertinya melesat ke dalam sebuah kampung yang berada di dekat situ.
Hidup tidak bisa diperlakukan seperti ini terus, kata Bastian, seraya membanting tas punggungnya di kursi ruang tamu begitu ia memasuki rumah. Semua teror ini menimpanya seakan-akan ia ketua KPK yang bandel membuka kepalsuan yang tertutup citra politisi atau juga seakan-akan ia adalah tokoh subversif yang berniat menggulingkan rezim. Ia hanya memacari Chelsea Islan, sekali lagi. Apa salahnya? Untuk kesekian kalinya Bastian benar-benar tak habis pikir dengan semua ini.
Hanya tersisa Danila yang tak lain adalah manajernya. Itu juga oleh karena sepupu Bastian sendiri. Jadi, dikarenakan demi menjaga hubungan baik antakeluarga, Bastian tak pernah berani untuk memecatnya. Faktor lain adalah karena ia sudah kenal Danila sejak kecil. Bastian tahu bagaimana karakteristik Danila, sehingga ia tak memiliki niat untuk memecatnya. Beberapa asistennya sudah Bastian pecat menyusul kecurigaan atas teror-teror yang baru-baru ini Bastian alami. Satu lagi yang tersisa adalah Tampubolon. Yang satu ini pengecualian. Bastian menyukai Tampubolon. Ia orang yang jujur. Uang seribu rupiah yang tertinggal di mobil pun tidak Tampubolon embat, melainkan tetap diberikan kepada yang punya. Kadangkala ia juga dapat dijadikan sebagai media pendengar keluh-kesah Bastian. Tampubolon tak ubahnya wastafel di setiap rumah. Bastian membutuhkannya sebagai tempat untuk membuang riak ataupun mencuci tangan dengan siraman petuahnya. Meskipun, sebetulnya, Bastian sendiri juga tahu kalau Tampubolon tidak menyukai lagu-lagu ciptaannya, sekaligus juga mengetahui kalau lagu-lagu Bastian tak lebih baik dari suara wanita yang terus saja menyerukan untuk tidak lupa membayar pajak dan memakai sabuk pengaman. Cercaan itu ia dapat dari salah seorang penggemar yang dimana penggemar tersebut menguping dari salah seorang asisten yang sedang mengelap sepatu Bastian yang kata asistennya diberitahu oleh ibu Bastian yang katanya juga dapat dari Tampubolon yang keceplosan ketika sedang ngobrol berdua. Bahkan ibunya mengamini pendapat Tampubolon tersebut.
Tak bisa dibiarkan lama lagi. Bastian bergegas melaporkannya ke pihak yang berwenang. Ia tak bisa terus-terusan hidup mencekam. Jika dibiarkan teror-teror ini akan semakin membabi-buta. Kalau tidak nyawanya yang bakalan kena, bisa-bisa ia juga gila karena semua ini.
Beranjak memulai perjalanan, mobil Bastian dicegat oleh kawanan banci-banci yang terkekeh-kekeh membawa AK-47. Kepanikan melanda Bastian. Bulir-bulir keringat bercucuran dari tubuhnya.
“Teror macam apa lagi ini? Oh, jangan ke sini, apa yang akan mereka lakukan?”
“Keluar kau!” Teriak salah seorang dari sekian banci.
Betapa mengerikan, banci-banci itu berhaha-hihi menggedor-gedor pintu mobil memaksa untuk membukanya. Banci-banci itu berhaha-hihi menggedor-gedor pintu mobil memaksa untuk membukanya lalu menyeret dengan kasar tubuh Bastian agar keluar dari mobil. Banci-banci itu berhaha-hihi menggedor-gedor pintu mobil memaksa untuk membukanya lalu menyeret dengan kasar tubuh Bastian agar keluar dari mobil yang kemudian ia dibius agar Bastian pingsan karena akan dibawa ke suatu tempat dan banci-banci yang membuat Bastian dalam kondisi mencekam itu seketika mengingatkannya pada seorang penulis yang ia kira adalah seorang waria dengan nama Tere Liye.
----xxx-----
Tiba-tiba saja Bastian berada di sebuah ruangan yang gelap. Banci-banci yang menculik Bastian tadi kini telah berdiri di hadapannya. Di sebuh kursi, Bastian terduduk dengan tangan dan kaki terikat. Keringat masih menetes, kian membanjiri tubuhnya. Banci-banci tadi tampak akan menodongkan Ak-47-nya tepat di jidat Bastian.
“Apa salah gue? Tolong jangan sakitin gue!,” Bastian meronta-ronta. Kini ia menangis sejadi-jadinya.
“Diam. Jangan banyak bergerak!” Sergah Banci itu.
“Tolooongg!!!Tolooongg!!Tampubolon…mamah….Danila..”
“Gue kata, lo jangan bnyak bergerak karena kalau lo bergerak, lo akan..”
Lampu-lampu menyala. Banyak orang memenuhi ruangan. Serpihan-serpihan kertas warna-warni ditembakan. Ruangan dipenuhi dekorasi ulang tahun. Banci-banci melepas rambut palsunya namun tetap berhaha-hihi. Datang Danilla beserta beberapa penggemar fanatik membawa kue ulang tahun.
“Selamat ulang tahun. Kami ucapkan.”
‘Yeyy, selamat ya, Bas.”
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekrang juga.”
��Selamat ulang tahun. Kami ucapkan.”
Lalu terjadilah suasana meriah ulang tahun pada umumnya. Terdapat berbagai makanan untuk menyemarakan pesta ulang tahun Bastian yang ke-17 itu. Musik yang keras berdentuman. Semua orang menari-nari. Semua orang gembira. Saling mengabadikan di Instastory masing-masing akunnya.
Namun tidak dengan Bastian. Bastian masih terkejut dengan semua telah terjadi. Bastian masih belum bisa bahagia meski ini adalah ulang tahunnya. Bastian tercekat. Mengambil minum Bastian menuju beranda rumah untuk menenangkan diri. Ia berharap ada orang yang datang untuk menjelaskan semuanya.
----xxx-----
“ Selamat ulang tahun, Bastian. Kami ucapkan.”
“ Chelsea?”
“Bayangkan kita ini adalah remah-remah roti yang tinggal menunggu waktu dipungut kawanan merpati setelah dilempar oleh sesorang yang hidupnya penuh kemuraman. Atau barangkali kita harus ikut merasakan bagaimana menjadi kumpulan semut-semut yang merayapi kakimu lantaran ingin menghisap seteguk gula yang hinggap di betismu, namun dengan sigap tangan besarmu melayang untuk menampar tubuh-tubuh kecil kami. Lalu apakah seekor kecoa patut kita usir dan takuti kalau memang bahwasanya ada sesuatu yang menjelaskan kalo ada hal-hal tertentu di dunia ini yang perlu diremukan dan dibikin pahit hidupnya. Tak ada yang lebih berharga daripada menjadi orang yang melankolis karena menangisi potongan-potongan abu dari kayu yang tak sempat jadi api.”
“Apa maksudmu? Aku tak paham yang kau bicarakan? Oh, sekarang kau berlagak seperti penyair? Atau, apa? Omonganmu yang barusan seperti alien yang baru turun dari pesawatnya. Pergi kemana kau beberapa hari ini?
“ Termasuk semua teror-teror tersebut. Begitulah cara kerja kami: digunakan untuk membentuk pola pikir artis-artis baru. Setelah ini, sebagaimana artis yang biasa terpampang di layar televisi itu, kau akan berperilaku seperti mereka. Pandai mencari sensasi, membuat retorika, memanfaatkan segala situasi untuk meningkatkan pamor, bahkan merancang tragedi apabila daya jualmu sudah tak laku lagi, seperti membuat sebuah pertengkaran dengan sesama artis, misalnya. Ini adalah bagian dari prosesi artis-artis Indonesia. Mereka semua diciptakan. Termasuk aku adalah salah satu agen yang memiliki tugas untuk melakukan pembentukan pola pikir dan perilaku artis-artis tersebut. Semua ini adalah fiktif. Sengaja dibuat sebagai sebuah metode. Jika kau masih berpikir bahwa aku benar-benar pacarmu, tentu aku sungguh ingin cepat-cepat menembakmu dengan sinar Alat Penghapus Ingatan. Perlu kau ketahui, untuk tugas yang menjadikan aku harus berperan sebagai pacar sudah kulakukan lebih dari puluhan kali, dan aku tak berniat menghitung kau adalah urutan yang ke berapa. Ingatan tentang teror-teror dan khususnya bagian tentang diriku yang berpacaran denganmu akan seluruhnya dihapus. Yha, benar, seperti adegan di dalam film Men in Black itu. Lagipula siapa yang benar-benar mau pacaran dengan bocah belia seperti dirimu. Hanya orang tolol dan sudah terlanjur sinting yang benar-benar mau. Yang bukan fiktif pastinya adalah hari ulang tahunmu. Jadi selamat ulang tahun, kami ucapkan. Selamat menjadi artis dengan segala kehidupannya. Ini rahasia antarkita saja: aku sebetulnya juga tak tega melihat masyarakat dibohongi terus oleh semua sandiwara artis-artis sialan itu, namun begitulah menariknya panggung selebritas. Panjang umur kepalsuan. Untung saja aku adalah artis yang bergerak di dunia perfilman, profesi murahan menjadi pesinetron dan penjual sensai tak berlaku di diriku. Terima kasih karena kau tak mati dulu. Inilah kejutannya.”
Bastian tidak sempat menimpali jawaban. Ia hanya terlongong-longong menyaksikan penjelasan Chelsea. Sinar Alat Penghapus Ingatan ditembakan. Ingatan Bastian tentang teror dan berpacaran dengan Chelsea Islan lenyap.
“Agen C. Ditunggu untuk tugas selanjutnya,” bunyi sebuah suara dari gawai yang berada di saku Chelsea Islan.
*)13 Januari 2018
0 notes
Photo
Persiapan Bertemu Alien
Persiapan bertemu alien-alien di tahun depan. Kebetulan manusia itu adalah saya. Apapun saya harus menjaga kedamaian dan hubungan antargalaksi. Sekalipun selama ini saya jijik dan skeptis kalau bertemu mereka. Entah kenapa, saya tidak tahu. Saya hanya tidak suka dengan selera humor mereka. Cara bicara mereka yang tak lebih enak didengar dari gongongan anjing di malam hari. Dan juga cara mereka menenggak air mineral. Belakangan saya mendapati alien-alien yang menjelma jadi manusia. Nasibnya berakhir tragis setelah bertemu saya: melupakan adat-istiadat alien dan menjadi manusia seutuhnya. Seperti berak dengan jongkok, misalnya. Maka potong rambut adalah salah satu bentuk diplomasi antargalaksi. Saya menghormati selera mereka dan lagipula rambut saya yang ini adalah peninggalan dari pengikut--kami menyebutnya: Utusan dari Bumi sebelumnya. Yang sudah ya sudah. Tahun depan adalah lembaran baru. "Melayang seperti kupu-kupu. Menyengat seperti lebah. Anda tidak akan bisa memukul apa yang tidak terlihat oleh matamu." Kata manusia setengah alien yang sedang merakit mesin waktu. Mengutip Muhammad Ali, ia memberi tips bagaimana harus berinteraksi dengan alien. Berikut dengan selera humornya.
0 notes
Text
Sajak Pembantu Rumah Tangga
Karena waktu itu hatimu lagi deru campur debu
Maka kugunakan vacum cleaner di situ
Kucuci dan kurawat agar tumbuh jadi kecantikan
Seperti selebaran iklan-iklan
Tapi maaf aku hanya pembantu rumah tangga
Aku tak bisa lama di sana
Tak bisa lama menyapu nestapa
Maaf, ya, Cinta,
Karena aku, kamu jadi meraba-raba tanda
Di Gubuk Derrida
*)18 Oktober 2017
0 notes
Text
Sajak Teh Hangat
Aku mencelup-celupkan hatiku di dalam teh hangatmu
Hanya perasaan yang melebur kecoklatan
Hanya kepalsuan yang tersentuh sedotan
Hanya kumpulan jelaga dandang karena di-read doang
Lalu apakah aku masih sruputan sendu di ujung bibir
Ah, tiba-tiba aku jadi merasa seperti cuwilan cemas di serial catatan pinggir
Kelak, dengan remah-remah daun tehku, aku akan menjegal lelaki hambar yang berkacak pinggang di pinggiran gelasmu, lalu menenggak habis teh hangatmu
*) 23 Desember 2017
0 notes
Text
Kampanye Kontemporer
Bisa dikatakan ini pemrograman alam bawah sadar. Dilakukan secara berulang-ulang sehingga otak anda terlatih dengan hal ini. Anda sebenarnya tak melihatnya tapi melihatnya. Dimulai dengan penampilan angka 2 di setiap momen hidup anda. Kami menampilkan angka 2 di gelas, di papan tulis kelas ketika anda terkantuk-kantuk menyeret tubuh untuk menangkap mata kuliah, kami juga menempatkan di topi pak Hen, pak Hermin, di kantin, di bak truk yang lama mengepulkan asap hitam di depan anda ketika berkendara. Begitupun juga tempat-tempat sulit, seperti saat anda merunduk mengambil uang receh anda yang terjatuh lalu kami menempatkan angka 2 di sepatu orang yang kebetulan lewat atau di kaca spion ketika mata anda silau oleh lampu sorot.
