mandalawangii
Untitled
26 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
mandalawangii · 1 year ago
Text
Memulai hal baru memang tidak pernah jadi perkara yang mudah. Waktu terus beranjak, dirimu pun demikian. Melewati satu fase ke fase yang lain dari sebuah kehidupan.
Semasa di taman kanak-kanak, kau jadi anak nakal yang kerap usil ke teman-temanmu. Berenang di sungai bersama sapi, padahal mamah bilang tidak boleh mandi di kali. Pulang-pulang dimarahi. Mandi kok sama sapi. Tempat mandi nyaman saja ada di rumah.
Menghanyutkan tas kawanmu ke selokan depan sekolah. Selepas itu temanmu mbolos dan mengadu ke orang tuanya sambil terisak-isak. Tidak sampai sejam kemudian kamu dimarahi. Dan giliran kamu sesenggukan juga. Mengadu ke mamah minta dibela. Malah tambah dihardik. Dasar anak nakal.
Di sekolah diajarkan shalat lima waktu. Kata Bu Guru,"barang siapa tidak menjalankan shalat, dia seperti Mak Lampir (aktor di sinetron indosiar yang sempat populer)." Kemudian kamu menuding nenekmu seperti Mak Lampir lantaran sudah kelewat waktu shalat, beliau tidak shalat. Kemudian, kamu dimarahi mamah. Jadi anak kok nggak sopan sama orang tua.
Kebandelan menjadi nama tengahmu waktu duduk di taman kanak-kanak: Abeyasa 'Bandel' Auvry. Kendati bandel, kamu lulus meninggalkan piala untuk TK mu. Juara 3 meronce tingkat kelurahan.
Masuk SD, kebandelanmu malu seribu kepalang, sebab di hari pertama kamu menangis karena tidak melihat papah mamahmu menunggui di depan gerbang sekolah sementara siswa baru yang lain ditunggui bapak ibunya. Semua mata tertuju padamu. Kemudian kamu dipuk-puk Bu Guru. Mau ditaruh mana nama tengahmu. Dasar jago kandang. Sungguh, beranjak dari kebiasaan lama menuju hal yang baru adalah sesuatu yang tidak pernah mudah. Kamu tak berani banyak bertingkah satu bulan pertama di sekolah barumu.
Setelah menginjak usia akhir belasan, bandelmu mulai menampakkan lagi siapa dirinya. Rektor kampus dipaido, bolos kuliah demi demo, nongkrong semalam suntuk, jarang pulang, tidak pernah mandi, menjadi komentator segala urusan. Kamu mulai nyaman dengan itu seraya ingin menekuni kenyamananmu. Bercita-cita menjadi aktivis LSM atau pentolan serikat buruh. Pokoknya melawan. Anti mainstream, melawan kebiasaan. Kalau biasanya orang-orang akademik di kampus erat dengan penelitian, kamu malah mencemooh. Fak penelitian dan segala rupa event lombanya. Fak kepatuhan pada metode ilmiah. Semua pokoknya kamu fak-in.
Sampai akhirnya kamu mesti insyaf dan beranjak menapaki realitas. Kamu harus menghidupi dirimu dan menuntaskan kewajiban studimu.
Mula-mula kamu tak nyaman dengan kebiasaan baru. Harus patuh dan tunduk pada peraturan akademik serta metode ilmiah yang selama ini kamu leleh luweh terhadapnya. Belajar hal baru adalah sesuatu yang menyenangkan kecuali belajar penelitian.
5 notes · View notes
mandalawangii · 2 years ago
Text
Dancok
Tumblr media
Halo, Abeyasa Auvry kepala dua. Life is so amazing, isn't it? Sudah jauh sekali perjalananmu untuk sampai di titik ini. I'd like to say thank you to you. Terimakasih untuk tidak menyerah pada segara taruhan dunia yang kelihatannya bisa megah instan.
Jangan lupa berterimakasih, telah dicukupkan rejekimu sampai hari ini. Dihindari dari laku yang membawa pada keburukan. Diberi pasangan yang gemati dan bisa membawa diri. Mendorongmu agar terus berkembang. Emosional dan finansial.
Hal yang paling nikmat di dunia ini adalah hidup berkecukupan. Dengan menyadari rohanimu belum seutuhnya mentas dari sifat kekanak-kanakan, kognisimu masih jauh dari bijak, dan emosimu sering meletup-letup, Tuhan memberikanmu segala sarpras dan fasilitas-fasilitator pendewasaan yang proporsional. Itu cukup.
Kenapa soal finansial tidak bisa serta merta seleluasa orang lain atau seperti teman-temanmu? Dan preferensi pertemanan berkutat pada orang-orang pengolah literasi? Itu dia, Pak Abe. "Dewasa dulu seutuhnya, baru 14 M kontan bisa cair," kata Gusti Allah sambil mesam-mesem liat hambanya misuh-misuh ngadepi skripsi yang gabisa disatuin dan page numbernya amburadul.
6 notes · View notes
mandalawangii · 2 years ago
Text
Apa keputusan terbesar dalam hidup yang pernah kamu ambil?
