Don't wanna be here? Send us removal request.
Photo
Saya mendapatkan pertanyaan menarik. Ada beberapa teman terbaik yang menjadi penyimak perjalanan saya dari sebelum menikah hingga menjadi ayah. Mereka pasti tahu bagaimana perjalanan itu begitu berliku, tidak selurus cerita-cerita di buku-buku yang saya tulis sendiri.
LifeCrisis seperti apa yang menjadi titik balik?
Saya akan berbagi beberapa hal yang bisa dibagi.
1. Terkait Menikah
Tahun 2014 akhir hingga 2016 pertengahan adalah fase dimana saya mengusahakan diri untuk menikah. Semua berjalan dibawah bayang-bayang, alias diam-diam. Saya pernah berdoa sambil memaksa, bahwa harus orang ini, atau dengan orang ini. Saya kekeuh karena saya percaya bahwa segala sesuatu pasti bisa diwujudkan, asal jangan menyerah. Ini adalah salah satu sifat keperfeksionisan saya dalam hal lain.
Ternyata rumusnya tidak begitu dalam hal takdir pasangan hidup. Allah menjatuhkan saya berkali-kali. Dan saya mengulangi lagi dengan cara yang sama, dijatuhkan lagi. Sampai titik akhirnya, saya pasrah. Tidak sampai sebulan saya berpasrah, Allah datangkan seseorang yang kini menjadi istri saya.
2. Fase Stagnan
Pernah tidak, merasa bahwa dalam rentang waktu cukup lama, kita merasa seperti tidak kemana-mana, diam ditempat. Tidak bertumbuh baik secara ilmu, secara fisik, secara apapun.
Saya mengalami itu. Aktivitas usaha saya, alhamdulillah memberikan kecukupan yang menurut saya amat sangat cukup untuk ukuran baru lulus belum lama. Saya pernah sampai dititik, tidak tahu mau apa lagi di dunia ini. Ini mengerikan, seperti depresi. Saat kita benar-benar tidak punya keinginan, analoginya seperti kamu tidak ingin beli apapun karena seolah-olah semuanya telah terbeli, sementara kamu memiliki uang untuk membelinya. Sampai kamu sumbangkan-sumbangkanpun, uangmu justru bertambah.
Saya pernah dititik, tidak ada hal lain yang saya inginkan di dunia ini. Saya seringkali mengendarai mobil tanpa tujuan, berkeliling kemana saja sampai lelah. Menyendiri, sangat introvert padahal saya ENTJ. Itu adalah seperti fase kehilangan tujuan hidup. Saya tahu ada yang keliru dalam hidup saya.
Dan saya terus menerus mencarinya sampai saya menemukannya. Dan yang keliru adalah berkaitan sama poin pertama. Saya pernah membuat dreamlist/dreamboard di tahun 2012 dan semuanya tercapai di tahun 2015, dan semua hal yang saya tulis tersebut bersifat materi :) Disitulah saya mengerti, hidup ini bukan untuk mengejar materi karena itu berisi kehampaan. 3. Restu
Hal yang paling bisa membuatmu tenang dalam menjalani hidup adalah ridha orang tua.
Saya sering berbagi kisah ini ketika mengisi acara bedah buku ketika berbicara tentang perjalanan kepenulisan. Saya tidak linier dengan jurusan-jurusan yang saya ambil, SMA di IPA, kuliah di SeniRupa, dan berkarya di Kepenulisan Fiksi. Dan orang tua, pada waktu itu masih punya harapan sejak lama sekali; anaknya berkarya di instansi, jadi PNS :)
Jalan yang saya tempuh sekarang ini adalah jalan paling menenangkan karena semuanya sudah mendapatkan ridho. Rasanya masih mengganjal, saat kita ingin bekerja, berkarir, berkarya dalam suatu bidang, tapi orang paling dekat dengan kita justru berharap yang lain. Saya khawatir, ibu berdoa berbeda dengan isi doa saya XD
Akhir 2014 saya melakukan diskusi, memediasi impian-impian saya dengan presentasi ke kedua orang tua. Saya membeberkan recana hidup dari waktu itu (2014) hingga beberapa tahun mendatang. Semuanya saya katakan, detail terkait waktunya, mau jadi apa, bisnis apa, berapa potensi ekonominya, mau menikah, kapan menikahnya, dan kesiapan saya sejauh mana (termasuk kesiapan ekonomi karena waktu itu saya ingin memodali nikahan sendiri), tinggal dimana, dsb. Sampai orang tua tidak lagi ada pertanyaan apapun tentang anaknya ini. Hingga lahirnya kalimat ajaib yang intinya; Kami sebagai orang tua ridha sama rencanamu, Nak.
Selepas restu itu turun, semuanya berjalan dengan di luar dugaan, sekaligus saya tenang menjalaninya.
Ada tiga hal yang mungkin bisa saya sampaikan karena yang lainnya rahasia. Life Crisis akan menjadi pengalaman eksklusif masing-masing orang. Tidak sama satu dengan yang lain kasusnya. Dan saya percaya, kita pasti bisa melewatinya. InsyaAllah.
Jangan berhenti melangkah :)
Salam hangat,
Kurniawan Gunadi
2K notes
·
View notes
Text
Tulisan : Tentang Hidup Kita
Hidup. Bagiku, ia tidak seperti air yang mengalir. Ia adalah air di lautan yang hendak menuju puncak pegunungan tertinggi. Sulit tentu saja jika ia berusaha mendaki melalui sungai, sebab hukum alamnya tidak demikian. Sebab itu, ia membiarkan dirinya menguap, berada di awan-awan, berpasrah kemanapun dibawa pergi. Pada akhirnya, ia belum tentu jatuh di puncak gunung seperti yang ia inginkan. Barangkali, jatuh di persawahan. Satu hal di hidup ini yang selalu sulit kita tahu adalah, kita diciptakan dengan peran. Kita ditempatkan di tempat terbaik sesuai potensi yang kita miliki. Jika sekarang kita kebingungan, mau jadi apa, mau bagaimana, apa yang harus dilakukan. Coba amati hidupmu sebelum-sebelum ini, perjalananmu yang mengantarkanmu sampai di titik ini.
Hidup. Ada orang-orang yang ingin diperjuangkan, berharap bahwa ia berarti sehingga ada orang yang bersedia melakukan apapun untuknya. Tapi, ia tidak menjadi berarti untuk dirinya sendiri. Berkata bahwa ia pun berjuang, padahal ia diam ditempat. Membiarkan orang lain berusah payah melakukan sesuatu untuknya. Ada yang keliru dalam memaknai hidup, memaknai perjuangan, memaknai pengorbanan.
Hidup. Bukanlah tentang mendengarkan orang lain sebanyak-banyaknya. Keputusan-keputusan bukan diambil dari apa kata orang. Kamu menikah, bukan karena kata orang. Kamu berkarir, bukan karena kata orang. Kamu melakukan kebaikan, bukan untuk kata orang. Hidup ini sudah bising oleh riuh rendah suara-suara yang sumbang dibalik bayang-bayang, mendikte hidupmu seolah-olah itu adalah yang terbaik untukmu padahal mereka tidak pernah menjadi dirimu, apalagi menjalaninya. Keputusan hidup kita bukan untuk menyenangkan semua orang, melainkan mencapai titik tertingginya yaitu keridhaan Tuhan.
Hidup. Ia tidak seperti cermin, yang menunjukkan hampir keseluruhan apa yang diterimanya tanpa rahasia. Hidup itu menyembunyikan rahasia-rahasia. Sebagaimana setiap manusia menyembunyikan rahasia-rahasianya. Hidup melipat banyak misteri, kita harus membukanya satu per satu. Kemudian, bagian yang tak kalah penting adalah kita bersiap untuk menerima kenyataan yang kita dapati dari setiap rahasia yang tersingkap.
