Unfolds herself in a mess of aching limbs and strectched—out heart. Swollen. A dream—haze. How slowly the summer months drift by; blush—coloured clouds, the world dusted in rose—pink & breathless. It seems that these days, we're little forsaken. The angels stop believing in us.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Dear Mama in Heaven.
Bagi sebagian orang, pertambahan usia bukanlah hal yang berarti apalagi untuk harus dirayakan. Beberapa orang lain menganggap jika itu semua hanyalah angka, bukan kah semakin bertambah maka akan semakin menderita kita di dunia?
Sebagian manusia yang beruntung akan merayakan bersama keluarga maupun kerabat dengan sorak bahagia. Sebagian lagi hanya berdoa agar pundaknya selalu diberi kekuatan agar bisa bertahan hidup demi memberi kebahagiaan untuk orang lain yang tidak merayakannya. Kehidupan merupakan suatu perjalanan dalam mencari ketidakpastian, perjalanan dalam mencari tujuan, perjalanan dalam memahami dunia, dan masih banyak lagi perspektif berbeda yang filosofis tawarkan kepada manusia.
Namun bagaimana jika bertambahnya usia merupakan salah satu bukti bahwa kita telah hidup dengan sebaik mungkin? Bahwa kita baik-baik saja dan yang kita perlukan hanyalah bertahan.
Lilin berbentuk angka yang berubah disetiap tahunnya menunjukan bahwa hidup selalu berjalan, baik ataupun buruk—senang ataupun tidak. Banyak mahluk kecil yang bertumbuh mengharapkan kebahagiaan yang tiada habisnya ketika dewasa. Namun sedikitnya dari mereka hanya berharap bahwa hidupnya bermanfaat dan berguna untuk orang lain, terlebih lagi kepada orang-orang yang bernasib tidak seberuntung seperti mereka.
Lalu bagaimana dengan anak laki-laki yang semasa kecilnya selalu tertidur pulas di pangkuan seorang wanita dewasa? Sama seperti kebanyakan orang, ia memiliki banyak mimpi dan harapan yang rasanya tidak masuk akal, namun sesuatu yang terkesan benar saat ini hanyalah membuat wanita kesayangannya diatas sana bangga dengan segala pencapaian kecil yang ia lakukan selama tahun ke 23 sejak ia dilahirkan.
"Mama, Tu sudah besar. Tu baik-baik saja, bahagia hidup bersama Bapak. Tu harap Mama senang."
Bagaimana jika arti dari pertambahan usia hanyalah sebagai untuk pengingat bahwa ia harus hidup dan tetap menjalankan nasihat-nasihat dari Ibunya? Kita hanya harus percaya bahwa ada banyak tujuan sederhana dari banyak orang untuk tetap bertahan hidup di dunia.
Sebagian bertahan karena percaya anugerah Tuhan, beberapa bertahan karena mimpi, sisanya berusaha tetap hidup hanya demi bertemu dengan kue ulangtahun selanjutnya. Hal itu tidak salah, tidak pernah salah. Apapun alasannya, tetaplah hidup demi diri sendiri disaat seorang manusia berpikir bahwa ia hidup sendirian tanpa suka cita orang lain disekitarnya.
Inspired by My Beloved, K. Adhitama.
0 notes
Text
What if, in another universe, I deserve you?
Hear me out. There’s this philosopher from the 1890s named William James, and he coined this theory about “the multiverse��� which suggests that a hypothetical set of multiple universes comprises everything that can possibly exist simultaneously.
Are you following? The entirety of space, time, matter and energy is all happening at once in different timelines: It’s the idea of parallel universes. Right? So okay, let’s presume the multiverse is real. Well then, maybe somewhere in those infinite universes is one, or several, where I deserve you.
Maybe there’s a universe out there — happening now — where we end up together and when I close my eyes at night, I’m not dreaming the way a normal person would. Instead I’m seeing flashes of our lives in the multiverse. They’re not simple dreams because I miss you, right? They’re scientific, anachronistic visions.
In this universe, I don’t want a family, but maybe in another, I’m more of the type to settle down. Maybe there’s a universe where you hold my hand while I give birth to our daughter in a white hospital room with pink flowers and fuzzy teddy bears on the window sill. Where we take family vacations and pose for dorky pictures in our neon bathing suits on the sands of a Florida beach. Where we curl up to watch a cheesy movie at the end of a long day in our big, green, suburban house once the kids have fallen asleep.