Itu pertanyaan yang hampir mustahil kujawab. Sampai detik ini, aku tak yakin pernah benar-benar memutuskan sesuatu atas perkara besar. Bahkan nyaris tak ada perkara yang cukup serius.
Apabila direka ulang, alur hidupku lebih banyak diarahkan oleh orang-orang di sekitarku. Memilih sekolah, memilih tempat magang, memilih kampus, bekerja, dan bagaimana menjalani kehidupan sampai seperempat abad lamanya.
Satu, ada kenikmatan seperti benar-benar melebur dalam society. Barangkali itulah keputusan terbesar yang pernah aku buat dalam hidupku: berdamai dengan keadaan.
1 note · View note
mandalawangii · 2 years ago
Text
Gladi Bersih Berumah Tangga
Tumblr media
Setelah meletakkan tas di bangku tepi sungai, ia sudah ilang dari pandangan. Kusisir pandanganku sampai tepi lapangan dan sudut-sudut nylempit demi tau keberadaannya. Setiti dan hati-hati, teliti menyensor anak berbaju putih. Semua indera kuoptimalkan. Dan mataku menangkap objek putih bergerak menuju tengah sungai dengan senyum sumringah di wajahnya. Sesumringah air merambat naik lewat medium kain celananya, seperti minyak tanah yang merambati sumbu lampu teplok, hampir separuh basah.
Kupanggil ia untuk naik ke tepi sungai, sembari kusodorkan celana pendek. Hanya itu bekalnya, dan selembar kaos polo berwarna merah.
Ia lantas cekatan mengganti kostum untuk tampil di antara ikan-ikan cethol dan batu kali. Melenggang kangkung mencicipi tiap morfologi sungai. Memindahkan batu-batu dan menyusun bertingkat. Seperti ingin menyaingi menara Eifel, atau bendungan Kariba.
Anak itu gigih mengumpulkan batu-batu. O, tapi jangan pernah lupa, Ferguso: kita sedang di Indonesia yang proyek-proyek serupa kerap dibiarkan mangkrak dan paling banter dikorupsi. Sebab, terakhir kali nenek moyang mereka, Si Bandung Bondowoso, nggarap proyek seribu candi dalam semalam malah dikibuli bos-nya, Roro Jonggrang. Wkwkwkw.
Jadi kita warisi saja semangat memangkrak-kan susunan batu-batu dan berciblon ria. Sementara aku pacaran dengan Mbak Ira, kakak tertuamu, sembari senyam-senyum menerawang masa depan anak kami yang kelak berciblon ria pula di sungai kecil di Ledok Sambi. Seperti dirimu hari ini. Dan kalau dirimu ikut, akan dipanggil "om" oleh si Lantang atau Lintang atau keduanya.
Saat hujan mulai turun dan di atas sana awan terlihat mendung hebat, lekas-lekas kakakmu menyelamatkanmu dari banjir bandang, sekaligus menyelamatkan dari masuk angin. Apa yang lebih menyenangkan bebersih diri di bawah air keran dan menikmati teh hangat setelahnya (?) Iya, sayang seribu sayang, kentang goreng dan pisang kemul kita datang terlambat. Amat sangat. Atas nama "tadi sudah jalan dan nggak ketemu", pramusaji itu bersembunyi di baliknya. Padahal tak pernah diider orderan snack kita ke titik seperti teh poci diantarkan. Belakangan, pramusaji terakhir mengaku nota dan label nama pemesannya ketlingsut. :))
Tapi hujan tak kunjung mereda. Hari mulai gelap, lampu-lampu sudah dinyalakan, dan matahari berangsur tergelincir ke barat. Kita harus pulang sebelum benar-benar gelap. Jadilah kita membelah badai. Saling dekap di bawah selembar jas hujan kepunyaan kakakmu.
Kakakmu kuyup, pun wajahku seperti mendapat terapi akupuntur geratis. Nampani hujan deras yang turunnya keroyokan. Sementara kepalamu teklak-tekluk kesana kemari lunglai tak terkendali. Ya, enak bukan tertidur di tengah-tengah kami yang kehujanan (?) wkwkwkw. Demikian aku takzim, barangkali di luar sana banyak anak-anak seumuranmu yang jika kehujanan menerjang badai banyak mengeluh. Tapi Fazar tidur dong :)) sampai tak sekata keluh pun keluar terucap. Sebaik-baik bersyukur atas keadaan.
Semoga kelak jadi orang sukses multisektor ya, Le.
6 notes · View notes
mandalawangii · 2 years ago
Text
Halo Semesta. Terimakasih banyak sebelumnya sudah menghadiahiku perempuan setulus Dira. Di usiaku yang sudah menginjak seperempat abad, itu adalah limpahan karunia yang tanpa kira-kira.
Kami berlatar belakang kultur yang jauh beda, dan tumbuh di lingkaran yang berbeda pula. Kami mengambil keputusan untuk saling belajar, menutupi kurang satu sama lain, berusaha menjadi rumah tempat berpulang.