Hidup itu seperti apa bagimu? Serumit itukah? Atau sesederhana kamu bisa memahaminya ?
©kurniawangunadi / yogyakarta, 13 januari 2018
1K notes
·
View notes
Text
takaran
“You gain strength, courage, and confidence by every experience in which you really stop to look fear in the face"
Hingga saat ini, warganet di berbagai linimasa masih berbelasungkawa atas kepulangan sesosok pejuang cilik yang begitu istimewa. Khalayak mengenalnya sebagai @adamfabumi di halaman instagram. Seorang bayi laki-laki yang dikaruniakan keistimewaan berupa Sindrom Patau beserta sederet komplikasi yang menyertai kelahirannya hingga akhirnya ditakdirkan untuk wafat di usia yang baru menginjak tujuh bulan.
Tak hanya ungkapan dukacita, bahkan perjuangan Adam beserta kedua orangtuanya menjadi inspirasi bagi RAN dan Yura Yunita untuk menelurkan sebuah lagu dengan tajuk “Melawan Dunia” yang secara resmi dirilis beberapa hari sebelum Adam berpulang keharibaan-Nya. Sebuah karya yang mengabadikan pesan positif tentang kekuatan cinta dalam menghadapi ketidakmungkinan yang dunia sangkakan.
Topik itu sempat kami @novieocktavia dan @prawitamutia bicarakan beberapa hari lalu di sela-sela obrolan singkat tentang proyek buku keroyokan bersama @academicus juga @kurniawangunadi yang tengah dikerjakan. Entah seperti apa tingkat keikhlasan yang dimiliki oleh Ratih dan Ludi sebagai orang tua Adam. Kami salut dengan kondisi Adam yang tak membuat kedua orang tuanya merasa layak mengumbar rasa sedih berlebih.
Mereka berdua tetap teguh tersenyum dan menyertakan foto-foto perjuangan Adam dulu dengan keterangan yang menyenangkan agar khalayak tahu bahwa seberapapun berat kondisi yang tengah mereka alami, rasa syukur yang terus ditumbuhkan di baliknya harus selalu mengalahkan rasa sedihnya. Ratih & Ludi enggan dikalahkan oleh realita walau mereka tahu mudah saja bagi mereka untuk mengeluh dan mengekspresikan kepayahannya yang luar biasa.
Mungkin kesan itu yang membuat banyak warganet berbondong-bondong memantau akun Adam untuk sekadar mengetahui perkembangan kesehatannya dari waktu ke waktu dulu atau memberikan setulus-tulusnya dukungan kepada Ratih & Ludi yang terlihat amat tegar di mata mereka. Mereka berdua bertambah tegar, ikhlas, sabar dan kuat bukan karena suratan takdir semata, tapi juga karena keputusan untuk bertumbuh.
Tak bisa dipungkiri bahwa sebagai orang tua baru, saya sendiri sering merasa cemas saat Bara didera penyakit ringan semisal batuk, pilek atau demam. Tapi dengan menyeksamai kisah perjuangan Adam, saya sadar bahwa kecemasan yang saya rasakan sebagai orang tua ketika Bara jatuh sakit, sungguh tidak ada apa-apanya. Pada akhirnya, sarana yang terbukti paling ampuh untuk mengokohkan kedewasaan seseorang adalah anugerah benama ujian hidup. Ratih & Ludi telah melalui satu yang paling besar diantaranya.
Sedikitpun tentu kita takkan pernah bisa membayangkan persis seperti apa rasanya ada di posisi mereka. Begitu juga mereka dahulu. Orang tua muda mana yang menyangka bahwa mereka akan dikaruniakan keturunan pertama dengan keistimewaan yang terjadi pada 1 diantara 12.000 bayi? Dengan keputusan untuk terus menguatkan diri, akhirnya mereka terlihat sekuat yang kita simak di linimasa.
Pada sebuah keterangan media saat dimintai kesan tentang perjuangannya sebagai orang tua, Ratih pernah berpesan, “Karena kita adalah orangtua terpilih yang dipercaya oleh Allah untuk mengurus anak kita yang sangat spesial. Yang penting juga harus sabar dan ikhlas untuk menjalaninya. Percayalah, pasti ada hikmah dibalik ini semua”. Saat orang-orang terdekat meyakinkan kita untuk memberanikan diri menghadapi sebuah tantangan, mengapa kita tak mudah percaya ketika diyakinkan-Nya lewat penentuan takdir untuk menghadapi peristiwa tertentu?
Masih banyak dan akan terus ada Adam-Adam lainnya bermunculan di linimasa kita. Seperti apa yang Ratih Megasari ujarkan, “pasti ada hikmah dibalik ini semua”. Setidaknya, kehadiran kisah-kisah serupa memungkinkan kita untuk tidak berhenti berkebaikan terhadap sesama. Karena Adam pun, lewat Adam Fabumi Foundation meneruskan perjuangannya dengan menggalang dana bagi anak-anak lain yang terlahir dengan kondisi istimewa kelak.
Kejadian ini membukakan mata kita bersama untuk tidak mudah menyerah lalu membatasi diri ketika ujian datang menghampiri karena ia merupakan gerbang awal pertumbuhan diri. Pertumbuhan yang terus berjalan ketika kita mau melalui pengalaman berkembang beserta ketidaknyamanannya. Pertumbuhan yang terus berjalan hingga tanpa sadar kita telah berubah menjadi sosok yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Pertumbuhan yang sesuai dengan takaran terbaik-Nya. Yakinlah, bertumbuhlah. Jangan pernah menyerah.
282 notes
·
View notes
Text
Hadiah untuk Anak-Anak Kita Nanti
Segala bentuk kejadian yang kita alami di masa muda ini akan menjadi pengalaman emosi yang luar biasa berharga. Bekal yang akan amat berguna saat kita menjadi orang tua nanti. Berbagai perasaan khawatir, kecemasan, ketakutan, jatuh cinta, patah hati, penerimaan, penolakan, dan segala bentuk rasa yang tidak bisa dijelaskan satu persatu. Semuanya akan menjadi sesuatu yang berharga.
Bagaimana perasaan kita kepada orang tua. Terhadap kekhawatiran mereka, terhadap ketidaksepakatan mereka, terhadap perintah dan larangan mereka, dan segala bentuk hal yang berkaitan dengan mereka. Akan menjadi cermin yang membuat kita menjadi orang tua yang (seharusnya) bisa lebih bijak kepada anak-anak kita nantinya.
Bagaimana perasaan kita kepada seseorang. Bagaimana perasaan itu tumbuh dan diterima dengan baik, tapi dihadapkan dengan berbagai rintangan, penolakan keluarga, juga keadaan. Semuanya akan menjadi cerita yang berharga saat anak-anak kita nanti meminta nasihat dan pertimbangan kita kala mereka mengalami hal serupa.
Sekolah, kuliah, pekerjaan, pertamanan, organisasi, semuanya akan memberikan pengalaman rasa yang berbeda. Rasa yang akan mengasah hati, mengasah kebijaksanaan kita kelak kemudian saat kita menjadi orang tua. Saat pengalaman masa muda kita bisa diceritakan kepada anak-anak kita hingga berbinar matanya. Hingga mereka bisa menangkap pembelajaran berharga, hingga mereka tidak mengulangi kesalahan yang serupa.
Juga, agar mereka bisa mendapatkan orang tua yang bijaksana. Orang tua yang bersedia mendengarkan, belajar, terbuka, dan mampu membimbing. Sebab, pasti setiap orang tua ingin yang terbaik dan ingin anak-anaknya bahagia. Akan tetapi, banyak yang tidak bertanya kepada anaknya tentang apa hal yang membuat mereka bahagia. Memaksakan definisi-definisi kebahagiaan kepada anak.
