Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
ARUNINA.
Aku lupa kapan terakhir kali temu-pandang dengan ain teduh miliknya. Aku lupa kapan terakhir kali tukar sapa—mendengar tawa renyah mengalun dari labiumnya yang merah merona. Aku lupa kapan terakhir kali tinggalkan kecup di tulang pipi, dahi, mata, hidung, bibir—bahkan perpotongan leher yang tak pernah kulupa sejarahnya. Rasanya lama, amat lama, teramat lama—seperti seribu tahun tak jumpa.
Pertama kali kutemukan dia, roman hangat itu mempesona meski jauh dipandang mata. Lancang kulabuhkan pandangan ke sana, menyusuri anak-anak rambut yang tidak beraturan namun tetap apik didamba, mata yang berbinar tiap kali temannya ajak bicara, serta birai tebal yang terkatup dan membuka dengan indahnya—dihiasi senyum paling manis sejagat raya. Bagiku, sempurna.
Sekali kupandang, berkali-kali kumencinta dibuatnya.
Nina. Arunina, namanya. Gadis cantik jelita yang tak selayang gagaspun aku rencanakan untuk terlibat dalam kelesah kisah. Namun di sinilah ia, menemani diriku yang berbulan-bulan menghuni bangsal rumah sakit. Sembilan bulan bukan waktu yang singkat, namun tidak terlewat seharipun Nina tidak temani aku. “Teteh cantik itu selalu kemari, Mas. Kadang sambil bawa buku lho, dibacakan ke Masnya atau dibaca sendiri,” kata suster perawat yang kerap berpapasan dengan Nina.
Sementara aku berkelana entah ke mana, Nina justru tak ke mana. Ia selalu di sini. Bersama ragaku. Sembilan bulan lamanya.
Nina, Nina. Kamu tidak pernah berubah meskipun waktu bersikukuh inginkan kita berpisah. Bulan demi bulan berlalu, tidak satupun kutemukan hal asing darimu, Nina. Anak-anak rambut yang senantiasa kumainkan itu masih ada, sorot teduh pandangmu tetap di sana, ranum serupa ceri kesukaanku jua tak luput dari citra. Setelah begitu banyak masa berlalu, satu-satunya perubahan yang kutahu hanya satu; kamu semakin ayu laiknya primadona.
Nina. Kasihku yang malang. Maaf harus membuatmu menderita sebegini lamanya. Tidak terbayang berapa tebusan rindu yang harus kutuntaskan ‘tuk gantikan malam-malam setiamu. Belum sempat terhitung, enggan pula bila boleh jujur. Yang kumau beritahu pasti, Tuturmu ini sudah kembali! Tuturmu ini, sudah kembali, Nina. Tuturmu ini hadir untuk usir segala pelik. Ia tak akan kemana, tak akan tinggalkan kamu sendiri lagi. Jadi, tolong usir segala sedihmu, ya?
3 notes
·
View notes
Text
Harap Pukul Dua Malam.
Untuk si pemilik senyum manis yang selalu bertengger pada paras, jua tawa riangmu yang selalu membekas dalam kapita. Melekat erat. Aku tahu pelayaranmu panjang, dermaga masih jauh berada di seberang. Kendati demikian, kumohon rehatlah, dengarkan lirihanku barang sejenak.
Satu, terima kasih sudah ajarkan cecunguk payah ini banyak hal. Membentuk bukan lagi perkara mudah, namun dengan caramu segalanya terasa persis demikian; indah. Dua, terima kasih sudah menjadi orang hebat untuk dirimu sendiri, dan orang lain. Ketenangan ialah ketika dapat merasakan hangat dekapmu, bersama kalimat magis yang selalu berhasil membuat luluh. Tiga, terima kasih ini tidak akan ada akhirnya, kalau kamu mau tahu. Hingga raga terbujur kaku dan nyawa berpulang semu, kasihku akan selalu mengalir untukmu.
Tetaplah tinggal, biarkan aku merayakan riah separuh abadmu dengan sukacita. Begitu pula di tahun-tahun berikutnya, kala tibanya tanggung jawabku untuk membahagiakanmu. Sedikit lagi, beberapa tahun lagi. Kita akan menyusuri tanah asri, menanam cengkeh dan padi, jua membangun rumahmu kembali.
Tunggu aku, ya, Mama?
3 notes
·
View notes
Text
Ibu, Ayo Pulang. Hari Ini Kita Makan Enak.
ᅠ
“Kamu nggak perlu bantu Ibu. Tugas kamu itu cuma sekolah. Udah, itu aja,” kata Ibu ketika aku sedang membujuknya supaya aku dapat ikut bekerja. Mencari plastik dan barang bekas di gundukan sampah persimpangan depan sana.
“Aku sekolah sampai siang, PR bisa langsung aku kerjakan begitu sampai di rumah. Jadi sore aku bisa susul Ibu. Boleh, ya?”
“Bangkit.”
“Ibu.”
Benar, kami sama keras kepalanya. Topik yang selalu menjadi bulan-bulanan tiap kami saling tatap tidak pernah sirna. Selalu soal bekerja. Aku bersikeras untuk membantu, Ibu bersikeras menolakku.
Menuntut ilmu memang penting, namun aku belum ingin mati muda dan hidup sia-sia. Sekarang biar kutanya, berpikir membutuhkan tenaga, benar? Dalam satu sampai tiga hari kerja dari pagi ke pagi, Ibu hanya mampu memberiku makan satu atau dua kali. Dua sudah paling banyak. Itupun satu nasi bungkus yang dibagi berdua dengan lauk garam, tempe, dan tahu sisa menginap di warung tegal yang nyaris berjamur; atau telur dadar bilamana beruntung.