Semesta, jalan tak selalu halus. Tak selalu datar. Tak selalu bebas hambatan. Kendati kami baru setahun bersama, sudah sebanyak itu lintangan arang. Aku sangat bersyukur Dira adalah pribadi yang selalu berkenan untuk membicarakan segala hal. Ia tidak sungkan memulai obrolan terlebih dahulu di kala aku tengah berkecamuk emosi.
Kadang aku malu karena masih sering bertingkah kebocahan. Tapi Dira mau mengalah untuk itu. Lebih sering aku malu karena mesti mendekam lebih lama di sekolah karena studiku. Dan karena tanggungan itu, aku belum berpenghasilan. Itu memalukan tapi mesti aku terima dan aku jalani. Kondisi ini kerap menyebabkan emosiku tidak stabil. Tapi Dira selalu nyetok semangat untuk aku menuntaskan studi. Yang kutau, Dira juga menerima dan menutupi kurangku.
Kiranya, aku akan jadi orang yang tidak tau berterimakasih jika tak bisa sekedar menyelesaikan kuliahku. Sebab, ada orang yang tadinya bukan siapa-siapaku, lantas memilih untuk membersamaiku. Sebab, kita tak pernah ada hubungan darah tapi ia memutuskan untuk menguatkan lebih dari mereka yang punya hubungan darah denganku.
Saat ini, aku berada di titik puncak merasa tak layak untuk siapapun, tapi lagi-lagi ia masih menerimaku.
Aku bingung bagaimana kelak akan membalas kebaikannya. Hati setulus itu, Ya Allah, berikanlah selalu kebahagiaan untuknya. Sertakanlah keberkahan dalam setiap pilihannya.
0 notes
mandalawangii · 2 years ago
Text
Perasaan layaknya air. Tak sedikit air jadi penyebab pecahnya konflik antarmanusia, antarkelompok, bahkan perang antarnegara ketika cadangannya amat terbatas.
Ketika oversupply, ia menjelma bencana. Di Pakistan, sekiranya 1500 orang meregang nyawa disapu banjir bandang.
Ia hebat dan amat hebat.
Perlakuan yang tak adil dalam mengolah sumberdaya air berdampak tak terkontrol. Sungai Nil, lebih dari separuh airnya dialirkan ke Mesir. Sementara di hilir, di Ethiopia, bahkan sekedar uap airnya pun ia tak kebagian. Kita mesti menerima bahwa di satu wilayah orang-orang bergelimang air, lainnya harus mengidap busung lapar dan dehidrasi karena tak kebagian air.
Persis seperti emosi, pada hal-hal tak penting, yang mestinya bisa jalan begitu saja, justru dikuras habis. Sedang di bagian lain, ada ruang yang butuh diisi afeksi, merekah kekeringan tak kebagian. Bunga keburu mati, dan layu. Busung berangsur lapar dan hampir menggelepar. Kecewa merilis diri ke udara lepas, meninggalkan jejak yang terperangkap, tak bisa dihapus dan tersimpan di ruang angkasa. Mewarisi sesal yang bakal menahun.
1 note · View note
mandalawangii · 2 years ago
Text
Hari ini aku bahagia. Setidaknya setelah melewati jam-jam penuh kebosanan: mendengarkan ceramah dosen yang jauh dari materi dan menunggu vania perawatan.
Inilah hari pertamaku kuliah. Yang mesti kutebus guna menyelesaikan tanggungan nilai. Sebenarnya, kalaulah ada hal yang lebih membosankan di dunia ini ketimbang menunggu, itulah mendengarkan ceramah Pak Nurhadi. Dan aku harus menempuh itu.
Ternyata beliau tak juga kunjung berubah. Sedari awal sekali aku masuk kuliahnya di semester pertama, ia hanya dan selalu mengutip kompas sebagai bahan ceramah. Dan sembrono main klaim. Iya, dia sebatas melontarkan klaim, pernyataan, tanpa argumen logis ataupun data. Itu memuakkan. Dan nahasnya, ternyata tabiat itu berlangsung dan terus langgeng menahun. Sampai sekarang. Itulah alasan logis mengapa mendengarkan ceramahnya termasuk giat paling membosankan sedunia.
Demikian, aku tak kaget berhadapan dengan metode usang Nurhadi. Paling tidak, pengalaman bertahun-tahun kuliah dengannya, membuatku jadi sedikit lebih bisa beradaptasi. Datang, absen, cari materi sendiri, catat sendiri. Itu. Toh, materi yang kudapat jauh melampaui slide ppt yang ia tayangkan. Secara kuantitas dan kualitas. Yang barusan adalah klaim, tapi bisa diuji. Wkwkw.
Di tengah jalannya perkuliahan, aku terbersit sesosok yang menjadi alasanku datang ke ruang kuliah 11, tempat kuliahku itu. Untuk mengawali kelasku hari ini, ia mengirim pap foto berangkai empat, yang terakhir, fotoku yang jelas absurd. Ia ternyata alasanku.