Kelak, anak-anak akan bertanya. Jawabannya adalah apa-apa yang sedang terjadi dalam hidup kita saat ini dan segala rasa yang sedang kita rasakan. Tinggal bagaimana kita berhasil atau tidak mengambil pelajarannya :) Yogyakarta, 3 Desember 2017 | ©kurniawangunadi
1K notes
·
View notes
Photo
Kepada Perempuan-Perempuan yang Merasa Berbeda
Suatu hari, kita mungkin pernah mendapati diri merasa berbeda dengan perempuan-perempuan lain di sekitar kita karena tidak ada satu pun lelaki yang bisa dengan mudah kita sebut namanya. Kita hanya mendengar mereka bercerita tanpa menanggapinya dengan cerita yang serupa, sebab memang tak ada siapapun yang hadir di hati kita. Lalu, mengapa bersedih? Bukankah memang tidak perlu ada seorang lawan jenis pun yang mengisi semesta hati kita sebelum hari bahagia itu tiba? Sehebat dan sesempurna itulah Allah menjaga, sebab tak ingin ada hati yang berrongga karena kebahagiaan yang belum waktunya.
Suatu hari, kita mungkin pernah mendapati diri merasa tak sama dengan perempuan-perempuan lain di sekitar kita karena tidak ada satu pun lelaki yang namanya muncul pada frequently contacted di ponsel kita. Kita hanya melihat bagaimana mereka berinteraksi tanpa bisa menebak bagaimana rasanya, sebab memang tidak ada seorang pun diantara teman-teman lawan jenis kita yang sering berbalas pesan setiap harinya dengan kita. Kalaupun ada, urusannya adalah tugas kuliah, pekerjaan, bisnis, atau hal-hal penting lainnya yang hanya saling berbalas seadanya. Lalu, mengapa bersedih? Bukankah interaksi yang terbatas akan memudahkan hati agar tidak mudah terjun bebas? Sehebat dan sesempurna itulah Allah menjaga, sebab tak ingin ada air mata yang jatuh percuma.
Suatu hari, kita mungkin pernah mendapati diri merasa asing diantara perempuan-perempuan lain di sekitar kita karena tidak ada satu pun lelaki yang pernah menghabiskan perjalanan berdua dengan kita. Kita hanya mendengar atau melihat, tanpa bisa berempati sebab tak tahu bagaimana rasanya. Selama ini, perjalanan dihabiskan dengan teman-teman perempuan, orangtua, adik, kakak, atau saudara. Lalu, mengapa bersedih? Bukankah perjalanan-perjalanan yang dilakukan berdua sebelum waktunya lebih dekat pada bahaya? Sehebat dan sesempurna itulah Allah menjaga, sebab tak ingin ada mata yang terus beradu pandang dan raga yang terus beradu sentuh sebelum waktunya.
Jika pun suatu hari nanti akan ada seseorang yang dengan mudah kita sebut namanya, semoga itu adalah dia yang tersebab akadnya maka kita boleh menceritakan kebaikannya. Jika pun suatu hari nanti ada seseorang yang setiap hari berbalas pesan dengan kita, semoga itu adalah dia yang tersebab akadnya maka dengannya kita boleh membicarakan apa saja. Jika pun suatu hari nanti ada seseorang yang banyak menghabiskan perjalanan bersama kita, semoga itu adalah dia yang tersebab akadnya diperbolehkan mengajak kita bersafar kemana saja. Tapi sekarang, semoga kita senantiasa berbahagia dengan penjagaan-Nya yang sedemikian rupa.
Jangan lupa berdoa dan saling mendoakan perempuan-perempuan lainnya, sebab berat, susah, dan berlikunya menjaga diri tak akan pernah bisa kita terka hingga mungkin kita tak selamanya akan mudah menjalaninya. Bagaimana pun, semoga Allah senantiasa menjaga dan memudahkan. Selamat berbahagia diantara deras cinta-Nya. Baarakallahu fiik :”)
_____
Picture: Pinterest
1K notes
·
View notes
Text
Chapter 8 Pentas Seni
Part 2
Aku melewati mereka berdua dengan kesal. Mereka berdua kini berjalan tepat di belakangku.
Yuki tertawa di belakangku, mendengar lelucon Dimas. Dimas kemudian berceloteh kembali, sepertinya sudah berganti topik, entah membicarakan apa. Yuki kembali menertawakannya.
Begitu di depan gang, aku dan Dimas memastikan Yuki naik angkot lebih dulu, karena rute kami berbeda dengan rute angkot Yuki. Tak lama, angkot tujuan Yuki datang, dia membuka pintu depan di samping supir angkot.
"Hati-hati di jalan, Yuki," ucapku, membantunya menutup pintu.
"Hati-hati di jalan, mutiara di dasar samudera," Dimas mulai menyindirku lagi. Nama panggilan yang pernah tak sengaja dia temukan di buku harianku. Aku mendelik, Dimas mengangkat bahu tanpa merasa bersalah.
Ternyata Yuki membalas tanpa tau isyarat kami berdua, "Terimakasih ubur-ubur, terimakasih Andi."
Kemudian Yuki menatapku dan tersenyum, "Sampai bertemu lagi besok di kelas."
Angkot mulai di starter, Yuki melambaikan tangan, dan angkot itu semakin menjauh, semakin mengecil.
Aku menjitak Dimas, dan Dimas mulai mengeluarkan sumpah serapah. Aku tidak membalas, ingin pulang.
***
Besok sorenya, Yuki kembali latihan dengan orang itu, makhluk itu, mantan ketua osis narsis itu. Hei, bahkan aku sudah lupa dengan namanya. Masih sama seperti kemarin, mereka berlatih sambil dibimbing Guru Seni kami. Bedanya kali ini aku dan Siti menjadi penonton dadakan. Semacam gladi kotor sebelum mereka tampil dua hari lagi. Rasa grogi yang menyelimuti Yuki berkurang karena kami berdua menemaninya.
Sebelum mulai berlatih, Yuki memberikan kertas partitur berisi notasi lagu karyanya sendiri kepada Guru kami. Yuki meminta ijin untuk memainkannya. Jika Guru seni kami suka, Yuki ingin menampilkan karyanya untuk mereka berdua di pentas seni dua hari lagi.
Kami berempat memperhatikannya, Yuki bermain solo. Sesuai janjinya waktu itu saat aku terlambat datang ke konsernya. Alunan music yang indah, penuh semangat. Kepercayaan diri Yuki sudah muncul lagi. Dia tidak menyadari orang itu tengah mengamatinya. Tersenyum memperhatikan di sampingnya, memegang cellonya.
Begitu Yuki selesai, kami berempat bertepuk tangan. Yuki tersenyum sumringah. Guru Seni kami menghampirinya dan memeluknya.
"Bagus sekali, Nak. Nah, ini adalah Yuki yang aku kenal," Guru kami tertawa. Lalu menoleh pada orang itu. "Tomy, lagu karya Yuki saja ya yang kalian tampilkan nanti? Bagus sekali, penuh semangat."
Tomy? Siapa? Aku menepuk dahi, bahkan aku baru ingat nama makhluk itu Tomy. Kemudian dia mengangguk, merespon Guru kami. Lalu menoleh pada Yuki, tersenyum padanya.
Yuki mengeluarkan tiga lembar kertas dari tasnya. Lalu memberikan kertas itu pada Tomy.
"Ini notasi balok dari Chyntia. Semalam aku ke rumahnya, dia membantuku menerjemahkannya untuk alat musik kakak."
Tomy, maksudku orang itu, tentu saja mengenal Chyntia karena mereka dulu pernah satu sekolah dan pernah satu tim. Sesama pemain cello.