Kami juga menampilkan banyak orang yang mirip dengan saya. Jika akhir-akhir ini anda melihat bayangan-bayangan sekilas orang-orang yang mirip saya, baik itu di kerumunan orang ketika di kantin, di tengah-tengah orang yang sedang harap-harap cemas di bilik suara, atau juga di luar kampus ketika ada orang yang mengendarai motor berlawanan arah dengan kilasan wajah mirip saya; percayalah, itu adalah timses saya yang sedang menyamar jadi saya.
Begitulah cara kampanye kami. Dilakukan dengan cara terapis, dan rahasia. Saya menganggap postingan ini hanyalah kebudayaan populer saja; karena sedang menjadi trend dan bersifat sementara (Hehehe), bukan kampanye yang digembar-gemborkan orang itu. Kampanye tadi menghasilkan sugesti-sugesti yang bergema di kepala anda. Timbul sebuah perasaan yang akan memaksa anda. Lalu ketika mencapai bilik suara pikiran anda akan mengatakan, "Ya, pilih nomor 2." Tentu ditambah dengan kemfamiliaran wajah saya yang sudah kami kendalikan sebelumnya semakin meyakinkan anda untuk memilih saya.
Lalu siapa orang-orang yang bekerja dibalik semua ini atau timses saya? Sekali lagi ini rahasia; bisa jadi timses saya adalah orang-orang di sekitar anda, bisa saja ia timses calon lain, bisa jadi ia juga orang-orang yang tidak pernah anda sangka-sangka, seperti orang yang tidak pernah peduli dengan jurusannya sama sekali, misalnya. Kami melakukan ini sebagai bentuk pelarian. Politik telah terlalu berisik. Pemilu telah memecah-belah persatuan. Hanya kepentingan, kepentingan, dan kepentingan kelompok saja. Namun apalah itu Timses. Untuk organisasi yang ngotot mengusung konsep rumah beserta keluarganya, saya kira timses-timses-an hanya buang-buang waktu saja.
Entah ini seperti politik dengan menghalalkan segala cara seperti yang dikatakan Machiavelli atau tidak. Yang pasti cara kampanye ini dilakukan dengan rahasia, atau mungkin bisa dengan metode lain, atau bahkan semua ini hanya saya yang mengada-ada saja. Saya sendiri tidak tahu. Ah, saya jadi ingin tahu, apakah George Weah yang disebut legenda AC Milan itu benar-benar jadi Presiden Liberia setelah menjadi calon terkuat?
*)16 November 2017
0 notes
Text
Meminjam Jam Tangan Detektif Conan
“Ozza, sudahlah. Saatnya semua kuutarakan disini. Aku sudah tidak sanggup lagi menahan kecamuk yang selalu hinggap. Aku lelah membohongi diriku sendiri. Kini mungkin saat yang tepat. Tidak peduli ini anniversary kita. Persetan dengan semua itu. Aku kira hubungan ini kita sudahi sampai disini saja. Aku memacarimu karena aku kalah taruhan ketika Manchester United dikalahkan oleh Chelsea. Aku tak meyangka tim liga Inggris yang pada tahun itu juara akan dikalahkan oleh raksasa yang sedang terpuruk di peringkat 6. Taruhannya adalah jika kalah aku harus mengungkapkan cinta kepada seorang gadis—aku tak tahu kepada siapa aku harus mengungkapkannya, karena begitu banyak gadis yang kucintai dan aku sepik. Akhirnya sasaranku tertuju kepadamu, karena namamu pada kontak gawaiku bernama Aliando dan itu adalah nama teratas.Aku selalu menamai semua gadis dengan nama-nama samaran. Seperti Dian yang kunamai dengan Margio, misalnya, atau Tisa dengan nama Luhut. Tidak ada alasan khusus sih, cuman lucu saja menamai gadis-gadis cantik dengan nama samaran. Begitupula dirimu, entah tidak ada alasan khusus aku menamaimu dengan Aliando, atau mungkin aku juga sangat benci dengan orang itu, terlebih ketika bertingkah seperti vampir. Asal tahu saja, wajahnya lebih mirip Hulk ketimbang Robbert Pattinson ketika malih rupa jadi vampire dalam serial Twillight. Sesederhana itulah alasan kenapa aku memacarimu. Sayangnya kamu menerimaku, meskipun tantangan dari taruhan itu hanya menembak, tapi berhubung kamu menerima, teman-teman sialan itu memaksaku, jika tidak—oh, kau pasti tahu, Gemblong dan kawan-kawan kerapkali berbuat nekat bahkan gila. Siapa yang tidak khawatir jika berurusan dengan mereka? Sungguh, tak ada alasan yang lebih dramatis lagi. Aku berpacaran denganmu hingga sampai malam ini sudah kuanggap sangat dramatis. Aku punya pacar lagi semenjak hari pertama kita menjalin sebuah hubungan. Juga hari ke sepuluh. Sebulan. Juaga saat ini. Bahkan semua kata-kata gombalku ketika “pra-aku nembak kamu” hanyalah bualan semata. Kau tahu, apa yang aku lakukan setelahnya: di dalam maupun luar hatiku aku tertawa terpingkal-pingkal hingga sampai beberapa hari. Itu semua lantaran setiap ketololan yang aku lakukan terhadapmu, dan tentu kamu percaya itu begitu mudahnya kulakukan. Gelak tawa itu berhenti ketika pada suatu malam aku melihat sekumpulan warga yang sedang beronda menangkap tikus yang terjebak di tong sampah. Salah satu dari warga itu menghampiri tong sampah sambil menggenggam batako di tangannya. Dan tahu selanjutnya apa yang terjadi: salah seorang warga itu membuka secara perlahan tutup tong sampah itu, dan begitu kepala tikus itu nongol; tanpa ampun batako yang digenggam tadi dipukulkannya ke kepala tikus yang nongol tersebut. Ketika semua peronda itu tertawa terbahak-bahak, aku terus saja berpikir: dimana letak lucunya? Disetujui atau tidak, hewan pengerat yang bernama tikus itu, meskipun menjengkelkan dengan kerapkali merusak perabotan rumah tangga, berwarna hitam, menimbulkan bau anyir, dan kemungkinan membawa berbagai penyakit karena aktivitasnya yang sebagian besar dilakukan di selokan itu tetap saja mahluk hidup yang punya kehidupan. Sekarang apa beda peronda ini dengan Hitler yang dengan gampangnya membunuh siapa saja. Peronda itu melakukan dengan sengaja seakan tikus adalah mahluk pengganggu yang pantas dibunuh. Sudah, kita sudahi disini saja, buat apa dipaksa lebih lama lagi. Apa perlu harus kuulangi lagi: kalau selama ini segala ucapan manisku baik di dunia nyata, pesan personal kita hingga komentar-komentar di Instagram yang menandakan kalau kita ini adalah pasangan yang mesra adalah omong kosong. Begitupun semua aktivitas melelahkan yang pernah kulakukan bersamamu. Oh, andaikan saja kau bisa mengerti isi hatiku. Tidak ada rasa kebahagiaan yang mengeramiku. Sungguh dengan segala kejujuran demi menjadi diriku yang sesungguhnya, demi siksaan lantaran aku terus-terus saja tersenyum dan bersikeras bersikap romantis dan demi kewarasan nalarku yang menurutku aku ini sudah kelewatan melacurkan diri; kuakui aku-sangat-menyesal-telah-menjadi-pacarmu.
“Keji. Keji sekali kamu, Azzhar, sudah berkata seperti itu kepadaku. Aku tidak menyangka kamu jadi seperti ini. Entah itu dirimu atau tidak, mudah-mudahan kau tidak melakukan hal seperti ini lagi ke orang lain. Entah itu dirimu atau tidak aku berharap kau mendapat balasan yang setimpal bahkan lebih keji dari ini.. Sungguh menyedihkan. Dasar brengsek! Anjing!.”
----oo----
Semenjak Ozza mengucapkan kata pertama, semenjak itulah ia meneteskan air mata. Lantas berurai lumayan banyak hingga membasahi pipinya kemudian air mata yang menjadi tangisan yang kemudian menjadi sebuah lara yang merajam-rajam dengan tega. Kira-kira adegan apa yang selanjutnya dilakukan Ozza. Menampar lalu pergi? Menyiram air minuman ke Azzhar lalu pergi? Memukulkan botol wiski ke kepala Azzhar sampai pecah berkeping-keping hingga menyebabkan darah mengucur dari kepala Azzhar? Melepas sepatu hak tingginya lalu menancapkan di kepala Azzhar? Tidak perlu diceritakan. Yang patut diceritakan adalah sebelum insiden terakhir pada malam itu aku berhasil menidurkan Azzhar ketika mereka sedang berdua dan memang benar, mereka sedang merayakan anniversary. Dengan meminjam jam tangan Detektif Conan aku menembakkan jarum pembius yang selama ini menjadi senjatanya. Jarum itu melesat tepat di tengkuk Azzhar dan lantas ia tertunduk lemas di hadapan Ozza. Dan pada saat itulah, aku melakukan tindakan serupa seperti Detektif Conan yang acapkali mendalangi pemecahan kasus dengan menyumbangkan suara melalui cara menidurkan pamannya. Aku menyelinap di belakang Azzhar—menggunakan penyamar suara agar suaraku mirip Azzhar—aku berbicara panjang lebar hingga akhirnya berujung insiden konyol seperti tadi. Jahatkah? Tidak juga. Beberapa kejahatan dilakukan untuk kebaikan. Beberapa kebaikan dilakukan juga untuk kejahatan. Jadi mana yang lebih benar?
Paginya gawai Ozza bergetar. Muncul sebuah pesan melalui salah satu aplikasi pesan sosial media. Tercantum sebuah nama: Azzhar.
”Ozza, tadi malam kemana. Kenapa kau tinggal aku di kafe?”
September, 2017
0 notes
Text
Produk Gagal
"Waktu itu memang tinggal beberapa manusia yang harus dirampungkan pengerjaannya.Semua bagian-bagian tubuh telah tertempat di posisinya masing-masing. Segala macam organ dalam dari organ terkecil seperti testosteron, ginjal atau testis yang sekalipun berjumlah dua buah, namun tetap masih bisa hidup kan sekalipun acap dijual satu. Hingga otak, jantung dan paru-paru beserta hal-hal remeh didalamnya. Sedikit bocoran, percaya tidak percaya, isi paru-paru beserta alveolus, plura, dan onderdil-onderdil lainnya jika dibuka lantas dilebarkan luasnya mencapai sebesar lapangan sepakbola--bayangkan saja bagaimana jika ada tukang bersih paru-paru para perokok. Tinggal penyelesaian akhir disana-sini agar menjadi manusia seutuhnya. Antara lain adalah seperti mengelem kuku-kuku pada jari kaki yang meskipun sepele namun harus simetris dan sangat diharuskan untuk tidak tinggi atau besar sebelah. Terlebih apabila mengganggu jemari yang saat itu diperkirakan bakalan mempunyai fungsi yang banyak selain fungsi lamanya pada jemari kiri: buat mengusap lintasan anus sehabis berak. Melubangi hidung, lubang telinga, lubang anus, kemaluan, pusar. Menyematkan bola mata yang tidak boleh sembarang diberikan--membutuhkan proses yang prokoler karena dengan beberapa kenyataan seperti yang sudah terjadi ketika menjadi manusia bahwa mata adalah sumber dari segala kisah--konon disinilah letak roh manusia sesungguhnya. Dan kemudian ketika mencapai pasang dan pengamplasan mulut listrik padam."