Kadang, aku heran, bisa aku sampai berada di kelas ini, datang dengan niat menjadi pribadi yang lebih baik, dengan maksud menyelesaikan tanggung jawab, bahkan lebih. Aku kok begitu niat mengulik materi. Padahal, tak pernah sebelumnya seniat ini meski di awal semester.
Andaikan aku tak pernah diketemukan dengannya, mentok-mentok, kalau sudah harus ngulang kuliah, ngancing, aku mending pasrah dan adu betah dengan dosen jurusan agar mereka mengalah mengurusi administrasi nilaiku dan memberi sidang cuma-cuma.
Pola pikir demikian no longer exist in me. Nilai yang kelak terisi adalah sesuatu yang tidak 'given' karena belas kasih jurusan melihat nasib mahasiswanya tak kunjung lulus. Meski ada beberapa yang demikian, dulu. Tapi jaman sudah bergulir. Dan sistem sudah diperbaharui.
She changed me.
Aku merasakan itu. Aku merasakan perubahan pada pola pikirku dalam memandang dunia.
She also set my mind. Not the whole, but its so impactful.
Niat dan laku menuntaskan mata kuliah yang nilainya masih tersendat adalah hal baru bagiku. Sebelumnya, sama sekali tidak. Ada matkul aku mengulangnya bahkan sampai tiga kali, dan nilaiku berhasil keluar karena dosen pengampu mata kuliah terkait jengah bertemu aku tiap tahun, selama tiga tahun. Semester tiga, diulang di tujuh, dan dipungkasi di semester 9. Demografi.
Berbarengan dengan itu, kini aku merasa lebih baik. Setidaknya di awal. Dalam hal mengulang mata kuliah.
Epilognya, aku hanya ingin menggugurkan quotes yang selama ini, baik sadar atau tidak, sedikit banyak lekat di benak kita, 'semangat itu datangnya dari dalam diri sendiri'. Dan ditambahin, 'kalo semangat masih dateng dari luar, dari orang lain, itu tandanya lu belom jadi diri lu sendiri'.
Itulah quotes yang sudah selayaknya mulai kutanggalkan saja. Quotes ego sentris. Dan mulai memahami kalau diri kita adalah kutipan dari lingkungan. Bagaimana mungkin semangat ga datang dari luar, sedangkan diri kita sendiri banyak mengutip lingkungan di luar diri kita?
Terimakasih sudah menciptakan lingkungan yang mendorongku untuk terus berbenah, Dira, pacarku, yang berangan-angan hidup di masa Boedi Oetomo.
Tulisan ini merupakan renungan materi kuliah hari ini yang kudapat dari browsing, bukan slide ppt nya Nurhadi. Mengutip materi Biogeografi Muhammad Zid (2019), tanah dan iklim akan menentukan jenis tumbuhan, dan pada tahap selanjutnya jenis tumbuhan yang ada di suatu tempat akan menentukan fauna mana yang cocok berkembang biak melanjutkan hidup, dan mana yang mesti punah lebih cepat.
Environment do their job determinantly.
1 note · View note
mandalawangii · 2 years ago
Text
Menjadi saksi dan membersamai kegiatan sehari sesiang perempuan kesayanganku adalah asupan nutrisi lahir batin. Ialah Mamaku dan Dira. Susur kampung, memancing ikan, membersihkan satu per satu isi perut ikan, memasaknya, dan mengabadikan semua dalam sekotak canggih gadget besutan Tim Cook, CEO pengganti Steve Job dalam perusahaan yang sama.
Ahad ketiga Agustus ini yang seharusnya aku punya jadwal mengikuti kelas GIS, digantikan dengan berlelahan dan berbahagia dengan orang-orang tersayang. Dengan giat yang sudah lama tidak kulakoni.
Malamnya, pada Sabtu, aku hendak menyusul mama yang sudah lebih dulu tiba di tempat bersama santriwan-santriwatinya. Namun, niat itu urung kutunaikan. Sebab yang pertama, aku kini kian jompo dan mulai tak kebal lagi dengan angin malam. Musabab yang kedua, kalau toh akhirnya aku harus bermalam di sana, aku mesti berbaring tidur di limasan selatan sendiri atau hanya berdua Mama, padahal bangunan itulah bagian terangker kompleks tempat Mama bermalam.
Mama benar-benar penakut soal berhadapan dengan makhluk astral. Itulah, kuyakin, alasan Mama mengajak aku dan Dira untuk berkunjung. Untuk sekedar mengawani saat mesti menjelajah ke bangunan utama atau limasan selatan. Dan benar saja. Saat esoknya sesampainya aku dan Dira, mama tak sedikit meminta dikawani untuk sekedar menuju kamar mandi di ruang utama atau mengambil minum di limasan selatan. Padahal saat itu matahari sedang di puncak hari, sedang terang-terangnya, sedang terik-teriknya.
Malamnya sebelum berangkat menuju tempat mama bermukim singkat, Dira kuajak bermalam di sana. Agar dalam melakukan perjalanan malam, dadaku hangat dipeluk, dan tidurku nyenyak bersamanya meski di tempat angker. Tapi ternyata kita baru bisa berangkat pagi hari.