Akhirnya lagu klasik kemarin tidak jadi dipakai. Mereka memakai lagu karya Yuki. Dalam waktu satu jam, setelah mengulang beberapa kali, akhirnya chemistry antara alat musik Yuki dan Orang itu akhirnya bertemu. Catat, bukan chemistry antara perasaan mereka berdua, tapi alat musik mereka berdua. Guru kami bertepuk tangan.
"Bagus, Nak. Kalian akhirnya bisa kompak."
Yuki menggaruk kepalanya yang tak gatal, tersenyum sumringah. Akhirnya dia bisa mengalahkan rasa groginya di dekat Orang itu.
"Bagus, Nak Tomy. Kau pandai menyesuaikan diri, tadi ada beberapa tempo Yuki yang meleset."
Siti yang duduk di belakangku mendengus menahan tawa. Sudah dia duga, ternyata Tomy yang menyesuaikan diri supaya kesalahan Yuki tidak terlihat.
Aku menoleh melihat Siti tertawa. Baru kali ini, aku melihatnya tertawa, menegerikan.
Siti melotot, aku mengangkat bahu. Sudah dua tahun, aku satu ekskul dengannya, bahkan dia adalah sahabat Yuki. Tetap saja, aku tidak pernah akur dengannya.
Yuki tersenyum pada kami berdua, menghampiri kami dan membuka tasnya di meja Siti, duduk di sampingnya. Meminum air putih beberapa teguk dari botol minumnya. Lalu melanjutkan kembali berlatih bersama orang itu.
Orang itu mengencangkan tongkat cellonya dan memperbaiki posisi duduknya.
"Mari dimulai," kata guru kami dengan suara khasnya.
Kemudian suara gesekan biola dan cello kembali beradu.
***
Dari dulu aku tidak pandai memainkan alat musik, tapi aku suka melihat Yuki memainkan biolanya. Hari Sabtu, akhirnya Pentas Seni dimulai.
Lapangan sekolah kami yang kecil disulap menjadi panggung, ternyata Yuki dan orang itu dibuat tampil paling awal untuk pembukaan pentas seni. Yuki memejamkan mata, dan orang itu menyesuaikan irama dengan biola Yuki. Yuki membuka matanya dan tersenyum, memainkan biola dengan tempo cepat. Mereka kompak. Setelah Yuki selesai, Tomy memainkan cellonya dengan tempo cepat, lagu berjudul "Flamenco". Suara cello klasik milik Tomy seketika seperti suara gitar.
Seketika teman-teman kami yang bediri di depan panggung bertepuk tangan keras. Yuki memperhatikan Tomy dari sampingnya, dan tersenyum. Mereka sepakat untuk melakukan improvisasi, menambahkan satu lagu. Tomy memainkan secara solo.
Aku dan Dimas memperhatikan dari pinggir lapangan. Dimas tahun lalu ikut tampil dengan teman-temannya. Dia bisa bermain gitar, tapi tahun ini dia tidak tertarik mengikuti Pentas Seni. Dia menguap lebar-lebar ingin pulang.
Bagaimana denganku? Aku memainka ukulele saja fals. Mungkin satu-satunya alat music yang bisa aku mainkan adalah piano dan recorder.
Setelah mereka selesai tampil, Yuki dan orang itu turun dari panggung menghampiri aku dan Dimas. Yuki menitipkan biolanya padaku. Menghampiri Guru Seni kami, berterimakasih padanya, dan sepertinya memberikan tiket konser untuk penampilan Yuki berikutnya.
"Temanmu luar biasa," orang itu berbicara di sampingku.
"Eh?" aku menoleh. Bukankah dia yang menambah improvisasi?
"Dia sahabat salah satu temanku."
"Dharma?" timpalku.
Orang itu mengangguk. Yuki masih mengobrol dengan Guru kami. Aku masih memegang biola kesayangan Yuki, ingin mencoba memainkannya. Tapi mungkin suara yang dihasilkan akan "soak" membuat suasana di sekitar panggung yang menyenangkan menjadi kacau.
"Beberapa bulan lalu, aku melihatmu di konser Yuki. Membawa sebuket bunga."
Orang itu mengangguk.
"Apa Yuki memberikan tiket konsernya padamu juga?"
Orang itu menggeleng dan tersenyum, "Aku datang sendiri."
Aku baru tau kali ini, ternyata Yuki waktu itu memberikan tiket gratisnya hanya padaku. Aku pikir dia memberikannya pada dua orang. Aku dan Orang itu.
Yuki sudah selesai mengobrol dan menghampiri kami. Aku menoleh ke samping kanan, ternyata Dimas sudah menghilang entah kemana.
Yuki mengeluarkan dua lembar tiket dari kantong seragamnya. Ada tiket pertunjukan dan tiket gladi resik. Yuki tampak menimbang-nimbang, warnanya berbeda.
"Tadi tiket pertunjukan satu lagi sudah aku berikan pada Bu Ina," Yuki berkata sambil membolak-balik kedua tiket itu. Memperhatikan tanggal dan waktunya.
"Andi, kau bisa menemaniku saat gladi resik nanti?"
Aku mengangguk.
Orang itu memperhatikan kami, matanya tidak berkedip. Yuki kemudian mencoba memberikan tiket sisanya, takut-takut dan ragu-ragu.
"Kak... Ng..."
"Ya?" makhluk itu tersenyum. Menunggu Yuki menyelesaikan kalimatnya. Sebenarnya, siapa pun yang melihat mereka berdua pasti tau Yuki ingin memberikan tiket konsernya. Kecanggungan mereka berdua akan terhindarkan jika makhluk itu mengambil tiket dari tangan Yuki dan reflek mengucapkan terimakasih. Sebenarnya sesederhana itu. Tapi entah mengapa, orang itu malah membiarkan Yuki menyelesaikan kalimatnya, membuat Yuki malah semakin grogi.
Aku menepuk dahi, Yuki kemudian membelalakkan matanya padaku. Seketika groginya hilang.
"Kak, mau tidak datang ke konserku nanti bersama Bu Guru?" tanyanya polos.
Orang itu tertawa kemudian mengangguk. Mengambil tiket itu dari tangan Yuki dan tersenyum lembut, "Aku akan datang. Boleh aku menukar tiket ini dengan tiket punya Andi? Biar Andi yang datang ke pertunjukan konser."
Eh? Aku menoleh pada orang itu.
"Aku lebih suka melihat Yuki saat latihan."
"Andi, kau mau nanti datang ke konserku menemani Bu Ina?"
Aku mengangguk dan sepakat menukar tiket milikku. Seperti ada sesuatu yang tak nyaman menjalar di ulu hatiku.
Orang itu mengucapkan terimakasih kepada kami berdua. Kemudian berlalu, berjalan menuju ruang kelasnya di ujung lorong.
Yuki memekik pelan kegirangan. Perjuangan move on nya buyar kembali. Pertahanan itu akhirnya runtuh lagi.
"Kau lihat itu, Andi."
"Hush, jangan ge-er."
Tapi Yuki malah tetap tersenyum kegirangan. Ah, sudahlah daripada melihatnya murung lagi, kemudian menyendiri, menghilang dari sahabat-sahabatnya, kemudian ternyata terjadi penculikan.
***
Aku dan Guru kami datang secara terpisah, meski kursi kami berdampingan. Panggung kali ini berbeda dengan panggung yang waktu itu aku lihat beberapa bulan lalu. Panggung kali ini seperti ceruk di tengah-tengah kursi penonton yang bertingkat-tingkat.
Yuki tersenyum pada kami berdua. Aku juga menemukan Chyntia dan Dharma di tempatnya masing-masing. Entah kenapa kali ini aku mengantuk, tanpa bisa aku tahan. Aku melihat arloji, masih satu jam lagi. Semoga sesi berikutnya berganti lagu.