Maybe there’s a universe where we are middle-aged and taking our child to college and bickering over where to put her dresser or what posters she should hang up. Where you kiss her on the forehead ‘goodbye’ and we drive home in contented, proud silence, your fingers grazing my knuckles, our wedding rings glistening. Where we both have gray hair and we laugh and smile and hug and drink lemonade on the porch.
Maybe there’s a universe where that’s the life I want. Where I don’t second guess everything and I’m not afraid of commitment and of the future and of love. Maybe there’s a universe without all the noise in my head and the pride that makes me so fiercely independent and the coldness in my heart that I can turn on and off like a security fence.
Maybe there’s a universe where I’m the right person for you. Where I adore every nice thing you did for me without starting to resent you. A universe where you actually end up with someone who appreciates you. Where no one becomes a doormat. Where both of us can shed our baggage and curiosity and issues. A universe where we’re happy — without wondering if that happiness is some messed-up Jenga game ready to topple at the slightest quiver. A universe where we’re comfortable and sure, and we have cats.
Maybe there’s a universe where we fall asleep next to each other every night like spoons, like two innocent bunnies — my face buried in your neck, hugging your warmth — and we both don’t want anything or anybody else. Where we don’t want more, we just want each other.
Maybe there’s a universe where I don’t covet so much all the time and where I’m content and where I don’t wonder about picking up and moving to Japan without saying anything to anyone and where at this very juncture, I can just know I’ll always want to come home and cook dinner with you.
If you think of it all this way, then it’s like neither of us did anything wrong. You just found me in the wrong universe. That’s all. This is, as they say, the darkest timeline.
Everywhere else, nay, “everywhen” else — us in the Civil War, us in Ancient Egypt, us in the swinging ’60s — we are happy. If this theory holds, well, by the law of averages, there had to be one universe — just this one — where we don’t end up together.
Here and now just happens to be it. If you think of it this way, nothing is our fault.
So see, that explains everything. We’re not together anymore because of the multiverse. Well, isn’t that comforting?
If you’re sad, do like I do and just think of the other ‘verses. The ones where I believe in love and where I don’t hate myself and where I never feel the need to kamikaze relationships. A universe where we can have nice things. It’s helpful, right?
Because you could have loved me forever. And maybe in another universe, I let you.
0 notes
Text
You were scared, and maybe I was too brave for us.
I understand that love is a gamble, something risky and not everyone is willing to play into it. But I'm brave, I put my cards on the table to see how we end up. While you're scared, and I don't know what a reason because you're just hanging that sentence in the air—a question that I've never found the answer to.
Maybe it's a commitment, you're too scared to get a broken heart and fear of the possibilities that await us up ahead. Or maybe you didn't see the future you wanted in my eyes in the first place. I realized, my courage had no effect on you whatsoever. My courage wasn't enough to convince you. And I... I never worth for the risk. Na, I wanted so much to be the one you fight for... but it seems i wasn't enough.
0 notes
Text
Jika Aku Adalah Sebuah Lautan, Maukah Kamu Tenggelam Bersama Ku?
Na, aku tidak menyukai lautan. Ia terlihat begitu menakutkan, dalam, gelap, dan sesak. Lautan itu indah, katanya. Apa itu karena ikan-ikan kecil yang menari dibawah sana—atau karena terumbu karang yang terlihat cantik berdiri kokoh di dasar sana?
Kebohongan, Na. Menurut ku, lautan adalah tempat dimana kamu bisa mati. Berkali-kali. Mereka lupa dengan tarian ombak yang dapat menarik mu jauh kebawah sana. Dan bagaimana dengan kegelapan yang membuat kamu tidak bisa naik ke permukaan? Kamu, tidak akan pernah bisa pulang.
Aku benci, Na. Aku benci melihat pasang surut air yang bisa tiba-tiba meluap dan membahayan banyak orang ketika ia sedang dalam amarah. Aku benci melihat banyak orang bermain dengan air asin yang dapat menyesakan dada.
Tapi Na, lautan itu adalah aku.