Aku sengaja siapkan madu hangat untuk Dira. Kuminum sebagian dulu. Itu untuk meyakinkan bahwa setengah botol madu sisanya bebas dari segala marabahaya entup tawon yang terbawa dalam kandungan madu. Karena haqqul yaqin, ia tak sempat sarapan. Kendati madu dalam botol surut, itu sama sekali tak menyimbolkan berkurangnya rasa cintaku padanya. Segitu cintanya, sampai harus habis setengah botol untuk memastikan madu aman. Gemati, bukan?
Kukatakan sebelumnya kepada kekasihku, bahwa esok aku mesti balik sebelum pukul sepuluh pagi. Karena aku ada jadwal kelas. Demikian, aku mengimbau agar kita berangkat pagi-pagi buta dan kembali pulang sebelum pukul sepuluh. Berangkatlah kita pagi buta.
Di tengah perjalanan matanya menyipit diterpa angin dan debu bercampur kantuk yang belum beranjak. Ia mengeluarkan air mata. Padahal sebelumnya ia riang bercerita soal perjudian dan makanan haram hasil judi. Dan tak sedikit aku menimpali ceritanya dengan ceritaku. Aku khawatir jangan-jangan matanya berair karena aku salah mengucap.
Mamah adalah orang yang ubet dan suka menyaksikan orang ubet. Ubet bekerja, olahraga, berkegiatan, dan atau segala jenis ubet yang lain. Oleh karena itu, setibanya kami di sana, tanpa sempat leha-leha, kami lantas macak berolahraga pagi. Lepas dari pengawasan pandangan mama, ya jalan santai.
Kami berjalan santai menjelajahi bumi Pakem. Melewati halang rintang tai kebo, menyusuri jalan setapak sambil latihan beban. Kugendong pacarku di sebagian jalan berkerikil. Sisanya bermesraanlah. Kapan lagi.
Karena takut tersesat, kita kembali. Tepat dua puluh lima menit. Waktu yang biasa kugunakan sebagai acuan berolahraga pagi. Dan kembali menyambangi mama di tempat menginapnya semalam.
Rencananya, kami akan memancing selepas berolahraga. Namun, Dira hendak ikut Mama jalan santai lagi. Jadilah kita berjalan membuntuti mama bersama santriwan-santriwati. Semua membuntuti Mama. Membuntuti temponya juga yang tidak santai.
Aku gembira.
Setelah lelah berjalan ke pelosok kampung, melihat sawah-sawah, pohon-pohon, dan menghirup udara pedesaan. Kita meng-kaffah-kan diri sebagai pelancong yang siap melakoni kegiatan ala desa: memancing. Inilah saat paling dinanti.
Kami memancing dengan umpan bakso ikan. Ya, begitulah, ternyata bukan cuma teman yang kanibal memakan sesama teman. Ikan pun.
Tak kusangka, Dira ternyata cukup berbakat dalam berburu hewan air. Inilah pasti, tanda-tanda alam, kita akan memiliki anak lelaki kelak ketika sudah menikah. Kalaupun perempuan, kami akan memberikan nama yang maskulin. Kecowok-cowokan.
Ikan demi ikan kami masukkan ke dalam ember. Biar kecil, asal jadi pembuktian betapa lihainya kami berburu. Biar semesta melihat. Kendati wadah keangkuhan kita hanya ember berukuran diameter tak lebih dari 30 sentimeter. Tapi cukup untuk mewadahi semuannya hari itu. Saksikanlah, semesta, pacarku jago berburu.
Setelah berburu, selayaknya orang-orang memulai peradaban untuk menyambung hidup, yakni saatnya meramu. Kami mengumpulkan bahan-bahan untuk mengolah hasil buruan. Walaupun hanya masako. Kami meracik, memarinasi, dan menggoreng hasil bumi yang berhasil diambil tadi.
Kita telah melakoni praktik seperti awal mula berkembangnya peradaban manusia. Aku merasa cukup beradab, demikian. Ini adalah kali kedua aku mencari, mengolah, dan memakan hasil olahan sekaligus. What a wonderful spring.
Kadang meski bagi sebagian orang, hal tersebut tampak tidak menarik, namun aku begitu berkesan menjalaninya. Aku jadi belajar bahwa bertahan hidup perlu proses. Kendati hidup adalah hal lain. Hidup memang sesuatu yang terberi, given. Tapi bertahan hidup menuntut kita untuk selalu berproses. Itulah.
Barangkali Dira adalah hal yang diberi Tuhan untukku, namun, menjaganya, menyayanginya, selalu bersamanya, dan menjadi pasangannya adalah hal yang patut diperjuangkan, sebagai sebuah proses yang utuh.
Seperti itu pula, kelak akan bermuara pada rasa syukur yang tak terkira setiap kita menyelesaikan bagian-bagian dari proses ini. Aku bersyukur, Han, memilikimu.