Kira-kira begitulah menurut penuturan bekas pegawai pabrik itu, beberapa puluh manusia yang dibuat pada waktu listrik padam itu memang dikenal sebagai kejadian yang mengenaskan. Karena pabrik tidak boleh berhenti bekerja, maka para pegawai, dengan diiringi lampu teplok yang remang-remang, terus menyelesaikan sisa-sisa organ yang sedikit lagi selesai. Begitu listrik nyala, tubuh manusia itu langsung ditiupkan ke dunia, lalu melanjutkan merangkai organ-organ tubuh manusia yang selanjutnya. Petaka terjadi, ada kejanggalan pada saat pemasangan mulut yang kemudian mengalami ketidakcocokan dengan otak. Rencananya otak-otak manusia itu memang diharapkan untuk kemajuan manusia tiap tahunnya. Namun dikarenakan banyak kesalahan pada saat pemasangan mulut, alhasil pada tahun itu tidak sesuai yang diharapkan. Bayangkan ada otak Einstein bermulut Awkarin, ada otak keledai bermulut kancil. Imbasnya, bisa kita ketahui, banyak orang dungu yang mendapatkan Nobel, banyak orang mendapatkan Nobel tapi dikatakan orang dungu. Manusia-manusia itu beranak-pinak, dan kekalutan terus saja terjadi--turun temurun. Selang beberapa pemasangan di tahun-tahun selanjutnya, mereka terus mengupayakan untuk melakukan perbaikan, namun percuma saja, manusia-manusia tadi berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup umat. Ah, betapa produk gagal.
Tahukah kamu, setelah kejadian fatal tersebut, banyak pegawai yang dipecat. Dan salah satu pegawai yang bercerita tadi, belakangan tak henti-henti mengaku-ngaku sebagai Nabi.
*)Juli, 2017
0 notes
Text
Selagi Masih Pagi
Pagi nanti aku ingin menjadi siut angin yang melintas di antara kumpulan kosmetikmu. Meruapkan kibasan bedak yang beradu mulut dengan waktu. Bibirmu letak segala cemas tatkala gincu tak pernah berhenti menggilas. Kau curahkan lelah pada sendu matamu, lalu meretas kehidupan lewat akun Instagrammu itu. Pagi itu aku ingin memeluk hangat nafasmu. Memaknai setiap harga kecantikan yang terus berdenyut di belantara iklan-iklan. Melucuti rasa rindu yang sudah tak lagi rindu karena terhapus bualan sok tahu. Menatap hijabmu, hijab kawanmu, hijab Nikita Mirzani di dalam sosialita masa kini. Pagi ini apakah aku juga harus menjelma setetes embun yang berhembus segar merasuk ke dalam paru-parumu. Saat seorang pesolek sudah mampu menggagahi seorang intelek. Saat harga diri sudah tak dihargai. Dan juga pendapatmu, yang katanya anak gaul tentang kata-kata metafora itu, "Seperti barang-barang lawas yang ketinggalan jaman. Tak menarik dan tak cukup mampu membuatku luluh." Bukankah semakin lawas barang itu semakin mahal, sayangku. Selagi masih pagi, aku ingin tinggal di dalam cantikmu, menanggalkan debu-debu kusam yang membuatmu padam karam.
*)September 2016
0 notes
Text
Seorang Tua di Ranjang Rumah Sakit
Derit roda ranjang rumah sakit di dorong dua suster berhias gincu tebal di bibirnya. Seorang Tua terkapar di dalamnya, terbungkus selimut dan sedang bergurau dengan maut. Lorong panjang ditempuh untuk menuju suatu ruang entah dimana; apakah ke ruang kelas 1dengan fasilitas berlebih dan AC yang meniup-niup dengan dingin, atau ruang kelas 2 yang dikumpulkan bersama pesakitan lainnya atau sekalian di ruang jenazah: diselundupkan oleh maut, bergetar, meregang—menuju ruang dari sisa-sia yang ditinggalkan. Menuju ruang penuh raung.
Seorang Tua mulutnya bersorban masker oksigen. Nafasnya kempas-kempis menyemburkan embun-embun di kacanya. Ranjang yang didorong oleh dua suster tiba-tiba berhenti. Samar-samar ia mengetahui, suster yang berada di depan sedang bercakap-cakap dengan suster lain. Tampaknya mereka sedang diskusi soal obat-obatan atau malah menggunjingi Dokter yang libur di akhir pekan. Pada pemberhentian itu, ia mendengar dua ibu-ibu lewat sedang bergumam. "Wah, susternya cantik-cantik. Pingin deh punya anak suster." Mendengar celetuk itu, ibu-ibu yang satunya menimpali.
"Jadi ingin anakmu jadi suster karena mereka cantik?" "Lha iya." "Emang persyaratan jadi suster haruslah cantik? " "Lha iya to." "Emangnya model. Kalau model wajar harus cantik, kan emang kerjaannya nampang dan dilihat orang-orang. Lha kalau suster, kan kerjanya merawat dan nyembuhin orang." "Kalau susternya cantik, kan orang yang dirawat akan ikut senang dan sumringah. Kalau senang dan sumringah kan kondisinya malah juga ikut membaik to. Aku jadi ingat kata Dokter, kalau sakit itu sebetulnya berasal dari dalam pikiran. Mungkin itu juga siasat kenapa suster harus cantik,; dengan memandang suster yang cantik-cantik bisa membuat pikiran senang dan bahagia." "Kalau pasiennya wanita gimana?" "Loh, siapapun pasiennya, kalau melihat suster yang parasnya cantik dan rupawan kan bisa membuat siapapun bahagia. Contohnya aku ini, berkat melihat suster cantik yang mondar-mandir tadi seketika langsung mempengaruhi pikiranku untuk punya anak seorang suster.”
“Lha emang sudah yakin kalau anakmu cantik?”
Langit-langit bagai layar tv rusak yang terus hadir secara berulang-ulang. Sepanjang perjalanan ia menatap ke atas. Sesekali menghitung garis tengah plafon. Salah satu rambut suster yang diikat terlepas, tersibak angin, tergerai-gerai meski hanya satu. Seorang tua terkapar tak sadar akan dibawa kemana. Jari-jarinya memain-mainkan selimut. Maut masih terasa kalut.
“Permisi…” Suster yang berada di depan membuka jalan yang dipenuhi kerumunan di tikungan.
Wewangian parfum menyusup ke dalam hidung Seorang Tua. Sekalipun tertutup masker oksigen, harumnya tetap hinggap. Terlintas di benaknya apakah kedua suster ini adalah bidadari surga yang kini tengah mengantarnya ke haribaan semesta. Sekilas ia melihat wajah suster itu yang sedikit-sedikit menoleh untuk mengatur arah roda ranjang yang mau dibelokan. Ia teringat pada suster di film Pearl Harbour yang terlibat cinta lokasi dengan para pilot Amerika. Oh, seperti kematian, cinta datang tanpa diduga. Sekalipun terduga, bakal menguras air mata. Tidak mungkin ia harus jatuh cinta. Itu tubuh hanya raga, nyawa sudahlah tak seberapa.
“Iya. Tolong dana yang itu dialokasikan pada lahan yang belum tergarap.” Suara dari bapak tambun dengan gawai sebesar bongkahan batu kali yang bersarang di telinganya. Entah siapa yang ia hubungi, suaranya cukup menggema di sepanjang lorong yang kosong dan lowong. Dengan sorot mata cemas, Seorang Tua sempat menyaksikannya pria tambun meski hanya sekejap. Tiba-tiba muncul sebuah ujaran lagi. Seorang tua dengan mata yang terkatup-katup lemas tak sekalipun absen menyimak.
“Wah, kalo mak Yani lebih parah lagi.”
“Pokoknya jangan sampai ia tahu.”
“Lalu kenapa kalau tahu?”
“Ya jangan sampai tahu. Bisa celaka kita.”
“Kita?”
“Ya, kita. Mau tidak mau dirimu telah terlibat.”
“Tidak bisa dong. Aku kan sebetulnya cuma membantu saja.”
“Sudahlah, kumohon. Aku butuh bantuanmu.”
Entah ia tak tahu apa yang sebenarnya sedang dibicarakan kedua orang tadi. Apakah ia harus menganggap percakapan tadi serius, ataukah ia harus meminta kedua suster yang mendorong ranjangnya itu untuk berhenti lalu mendengar kedua obrolan tadi; barangkali selanjutnya ia akan ikut menengahi, barangkali ia akan ikut berdebat soal apa yang seharusnya dan bagaimana yang seharusnya, atau juga barangkali malah tidak perlu melakukan semuanya. Lagipula dengan kondisi seperti ini apakah ia harus melakukan sesuatu hanya karena ia kutu buku lalu tidak benar-benar melakukan apa-apa dan akan dikatai seonggok jagung di kamar oleh Rendra, oleh Pram sebagai hewan yang pandai, juga akan dicerca oleh Wiji Thukul . Apakah ia harus benar-benar melakukan sesuatu sementara mungkin dalam beberapa hari ia akan berkerumun di kamar mayat bersama onggokan tubuh-tubuh lainnya, lalu beberapa saat kemudian dipendam di dalam tanah.
Suster yang berada di belakang ranjang yang sedari tadi tugasnya mendorong ranjang terdengar melantunkan sebuah dendang. Lambat laun Seorang Tua mengetahui perawakan dan karakterisitik Suster yang dibelakangnya itu. Matanya masih awas, meskipun usia sudah di ujung tanduk, terlebih jika berbicara tentang nyawa. Lamat-lamat ia mengeja Suster itu dari cermin bundar yang diletakan di pojokan lorong. Belum cukup jelas, sesekali ia melirik pantulan-pantulan yang beralihfungsi menjadi cermin seperti tembok berlantai, kaca-kaca ruangan pada setiap lorong, tiang-tiang di sepanjang ruang tunggu, kilasan cermin wastafel, hingga pantulan yang membias pada infus. Dan yang makin memperjelas adalah Seorang Tua memaksakan tubuhnya mendongak ke atas demi melihat Suster itu.
Kemungkinan Suster itu peranakan Tionghoa. Terlihat dari kelopak matanya yang agak sipit, ditambah warna-warna kulit yang seorang tua cermati dari potongan tangan yang tak tertutup seragam, warna kulit putih di lehernya, dan bagian-bagian di wajahnya, sekalipun mulutnya tertutup masker, menjadikan wajahnya hanya tampak separuh. Ah, barangkali ini benar-benar bidadari surga yang akan mengantarkannya ke haribaan semesta.
Derit roda ranjang rumah sakit masih terus berlangsung menggilas patahan –patahan lantai yang terhampar di sepanjang lorong. Dari arah berlawanan Satpam dengan kumis yang melintang berjalan sambil memutar-muta tongkatnya. Gesturnya seperti akan menyapa kedua Suster. Benar, tidak hanya menyapa, ia juga bermain mata. Seorang Tua geram dengan kelakuan Satpam tadi. Pendeknya ia cemburu dengan kesehatannya yang masih utuh, dan lantas berlagak menggoda kedua Suster yang mendorong ranjangnya. Masih dengan kemuakannya dengan Satpam sialan, tiba-tiba ada yang bertanya kepada Seorang Tua
“Sudah siap?” Tanya orang itu. Ia berdiri sambil menyender pada sebuah tiang di lorong. Ia mengenakan topi bundar, kepalanya tertunduk, dan itu membuat wajahnya samar-samar tidak nampak karena tertutup bayangan. Seorang Tua masih menghembuskan nafas. Embun-embun menghempas di kaca masker oksigen. Ia tahu ia tidak mungkin bicara. Sementara orang ini malah melontarkan petanyaan. Ranjang terus berjalan, orang itu tidak mengikuti dan bersandar saja pada tiang tadi. Pria Bertopi Bundar tadi tahu-tahu sudah bersandar pada tiang yang lain seperti tadi. Dan ia lagi-lagi karena tidak tahu menjawab pertanyaan orang itu, Seorang Tua kembali mengenyahkannya.
Kemana ranjangg ini berjalan, kemana ranjang ini berbelok, masuk-keluar ruangan Pria Bertopi Bundar terus mengikuti. Terus bertanya-tanya berikut dengan posisi bersandar pada tiang di lorong-lorong rumah sakit.
“Aku tahu semua yang kau katakan.”
“Apa maksudmu, kenapa kau mengikutiku terus,” gumam Seorang Tua dari dalam hati.
“Aku bisa mendengarmu.”
“Sungguh?”
“Bahkan aku bisa mendengar paru-parumu—yang hitam dikotori nikotin—berdegup-degup kencang, lalu lambungmu yang bergemuruh melipat-lipat makanan untuk diserap oleh usus halus. Aku juga bisa mendengar bola matamu yang bergeser-geser mencermati sekeliling, menjamahi suster-suster yang mendorong ranjangmu yang kemudian libidomu meraba-raba kemaluanmu yang tak lagi berfungsi. Bahkan aku bisa mendengar nyawamu yang begitu rapuh dan hanya butuh sebuah tiupan untuk mencabutnya.”
“Aku belum siap mati,” tukas Seorang Tua. Menimpali lewat dalam hati setelah tahu kalau Pria Bertopi Bundar itu bisa mendengarnya.
“Lalu siapa yang menyuruhmu mati?”
“Bukankah kau Sang Pencabut Nyawa? Bukankah kau Izrail yang akan memotong tali yang mengikat nyawaku dengan dunia?”