Pernah kah kamu terbayang jika aku membenci diri ku sendiri seperti aku membenci lautan?
Namun semesta berbaik hati pada ku, Na. Sinar mu yang redup itu mampu menghidupkan ku sejenak. Terimakasih telah datang disetiap sore menjelang malam. Kehadiran mu membuat aku lupa akan diri ku yang gelap dan menyesakan. Aku bersinar, Na, dibawah cahaya jingga mu. Aku bahagia karena disaat itu orang-orang memujiku dan hanya disaat itu lah—aku menyukainya.
Dan jika sudah tiba saatnya, kamu akan tenggelam dibelakang bayang-bayangku dengan membawa semua kebahagiaan serta senyum ku. Kamu dekap dengan erat bahagiaku dan meninggalkan aku sendiri dengan suara desir air yang berisik dan buih air mata yang tak kunjung berhenti. Lalu aku kembali meraung dan gelombang ku pasang semakin tinggi dibawah langit hitam tanpa bintang itu. Lalu aku pun tertidur sendirian, dingin sekali, Na—dengan hanya cahaya bulan yang menemaniku.
Cahaya sesaat mu di sore itu membuat aku menyukai sedikit hal dari diri ku sendiri, hanya ketika kamu datang. Maka aku akan tetap disini, Na, akan tetap menjadi lautan itu meski aku tidak menyukainya. Aku akan tetap menjadi gelap dan menakutkan, demi bisa bertemu dengan matahari mu disetiap punghujung hari.
0 notes
Text
But if i was you—i would do anything for you, anything for you to make you feel safe.
0 notes
Text
Aku menyertakan kamu dalam perjalanan meraih mimpiku dan merenovasinya. Kubuatkan kamu ruang yang cukup untukmu bernapas dan tinggal; ruang yang penuh dengan poster The greatest Showman atau mungkin Spiderman—film dan tokoh kesukaan mu. Aku mengekskavasi jantung dan paru-paruku supaya kamu bisa tinggal di situ dengan asumsi bahwa kamu mampu mengikuti perjalananku hingga tidak disadari bahwa ternyata kamu juga memiliki mimpi itu sendiri.
Mimpi kecilmu mengkristal menjadi kerikil dalam perjalananku, menjadikan kita tersandung dan jatuh ke dalam rasa berkabung tanpa ujung.
Dan ombak mu bergemuruh semakin keras.
Kepergianmu menjadi titik awal aku kehilangan diriku sendiri karena kamu turut membawa mereka; kamu dekap erat-erat disekujur aorta tanpa berpikir suatu hari akan mengembalikannya.
Paragraf kita dipenggal akhir cerita dengan keindahan yang mampu disuguhkan oleh alam raya: ombak yang gaduh, bulan separuh yang meremang teduh, hujan dan wewangian yang diwariskan setelah ia meregang nyawa, juga kerikil ganjil alam semesta.
Dan ombakmu berubah menjadi buih dan semakin kecil dan semakin renik dan—
Kamu tidak menjadi bagian dari mimpiku lagi.
Written by : @ szevaljan
0 notes
Text
I miss you again tonight. Every night actually, my heart longs for you presence, my heart shatters every time i think of you will being in love with someone else. How i wish i could still say you're mine just like before... but i know that i'll be fine. Maybe not right now but soon.
0 notes
Text
It's like we were both holding onto a rope, pulling with all our might, but the rope just kept slipping through our fingers, and now it's gone.
Remember how we used to look into each other's eyes and see a future? It felt like we were building something beautiful, brick by brick. But somewhere along the way, those brick turned into walls, and those walls became barrier between us.
I can't forget the late—night arguments, the tears, and the silince that followed. It feel like we were drawning in a sea of our own misunderstandings . . . Gasping for air but unable to reach the surface. I'd give anything to go back to that moments and just hold you, tell you that i love you and i mean it more that anything else in the world.
And then there were the times when we tried to patch things up. We'd apologize, promise to change, and for a while, it felt like we were making progress. But it was like trying to fix a shattered mirror—no matter how hard we tried, the cracks remained, distorting our reflection until we didn't recognize ourselves anymore.
0 notes
Text
We tried, didn't we? We fought, didn't we? But we still end up like this.
1 note
·
View note