Selesai konser, kami berempat berfoto di luar Hall. Aku, Chyntia, Yuki dan Dharma.
Guru seni kami yang memotret dengan kameranya. Foto yang selalu aku bawa bertahun -tahun sesudahnya.
0 notes
Text
Chapter 8 Pentas Seni
by Lulu Fauziah
Melihatmu pertama kali,
Jantung terasa berdebar-debar,
Wajah bersemu merah,
Sulit mengutarakan apa yang ingin ku sampaikan
Aku seperti batita yang baru belajar bicara
Menatap senyummu dan kedua bola matamu yang indah dengan takut-takut
Apa aku jatuh cinta?
Aku menyadari,
Semua itu bukan pilihan.
Meredamnya adalah pilihan
Sebuah pilihan yang tidak mudah
Sama seperti setiap detik, menit, jam, hari, pekan dan bulan yang aku tunggu
Hanya untuk sekedar melihat senyummu lagi
Hanya untuk sekedar melihat sosokmu lagi
Meskipun hanya dalam waktu yang singkat
Meredam perasaaan tidak sama seperti memenjarakan perasaaan
Meredamnya adalah pilihan terbaik
Meredam perasaan yang menggebu-gebu
Meredam perasaan yang tak kunjung berbalas
Meredam perasaan yang bertepuk sebelah tangan
Meredam perasaaan sebagai bentuk rasa tau diri
Menatap jalan yang sudah buntu
Merelakan memang sulit
Tapi lebih sakit lagi bila tidak bisa menerima kenyataan
Aku membaca tulisan tangan Yuki di selembar kertas kecil, di atas ketiga lembar partiturnya. Yuki sedang ke toilet. Yuki membuat karya lagi. Sebuah instrument yang sedang dia garap. Aku membuka lembar-lembar berikutnya. Nampaknya sudah selesai.
"Bagaimana?" Yuki sudah kembali dari toilet, berdiri di sampingku.
Aku mengacungkan kedua jempolku. Yuki nyengir. Matanya kemudian membelalak, melihatku memegang selembar ketas berisi tulisan tangan Yuki.
"Waduh, tidak, yang ini out of record," ujar Yuki kaget, mengambil kertas itu dari tanganku. Melipatnya menjadi dua bagian. Dia tertawa heboh, "Ini privasi, karyaku yang mau aku tunjukkan adalah yang ini," Yuki menunjuk kertas partitur miliknya yang tergeletak di atas meja.
Aku tertawa. "Kau sendiri tadi yang sembarangan menaruh kertas-kertas ini di mejaku," jawabku tak acuh. Aku mengamati seisi kelas. Ramai, istirahat jam pertama. Sebagian pergi ke kantin, nongkrong di luar, sebagian memilih tetap di kelas, mengerjakan PR.
Yuki kembali tertawa dan duduk di sampingku, di kursi milik Taufik. Aku masih bersikap tak acuh, kembali fokus membaca buku yang Ibu berikan tadi malam. Aku sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Yuki. Aku memilih meredamnya sama persis seperti puisi yang Yuki buat.
"Tulisan tadi kau yang buat?" tanyaku usil, cengengesan, tanpa menoleh sambil membalik satu halaman dari buku yang sedang kubaca. "Apa itu adalah cerita di balik karyamu?"
Yuki mengangguk dan menghela napas, "Ya, memang. Tapi orang lain tidak perlu tau. Kau atau Chyntia tak apalah bila kalian tau."
Aku menoleh, dan nyengir. Yuki tertawa lagi, "Aku tidak pandai membuat puisi, sajak atau semacamnya," Yuki mengangkat bahu, melipat kertas tadi menjadi kecil-kecil memasukkan kertas itu ke rok panjang seragamnya. Dia mengangkat wajah dan tersenyum padaku. Aku mengamatinya, kedua bola mata Yuki sudah kembali bersinar. Syukurlah, dia sudah pulih.
Aku kembali membaca buku, dan Yuki mengambil kertas partitur miliknya, mengamati setiap notasinya, bisa jadi ada yang terlewatkan dia tulis. Membalik halamannya, mengamati apa yang terlewat, termasuk judul yang belum dia cantumkan untuk karyanya kali ini. Tidak ada percakapan lagi. Hingga kemudian bel jam pelajaran berikutnya berbunyi. Yuki kembali ke kursinya, di samping Siti. Taufik masuk kelas dan duduk disampingku.
Setelah itu, Yuki tidak masuk sekolah selama dua hari. Aku mengingatkan Siti untuk mengabari Yuki, tugas-tugas dan PR mana saja yang diberikan guru.
***
Drama musikal di TV akhirnya di tayangkan secara live di suatu malam. Drama musikal yang sempat membuat Yuki cukup tertekan, karena latihannya yang amat ketat dan cukup menyita banyak waktunya.
"Tumben, Nak. Kau nonton acara seperti ini?" Ibu duduk di sampingku, melihatku memegang remote tv.
Aku nyengir, tidak menjawab. Kemungkinannya kecil sekali Yuki dan kawan-kawannya tertangkap kamera. Tapi setelah ibu bertanya seperti itu, kamera tiba-tiba mengarah ke composer dan tim orkestranya.
"Gadis mungil itu temanmu, Andi? Yang waktu itu lewat depan rumah berjualan Yogurt?"
Wajahku memerah, aku pun menatap kearah yang sama seperti Ibu. Yuki memang terlihat mencolok diantara para pemain biola lainnya karena paling mungil, mengenakan gaun hitam berlengan. Aku belum sempat menemukan Chyntia di bagian pemain cello, kamera sudah berpindah ke arah para aktor dan aktris drama di atas panggung.
Aku mengangguk. Berharap ibu tidak menyadari ekspresi wajahku.
Ibu berdecak pelan, dan mengacak-acak rambutku. Kemudian pergi ke dapur, menghangatkan makanan untuk Ayah yang pulang tengah malam.
Aku mematikan TV. Sudah cukup, waktunya mengerjakan PR.
***
Drama musikal tadi malam telah selesai. Aku mendapati Yuki tersenyum riang pagi itu di sekolah. Saat istirahat jam pertama, dia menghmpiriku.
"Tinggal satu lagi, Andi." Ucap Yuki kegirangan, wajanhnya memang terlihat lelah, namun penuh semangat.
Aku sedang membaca buku kemarin, lalu menoleh pada Yuki.
"Pentas Seni. Berduet dengan dia," Yuki menarik napas, matanya berkilau kegirangan. "Kalau boleh memilih, aku lebih baik tampil di depan ratusan atau bahkan ribuan orang daripada tampil di depan dia lagi. Aku grogi, Andi."
Aku tertawa, berusaha menghibur Yuki, bahwa apa yang dia rasakan adalah hal yang wajar. Aku menutup bukuku dan memasukkannya ke dalam tas. Sepertinya Yuki ingin melanjutkan cerita.
"Sepertinya kawan-kawan akan kabur di depan panggung saat kami tampil," Yuki tertawa kecil. Mengingat kejadian Pentas Seni tahun lalu. Dulu ada kawan seangkatan kami tampil solo menampilkan musik klasik dengan biolanya. Seketika depan panggung menjadi sepi, hanya ada Guru Seni Musik kami dan kedua temannya yang masih setia duduk sebagai juri. Padahal sebelumnya ramai saat beberapa grup band menampilkan genre musik rock, pop, lagu-lagu Jepang, dan sebagai macamnya. Malah ada pula tampil duo hip-hop. Yuki menonton dari lantai dua, melihat dari teras kelas. Aku melihat dia menepuk dahinya dari lantai bawah di depan kelasku. Bahkan Siti yang tadi menemani disampingnya pun ternyata sudah berpindah entah kemana.