“Seenaknya saja bicara.”
“Kau tahu aku tidak bicara.”
“Apa yang akan kamu lakukan jika tidak jadi mati?”
“Entah. Adakah yang lebih menggelikan dari umbaran omong kosong kalau setelah ini aku akan hidup lebih baik lagi. Bukankah itu tak lebih sama dengan seorang pencopet belia yang menangis menjerit-jerit memohon ampun lantaran diamuk massa setelah kepergok mencuri timbangan di pasar yang oleh sebab tertangkap karena terpeleset daun pisang saat tengah melarikan diri. Apakah yang harus aku lakukan, menyingkirkan batu di tengah jalan? Memberikan segepok uang kepada pengemis yang beruntung mengemis di depan rumah? atau menyogok pemerintah agar membebaskan lahan petani yang akan dibangun pabrik semen, menyelamatkan kucing, mengasingkan diri, bertapa di atas Tibet agar terhindar dari dosa-dosa.”
Orang bertopi bundar lenyap. Tak kunjung jua ia menampakan wajahnya sedari tadi percakapan. Hanya gelap. Remang-remang. Tertutup bayang-bayang topi bundar yang membuat sorot itu begitu kelam, sangat kelam hingga tak ada yang lebih kelam daripada wajah Pria Bertopi Bundar. Gerak ranjang yang di dorong kedua Suster tadi berhenti. Seorang Tua mendapati dirinya sudah sendiri saja di sebuah ruangan. Hanya ia, ranjangnya, dan masker oksigen yang masih saja memeluk organ-organ pernapasannya. Sunyi. Dimana kedua Suster tadi. Dimana juga orang bertopi bundar tadi. Dimana semua orang. Dimana anak dan istriku yang seharusnya menungguiku, menggenggam tanganku ketika aku sedang di masa kritis, sekadar menyunggingkan senyum untuk menunjukan betapa mereka masih peduli dan mengharapkan kedatanganku.
Di depan ranjang sebuah lampu tiba-tiba memancar. Orang bertopi bundar muncul dari kegelapan. Tangannya meraih rokok yang ada di sakunya. Rokok ia tancapkan di mulutnya, dengan menggunakan korek ia menyulut rokok. Gayanya mirip Chairil Anwar ketika menyulut rokok. Rokoknya telah menyala, kontan api-api yang membakar agak menerangi sekeliling wajahnya. Secara samar-samar dengan degup jantung yang kencang, Seorang Tua sedikit-sedikit melihat sisi-sisi tertentu, seperti dagu runcing Pria Bertopi Bundar, jAm tangan Rollex yang melingkar di tangannya ketika menyulut rokok, lengkungan pipi, sampai akhirnya ia menyaksikan Pria Bertopi Bundar itu menyeringai menertawakan Seorang Tua yang terkapar tak berdaya.
Belum cukup dengan seringainya, Pria Bertopi Bundar seperti akan melakukan sesuatu. Tangannya terlihat mengangkat ke atas. Tangan kanannya memungut rokok yang sudah dihisap kuat-kuat dari mulutnya. Setelah itu kini tangan kirinya yang melingkar jam tangan Rollex mengangkat topi bundarnya yang sedari tadi menunduk.
Seorang Tua mendelik hebat. Seperti bercermin, ia menyaksikan wajahnya sendiri pada diri Pria Bertopi Bundar.
Dari belakang Pria Bertopi Bundar kedua Suster tadi muncul. Mereka berlenggak-lenggok seperti seorang penari. Ya, mereka memang menari. Kedua kaki Suster itu ditautkan di ranjang Seorang Tua. Topi penutup kepala mereka lempar. Gerakan tari mereka seperti menggoda. Erotis. Suster yang ditebak-tebak Seorang Tua sebagai peranakan Tionghoa ternyata benar. Suster itu menjulurkan tubuhnya di atas tubuh Seorang Tua. Sementara Suster yang satu lagi tengah berdiri sambil melepas kancing seragamnya. Suster Tionghoa juga melepas kancing seragamnya. Tak berapa lama seragam mereka tanggal. Hanya BH dan G-String yang masih membungkus tubuh mereka. Gerakan mereka tambah liar. Lidah mereka menjulur-julur. Dihadapan Seorang Tua kini ada dua orang wanita yang hampir telanjang. Payudaranya melonjak-lonjak. Pantatnya yang sungguh besar tak pernah henti berlanggak-lenggok.
Menyaksikan itu semua degup nafas Seorang Tua tidak terkontrol. Libidonya bergemuruh. Tiba-tiba keanehan terjadi. Dua orang Suster yang berubah menjadi penari stripsis tadi mendadak tubuhnya menghitam. Wajahnya yang cantik nan menggoda berubah menyeramkan timbul gigi-gigi tajam seperti monster di serial Novel Goosebumps garapan R.L. Stine. Air liur menetes-netes drai mocnongnya yang kini berubah mirip mocong anjing. Payudaranya memiliki mata, lengan-lengannya yang tadi putih lansat kini menjadi tentakel-tentakel yang menggelambir menjijikan. Tawa mereka berdera-derai. Mengerikan. Mereka sudah tidak tampak seperti dua orang Suster yang cantik dan seksi seperti tadi. Mereka berubah menjadi monster seutuhnya. Di sela tawanya, Seorang Tua mendapati ternyata pada tentakel-tentakel itu memiliki ujung runcing yang bisa digunakan untuk menikam siapa saja.
Tentakel-tentakel bergoyang-goyang. Salah satu monster menjilati tentakel yang runcing. Dari bahasa tubuhnya tentakel yang runcing tersebut akan dihunuskan ke tubuh Seorang Tua. Sementara monster yang lain dengan keempat tentakelnya memegani seluruh tubuh Seorang Tua. Seorang Tua tidak dapat berontak. Tidak dapat melarikan diri dari semua ini. Namun, meskipun tidak dijerat seperti ini, apakah Seorang Tua juga dapat melarikan diri dengan tubuh seperti ini.
*******
Ia menghembuskan nafas. Muncul bayang-bayang masa lalu ketika bersama keluarganya. Sekelebat-sekelebat. Bayangan ketika ia memipin doa sebelum anaknya tidur, bayangan ketika selesai menonton televisi lalu bernajak tidur yang kemudian bersenggama di dalam kamar. Dan yang terakhir bayangan ketika akan berangakat kerja ia ditembak dengan senapan laras panjang di depan rumahnya sendiri.
Seseorang terlihat seperti sedang merayakan sesuatu. Samar-samar—dengan pandangan yang masih belum pulih dan kabur-kabur, ia melihat seseorang yang tengah merayakan sesuatu itu di layar televisi yang tepat berada di depan atas ranjang tidurnya. Masker oksigen terus memberi pasokan ke tubuhnya yang tak berdaya. Lagi-lagi pandangannya kabur. Perlahan tangannya mulai bergerak meraba-raba sekitar ranjang. Alat pendeteksi detak jantung berbunyi keras dan tampak aktif. Pandangan Seorang Tua kini mulai pulih. Sekarang ia dapat melihat seseorang yang sedang merayakan seuatu di layar televisi itu secara jelas. Ribuan orang juga mengerumuni seseorang tersebut.
Tergopoh-gopoh dua Suster mendatangi Seorang Tua. Tampak bahagia, kedua suster mengecek berbagai peralatan yang bersarang di tubuh Seorang Tua.
“Alhamdulillah, setelah sekian lama.” Keduanya berpelukan.
“Tahun berapa ini?” Tiba- tiba Seorang Tua menggumam.
“Oh, Bapak, jangan dipaksa ngomong dulu kalau belum bisa.”
“Tahun berapa ini?” Seorang Tua keras kepala.
“Ini tahun 2030, pak. Anda sudah 7 tahun koma. Semua orang merindukan anda”
“Siapa orang itu?” Tanya Seorang Tua lagi sambil menunjuk televisi. “Itu Presiden baru kita, bapak.”
*)Juni 2017
0 notes
Text
Nelayan Penangkap Mayat
SEJAK beberapa tahun silam setelah anaknya tenggelam di sungai Citarum dan hingga saat ini belum ditemukan, Mursadi masih terus setia untuk mencarinya. Dengan tabah pada setiap sore hari, dengan menggunakan sampan kecilnya ia mengitari sungai Citarum. Mursadi tidak pernah putus asa dan tentunya selalu berharap bahwa suatu ketika jasad anaknya nongol dari dalam gemricik air sungai yang mengalir bersama sampah-sampah. Meskipun Mursadi juga tahu entah bagaimana bentuk jasad anaknya apabila muncul nanti.
Mursadi sangat menyayangi anaknya. Segala hasil kerja kerasnya sebagai pemulung ia curahkan hanya untuk anaknya. Dalam geletar doa malamnya ia tidak pernah berhenti memohon agar anaknya kelak menjadi seseorang yang sukses, tidak menjadi pemulung seperti dirinya. Lebih baik Mursadi mati kelaparan daripada harus melihat anaknya mati dalam kemelaratan. Anaknya adalah harta terbesar milik Mursadi. Di tengah-tengah mirisnya ekonomi, meski rumah reot di bantaran sungai yang bisa kena gusur kapan saja, meski makan nasi tidak musti pada setiap hari.
Mursadi meyaksikan sendiri bagaimana anaknya itu tenggelam. Ketika itu ia sedang bermain-main di tepi sungai. Mursadi yang sedang duduk dari kejauhan melihat anaknya tersapu air sungai yang tiba-tiba deras seperti sebuah tsunami yang menyapu apa saja. Mursadi sempat mengejarnya. Menyelami sungai sedalam mungkin. Namun naas, anaknya tidak pernah terlihat lagi. Beberapa tetangga mengatakan anaknya dijadikan tumbal oleh penuggu sungai Citarum. Beberapa juga mengatakan anaknya telah hanyut ke laut.
“Pak, sampai kapan bapak akan terus melakukan ini?” Tanya Wati, istri Mursadi, suatu ketika.
“Sampai mayat Roni ketemu, bu.”
“Sudahlah, pak. Ikhlaskan saja.”
“Tidak bisa, bu. Bapak belum plong hatinya kalau belum menemukan Roni.”
“Bukan begitu, pak. Bapak sudah dikira gila oleh tetangga lo pak.”
“Ibu juga mau ikut-ikutan mengatakan bapak gila!”
“Ah, bapak…”
Semenjak anaknya hilang, perasan Mursadi diliputi kesedihan, hatinya muram. Saban harinya ia habiskan mencari anaknya yang tenggelam dan hilang di sungai Citarum. Memang perilaku Mursadi tersebut menjadi bahan pergunjingan warga di sekitar bantaran sungai. Profesinya sebagai pemulung ia tinggalkan.Hingga pada suatu hari.
Mursadi terkesiap. Saat sedang duduk diatas sampan seraya menyulut rokoknya ia melihat seonggok mayat terombang-ambing di tengah-tengah sungai. Saat itu air sungai sedang deras. Maklum, karena sehabis hujan, air dari puncak pun memenuhi bendungan, alhasil pintu air bendungan sedang dibuka lalu menyebabkan air sungai mengalir begitu deras menciptakan ombak-ombak kecil. Mursadi mendayung sampannya dengan sekuat tenaga. Ia tidak mau kehilangan mayat yang meliuk-liuk dihanyutkan air kecoklatan itu. Perasaan bahagia sejenak menaungi Mursadi tatkala ia melihat mayat itu terjerat batang bambu. Ia pun menghampirinya.
Namun sayang, itu bukanlah mayat anaknya, melainkan adalah mayat seorang pria dengan tubuh penuh tato. Mursadi sempat mengumpat, bahkan menghardik mayat itu. Di tengah derasnya sungai itu ia sendirian meluapakan kemarahannya. Awalnya ia tak peduli dan ingin meninggalkan mayat tersebut, namun pada akhirnya ia membawa pulang mayat tersebut lalu melaporkannya kepada petugas yang berwenang. Mursadi beranggapan bahwa apabila ia menyelamatkan mayat tersebut nantinya Gusti Allah akan membalasnya dengan menyelamatkan mayat anaknya.
Mayat itupun diserahkan kepada kepolisian. Tidak disangka, mayat yang ditemukan Mursadi itu adalah mayat buronan gembong narkoba yang pada saat itu melarikan diri dari kejaran polisi. Mursadi pun diberikan imbalan yang jumlahnya cukup besar atas jasanya menemukan mayat tersebut.
