makelarkopi
Tanpa judul
1 post
Don't wanna be here? Send us removal request.
makelarkopi · 6 years ago
Text
Arusku.
Masih ku ingat bagaimana aku bisa sampai hidup seperti sekarang ini. Hidup sebagai seorang mahasiswa di sebuah kota bagian ujung pulau sebelah timur, dikelilingi gunung dan bukit. Mimpi untuk tumbuh dan berkembang, memikul beban kepercayaan kedua orangtua yang hampir 100%. Di awali dengan perjalanku sendirian dengan modal dari orangtua, aku menelusuri tiap ruas rel kereta dengan balok baja yang di dorong dengan kekuatan diesel, berangkat sendiri dengan bekal uang dan makanan dari orangtua. Saat itu tak terfikirkan akan tersesat bahkan percaya diri akan bisa menaklukan kota yang di gadang-gadang kota dingin dan makanan yang serba murah. Dengan penuh semangat terus mengikuti tiap ruas rel.
Habis sudah ujung rel, perjalanan sekitar 1000km sampailah di kota tujuan. Semangat ku terhenti dan mulai berfikir, bodohnya aku, disini siapa yang akan memberikan ku petunjuk jalan ke tempat akan tinggal? Dimana tujuan ku?. Sambil duduk di tempat itu aku berfikir dan mendapat jawaban, kawanku kecil tinggal sebagai mahasiswa juga di kota ini, aku hubungi dia dan mengharapkan ketersediaannya untuk mengajak ku ke tempatnya sementara sambil menjadi guideku di kota dingin ini.
Lewat sudah masa ku berkenalan dengan kota dingin ini, ku menemukan keluarga baru disini dengan keramahan dan perhatian penuh layaknya keluarga di rumahku. Walau kami beragam dengan berbagai macam sifat semua dapat menerima ku apa adanya dengan sifatku yg serba kurang. Aku lebih nyaman di dalam "rumah" baru ku ini ketimbang melakukan "kegiatan" kampus yang penuh intrik politik, namun tetap memantau pergerakannya.
6 bulan habis. Kenyamanan ku di dalam "rumah" mulai terusik dengan zona yang menurutku lebih asik yaitu dunia pertemanan. Pertemanan satu perjuangan dengan satu perguruan namun berbeda suku. Aku di perkenalkan pada budaya mereka yang saat itu aku anggap menarik dan akan menjadi seru jika prinsip berbeda namun satu itu benar adanya.
1 tahun, 2 tahun, dan 3 tahun, dan tibalah pada tahun ke 4. Dimana semua perasaan antara keluarga, sahabat, teman, dan perasaan mulai menginvansi kenyamanku. Hidup di kota perantauan ternyata bukan semudah hidup di kota sendiri yang sudah ku hapal segala perilaku orangnya.
Jika di hitung dari awal, mungkin karena aku yang tidak pernah menghitung berapa teman yang pantas kusebut kawan kini konsep tentang pertemanan dan perkawananku semakin jelas. Mana lawan, mana kawan, mana teman. Semua ini ku dapat dari perlakuan mereka terhadap ku. Jika ada seseorang yang menawarkan konsep perkawanannya dengan prinsip loyalitas, aku marah bahkan kesal dan akan mempertanyakan konsep dari loyalitas itu. Karena menurutku berteman, apalagi berkawan bukan soal loyalitas yang di pandangnya dalam materi. Semua takaran pertemanan ku bukan soal loyalitas materi tapi lebih pada tingkat kesadaran diri. Dimana dengan kita berkawan dengan orang lain kita sadar bahwa saling tolong menolong adalah kewajiban walaupun ada juga alasan kita untuk tidak menolong karena ada sesuatu yg lebih mendesak. Selama ini aku nyaman dengan perkawananku yang seperti ini, dan setelah di hitung orang yang menyadari berkawan dengan ku hanyalah sedikit bahkan tidak sampai 15 orang, kelompok yang kami bangun atas dasar perbedaan yang coba untuk disatukan mulai di rusak dengan orang-orang yang ingin mencari pengaruhnya dan malah makin menunjukan sisi runcing dari sifat masing-masing orang itu dalam kelompok yang membuat ku semakin sadar untuk menarik diri.
Aku masih tak habis pikir apa yang mereka pikir. Dalam prinsipku berteman bukan soal pembenaran. Berkawan harus didasari kesadaran setiap individu bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, dalam sikap, sifat, bahkan bentuk. Aku menyadari itu bahkan kadang ejekan tentang sikap, sifat dan bentuk tubuhku kadang hanya ku anggap lelucon. Akhir akhir ini sangat menarik perhatian ku pada drama yang terjadi. entah karena di panasi atau memang terlalu lama terjemur matahari ada batu yang memerah. Batu ini hampir meledak dan menghanguskan tiap bahan yang mudah terbakar lainnya. Air yang tenang terus dihujani percikan api, namun tak hangat juga, walau sempat hangat beberapa saat tapi bisa kembali tenang pada suhu normal karena menyadari prinsip berkawannya. Hingga sekarang misteri batu panas ini belum bisa dipecahkan, karena si batu tidak ingin berkata lagi apa yang membuatnya memerah.
Salam Arus.-
1 note · View note