"Masih ingat?" Yuki bertanya padaku.
Aku mengangguk, berusaha menahan tawa.
"Kau jangan begitu, memangnya latihan seperti itu mudah," Yuki protes, mendengus kesal. "Sebentar lagi, paling tidak janji dan tanggung jawabaku pada Guru kita selesai." Yuki tersenyum riang, menyelesaikan kalimatnya.
Sore itu Yuki latihan dengan Orang itu dibimbing guru seni kami, di salah satu ruangan kelas. Suara alat musik mereka beradu. Terdengar sampai pinggir lapangan. Sayup-sayup terdengar, Guru kami memarahi Yuki. Beliau melihat Yuki kacau dari awal hingga akhir lagu. Masih terdengar lagi beliau kecewa karena semalam baru saja melihat Yuki menjadi anggota grup orchestra di drama musikal yang ditayangkan di TV, kenapa untuk latihan pentas seni malah kacau. Terdengar, Yuki meminta maaf, mengaku dia grogi.
Aku menatap mereka bertiga dari kejauhan.
Dimas meneriakiku dari tengah lapangan. Sudah waktunya latihan dan aku belum mengganti bajuku dengan baju karate. Pelatih kami belum datang. Sudah menjadi kebiasaan Dimas membimbing kawan-kawannya melakukan pemanasan sambil menunggu pelatih kami datang.
Dimas melotot.
Aku nyengir dan berjalan pelan ke kamar mandi sebelum Dimas mulai melempariku dengan benda apa saja yang ada di sekitarnya.
Matahari sudah mulai hampir terlihat di ufuk senja, ketika aku dan Dimas sudah selesai latihan dan kawan-kawan kami sudah pulang.
"Sstt... sssttt..." Dimas memberi isyarat padaku dari desis dan delikan matanya. Yuki sudah keluar dari kelas, terlihat dia sedang berbicara dengan orang itu dengan ekspresi malu-malu.
Aku menepuk dahi, sungguh terlihat sekali, Yuki. Laki-laki mana pun pasti menyadarinya. Apalagi makhluk itu.
Dimas berpindah dari sampingku, duduk di pinggir lapangan. Meminum air putih dari botol miliknya. Bersendawa keras.
Aku masih tak bergeming menatap mereka berdua.
"Yuki, apa boleh aku mengantarmu pulang?"
Yuki terbelalak kaget, kegirangan. Mengigit bibirnya, kedua tangannnya menggenggam erat tali tas biolanya.
"Tenang, aku sudah punya SIM."
Yuki terlihat berpikir sebentar, seperti ada pergolakan batin di wajahnya. "Aku tak terbiasa pulang diantar laki-laki," jawab Yuki canggung.
"Owh, oke. Aku mengerti," dia tersenyum pada Yuki.
Dimas sudah ada di sampingku, mulai membuka mulut. Aku cepat-cepat membekap mulutnya, sebelum dia sempat berkomentar atau mencela dengan suara keras hingga pasti terdengar mereka berdua.
"Se...per...ti....nya...Kau...di...anggap...Yu...yuk..ki se...bwa...gai te...man...pe...rem...pu...ab." Dimas masih berusaha mengeluarkan suara di antara jemariku.
"Aku akan pulang dengan mereka, naik angkutan umum" Yuki melanjutkan kalimatnya untuk menutupi canggungnya. Walaupun masih tetap terlihat canggung karena suaranya tiba-tiba nyaring.
Orang itu menoleh pada kami berdua. Kemudian menoleh kembali pada Yuki, menatap Yuki sesaat kemudian tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah, kalau begitu sampai bertemu besok sore, Yuki." Makhluk itu pun tersenyum dan kemudian berlalu. Yuki menatap punggungnya sampai punggung itu menghilang di ujung lorong.
Yuki menghampiri kami. Aku melepaskan tanganku dari mulut Dimas. Lalu melap tanganku pada punggung bajunya.
"Sialan kau," Dimas mendorong kepalaku pelan.
"Kalian seperti anak kecil saja," Yuki berkomentar, tertawa riang. "Persahabatan cowo itu seru ya," Yuki tersenyum santai, amat berbeda sikapnya dengan makhluk tadi.
Dimas nyengir, wajahku tetap datar. Mungkin kalimat Dimas ada benarnya.
Kami bertiga berjalan ke depan gerbang sekolah. Dimas mulai membercandai Yuki, menceritakan kejadian tahun lalu tentang kawan kami yang tampil solo, menampilkan musik klasik. Seisi depan panggung bubar semua, kecuali juri.
"Aku tidak tampil sendiri, tapi berdua," Yuki protes.
Aku diam saja memperhatikan mereka berdua, tidak berminat mengeluarkan suara.
"Kau kenapa, Andi?" Yuki menoleh, bertanya penuh keheranan.
Aku menggeleng dan tersenyum, kami sudah di luar gerbang dan berjalan menuju depan gang sekolah kami tepat di samping museum.
Dimas menatapku, menangkap sesuatu yang ada di pikiranku. Tapi mencoba mengalihkan perhatian Yuki, berbicara seperti pada anak kecil.
"Dia ingin cepat-cepat pulang. Dia lapar, supaya hemat, dia ingin makan di rumah. Makanya, mari kita segera pulang ke rumah masing-masing sebelum Andi melahap kita berdua. Sepertinya malam ini bulan purnama. Kau belum pernah melihat Andi marah kan?" ucap Dimas asal.
0 notes
Text
Salah Paham
Sering dalam berinteraksi sehari-hari, kita salah paham terhadap sesuatu. Apa yang disangka A ternyata sebenarnya B, apa yang disampaikan bermaksud baik tapi kita salah memahami dan merasa apa yang disampaikan bermaksud buruk. Ya, kita sering salah paham.
Di antara begitu banyak kesalah pahaman, kita juga sering salah paham kepada Tuhan. Menyangka bahwa keterpurukan, kekhawatiran, serta apa-apa yang sedang kita jalani ini adalah buruk. Padahal, kita sajalah yang belum bisa menangkap maksudNya dengan baik.
Juga saat berdoa, bahkan untuk urusan-urusan seperti harapan. Kita berdoa ingin sesuatu. Seringkali, jalannya tidak langsung dikabulkan begitu saja. Tuhan memberikan jalan memutar, kita harus menempuh dan melewati jalan-jalan yang membuat kita merasa Tuhan tidak adil, Tuhan tidak mengabulkan doa kita. Padahal, jalan itulah yang sebenarnya mengantarkan kita pada doa dan harapan itu. Hanya saja, begitu banyak yang memilih berhenti ditengah perjalanan.
Doa kita tidak terkabul bukan karena Tuhan tidak memberikannya, melainkan kita sendiri yang menolaknya. Dengan menolak caraNya, dengan menolak untuk menjalani jalan yang disediakan untuk sampai kepada harapan. Kita seringkali salah paham kepada Tuhan.
Hujan yang jatuh ini adalah rahmat, kita menyangkanya bencana. Sebab hujan telah membuat kita harus menunda janji atau kehilangan sesuatu. Kita sering juga gagal mengambil sudut pandang. Kemampuan kita melihat sesuatu amat terbatas, sedangkan Dia bisa melihat semua rangkaian peristiwa baik yang di masa lalu, sedang terjadi, dan akan terjadi.
Untuk itulah, kita seringkali dinasihati untuk berprasangka baik, Kepada semua makhluk, juga kepada Pencipta. Sebab, Dia sesuai dengan persangkaan kita kepadaNya.