Esoknya seperti biasa, Mursadi kembali ke sungai duduk termenung sambil mengawasi setiap lekuk riak gelombang-gelombang aliran sungai. Dan kali ini ia melihat mayat lagi, terombang-ambing terbawa arus sungai di kejauhan. Ia menghampirinya, dan lagi-lagi itu bukanlah mayat anaknya melainkan adalah mayat wanita tanpa busana. Ia melaporkan kembali kepada polisi lalu ia mendapat imbalan yang cukup besar bahkan lebih besar, karena katanya mayat itu merupakan mayat seorang aktivis yang berbahaya, untungnya Mursadi lekas menemukan mayatnya kalau tidak semua rahasia akan terbongkar. Entah rahasia apa Mursadi tidak ingin tahu sejauh itu, yang jelas setelah dipikir-pikir secara mendalam, ia telah menghasilkan banyak penghasilan dari penemuan mayat tersebut, maka setelah itu ia menjadikan dirinya sebagai nelayan penangkap mayat.
Gerimis melintas pada senja selintas. Sore itu hujan turun lumayan deras mengguyur sungai Citarum dan sekitarnya. Segalanya menjadi tampak kelabu di tengah-tengah hujan itu. Daun-daun bambu terkibas-kibas diterpa angin yang mendesir dari hulu nun jauhnya. Sampah-sampah hanyut, terbawa arus sungai seolah-olah itu adalah keping-keping dosa yang seharusnya dibuang oleh manusia. Sunyi. Hanya suara gemricik air yang memercik dengan berisik dihujam air hujan. Mursadi memincingkan mata menyaksikan segenap belahan sungai, kalau-kalau ada mayat yang melintas ia akan langsung saja memungutnya. Di tengah-tengah kabut dan derai hujan yang terus turun dengan gencar segalanya tampak samar-samar.
Semenjak menasbihkan diri menjadi nelayan penangkap mayat pada waktu itu, ia menjadi orang yang begitu penting. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai pemulung. Mursadi dititpi nomor telepon khusus apabila menemukan mayat lagi. Dari penemuannya itu ia akan diberi imbalan seperti biasanya. Imbalan yang diberikan kepadanya tergantung mayat yang ditemukannya di sungai Citarum. Imbalan cukup besar apabila ia menemukan mayat seseorang yang penting, namun imbalan biasa saja jika mayat yang ditemukannya adalah mayat orang biasa.
Di tengah hujan dengan hanya menggunakan mantel plastik Mursadi masih mengawasi setiap sudut sungai Citarum. Keadaan masih sama. Sepi. Belum ada satupun onggokan mayat yang melintas meliak-liuk di dalam arus. Kadangkala ia terheran-heran dengan pekerjaannya ini. Mursadi mendapat mayat sesering ia mendapat ikan. Beragam mayat penah ia temui, ada mayat tanpa kepala, ada mayat dengan tubuh penuh luka, ada juga mayat yang terpotong-potong di dalam koper. Ia sering bertanya-tanya sendiri, perihal apakah yang membuat mereka ini dibuang ke sungai begitu saja. Namun disamping itu ia juga bodo amat dengan semua itu. Apabila tidak ada mayat ia tidak bisa makan, ia tidak bisa membeli motor seperti sekarang ini, dan kalau bukan karena pekerjaannya ini ia tidak bisa membeli rumah yang lebih baik daripada hidup di bantaran sungai.
Mursadi tidak perlu sebuah peralatan khusus untuk melancarkan pekerjaannya ini. Ia hanya butuh sampan dan sebuah kayu untuk mendayungnya. Bilamana ia menemukan mayat, ia tinggal meraih lalu menariknya ke dalam sampannya. Jam kerjanya dimulai ketika malam hari hingga pagi. Di jam-jam itulah biasaanya ada orang yang membuang mayat ke sungai.
Pekerjaan Mursadi bukan tanpa resiko, selain dicemooh tetangga, semenjak menjadi penangkap mayat beberapa kawannya menjauhinya.”Dasar aneh!” Kata kawannya suatu hari. Kawan-kawannya yang lain juga lari terbirit-birit ketika melihat Mursadi berjalan di tengah kampung. Katanya ia berjalan keluar dari lorong di belakangnya diikuti sundel bolong. Yang paling menakutkan adalah ketika Mursadi seringkali terbayang-bayang wajah-wajah mayat yang telah ditemukannya. Pada suatu malam, pintu rumahnya diketuk seseorang. Mendengar itu, ia pun beranjak membuka pintu. Namun apa yang di depan pintu, ia melihat pria tanpa kepala dengan berceceran darah membasahi tubuhnya. Pria itu mencekik leher Mursadi. Tubuhnya memekik tidak dapat bergerak. Di belakangnya banyak orang berdatangan, ia berteriak minta tolong. Tapi ternyata itu bukanlah orang biasa melainkan adalah barisan mayat-mayat yang pernah Mursadi temukan. Mursadi semakin meronta-ronta, namun ternyata itu hanya mimpi. Ia tergeragap bangun.
Memang Mursadi menjadi kerap menemui hal-hal aneh yang berbau mistis. Tapi tentu saja ia sudah membiasakan diri dengan hal tersebut. Hal itu ia temui ketika baru pertama-tama kali menjadi nelayan yang pekerjaannya menangkap mayat. Dari mulai penampakan mahluk-mahluk tadi sampai ia pernah tubuhnya bau busuk seperti mayat selama berhari-hari. Terpaksa ia sempat pisah ranjang dengan istrinya.
Masih dengan ketabahannya menanti mayat yang melintas. Mendadak Mursadi terbayang wajah anaknya yang dulu hilang di sungai ini. Berkelebat di tengah percik-percik hujan yang turun dengan lembut bagai tabir kelabu. Mursadi teringat permintaan terakhir anaknya waktu itu.
“Bapak, Roni pingin sepatu baru.”
“Iya, Ron. Nanti pasti bapak belikan.”
“Lihat itu teman-teman, pak. Sepatunya bagus, ada gambarnya, warna-warna kayak gambar pelangi.”
“Iya, nanti bapak belikan yang ada gambar-gambarnya, le.”
“Ah, nggak mungkin. Bapak mesti bohong! Kemarin janjinya mau belikan sepeda baru Roni. Tapi bapak malah membelikan sepeda bekas.”
“Kali ini pasti bapak janji, Ron. Percaya bapak.”
Rekaman memori itu membuat Mursadi termenung. Kadangkala melintas suatu anggapan bahwa hidup ini telah mempermainkannya. Dulu janji mau membelikan Roni aja susah. Harus kerja keras mengorek-ngorek sampah ke kompleks-kompleks mewah. Kini, kala hidupnya sudah lumayan naik, orang yang membuatnya mengemban sebuah janji itu sudah mati. Namun kalau bukan karena Roni jugalah ia tidak bekerja seperti ini.
KARENA tidak ada mayat yang hanyut di sungai, Mursadi pulang.
Di rumah Wati sudah menyiapkan teh hangat untuk Mursadi yang kedinginan sehabis kehujanan tadi. Perlahan Wati menghampiri Mursadi, lalu jemarinya mulai merambah pundak Mursadi untuk memberi pijatan-pijatan ringan.
“Maaf, ya bu. Sebulan ini lagi sepi.”
“Tidak apa-apa, pak. Ibu sudah biasa hidup susah. Dengan keadaan seperti ini saja, ibu masih bersyukur.”
“Mau bagaimana lagi, bu. Rejeki bapak kan tergantung dari mayat di sungai. Kalau tidak ada yang membunuh seseorang lalu dibuang ke sungai yang bapak bisa apa, bu. Mungkin orang-orang yang biasa membunuh itu sudah tobat, bu. Gusti Allah sudah ngasih hidayah mungkin.”
“Yah…sabar,pak. Dijalani saja.”
Sejenak suasana hening. Mereka berdua terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Wati masih memijat Mursadi. Lalu, tiba-tiba saja Mursadi berucap.
“Tapi, bu, kalau begini terus, hidup kita juga jadi susah. Terus bisa saja kita kembali lagi hidup dengan rumah reot di bantaran sungai. Ibu mau tinggal dan hidup susah seperti dulu lagi. Huh! Bapak sih menolak.”
“Susah senang, ibu mau saja, pak. Asalkan bapak tidak pergi meninggalkan ibu.”
“Bapak punya ide utnuk mengatasi ini semua,bu.”
“Ide macam apa, pak?”
“Sudah, pokoknya ibu tenang saja.”
Esoknya Mursadi kembali ke sungai. Apabila tidak ada mayat-mayat yang hanyut untuk dijadikan uang, maka, ia harus menciptakan mayat sendiri. Itulah ide dari Mursadi untuk mengatasi sepinya mayat tadi.
Dengan membawa klewang, di dalam remang-remang malam Mursadi mngendap-endap menyusuri kampung. Ia menggawasi setiap orang yang liwat, siapa yang pantas untuk dibunuh lalu dibuang ke sungai untuk dijadikan mayat. Tapi di sisi lain Mursadi masih tidak tega apabila harus membunuh. Sebelumnya ia memang belum pernah membunuh orang, namun apa daya, demi menyambung hidup keluarganya, dan lagi-lagi ia teringat bagaimana susahnya hidup di rumah kumuh reot di bantaran sungai. Lantas dengan tekad yang kuat ia melakukannya.
Ia melihat Pri, seorang gali kampung. Hidupnya tiada guna. Hanya mabuk, mencemari kampung, tidak punya siapa-siapa. “Ah, ini mungkin yang pantas untuk dibunuh,” kata Mursadi. Dan akhirnya ketika Pri berjalan gontai karena mabuk, Mursadi menyekapnya dari belakang dan kemudian menghunusnya dari belakang. Setalah menghanyutkannya ke sungai, Mursadi memungut mayat itu dan kembali menukarkannya di kepolisian dan Mursadi pun kembali mendapat imbalan yang cukup.
Hari terus berganti. Mursadi terus melakukan hal yang serupa. Hasilnya cukup lumayan. Ekonominya menanjak lagi. Mursadi yang tadinya tidak tega membunuh orang, kini demi uang ia menjadi seorang pembunuh. Seorang psikopat. Ia sudah tidak hitung-hitungan dalam membunuh. Siapapun yang ada pasti ia bunuh untuk dijadikan mayat. Hatinya sudah tertuup oleh gelapnya keserakahan.
Imbas dari perbuatan Mursadi ini menggegerkan tetangga. Banyak orang meregang nyawa lalu hilang entah kemana. Kampung di pinggiran bantaran sungai Citarum menjadi mencekam. Alhasil untuk melindungi diri semua warga tidak ada yang berani keluar rumah pada malam hari. Kampung pun sepi, tidak ada satupun orang yang berjalan, mabuk, atau sekedar cekikikan di depan rumah.
Mursadi melihat seorang wanita yang berjalan di tengah kegelapan malam. Barangkali ini memang satu-satunya kesempatan Mursadi. Dengan sigap ia mengendap-endap lalu menyekapnya hingga kehabisan nafas. Setelah itu ia membuangnya ke sungai agar nampak seperti hanyut lantas memungutnya.
Malam itu Mursadi cukup lelah. Dengan tergopoh-gopoh menggendong karung berisi mayat. Mursadi memanggil-manggil istrinya untuk meminta minum.
“Bu…tolong bapak ambilkan minum.”
Istrinya tidak menyahut.
“Bu…kok lama sekali. Tolong bapak ambilkan minum. Bapak sangat lelah.
Tidak ada jawaban. Barangkali mungkin istrinya itu sedang keluar rumah.
Sementara menunggu Wati, istrinya, Mursadi memencet nomor telpon petugas seraya membuka karung berisi mayat tadi. Ia ingin tahu siapa seorang wanita yang telah dibunuhnya untuk dijadikan mayat tadi.
Perlahan Mursadi membuka tali lalu melipat permukaan karung. Ia tercekat hebat. Hatinya kaget setengah mati tatkala melihat wanita yang berada di dalam karung tersebut.
“Wattiiiiiiii…”
*)September 2016
0 notes
Text
Ozza
Aku masih belum percaya. Apakah yang kulihat tadi itu sungguh memang dirimu. Ketika kau berjalan sendiri lantaran biasanya kau selalu bersama kawan-kawanmu yang pesolek itu. Diam-diam aku memang sering mengawasimu dari kejauhan. Mengamati jengkal demi jengkal langkahmu yang membuatku seakan mendengar sebuah melodi yang merdu ditambah sorotan cahaya-cahaya matahari yang telah menuturkan: betapa sinar matahari yang bisa mendekap siapa saja di pagi itu tak lebih hangat dari kehadiranmu. Lantas kesiur angin menerbangkan dedaunan kering untuk menemanimu melangkah pergi, beberapa dedaunan itu ada yang hinggap di punggungmu bahkan tersangkut di rambutmu. Dan pada saat itulah aku melihatmu mengeluarkan sepasang sayap yang begitu putih lalu terkibas bagai irama buih. Kau terbang lalu menghilang begitu saja, seketika ada sebuah hembusan angin yang mendesir membawa sebuah aroma wangi seranum murbai.