Bukan. Bukannya aku tidak bersyukur. Hidupku ini sudah melarat, kawan. Kalau bersikap sombong mungkin aku sudah ditendang Tuhan ke neraka. Maksudku adalah, aku merasa menjadi makhluk yang tidak berguna. Tubuhku sehat dan kuat, apa salahnya aku berbakti dan membantu ibuku sendiri? Berusaha sekeras apapun di kelas aku tetap merasa paling dungu karena sering tidak fokus. Betulan kurang asupan.
Sekarang begini. Aku pernah nekat dan gamblang mengatakan ingin berhenti sekolah pada Ibu. Tapi yang kudapat adalah makian serta tamparan keras di pipi.
“Kamu harus sekolah supaya nggak bodoh dan dibohongi seperti Ibu. Paham, Bangkit?”
Terkadang aku ingin tahu apa yang pernah Ibu alami di masa lalu. Apa hal yang membuat hatinya begitu dingin? Apa hal yang membuat dirinya menjadi kasar? Apa hal yang tidak kuketahui hingga harga diri ibuku terluka sebegitu hebatnya? Segan diriku bertanya; sudah menyusahkan, aku enggan membuat Ibu bersedih.
Keesokan harinya, aku berhenti merayu Ibu. Aku tidak lagi peduli sebagaimana yang beliau inginkan. Aku menjalani hari-hari laiknya pemuda apatis yang sering ditonton tetanggaku pada televisi cembung miliknya. Hanya ongkang-ongkang kaki namun mendapatkan segala nikmat dari jerih payah orang lain.
“Bu, makan sama lauk begini terus—suka?”
“Kenapa? Bosen kamu?”
“Iya. Aku bosen makan tahu tempe. Mau coba makanan enak sekali-kali.”
“Kamu belajar yang rajin, jadi orang yang pintar. Cari kerja yang mapan, nanti digaji. Uangnya bisa kamu pakai untuk beli makanan enak.”
“Kalau gitu, makanan enak versi Ibu apa?”
“Ikan peda. Sayur asem. Ngapain tanya-tanya? Kamu kan nggak punya duit.”
“Sekarang belum punya, tapi Bangkit mau ngumpulin. Nanti kalau udah cukup kita makan itu ya bu!”
Kelewat percaya diri memang sikap yang sudah mendarahdaging dalam diriku. Ibu hanya tertawa, menganggap kalimatku sebagai angin lalu. Maklum, orang miskin seperti kami selalu menghibur diri dengan berkhayal. Sekadar berangan-angan saja, bahagianya sudah selangit. Aku tidak pernah marah bila dilabeli sebagai orang yang norak, udik, kampungan, dan kawan-kawannya. Toh, itu adalah fakta. Orang seperti kami mana pantas merasa tersinggung?
Tapi tahu tidak? Boleh jadi mulutku ini ajaib juga. Baru terhitung seminggu setelah aku berucap demikian, uangnya benaran terkumpul. Tidak banyak sih, hanya dua puluh ribu yang terdiri dari receh-receh hasil aku mengamen. Jangan tanya apakah aku izin pada ibu atau tidak, kamupun tahu jawabannya. Aku mencuri waktu selagi ibu tiada!
“Aku minta Ibu bayar pakai apa ya bisa makan enak begini. Ah iya, senyum manis lima jari aja. Gombal dikit, ah, biar kesel,” monologku saat menyajikan ikan peda dan sayur asem ke dalam wadah.
Cekikikan aku membayangkan wajah bersungut-sungut beliau. Selagi menunggu, aku merapikan matras tipis tempat di mana ia selalu terlelap. Wajahku berubah menjadi murung kala menyetuhnya. Ini ... sudah tidak layak pakai, bisa-bisanya Ibu selalu terlihat nyaman tiap merebahkan tubuh kurusnya di sini?
Satu jam ...
Dua jam ...
Tiga jam ...
Empat jam ...
Lima jam ...
Aneh. Ibu belum juga pulang padahal ini sudah pukul delapan malam. Setelat-telatnya beliau berada di rumah adalah waktu bakda maghrib. Hari sudah larut di mana pasukan nyamuk telah siap berperang denganku, kenapa ibu belum juga pulang? Ibu ke mana?
Aku melirik makanan mewah ala Ibu dengan nanar. Sama sekali belum tersentuh, kujamin rasanya tidak lagi nikmat sebab telah dihinggapi serangga dan dibiarkan dingin berjam-jam.
“Ibu ...”
Aku khawatir pada Ibu. Mataku sudah seperti timbangan dosa—berat—lantaran tidak tidur berharap beliau akan pulang di tengah malam. Nyatanya, sampai pagi pun aku tidak menangkap jejak ibu. Esok dan lusa, juga sama. Ibu telah lenyap dari pandanganku.
Masih sama seperti hari itu, makanan enak kesukaan Ibu tidak pernah berpindah tempat. Aku selalu meletakannya di sana, di lantai tempat kami selalu makan bersama, berharap suatu saat Ibu pulang dan kami dapat menyantapnya.
“Ibu... Ibu...”
“Ibu ke mana?”
“Ayo pulang, Bu. Hari ini kita makan enak.”
“Ibu, kapan pulang? Maaf ... mungkin makanannya udah nggak enak lagi. Tapi kalau ibu pulang, aku bisa beli baru. Aku bisa. Tapi Ibu pulang, ya? Aku nggak mau makan sendiri, Bu.”
ᅠ
ᅠ
Tapi, Ibu tidak pernah pulang.
ᅠ
2 notes
·
View notes