1 note · View note
mandalawangii · 2 years ago
Text
Tumblr media
Ada beberapa hal yang tak dapat ditarik kembali, di antaranya adalah kata yang telah terucap. That's why, the way we deliver is really matter. Sebab, sekali lepas benar-benar tak bisa mengembalikan seperti semula. Baik luka yang ditoreh, harga diri yang dihempas, atau kepercayaan yang dirobek. Oleh kata. Pasti ada yang tak utuh.
Dalam sebagian lingkaran pergaulan, membenci orang ceplas-ceplos adalah lumrah. Apalagi ceplosannya jauh dari faedah. Bahkan harus. Yang itu juga bagian dari menyelamatkan diri dari relasi toxic.
Namun toh, meski acapkali tak sepakat dan ingin lekas-lekas mengomen, ada kalanya kita juga mesti ngampet untuk tidak memberikan komentar. Memikirkan baik-baik kata yang hendak dilontar. Karena sekali lagi, sekali terlontar, ia tak pernah mengembalikan seperti sedia kala. Itulah, kadang aku menyesal telah banyak omong.
Pilihan terbaik adalah ngomong seperlunya. Menyimak lebih banyak. Demikian, setiap kata punya damage. Puasa ngoceh adalah laku revolusioner.
1 note · View note
mandalawangii · 2 years ago
Text
Meski tak bisa dipastikan, namun tetap bisa dipersiapkan. Dan kesalahan terbesar adalah tidak mempersiapkan dengan baik. Sangat klise, tapi begitulah masa depan.
Memang sudah seharusnya pelajaran untuk menentukan pilihan dan tanggung jawab menerima konsekuensinya diberikan sejak dini. Yang benar-benar menjadi pilihannya.
Jadi, tanggung jawab orang tua bukan memilihkan sesuatu untuk masa depan anak. Namun, mempersiapkan anak untuk dapat memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya.
Semua yang akan menjadi pertimbangan untuk memilih kelak, juga sepatutnya tak perlu direkayasa. Seperti kondisi sosial, ekonomi, dan budaya.
Sebab, pilihan bertolak dari pengetahuan akan realitas saat ini. Dan hidup cuma perkara memilih.
Berbohong atas kondisi saat ini, hanya akan membutakan afeksi dan kognisi dalam menjatuhkan pilihan. Akhirnya keputusan yang diambil tak pernah benar-benar kokoh berdiri di atas realitas. Ia sekedar angan-angan kosong di ruang hampa.
2 notes · View notes
mandalawangii · 3 years ago
Text
Ya Allah, maaf. Kalau kuliahku mundur setengah atau setahun, jadikan itu benar-benar cukup untuk bekal seumur hidup.
1 note · View note
mandalawangii · 3 years ago
Text
Tumblr media
0 notes
mandalawangii · 3 years ago
Text
People lie, people manipulate, people hypocrite. Orang-orang menutupi kinerja buruknya, orang-orang lempar-lemparan, orang-orang makan gaji buta. Orang-orang merendahkan orang lain untuk dirinya agar terlihat lebih tinggi. Kontol!
Sementara yg lain nggah-nggih karena butuh orang-orang di atas. Asu!
1 note · View note
mandalawangii · 3 years ago
Text
Lontarmu kata yang sepatah, "kalau putus sukar untuk move on," di tengah ramai warung sate itu benar adanya. Aku bersaksi atas keakuratan prediksimu. Tapi enggan juga, kalau bisa tidak putus, mengapa harus.
Geli diraba kata-katamu seraya berbungah. Bahagia. Itu hal otentik, genuine, dan bukan saduran. Itu lewat proses panjang yang melibatkan hati dan memori. Disampaikan oleh bibir yang masih basah kuah tengkleng.
Sesekali aku terbawa pada kisah-kisah manusia lain yg dijodohkan seperti memilih kartu pada meja judi. Tak seberuntung aku, perjodohan mereka segala memakai seperangkat ritual, sosok perantara untuk berinteraksi, dan perkenalan singkat yang terkesan dibuat- buat. Bukankah itu sangat artifisial dan tidak organik?
Syukur seribu syukur. Aku diperhadapkan dengan yang bukan demikian.
Sesekali, barang sekali kita perlu merayakan perjalanan. Kembali menapaki bumi perkemahan kaliurang. Merebahkan diri di rumputnya. Menatap batas laut dan daratan dari pinggir tebing. Berteduh dibawah pohon cemara pantai. Kebisingan di bawah galvalum yg menampung hujan. Jajan es doger di pinggir rel. Membisiki rayu ditengah perjalanan. Dan duduk manis berseberang tempat saling hadap, di sudut utara sebelah paling timur dari deretan bangku randu kuning.
2 notes · View notes
mandalawangii · 3 years ago
Text
19 jan 2022 pagi, aku terbangun setelah sebelumnya tidur usai shalat subuh. Di bangun tidur yang kedua, kuhabiskan satu bab Burung-burung Manyar karangan Y.B. Mangunwijaya sebelum beranjak dari ranjang. Cukup menguras energi hingga lapar datang. Aku berjalan sempoyongan dari rebahku untuk menyambangi meja makan. Dalam perjalananku, laptop yang biasa papa gunakan nyetel yutup ditinggalkan terbuka pada laman google dengan kata kunci pencarian 'olahraga yang cocok untuk penyakit jantung,' kudapati itu. Tak seperti biasanya yg tertinggal menyala di laman yutup menyetel ceramah Gus Baha.