Ketika kau melintasi langit yang biru bagai kanvas raksasa dengan gumpalan-gumpalan awan itu suasana sekejap menjadi sunyi dan mengalun dengan hening, tak ada sekecap pun perkataan maupun umpatan orang-orang yang melintas di sekitar kampus. Benar-benar hening, senyap bagai ketiadaan yang lekas lesap. Bahkan kicau burung yang selalu bersahut-sahutan memilih untuk diam. Kemudian tubuhku gemetar melihat geletar sayapmu yang jelita, terbang mengangkasa melewati banyak kepala manusia. Terbias kilauan wajahmu dari bawah sini yang menyambar-nyambar keretak yang ngun-ngun. Adakah orang lain selain diriku yang juga melihat kelepak sayap indahmu terkibas-kibas di langit itu.
“Aku benar-benar melihatnya!” Terangku pada seorang kawan.
“Lihat apa sih?”
“Sayap. Ia punya sayap lalu terbang ke langit.”
Dengan tubuh yang masih gemetar dan terbata-bata, aku menceritakan ke temanku.
“Tiba-tiba ia mengeluarkan sayapnya. Putih, bersih dan anggun. Aku masih tidak percaya.”
“Khayal.”
“Sumpah. Aku tidak bohong.”
“Stres.”
Aku bercerita ke banyak orang. Dengan irama dan intonasi yang sama. Dengan perasan dan gemetar yang serupa. Tapi, tidak ada yang benar-benar memercayaiku. Seolah aku hanya mengada-ada, mengarang-ngarang cerita, berkhayal seperti orang gila. Bahkan kawanku yang hobi menulis cerpen surealis pun tidak percaya kepadaku.
“Sekalipun aku gemar cerita yang seperti itu. Tapi aku juga tahu diri, bahwa itu semua hanya fiktif belaka, tidak ada yang nyata.”
Aku tidak tahu siapa lagi yang akan memercayaiku. Jelas, ia mengeluarkan sayapnya kemudian terbang melintasi beranda kampus yang sungguh sedang hiruk-pikuknya itu. Pasti ada seseorang yang juga melihatnya, tidak mungkin hanya aku. Namun benar-benar tidak ada yang percaya, atau mengaku melihatnya juga. Aku masih merasakan kelepak sayap itu. Seketika membuyarkan segala pikiran penat yang mengganjal di kepala. Meruapkan bau wangi yang membaur bersama udara. Aku benar-benar heran apabila tidak ada yang ikut melihatnya, atau mungkin juga merasakan wangi dan lembut kelepak sayap itu. Semua orang terdiam pada saat itu. Benar-benar hening. Seolah terhipnotis oleh buaian yang sama. Namun kenapa tidak ada yang melihatnya bahkan merasakannya. Seakan itu adalah ketiadaan yang kekal dalam kesemuan.
Ia kutemui di sebuah perhelatan verifikasi penerimaan mahasiswa baru. Sedari pagi aku mengepulkan satu per satu mahasiswa baru yang telah resmi akan meraup ilmu di jurusan Sastra Indonesia. Ketika hari hampir memasuki tengah hari, awan gelap menggelayuti. Mendung. Begitu ia datang, langit yang diselubungi mendung yang gulung-gemulung sontak merebak mengelupas dari langit yang maha luas, menjadikan matahari kembali menyingsing menyinari dengan gilang-gemilang. Ia keluar dari hingar kerumunan, lalu berjalan dengan anggun mengentaskan bolpoin untuk menuliskan namanya lalu ia menghampiri kami selaku panitia.
“Sastra Indonesia?” Tanyaku dengan berupaya keras menunjukan senyum yang terbaik.
“Iya,” jawabmu singkat.
Aku mengantarmu. Adakah kau dilahirkan melalui rahim cahaya yang dibawa bangau-bangau kencana lalu ditinggalkan begitu saja di depan pintu, atau mungkin ia bidadari kahyangan yang sedang tersesat atau bahkan menyamar untuk mencecap kehidupan yang fana di Mayapada ini. Setelah sampai pada stand aku mempersilahkanmu duduk, bergumul dengan sesama mahasiswa baru yang tak henti-hentinya menyusu jawaban dari senior-senior yang serba tahu tentang kehidupan kampus, sekalipun juga sedikit sok tahu.
“Namamu siapa?” Itulah pertanyaan yang bagiku sangat bersejarah
“Ozza.”
Begitulah diriku hingga saat ini. Acapkali aku mengamatimu dari kejauhan. Mengamati setiap lekuk tubuhmu. Menjamah segala macam manekin atau gemrincing gelang yang melingkar di tanganmu. Sekalipun dari kejauhan, semua yang berasal dari dirimu memiliki kesan yang mendalam, dari benda-benda yang tak kasat mata hingga detil-detil yang ganjil; bahkan aku tahu kau memiliki tahi lalat di bawah lenganmu.
Menatapmu tak lantas membuatku merasa bahagia. Makin lama aku memandangmu tapi kesedihanlah yang justru merayap di dadaku. Apa yang diharapkan dari hanya memandang di kejauhan? Dirimu dan kesedihan adalah saudara kembar yang tak saling mengenal: menyambar-nyambar menciptakan sebuah lara. Namun bagi penyair, kesedihan adalah sebuah kekuatan. Begitulah aku semakin memaknai dirmu. Adakah ketiadaan yang tak sudah-sudah. Dirimulah ketiadaan itu.
DI kantin aku menyruput kopi sachet buatan pabrik. Riuh dan sesak. Kantin dipenuhi mahasiswa FIB dari berbagai jurusan. Ibu kantin sedang sibuk mondar-mandir mengantar pesanan. Di belakangku, sekelompok mahasiswa entah dari jurusan apa sedang sibuk merencanakan sesuatu yang sepertinya serius. “Gagal. Sepertinya gagal.” Kiranya itulah yang diucapkan sekelompok mahasiswa itu. Entah aku tak tahu, maksudnya, dan aku barangkali tidak berhak tahu. Mahasiswa memang rumit. Di seberang sana seorang gadis dengan sapuan bedak yang amat tebal, tengah sibuk mengasah gawainya yang berkluntang-klunting—terdengar dari tempat duduku saat ini. Di hadapanku ada tiga kakak tingkat yang sedang ngobrol tentang bab-bab skripsi.
Ketika aku tengah bersiap pergi, kantin mendadak sepi. Bagai loncat ke dalam ruang dan waktu yang berbeda. Aku berada di tengah situasi yang ganjil—tak ada orang satupun, ibu kantin yang mondar-mandir, sekelompok mahasiswa, gadis dengan sapuan bedak, pencemas skripsi, celoteh, pekik pelan, pekik keras, bau-bau keringat, bau parfum. Hampa tanpa suatu apa. Seketika seorang wanita muncul di mejaku. Tubuhnya diselimuti cahaya yang berkeredap. Timbul aroma-aroma wangi. Perlahan ia mendekat. Semakin ia mendekat bau wangi yang meruap di tubuhnya semakin gencar melenakan hidungku. Ia duduk di hadapanku, sayapnya berkepak-kepak pelan.
“Kamu bisa melihat diriku?” Ia memulai.
“Bukankah semua orang begitu?” Timpalku juga dengan sebuah tanya.
“Tapi kamu bisa melihat sayapku.”
“Jadi itu memang benar dirimu?”
“Selama ini aku merasakanmu.”
“Merasakan apa?”
“Merasakan apa yang kamu rasakan kepadaku.”
“Oh, iya? Jadi kamu ini sebenarnya apa? Hantu?”
“Ngawur.”
“Tak salah lagi, kamu Bidadari yang tersesat di Bumi. Pasti pakaianmu dicuri oleh seorang pemuda yang pikirannya ngeres.”
“Lebay.”
“ Tidak salah lagi, Malaikat.”
“Menurutmu?”
“Malaikat kok mau-maunya jadi anak hits, Malaikat kok punya pacar, Malaikat kok punya akun Instagram.”
“Lalu?”
“Aneh.”
“Begitulah cara kerja kami sekarang. Emang hanya manusia yang bisa pakai teknologi dan jejaring internet? Kami pun boleh-boleh saja dong, terlebih untuk kamuflase kami.”
Sejenak aku melamun. Barangkali ia benar-benar Malaikat. Tubuhku terasa nyaman seperti sedang berada di sebuah dunia yang baka. Bau harum yang tak berhenti meruap seakan mencuci segala pikiran kotor yang kerap melintas di kepalaku—pun dengan segala gejolak perkakas-perkakas kuliah, kegamangan masa depan, masalah keluarga, bagai raib seketika. Betapa pertemuan dengannya seperti memberikan sebuah perasaan sumir yang menyelimuti dengan dingin dan damai.
“Hai! Magnos! Jangan melamun. Waktuku tidak banyak.”
“Waktu apa?”
“Waktuku begitupun waktumu.”
“Aku benar-benar tak mengerti.”
“Kuharap kau bersiap, Magnos.”
“Bersiap untuk apa? Ngomong yang apa adanya saja, jangan ditutup-tutupi.”
“Tak ada yang ditutupi, Magnos. Selama ini kau sudah menjamahi jengkal-demi jengkal tubuhku. Sudah kau lihat bukan? Apa yang kututupi?”
“Dasar bebal!” “Kau yang terpilih.”
“Oh, jadi karena itulah kamu follow akunku?”
Seketika ia seperti tersedot ke dalam sebuah lubang hitam. Tubuhnya melebur—namun peleburan itu tampak indah seperti guguran bunga-bunga Sakura yang diterbangkan angin. Ia lenyap. Sayapnya berkibas-kibas menyeka angin, menciptakan melodi yang menyayat-nyayat sunyi.
DENGAN mata yang masih terkantuk-kantuk aku memasuki kelas. Teman-teman sudah takzim di kursi kelas—ada yang juga masih terkantuk-kantuk, ada yang cukup bersemangat memulai hari bahkan menyanyikan lagu dangdut yang acapkali ia dendangkan setiap harinya. Pagi yang hening, dengan tetesan embun yang menjadikan pagi dengan disertai sorotan-sorotan keredap cahaya matahari tampak kian bening. Dosen mulai masuk, dan aku masih saja terkantuk-kantuk.
Tubuhku lelah. Semalam suntuk kuhabiskan menempa kemampuan olah vokalku untuk pementasan. Ketika di malam yang begitu sepi—hanya ada suara kerik jangkrik, kelelawar yang melintas-lintas, sesekali disentuh siut angin malam yang begitu rapuh menusuk tulang-belulang. Aku beserta kawan-kawanku; dengan dipandu beberapa senior pembimbing, berteriak-teriak agar olah vokal kami dapat terlatih ketika pementasan nanti. Latihan keras ini kami lakukan sebelum mendekati waktu pementasan.
Kehidupan teater sedikit mengombang-ambingkan tujuan utamaku ketika diterima kuliah disini. Daripada menjamur di kost dan tak melakukan apa-apa, aku lebih memilih keluar mencari angin. Itulah maksudku menjalani kehidupan teater ini, tidak ada tujuan khusus. Tubuh kumal, pakaian acak-adul, dan rambut berantakan, begitulah stereotip yang melekat pada diri kami. Kadang jika ada orang yang mencemooh dengan ihwal-ihwal tersebut, adakalanya kami biasa saja, adakalanya kami balas dengan komentar sinis, misal seperti ini: “Isi jiwa dan kepala kami tidak bisa dinilai dari helai-helai kain yang harganya tidak seberapa.” Lebih jauh, aku tidak pernah punya cita-cita menjadi seorang Dramawan atau Sastrawan, demikianlah seperti yang aku lontarkan tadi, aku ikut teater hanya sekadar keluar cari ingin, selebihnya mungkin juga; aku hanya ingin menyelami kehidupan; maka teater beserta keluh-kesahnya adalah media untuk menyelami itu.
Waktu kuliah yang aku ikuti ini hampir berakhir. Bapak dosen mengakhirinya sebelum waktunya—tampaknya punya kepentingan lain yang lebih diutamakan. Matahari merambat pelan, hari semakin siang. Tepat ketika aku keluar dari pintu dan akan menuruni tangga—tanganku ditarik oleh sebuah tarikan tangan lain yang terasa lembut dan dingin. Segera aku tahu itu siapa.
“Kau mau bawa aku kemana?”
“Ikut saja.”
“Apakah sekarang waktunya? Aku belum siap.”
Aku dibawanya ke balkon. Angin berhembus lirih, menggoyang-goyangkan rambutnya yang tergerai masai. Sayapnya mulai muncul, mengepak-kepak pelan. Aku merasakan tubuhku terangkat secara perlahan. Tangannya menggamit tanganku. Bagai mengangkat sehelai daun, begitulah dengan mudah ia mengangkatku. Tubuhku yang barangkali dua kali lebih berat darinya, diangkat terbang tanpa kesulitan sedikitpun.