Yogyakarta, 24 November 2017 | ©kurniawangunadi
1K notes
·
View notes
Text
Cerpen : Reda
Kudengar, seseorang yang bernama Hujan itu ternyata menyimpan perasaan kepada seorang lelaki. Kudengar itu dari sudut matanya, dari bagaimana ia melihat matahari pagi, bagaimana ia memandang hujan, juga bagaimana ia melihat barisan awan yang konon katanya berbentuk bunga, seperti perasaannya yang tengah berbunga-bunga.
Hujan adalah seorang perempuan yang tidak pandai berbohong, tidak pandai menyembunyikan perasaannya. Rona merah diwajahnya mudah terlihat saat ia malu, marah, atau hal-hal lain yang membuncahkan perasaannya. Juga, ia tidak pandai berpura-pura.
Perasaannya kepada lelaki itu seperti matahari, terang benderang. Siapapun yang mengenal Hujan, sudah pasti mereka bisa menerka bila Hujan sedang jatuh hati pada seorang laki-laki. Dan laki-laki yang itu, bukan yang lainnya.
Tulisan-tulisannya tidak menyembunyikan nama, aku juga sering membacanya. Hujan yang begitu polosnya tentang cinta, seperti melihat kisah cinta anak SMA. Penuh liku, lebih banyak lucunya. Namun, aku tahu. Perasaan Hujan tidak bercanda, ia memang seperti itu adanya. Perempuan yang tidak pandai menyembunyikan perasaan. Bukankah banyak yang seperti Hujan?
Dan lelaki itu, adalah lelaki yang sial. Ia terlambat menangkap hujan yang turun begitu deras. Ia terus menerus bersembunyi dari Hujan. Sampai suatu hari, hujan sudah reda dan ia baru mencari-cari kemana hujannya. Mengapa tak lagi turun?
Suatu hari, perasaan Hujan reda tak berbekas. Mengetahui jika perasaannya hanya turun tanpa arti ditempat yang salah, tempat yang tidak bisa menumbuhkan apapun. Ia sudah tumbuh menjadi perempuan yang berbeda, perempuan yang berhasil belajar dari kesalahan.
Aku bertemu dengan lelaki itu di sebuah kedai buku. Melihatnya melipat-lipat halaman buku, seperti menemukan paragraf yang mewakili perasaannya. Meminjam kata temanku, untuk menggambarkannya : Aku mendengarmu habis hujan berturut-turut, kemudian aku datang, kamu reda.
Hujan telah reda.
Yogyakarta, 30 November 2017 | ©kurniawangunadi
2K notes
·
View notes
Text
MUNGKIN (TIDAK) BERAT BAGIMU
“Ah, apaan sih. Gitu doang, cemen banget padahal, kan tinggal milih aja, gausah ribet”
“Masa yang gitu doang gak bisa, kan tinggal gini aja. Apa susahnya?”
—
Seringkali, ada orang yang datang menceritakan berbagai masalahnya. Namun, tidak jarang juga, kita sebagai pendengar, merasa bahwa masalahnya itu terlalu remeh untuk diceritakan.
Seperti ketika beberapa waktu lalu, seorang wanita bertanya pada saya, ia bertanya
“Setiap hari saya bertemu mantan, haruskah saya keluar dari tempat kerja saya?”
Iseng, saya coba tanya pendapat teman-teman saya tentang pertanyaan ini. Banyak yang awalnya tersenyum ketika mendengar pertanyaan ini. Beberapa bahkan berkomentar “lah, masa gitu doang keluar? Santai aja kali”. Bagi mereka, persoalan itu, remeh.
Namun coba kita sedikit bernostalgia sejenak dengan hidup kita.
Pernahkah kita, ketika masih kecil, bertanya hal-hal yang begitu pada orang yang lebih dewasa?
Semisal “Ayah, 11 tambah 30 itu berapa sih?”
Atau “Kakak, kalau budi punya 4 permen, diambil 2, maka sisa berapa sih kak?”
Atau “Paman, lirik lagu indonesia raya itu, bagaimana sih?”
Bukankah pertanyaan itu sungguh mudah bagi orang-orang dewasa? Bukankah otak kita tak perlu berpikir keras untuk mencari jawabannya. Iya, tentu mudah. Karena kita sudah pernah melewatinya.
Namun, ingatkah bagaimana perasaan kita ketika kecil, bukankah kita bertanya dengan penuh kebingungan? Bukankah kita datang dengan penuh rasa ketakutan? Takut jika tak menjawab, ada konsekuensi yang didapat. Bukankah kita bertanya, karena kita butuh jawaban?
Pertanyaan itu, sungguhlah mudah bagi para orang dewasa. Namun, bagaimana rasanya jika kita sebagai orang dewasa menertawakan pertanyaan tersebut hanya karena kita anggap remeh? Bukankah sang anak justru akan berkecil hati? Bukankah sang anak akan merasa dirinya ini bodoh? Hati-hati, alih-alih dia mendapat jawaban, justru ia mendapatkan rasa sakit hati.
—
Setiap masalah memiliki kadar kesulitan yang berbeda bagi setiap orang. Bagi anak-anak, soal perkalian itu menjadi sungguh sulit, namun tidak bagi para orang dewasa. Bagi yang baru belajar, solat subuh itu menjadi sungguh sulit, namun tidak bagi mereka yang sudah lama beriman. Bagi yang baru paham, menggunakan hijab itu sungguh sulit, namun tidak bagi mereka yang sudah terbiasa. Bagi keluarga yang sering berselisih, mengucapkan rasa sayang itu sungguh sulit, namun tidka bagi mereka yang keluarganya hangat. Bagi mereka yang baru merasakan cinta, menghadapi mantan di kantor adalah hal yang sulit, namun tidak bagi mereka yang belum pernah merasakan cinta atau sudah terlalu sering bergonta-ganti pasangan.
Masalah yang sama, belum tentu memberi rasa yang sama pada orang yang berbeda.
Maka, jangan pernah sekalipun meremehkan persoalan seseorang. Ketika mereka datang dengan masalah, mereka itu butuh untuk didengar, butuh untuk diberikan solusi. Mereka datang bukan untuk ditertawakan, bukan untuk dihina.
Mungkin, itu tidak berat bagimu. Tapi sungguh, itu sangat menyulitkan baginya
MUNGKIN (TIDAK) BERAT BAGIMU Bandung, 12 November 2017
614 notes
·
View notes
Text
terbaik
kalau semua pemimpin hanya mau pengikut terbaik (versi mereka), akan banyak sekali penggerak yang tidak ada gerakannya.
kalau semua toko hanya mau menjual produk jasa terbaik (versi mereka), akan banyak sekali calon pembeli yang tidak akan pernah sanggup membeli.
kalau semua sekolah hanya mau menerima anak-anak terbaik (versi mereka), akan banyak sekali anak-anak yang tidak sekolah.
kalau semua perusahaan hanya mau menerima orang-orang terbaik (versi mereka), akan banyak sekali orang-orang yang tidak bekerja.
kalau semua pasangan hanya mau menerima laki-laki atau perempuan terbaik (versi mereka), akan banyak banyak sekali laki-laki dan perempuan yang tidak kunjung diterima.
seringkali kita merasa bahwa kita berada bukan pada lingkungan yang cukup baik. ah, negara ini terlalu kacau. kota ini terlalu berantakan. sekolah ini terlalu cuek. perusahaan ini terlalu menuntut. keluarga ini terlalu konservatif. masyarakat ini terlalu bodoh. begitu, pikir kita.
sungguh, kita perlu belajar menerima yang dalam versi kita bukanlah yang terbaik. sebab saat kita bisa utuh menerima, saat itu pulalah sejatinya kita memberi, berbagi. kalau kita menerima, kita mau berbuat agar sama-sama berubah, bukan?
tugas kita di dunia ini tidaklah mencari, menemukan, mendapatkan, atau memiliki yang terbaik. tugas kita di dunia ini adalah saling menolong dalam kebaikan, berlomba-lomba dalam kebaikan. jadikan setiap tantangan sebagai ladang pahala. semua akan bernilai jika bermula dari penerimaan, berawal dengan keikhlasan.