Dari dapur, mama menanya, 'hari ini acaramu kemana, Nak'?
'Neng omah wae, Mah,' sahutku ragu sembari menghampiri beliau di depan kompor.
'Temani mama olahraga ya hari ini, takut kenapa-kenapa di jalan, tadi dadanya nyeri dan sesek.' Tukas mama.
'Oke'
Dan kami berjalan mengitari kampung selepas bersiap macak mengenakan kostum olahraga.
Empat kilometer berjalan kaki, kurang lebih. Lelah betul. Sesampainya di rumah, kakinya yang sudah lebih seminggu tak diajak berolahraga pagi terasa nyeri. Mama sampaikan itu sambil mengeluh. Tapi toh materi untuk mengajar anak-anak TPA nanti sore tetap ia kerjakan. Ya, sore nanti mama memang kejatah jadwal mengajar.
Barangkali ada yang berbeda hari ini dengan mama, jadi kusempatkan mengarsip runtutan peristiwa ini. Mungkin untuk beberapa waktu ke depan.
1 note · View note
mandalawangii · 3 years ago
Text
Kadang serintik hujan tak pernah luput sebagai penanda semesta. Semesta yang bakal mengantar dua sejoli menggenggam lebih erat. Mendekap lebih dekat satu dan yang lainnya dalam hari-hari di kemudian. Merengkuh lebih tabah pada kesalingan membagi keluh.
Mereka kiranya membuka obrolan diplomatis di tengah rinai soal bagaimana menuju tempat makan. Merekalah bersepakat memilih berjalan kaki sebagai moda perjalanan usai hujan malam itu. Hujan deras mohon diri dengan rintik-rintik "Tolong antarkan mereka" seraya pergi sedikit menjauh. Habis rintik, bukan cerah yang terbit.
Memilih google map sebagai pedoman adalah laku modern, sedang tak semua wilayah menerima modernitas untuk diterapkan sebagai budaya lokal. Jadi kadang, taklid buta pada peta datar google tak semenjanjikan kala berpedoman pada kitab tradisional. Hal itu benar belaka adanya.
Dua sejoli itu, sebutlah Aku dan Kekasihku, menyusuri kota asing dengan berjalan kaki memedomani gawai. Si Aku, lelaki yang suka mengaku kecerdasan spasialnya di atas rata-rata, agaknya sedikit gugup malam itu lantaran medan tak sebenderang lampu kota. Ekspektasinya, kota semaju itu sudah terpasang lampu penerang sampai di setiap sudut ter-nylempit-nya. Lebih-lebih walikotanya anak presiden sendiri, presiden yg demen mbangun sampe ke pelosok.
Ternyatalah tak sedikit dari pelosok kota itu masih remang-remang. Cahaya remang itu kadang memantul lewat genangan-genangan air sisa hujan yang tak tahu jalan pulang, tak ke bengawan solo, atau sekedar meresap ke tanah. Terjebak pada lekukan aspal, menghadangi tiap pejalan kaki. Air yang tak pernah tau jalan pulang sebelum terik datang menguapkannya. Air yang bicara lewat bahasanya riuh mengajak kami bercerita malam itu. Akulah air si paling akrab denganmu, perkenalan itu disambut oleh sandal Kekasihku, Aku ciprati comberan sandal Kekasihku, begitu sebenarnya yang terjadi.
Penyeberangan kedua memotong jalan besi kereta, Aku dan Kekasihku menghadapi kampung bekas gempur yang gulita. Bukan gelap lagi. Tembok-tembok pemukimannya tak lagi utuh. Ia mirip bentuk tinggalan sisa peradaban masa lampau yang dipaksa untuk ditiadakan. Dimusnahkan. Angin berembus tak dihalang ruas-ruas bangunan, langsung menabrak setiap orang yg masih berdiri tegak di tengahnya, bersama residu-residu kekalutan yang belum enyah dari tempat itu. Nyali mana yang tak ciut menghadapi kota yang dipaksa mati.
Hanya Aku, Kekasihku, dan kami yang saling berangkul jemari.
Menghadapi tinggalan penggusuran, menghadapi gelap, menghadapi orang-orang yang masih tersisa disana. Bahkan sinar purnama pun enggan masuk kedalam menerangi. Kenapa gerangan sinarnya tak sudi menaungi barang beberapa muka orang-orang itu. Sekiranya rembulan tak sampai hati betul menyoroti kepayahan pada wajah mereka. Mereka berbanyak dalam gelap, seperti gerombolan yang mencari bahagia dengan nasib. Mencari damai dengan dorongan barang haram. Seraya melepas-lambungkan masalah hidup ke langit-langit, dan hanya dengan mabuk kiranya, setahuku, mereka bisa menunaikan hal tersebut. Lepas kontrol atas diri mereka sendiri, merasa diatas angin. Dengan itu, orang bisa jadi kejam sekejam-kejamnya, bengis sebengis-bengisnya. Khawatir itu merasuk dan menjalar ke saraf-saraf otak Aku, dan mungkin juga Kekasihku. Lebih-lebih jika mereka diperhadapkan dengan kesempatan-kesempatan berbuat bengis. Seperti mereka, orang asing yang lewat tanpa sapa diantara pemabuk, lalu kebingungan arah dan memutuskan putar balik. Sasaran empuk.