Lantas kami pun terbang tinggi, semakin tinggi hingga kami menembus awan. Aku melihat awan gemawan melingkupi sekeliling kami. Ia terbang tanpa menunjukan sebuah ekspresi di wajahnya. Seperti biasa. Namun ia tetap cantik. Barangkali dalam gestur yang seperti itulah kecantikannya diciptakan. Di bawah, kepala-kepala orang-orang saling berseliweran seperti semut-semut yang hilir-mudik dari lubang satu ke lubang lainnya.
Kali ini gerakannya menukik ke bawah. Aku kembali menembus awan-awan. Bulir-bulir air kembali menerpa wajahku. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku sudah dibawanya ke pucuk gedung fakultas.
“Apa maksudmu membawaku kemari?”
“Tidak ada maksud.”
“Pada jam segini biasanya kau berkumpul bersama teman-teman pesolekmu itu. Menebar pesona, tertawa-tawa, lalu membuat Snapgram demi menunjukan bahwasanya kalian adalah sahabat yang erat. Oh, betapa kamuflase yang sungguh menakjubkan.”
“Ternyata lebih dari yang kukira. Kau sungguh-singguh terus memerhatikanku. Jangan-jangan kau juga menguntitku ketika aku ke toilet. Sebegitukah cinta itu.”
“Maksudmu, dengan, cinta?” Ketika mencapai percakapan ini, aku sedikit tersipu-sipu.
“Seorang pengagum rahasia. Tak berani berkata. Hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, menyindir-nyindir lewat sosial media, dan berdalih sakit ketika yang dikaguminya sedang bersama pria lain.”
“Bukan begitu. Cinta bukan obralan daster menjelang lebaran yang dijual murah. Mengukapan cinta tak semudah mengungkapkan kekesalan: perlu dihias dengan bunga-bunga dan permata berkilauan.”
“Menyedihkan.”
“Apakah ada cinta yang tak menyedihkan?”
“Sayangnya, kami tidak dikehendaki untuk merasakan cinta.”
“Menyedihkan.”
Kawanan burung melintas di atas kami. Aku menatap ke atas. Aneh. Cuaca yang nampaknya cerah tadi mendadak berubah. Awan-awan hitam berdatangan. Samar-samar suara petir sahut menyahut, cahaya matahari sedikit demi sedikit tertutup, menyebabkan semilir angin yang mulai dingin.
“Kau tahu, mendung sebenarnya tercipta dari kesedihan manusia. Bukan air laut yang menguap namun kesedihan manusialah yang senantiasa menguap ke atas awan lalu berkumpul membentuk awan kehitaman. Mendung juga berasal dari hasil pekerjaan kami. Betapa segala kenaifan, hingga dosa-dosa yang dilakukan manusia menjadikan catatan kami dipenuhi hal-hal buruk. Itulah sebab, sering terjadi perubahan cuaca secara mendadak—lantaran kami tidak ingin catatan kami dipenuhi hal-hal buruk, maka kami membuangnya ketika dalam perjalanan. Masalahnya, makin banyak yang tidak menginginkan catatan buruk itu, dan catatan-catatan buruk itu mengubah langit yang tadinya cerah berubah mendung. Terciptalah mendung yang menjadikannya hujan,” tukas Ozza. Mengakhiri percakapannya ia menggamit tanganku untuk turun dari pucuk ketinggian gedung fakultas. Kulihat sayapnya yang anggun mengepak-kepak, merontokan sehelai bulu.
Rerintik hujan mulai turun. Menusuk-nusuk kulit. Tak butuh waktu lama derainya makin kencang. Hujan berjingkat di rerumputan. Menerpa-nerpa dedauanan lalu mengalir melewati ranting-ranting melewati batang hingga menghasilkan sebuah genangan. Seorang mahasiswa dengan menggunakan map plastik menutupi kepalanya melewati pelataran fakultas. Tetesan-tetesan air berjatuhan di sendang, menciptakan gelombang-gelombang yang bergetar. Kami berteduh di lobi fakultas.
Ketika hujan tengah berlangsung saat itu juga bertepatan dengan berakhirnya waktu perkuliaahan. Praktis, di lobi tersebut berkerumun banyak orang. Tidak hanya mahasiswa, karyawan, bahkan dosen yang akan menuju ke sebuah tempat entah kemana berteduh disistu. Sebab banyak orang, aku dan Ozza berdiri paling pinggir di lobi itu. Maka tak ayal, tempias air hujan yang menyejukan sesekali menyirami tubuh kami. Sekalipun dikerumuni orang banyak, namun tak ada yang dapat melihat sayap Ozza. Dalam penglihatan mereka Ozza tetaplah Ozza sebagai manusia biasa. Yang memancarkan kejeliataan yang penuh rona. Mendorong mata siapa saja untuk sekadar melirik atau menatapnya lama-lama. Setelah bersamanya dalam beberapa waktu dekat ini, begitulah yang kupelajari. Pesona bukan semata-mata miliku. Banyak orang juga terpikat. Namun semua orang tidak tahu, dia adalah zat semu. Ia adalah utusan yang jauh dari kefanaan—ia adalah amsal baka yang tak siapapun memahaminya.
“Lihat, Magnos, lihat itu?”
“Lihat apa?”
Ozza menggenggam tanganku. Untuk kesekian kalinya, betapa genggaman tangan lembut, betapa tangan dari seseorang yang telah lama kuamat-amati, kini bagai memberikan sebuah pelukan yang kalau boleh aku tak akan ingin melepaskannya.
“Lihat. Itu adalah kesedihan-kesedihan yang menguap ke langit.”
“Oh, iya. Aku melihatnya.”
Selepas Ozza menggengam tanganku, langsung saja aku melihat semacam aliran-aliran udara yang naik ke atas dari kepala-kepala orang-orang yang sedang berteduh di balkon ini.
“Sepertinya hujan akan berlangsung lama. Dari banyak orang yang datang, kesemuanya menghasilkan kesedihan. Entah bedebah apa yang membuat mereka sedih,” ujar Ozza, dengan sedikit rasa kesal yang tergambar pada lekuk wajahnya.
“Tapi kenapa warna-warna kesedihan itu berbeda-beda?”
“Memang berbeda. Meski warnanya cenderung gelap dan muram, tetap saja semua memiliki perbedaan, sekalipun tak terlalu mencolok. Perbedaan warna tergantung dari kesedihan yang dirasakan. Kalau warnanya hitam keabu-abuan, itu berarti kesedihannya tidak terlalu, atau sebentar juga kesedihan itu hilang. Jika warnanya hitam kebiruan itu tandanya kesedihan itu sudah lama mengerami orang itu, namun ia tak merasa memiliki kesedihan itu—orang-orang pada kategori ini, umunya acapkali merasa cemas, dan dirundung duka. Dan akhirnya akan jika lebih didalami, hati orang tersebut terasa sepi—seperti kutipan sajak penyair yang sudah wafat: “Mati kau dikoyak-koyak sepi”. Yang terakhir adalah warnanya hitam pekat. Lebih hitam dan gelap daripada kawah atau goa yang tak tersentuh cahaya. Kesedihan pada warna ini adalah kesedihan paling tak terperi. Jika kau beruntung kau akan mendengar sebuah tangisan yang menjerit dari dalam hatinya. Lalu kau akan terhanyut dalam kesedihan itu, dan tak pelak mungkin kau juga akan terhanyut dalam kesedihan orang itu, dan akhirnya karena kau sudah terhanyut air mata tak kuasa kau tahan.”
“Oh, betapa rumit kesedihan itu. Seperti pelangi, apakah kesedihan harus diberi warna?” Tanyaku. Lalu melanjutkan. “Toh, kesedihan tetaplah kesedihan jika itu berasal dari segaris luka yang menganga baik kecil maupun sebegitu besarnya.”
“Bukankah warna-warna pelangi mewakili kebahagian selepas hujan reda. Seperti kebahagiaan, kesedihan pun berhak diberi warna. Tuhan Maha Adil.”
Aku menyaksikan banyak aliran-aliran bergelombang pekat kehitaman yang membumbung terbang ke langit. Hampir semua orang mengeluarkan aliran-aliran dengan warna yang berbeda-beda. Inikah gambaran paling dalam pada ceruk perasaan manusia. Perasaan yang dipenuhi dengan sembilu, yang barangkali terasa sesak, namun ditutup-tutupi. Anehnya, mereka semua tak menunjukan kesedihan sekalipun. Dengan getolnya mereka membagikan tawa secara cuma-cuma, menyungkingkan senyum dengan ranum.
Di ujung sana ada Sophie, teman sekelasku. Betapa terkejutnya aku ketika kudapati aliran yang mengudara di kepalanya berwarna hitam kebiruan; berarti ia sudah memiliki kesedihan itu sejak lama. Dalam kehidupannya sehari-hari, ia adalah pribadi yang kocak dan cenderung berisik. Bahkan ketika pada suatu hari ponselnya hilang, ia malah bertingkah lucu yang lantas membuat kami teman sekelasnya terbahak-bahak. Ia termangu. Sendiri. Menatap genangan yang dijatuhi tetesan air hujan. Namun tidak semua orang memiliki aliran seperti Sophie. Kesedihan mereka berwarna hitam keabu-abuan. Berarti kesedihan mereka hanya sebentar. Menurutku itu adalah kesedihan biasa yang dialami pemuda seusia mereka. Terutama permasalahan asmara.
Di antara baris-baris mahasiswa yang berteduh. Tepat di depan pintu lobby, aku melihat seseorang dengan aliran gelombang udara yang berwarna pekat kehitaman. Bagai karet yang sedang dibakar. Aliran itu membumbung ke langit dengan warna hitam yang sungguh tebal. Aku mengamatinya lebih cermat. Ia adalah Bu Tin. Dengan membawa beberapa kresek plastik, ia berdiri sendiri di depan pintu lobby. Ini memang sudah hampir sore, dan barangkali saja ia akan pulang. Entah kesedihan apa yang sedang menggelayutinya. Ibu yang biasa jadi pergunjingan seluruh fakultas lantaran terkenal dengan keangkuhannya dalam memberi izin peminjaman tempat ini memiliki kesedihan yang membabi-buta. Ia menatap langit yang masih gencar saja meluncurkan rerintik air, sesekali ia celingukan ke kanan-kiri, seperti sedang mencari seseorang. Tak ada satupun mahasiswa yang menyapa maupun mengajak bicara. Ibu Tin sudah membangun citra yang galak kepada para mahasiswa, tak ayal mereka enggan menyapanya. Aliran itu masih saja mengudara. Benar kata Ozza, aku merasakan kepedihan yang tak terperi. Kesedihan bagai belati tajam yang menyayat-nyayat. Sayup-sayup terdengar jerit-jerit tangis dari dalamnya. Makin kencang. Makin kencang. Hingga tangisan itu memekakan telinga. Adakah orang-orang disini mendengarnya? Air mataku ikut menetes. Apakah kesedihan ini penyebab ia senantiasa bersikap sinis terhadap mahasiswa? Aku tak kuasa menahannya.
“Magnos,” sontak Ozza membuatku terperanjat.
“Ya,” sahutku seraya mengusap air mata.
“Bagaimana? Tahu sendiri kan sekarang.”
“Sialan.”
“Waktumu semakin menipis.”
AKU akan membaca puisi. Pelataran kampus mulai menyesap. Malam bagai secangkir kopi yang diseruput oleh raksasa. Kian larut, meniupkan angin, mendatangkan hawa yang ngun-ngun. Sorot lampu yang berganti-ganti menyorot ke panggung, kadang kuning, kadang merah, kadang biru. Seperti warna pelangi yang menggambarkan kebahagiaan, seperti aliran-aliran gelombang hitam yang menggambarkan kesedihan. Secara lamat-lamat penonton bertutur pelan-pelan di hadapanku. Mereka tenggelam di dalam kegelapan sambil ditemani kudapan di sebuah kertas yang akan dibuang selepas acara selesai. Adakah kegelapan juga selaput gagasan seperti maut yang selalu mengancam?
Gelora telah kukumpulkan pada seluruh jiwaku. Mengenakan jubah putih, aku disimbolkan sebagai seorang malaikat penyelamat umat. Kali ini aku menguasai panggung. Menguasai seluruh jagat raya. Bersekutu dengan waktu, melayang-layang bersama angin, melingkupi jerit-jerit lara dengan untaian sajak. Acap berkelabat keluh yang terus membayang, seberapa pentingkah sebuah puisi. Puisi mebawakau ke dalam dimensi sepi. Dunia kelabu membentang luas, lantas membuatku tergelatak di atas rerumputan yang di kelilingi kepak merpati yang berseliweran. Tubuhku gemetar.