732 notes
·
View notes
Text
Inilah yang terjadi ketika kau patah hati. Kau berjanji tak akan semudah itu membiarkan seseorang masuk dalam hidup dan hatimu. Namun ketika kau bertemu seseorang yang di matanya kau menemukan kedamaian, kau meragu. Sementara itu, hati dan logikamu berperang. Dan kau tak tahu siapa yang harus menjadi pemenang.
Tia Setiawati
480 notes
·
View notes
Text
Perbandingan
Kita bertemu begitu banyak orang. Bertemu dengan orang-orang baik, sekaligus mungkin yang menurut kita tidak baik. Bahkan tanpa sadar kita telah membuat kriteria tertentu terhadap orang lain berdasarkan apa yang kita inginkan.
Salah satu fase paling menarik di usia 20-an lebih adalah ketika kita harus memutuskan dengan siapa kita akan menghabiskan usia. Seseorang yang membuat kita khawatir karena seseorang itu adalah orang asing. Dan kita harus memberikan kepercayaan, keyakinan, keselamatan, kesetiaan, bahkan apa-apa yang selama ini kita jaga dan tutupi dari orang lain, aurat kita misalnya.
Dan pertanyaan seperti itu terus bergulir. Bahkan saya sering mendapat pertanyaan bagaimana saya bisa yakin terhadap @ajinurafifah atau sebaliknya.
Kita akan dihadapkan pada begitu banyak sekali orang baik. Apalagi dengan pergaulan kita yang luas. Dengan pertemanan kita di kampus, di kantor, di organisasi, dimanapun. Bahkan seringkali orang baik itu adalah teman-teman kita sendiri. Dan tidak pernah ada salahnya ketika kita memutuskan untuk menikah dengan teman sendiri kan?
Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan mengkhawatirkan tentang bagaimana menentukan, dengan siapa, dan bagaimana bisa. Semua itu akan menjadi pengalaman eksluksif bagi tiap-tiap orang. Tidak bisa dijawab dengan kata-kata karena semua itu berbentuk pengalaman emosi. Harus dirasakan.
Bahkan untuk menemukan jawaban itu, kadang kita harus mengalami berbagai banyak perasaan yang tidak menentu dan meresahkan. Hanya saja, ada satu hal penting yang harus dipahami; jangan membanding-bandingkan.
Orang baik itu banyak sekali tapi hanya ada satu yang tepat, selebihnya hanyalah ujian.
©kurniawangunadi
sumber gambar : Yuval Robichek
1K notes
·
View notes
Text
PERMUDAH
Kau bertanya, kenapa aku begitu mudah kau dapatkan. Padahal banyak orang yang telah datang pada ayahku, namun tak satupun aku setuju. Orang bilang, sulit menaklukan hatiku, tapi saat kau datang, aku tak menolakmu.
Kau bertanya, kenapa aku begitu mudah kau dapatkan. Padahal kau tak lebih tampan, kau tak lebih kaya, kau tak lebih tinggi jabatannya, dibanding yang telah datang memintaku sebelumnya.
Kau bingung? Aku tidak .
Aku tau siapa dirimu. Melihat caramu bersedekah tanpa pamrih, sudah cukup memperlihatkan, betapa kayanya dirimu.
Aku tau siapa dirimu. Melihat caramu menjaga diri dari keburukan, sudah cukup memperlihatkan, betapa baiknya dirimu.
Aku tau siapa dirimu. Melihat caramu beribadah, sudah cukup memperlihatkan, betapa siapnya dirimu menjadi imamku.
Aku tau siapa dirimu. Melihat caramu berikhtiar mencari pasangan, sudah cukup memperlihatkan, betapa sabarnya dirimu.
Aku tau siapa dirimu. Melihat perjuanganmu menjaga imanmu, sudah cukup memperlihatkan, betapa kerasnya perjuanganmu untuk jodohmu.
Aku tau, kau sudah berjuang begitu keras. Aku tak ingin mempersulitmu lagi. Maka saat kau datang, aku permudah.
Anggap saja, mudahnya aku bagimu, adalah hadiah tuhan, untukmu yang sudah berjuang
Kau kembali bertanya, kenapa aku begitu mudah kau dapatkan?
Kau bingung? Aku tidak.
PERMUDAH Bandung, 4 Januari 2017
440 notes
·
View notes
Photo
Semoga para ayah hari ini ingat bagaimana dulu ia memperjuangkan perempuan yang kini menjadi istrinya. Semoga para ayah hari ini ingat bagaimana rasanya berdebar saat pertama kali berkunjung dan memperkenalkan diri ke orang tuanya. Semoga para ayah hari ini ingat bahwa perempuan yang menjadi istrinya hari ini adalah perempuan yang paling diperjuangkannya. Semoga dengan begitu, para ayah hari ini memahami bila ada anak laki-laki yang hendak meminta anak perempuannya. Sebab peristiwa itu terulang, dan para ayah hari ini menyaksikan ada anak laki-laki yang dengan malu-takut-berusaha memberanikan diri mengetuk pintu dan berusaha mengucap nama anak perempuannya dengan benar. Semoga Allah melembutkan hati para ayah di dunia ini. Aamiin.
605 notes
·
View notes
Quote
Perempuan, seringkali memang suka menunggu. Jadi, kalau kau tidak ingin kehilangan seorang yang kaukasihi dengan sangat, segera utarakan. Atau orang lain yang akan segera mengutarakannya, dan bisa jadi diterimanya. Entah, waktu kenal yang lama seringkali bukan jaminan.
Tia Setiawati (via karenapuisiituindah)
226 notes
·
View notes
Text
Bukan Salahmu
Pada beberapa hal dalam hidup ini, mungkin kita harus salah dulu, baru belajar. Namun pada beberapa hal yang lain, cobalah belajar dari kesalahan-kesalahan orang lain. Karena hidup, rasanya terlalu panjang, sehingga tidak semua salah harus kau alami sendiri untuk kemudian kau pelajari.
●
Bukan salahmu. Terkadang kau jatuh cinta pada orang yang salah. Entah karena dia yang sudah berpasangan, salah satu dari kalian berdua tidak direstui orangtua, atau bahkan perbedaan-perbedaan yang masuk dalam prinsip hidup masing-masing. Lepaskan sesuatu yang terus-menerus menyulitkanmu. Lepaskan sesuatu yang tidak kautemui jalan menuju ke sana. Lepaskan.
Bukan salahmu. Terkadang kau memaksakan diri hendak memperoleh sesuatu yang begitu sulit kau genggam. Sekolah favorit, pekerjaan bergengsi, lingkup pertemanan yang kau lihat lebih keren. Lalu batas-batas itu tidak kau sadari. Dan kau bersikeras lagi dan lagi. Kau lupa bahwa yang tidak untukmu, selamanya tidak akan untukmu. Dan bila kau sempat menggenggamnya, percayalah itu tidak akan bertahan lama.
Bukan salahmu. Terkadang kau menyalahkan takdir. Karena rasanya hatimu begitu sesak, enggan menerima semua nyata. Lalu kau lupa, bahwa yang terbaik sudah ditetapkanNya. Bahwa ini bukan perihal apa yang kau kehendaki. Namun apa yang Tuhan tetapkan, sejak awal.
Maka, meski segala hal kau pikir bukan salahmu, tak ada salahnya kau belajar. Bersyukur, menerima, tidak memaksakan diri untuk mengerti. Kau adalah sebaik-baiknya dirimu menerima apapun yang Tuhan beri.
●
© Tia Setiawati | Palembang, 17 Februari 2017
332 notes
·
View notes