Hanya lampu teplok pada satu-satunya warung angkringan di bawah pohon di selasar reruntuhan puing, setelah Aku dan Kekasihku memilih putar balik. Binarnya lampu teplok itu menyoroti muka ibu pedagang. Ia habis lewat 50 umurnya, kerutan wajahnya dibawah lampu teplok tergambar jelas. Selayak lansia yang seharusnya mencari tenang. Tapi toh ia malah mencari nafkah. Aku tenang, wanita serentan itu tak jadi bulan-bulanan gerombolan yang kukira pemabuk. Aku tau mereka masih punya hati untuk melarisi dagangan wanita tua itu. Itu. Meski Kekasihku masih terus enggan menghampiri warung angkringan. Kutarik tangannya, "tenang," batin Aku dalam hati.
Apa boleh buat, Aku dan Kekasihku bertaruh selamat. Kuhampiri juga ibu penjual itu dengan senyum ter-andhap asor yg pernah kulemparkan, dengan menggandeng serta tangan Kekasihku. "Nyuwun sewu bu, ajeng nyuwun pirsa, menawi ajeng ten masjid Al-muttaqin medal pundi nggih, buk?" Kututurkan ramah. "Waduh, neng endi yo mas, radi angel dalane" balas si ibu. Lantas beliau melempar tanya jauh pada salah seorang gerombolan di seberang warungnya "Mas! Masjid Al-muttaqien lewat ngendi yo?" Sambil berisyarat menunjukku yang tanya hal tersebut ingin mendapat jawaban. "Cobi mas, mang tanglet mas e niku" suruh ibu itu padaku. Kuhampiri pemuda dalam gelap itu, dan kuulangi pertanyaanku. "Woalah medal mriki mas, tapi angel dalane. Nek luwih penak mubeng mriko mas. Entek-entekan gempuran, belok kiri," Jelasnya.
Aku tenang, sedikit. Tak jadi kita dibantai. Tapi tetap harus melewati kota mati itu jika tak ingin memutar jauh. Sementara kekasihku masih ingin keluar dari kota mati itu, dengan bujuk rayunya. "Maaf sayang, kita harus memutari kota mati ini jika ingin selamat" batin Aku dalam hati, sambil tetap menggenggam tangan kekasihku, lebih erat. Aku menaruh taruhan pada tuturan pemuda tadi. Eh lupa, Aku sama sekali tak memegang tangan Kekasihku. Kekasihku panik, Aku makin panik saja. Sama panik. Panik memang menular. Aku hanya khawatir kepanikan akan mengundang bahaya jika dipertontonkan berlebihan. Diantara ribuan pilihan, panik tak pernah jadi pertahanan diri yang ampuh. Bergulat meredam panik dalam diri sendiri memang tak mudah. Kita harus tenang terlebih dulu sebelum menenangkan orang lain. Sementara katalisator panik terus merasuki akal pikiran.
Tetap jalan dan menemukan terang kembali. Aku lupa apa yang terjadi, tapi Kekasihku jadi diam. Menjauh dari mara dan bahaya kota mati. Berjalan jauh. Mengisi perut dengan tenang, dan diujung penghabisan sepiring nasi, Aku merasa bersalah Kekasihku mendadak pendiam, sesaat itu sekaligus bersyukur.
***
Air matanya meleleh. Aku memohonkan maaf padanya. Aku kan yang merasa jadi rumah dengan mengangsurkan tangan menyeka basah di pipinya.
1 note · View note
mandalawangii · 3 years ago
Text
Han, setiap melanglangi rimba perkara, senyummu selalu hadir setelahnya. Lamat-lamat teringat. Bagaimana senyummu merekah kala kupandangi lembar keningmu. Papar rona senja atau lampu kota.
Ah! Maaf ya han. Sekali lagi maaf.
Aku sering lupa kalau kamu adalah kutipan masa lalu, kutipan nenek moyang, dan lingkungan. Aku sering lupa kalau setiap manusia adalah unik. Aku sering lupa itu semua. Yang kuingat malah masa depan. Aku sering lupa kalau penerimaan butuh waktu. Aku sering lupa kalau sembuhnya luka perlu dekap. Maafkan ya, Athena.
Kudekap erat lewat maafku, untuk luka yang harus disembuhkan. Kalau lah aku tidak pula cukup jadi penawar, setidaknya aku tidak jadi masa pahit yang menggarami lukamu. Sehat selalu ya :) pasti sembuh. Kurajutkan benang fibrin terbaik untuk lukamu.
3 notes · View notes