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan menjadi malam
Dalam termangu aku terpejam. Perlahan kubuka mata. Sebuah cahaya kulihat di kejauhan. Sunyi kembali merajai. Tak ada lagi suara sayup-sayup dari penoton. Situasi yang serupa ketika aku bertemu Ozza di kantin. Dan kini ia berada di hadapanku, berjalan perlahan, sayapnya yang anggun, ditumbuhi bulu-bulu putih berkelapak, melantukan sebuah melodi yang menyayat-nyayat sunyi. Ia meraih tanganku. Ia kembali mengangkatku seperti saat itu. Namun aku tak terasa diangkatnya. Ketika kulihat ke belakang, sebuah sayap berkibas-kibas di punggungku.
“Sekarangkah waktunya?” Tanyaku.
Ia tak menyahut. Hanya menatapku dengan dingin tanpa lekuk pada wajah. Barangkali dalam gestur seperti itulah kecantikannya diciptakan. Membawaku pada sebuah ingatan ketika pertama kali aku bertemu dengannya.
“Siapa namamu?”
“Ozza.”
*)Mei 2016
0 notes
Text
Tapi Nyatanya
Rasanya sulit mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tidak mungkin diucapkan bumbu cimol yang diam-diam terbang masuk ke hidung yang menjadikanku bersin-bersin.
Nyatanya memang sulit mencintaimu secara sederhana.
Seperti papa yang dimarahin mama karena mentang-mentang cari duit beliin anak sembarangan, pulang-pulang dimarahin menjadikan milkita permen mahal dan tiga bungkusnya sama dengan segelas susu.
*) 25 Mei 2017
0 notes
Text
Suwun Armada
Beberapa waktu belakang santer terdengar bahwasanya lagu Armada yang berjudul Asal Kau Bahagia diklaim plagiat lagu dari band asal Taiwan F4 yang berjudul Liu Xing Yu. Rizal, vokalis dari Armada sendiri menampik kabar miring tersebut.
Setelah mendengar kabar tersebut, saya sendiri langsung mendengarkan keduanya. Mirip memang, terdapat kesamaan pada beberapa nada. Namun yang pasti, saya tidak akan mengkritisi, mengapresiasi, bahkan memperolok-olok Armada--sekalipun saya agak jijik sama band tersebut. Saya bukan kritikus musik, saya bukan musisi dan saya bukan haters yang kurang kerjaan. Saya hanya pendengar biasa yang hobi mendengarkan musik dengan headsheat saat naik motor dan ndilalah sedang naksir gadis yang getol bermain musik. Maka dari itu, saya hanya mau berterima kasih pada Armada--(sekali lagi) sekalipun saya jijik sama band tersebut.
Lagu yang dianggap mirip dengan lagu Armada yaitu Liu Xing Yu--tak lain adalah backsong dari drama kenamaan pada zaman saya kecil dulu yaitu Meteor Garden. Asal tahu saja, selepas mengetahui kemiripan keduanya, saya jadi sering memutar Liu Xing Yu. Begitu membuka lagu itu di Youtube, sontak terlampir segala jenis lagu F4, seperti, Penny Tai, Oh, Baby, Qing Fei Di Yei. Personel F4 sendiri yang menjadi bintang Meteor Garden acap menghiasi latar belakang video klip lagu-lagu tersebut.
Mendengarkan F4, saya terbawa ketika masih berumur 10 tahun. Selepas mandi; badan sudah wangi dan hangat karena dilumuri minyak kayu putih, saya duduk di depan tv sambil ngemil kripik buatan nenek. Meteor Garden sedang digemari dan jadi tontonan segala usia pada saat itu. Waktu menunjukan pukul 16.00 ketika Meteor Garden tampil di layar kaca. Lagu Qing Fei Di Yei mengawali acara. Ketika akan merambah ke jalannya acara, terdengar ada yang memanggil-manggil di luar pagar. Rendy, sahabat semasa kecil saya, dengan membopong bola plastik mengajak saya bermain bola. Tentu,dorongan untuk bermain bola lebih menggiyurkan daripada menyaksikan drama Taiwan tersebut. Hal itu berlangsung secara terus-menerus, dari sore ke sore, bergulir sepanjang waktu. Ada saja halangan ketika saya akan menonton Meteor Garden; entah itu saya sedang pergi kemana, entah itu ada teman saya yang ulang tahu--momen ini tidak boleh terlewatkan karena saya tak ingin ketinggalan makanan yang enak-enak. Entah itu ada ini, ada itu. Seringkali saya merasa terkucilkan ketika kawan sekumpulan saya bercerita tentang menariknya tayangan tersebut--momen inilah yang paling saya benci dari fragmen masa kecil saya.
Setelah saya sadar-sadari, saya tak benar-benar pernah menyaksikan sekuel drama sekawanan pemuda yang tegolong ganteng-ganteng tersebut. Tidak ada serpihan kenangan satupun adegan yang melingkupi relung sunyi saya. Alhasil, yang berkesan hanyalah backsongnya saja--tak ada yang lebih. Bahkan kalau saja tidak ada kemiripan yang berujung pada berita-berita miring soal kemiripan antara lagu Armada dengan F4 itu, tentu saja saya lupa. Maka, saya mau berucap suwun kepada Armada--(kesekian kalinya) sekalipun saya jijik lantaran banyak menjadi penghias muda-mudi melankolis yang cengeng, apalagi lagu itu pernah di cover oleh seorang gadis sampai nangis-nangis--oh, betapa lucunya generasi milenial. Terserah anda mau menolak anggapan bahwa lag itu mirip, atau menampik ketika masa pembuatan tidak berkamsud sama. Yang pasti, Da, kemiripan lagu sampean itu telah mengantrakan saya ke hal-hal menarik di masa kecil yang sungguh hampir saya lupakan, dan yang terpenting, dari situ saya kembali teringat kenangan masa kecil yang patut disimpan baik-baik setelah hidup di masa dewasa ini yang dipenuhi kemrungsungan.
Sekali lagi, suwun ya, Armada.
(Mei, 2017)
0 notes
Text
Lelucon dan Sindiran dari Kang Putu
Sementara kita pinggirkan dulu muatan acara yang bertemakan “Wiji Thukul Tidak Perlu Dicari(?)”: gelora semangat beliau yang terus tumbuh dalam urat nadi penerus bangsa yang disalurkan dengan pembacaan puisi—baik yang dibaca biasa, dilagukan atau didramatisasi, juga pengakuan beserta ulasan dua pembicara tersohor yaitu Gunawan Budi Susanto dengan sapaan akrab “Kang Putu” dan Eko Tunas, hingga berbagai intervensi yang sempat menghiasi dari pra sampai berjalannya acara oleh beberapa pihak maupun aparat berpakaian preman. Tanpa bermaksud mengatakan bahwa pembahasan jalannya acara ini sungguh sudah biasa, namun memang ada hal yang lebih apik lagi untuk diramu menjadi sebuah pembahasan yang tentunya tak kalah menarik. Yaitu cara dan penyampaian materi dari Kang Putu yang menggunakan sentuhan satir dan jenaka.
Seperti yang sudah-sudah. Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, apabila Kang Putu diundang ke acara KMSI—entah apapun itu temanya—pembawaan dalam mengisi materi selalu diisi dengan sebuah guyonan yang kalau dicermati memang terkesan nylekit dan menohok orang-orang yang dituju. Tanpa tedheng aling-aling, kalau orang Jawa bilang, pada setiap kesempatan apapun Kang Putu dengan seenaknya sendiri dapat menghubungkan sesuatu yang pelik dengan memutarbalikan hal tersebut untuk mejadi sebuah guyonan yang membuat tertawa penonton. Tak lain adalah sindiran kepada beberapa orang berkecimpung di dunia sastra yang beliau rasa tidak beres juntrungnya. Barangkali inilah yang dinamakan “melawan dengan lelucon” seperti yang pernah diujarkan oleh Gusdur.
Humor mencairkan keangkeran sekaligus mengungkapkan ketidakberesan dengan sekaligus menertawakannya. Seperti yang diyakini Gene Perret, humor atau lelucon muncul ketika ingin mengungkapkan realitas yang disembunyikan. Dengan lelucon, kekecewaan disalurkan melalui humor yang sekiranya tertutup sensor. Humor dapat dijadikan sebagai katarsis atas kepengapan sosial yang telah mewanti-wanti setiap orang dalam ketakutan.
Seperti halnya yang telah ditunjukan Kang Putu. Dari mulai bapak Dekan saya sendiri, melebar ke dosen yang juga termasuk Sastrawan ternama hingga kritikus sastra dari Universitas Indonesia (UI) terkena sindiran yang disampaikan secara terang-terangan di depan khlayak mahasiswa. Entah, apakah latar belakang Kang Putu sebagai orang Rembang yang santer dengan saminisme-nya, atau ia ingin menunjukan bahwa hal-hal yang berisi basa-basi, munafik, naïf, dan kebohongan tidak ada dalam kamus kehidupannya atau bahkan tidak diperuntukan untuk orang yang benar-benar mengamalkan kehidupan sastranya. Tentu hal-hal tersebut dimungkinkan penyebab Kang Putu acap melontarkan pernyataaan-pernyataan yang akan membuat kuping siapapun panas.
Semisal pernyataan itu seperti ini: ketika ada pertanyaan dari peserta diskusi yang bersangkutan dengan estetik puisi Wiji Thukul, maka Kang Putu akan menjawabnya dengan panjang lebar lalu merambat pada sebuah pembicaraan yang kurang lebih seperti ini. “Mahasiswa Sastra Indonesia dibentuk menjadi seorang kritikus sastra, tapi mana buktinya, tidak ada yang benar-benar jadi kritikus sastra. Kita seringkali mengkritik karya orang lain tetapi tak benar-benar memiliki karya. Contohnya Redy yang pandai mengkritik tetapi tidak punya karya. Kalau mengkritik saja semua orang bisa. Maka berilah kesempatan kepada mahasiswa untuk jadi penulis.” Kemudian ada salah satu topik lagi yang membuatnya harus menyindir seorang Sastrawan yang terkena kasus yang memalukan bagi dunia sastra. “Sitok Srengenge itu karyanya bagus. Tapi kelakuannya yang tidak bagus.” Begitupun kritikus sastra dari Universitas Indonesia, yang belakangan membuat esai yang mengkritik sastra siber. ”Maman S Mahayana itu kritikus pekok, tidak mengikuti perkembangan zaman. Ia tak lebih cerdas dari Mudjahirin Thohir (Dosen FIB Undip).” Dan yang paling membuat saya ngakak adalah bagian ini, “Kalian pura-pura datang disini, pura-pura mendengarkan, lalu update status kalau habis menghadiri acara ini, tapi saya tahu itu semua hanya formalitas untuk memenuhi tugas kuliah kan? Apalagi banyak yang minta foto dengan saya. Saya tidak bangga difoto banyak orang. Kalian dikerjai dosen kalian.” Demikianlah beberapa buah ucapan dari Kang Putu yang bisa saja membuat orang yang disindirnya naik pitam. Tak jarang, ucapannya itu menghasilkan tawa yang meluap-luap dari para hadirin. Leluconnya bagai sebuah air yang mengaliri sungai kering. Tapi sekali lagi, menurut saya ia berusaha membuka realitas yang tertutup tabir dengan sebuah ucapan santir yang menghasilkan sebuah tawa.
Mundur sejenak kebelakang, saya jadi teringat kalau saya sendiri pernah disindir kawan seperguruan saya di media sosial. Latar belakang saya sebagai orang Semarang yang katanya clutak acapkali melontarkan pernyataan secara terang-terangan. Tak ayal saya sering mengeluarkan guyonan atau lelucon yang tak jauh beda dari Kang Putu: satir dan jenaka. Teman saya yang ‘kurang piknik’ itu kurang lebih membuat status seperti ini. “Iya-iya kamu itu pinter. Bacaannmu berat-berat. Tapi omonganmu sekarang tambah nylekit. Aku jadi ingat sebuah pepatah, kalau buku bisa mengubah pola pikir seseorang.” Kontan hal tersebut dikomentari oleh beberapa kawan juga. Seperti biasa, seseorang dengan kontemplasi rendah akan cenderung langsung mengamini setiap status di media sosial.
Ketika kekuasaan otoriter Rusia berkuasa, ada sebuah ungkapan yang lahir dari situasi tersebut: para penguasa mesti waspada ketika banyak lelucon tentang dirinya. Menurut saya tidak hanya penguasa—yang tentu menjurus pada dunia politik—namun juga kehidupan sehari-hari yang kita jalani. Jadi, pada orang-orang yang sudah terkena lelucon terlebih kawan saya, bukan tidak mungkin anda harus waspada.
*)Mei 2017
0 notes