Text
Untuk Diriku
Untuk diriku, aku menerimaku. Aku menerima seutuhnya diriku. Aku menerima buruk dan baiknya diriku. Aku memaafkan diriku. Aku memeluk diriku, tak ada lagi goyah dan menyerah. Aku adalah Aku dan hidupku milikku dan Tuhanku.
(RL, 03/06/2022, 02:06)
0 notes
Text
Berbagi.
Sejak kecil orangtua mengajariku dan mencontohkanku untuk bisa berbagi kebahagiaan pada orang lain. Katanya selagi kita mampu untuk berbagi maka berbagilah, jangan hanya memenuhi kebutuhan dan keinginan saja. Katanya tak ada artinya kalau kita hanya menikmati kehidupan ini sendirian.
Ya… semua kalimat itu cukup masuk dalam kepala dan batinku, berbagi kebahagian jadi hal yang menyenangkan dan aku sukai. Bukan karena aku menjadi merasa mampu atau bersyukur karena ada yang masih dibawahku tapi dengan berbagi aku merasa berguna. Setidaknya aku menjadi sumber bahagia orang lain meskipun aku ragu bahwa aku telah benar-benar bahagia. Namun apakah dalam hidup hanya untuk berbagi kebahagiaan? Apakah hanya rasa bahagia yang bisa dibagikan?
Aku tidak tahu. Pertanyaan itu acap kali muncul ketika aku sendiri. Mungkin hanya pertanyaan bodohku. Aku tak pernah benar-benar tahu kenapa pertanyaan itu muncul dan apa jawaban yang tepat untuk menjawabnya.
(RL, 12/04/2022, 22:41)
0 notes
Text
Ruang Tak Berpintu.
Tidak tahu cara meminta tolong dan berbagi perasaan resah dengan orang lain membuat diri merasa sendirian. Padahal dirinya sendiri yang telah memberi batasan. Begitu tebal hingga sulit untuk ditembus siapun. Nyatanya, bukan benar-benar sendirian tapi sendirinya yang telah mengisolasikan diri.
Pernah dengar kalimat seseorang mengenai “pintu diri”. Katanya sebagai manusia kita harus tahu kapan harus membuka pintu dan menutup pintu bagi orang lain. Melibatkan orang lain masuk kedalam dunia dan keseharian yang kita jalani atau memberi batasan bahwa tempatnya ada di halaman tanpa harus masuk.
Mirisnya, jangankan untuk membuka dan menutup pintu pada orang lain, pintunya sendiri tak dimiliki. Seperti bangunan yang dibuat dari beton tak berpintu, ah tidak, mungkin lebih keras dari itu hingga taada yang mampu untuk menembus masuk. Terdengar begitu menyedihkan, bisa membangun bangunan kokoh tapi tak mampu membeli pintu untuk akses keluar-masuknya.
Kokohnya bangunan itu memuncukan tanya “Apasih yang tersimpan dalam bangunan itu? Seberharga apa?” Atau mungkin pertanyaan yang lebih tepatnya “Serapuh apa isi didalamnya sehingga berusaha dilindungi dengan begitu kuatnya?”.
(RL, 09/04/2022, 14:40)
0 notes
Text
Menyelam atau Tenggelam?
Apakah aku akan berani menyelam lebih dalam lagi? Menghabisakan hidup menyusuri kedalaman dan hanya sesekali kepermukaan untuk bisa benapas? Apa yang akan aku dapatkan ketika menyelam lebih dalam? Dasar laut indah penuh terumbu karang dan ribuan ikan yang beragam atau dasar laut yang semakin tak terlihat, gelap dan aku tak pernah tau dimana dasarnya?
Siapkah aku untuk masuk lebih dalam?
Apakah betul ini yang aku mau? Jika betul, kenapa kolam renang terasa memiliki arus dan membuatku kewalahan? Jika betul, kenapa aku tak juga mampu mengatur napas dalam kolam yang dalamnya tak seberapa dibanding lautan lepas?
Apakah aku akan tenggelam? Apakah aku akan terseret pusaran? Apakah aku akan.... Aku tak sanggup melanjutkan kalimat selanjutnya.
Tuhan, sedang apa aku saat ini? Kenapa terus menunda keluar dari kolam padahal ini sudah waktunya masuk lautan lepas? Kenapa begitu banyak keraguan dan ketakutan untuk terjun dan menyelam?
Akan sampai kapan aku memilih berada dalam kolam dan kelelahan secara perahan?
(RL, 12/10/2021, 16:26)
0 notes
Text
Mendustakan (?)
Tidakkah aku telah mendustakan Tuhan? Tatkala aku berpikir bahwa ia telah menciptakan seonggok daging tanpa arti dan dibiarkan hidup sampai saat ini. Aku malu dengan pemikiran dan perasaan ini. Terkesan tak pantas sebagai makhluk yang telah diciptakan.
Apa aku? Siapa aku? Kenapa aku? Tubuhku tumbuh tapi tidak dengan jiwaku. Tumbuhnya jiwaku terhambat dan apakah aku yang telah menghambatnya? Otakku tak mampu menjangkau pertanyaan itu.
Oh ataukah aku hanya terlalu takut untuk mengakuinya dan hanya berasalan tak bisa menjawabnya? Tak tahu. Sungguh tak tahu. Aku tak tahu akan semua ini.
Melelahkan, ingin menyerah, hilang bahkan merasa lebih baik tak pernah ada dari sebelumnya. Oh sungguh, lagi-lagi aku telah mendustakan Tuhan. Aku telah mengdustakan takdir dan kehendaknya yang telah menciptakan ku.
Akan sampai kapan dialog pertikaian ini terus berlanjut? Pertikaian yang tak nampak ke permukaan tapi begitu liar di dalam dan kian meruntuhkan kepercayaan.
Aku lelah. Aku lelah. Aku lelah. Aku lelah. Aku lelah. Aku lelah. Aku melelahkan. Ya! Itu yang lebih tepat.
Written on Sep 11th, 2021 1:33:29am (RL, 17/09/2021, 22:23)
0 notes
Text
Cukup, Saatnya Dirimu.
Akan sampai kapan merasa sebagai korban? Akan sampai kapan? Tidak kah kau ingin keluar dari perasaan dan pemikiran itu? Lihat!! Dia sang pelaku, hidupnya baik-baik saja. Begitu lancar jalannya dan mulus bak pantat bayi. Dia bahagia dengan hidupnya. Sungguh, dia tak peduli dengan apa yang terjadi padamu. Dia tak tahu-menahu tentang lukamu. Bahkan tak sedikitpun ia melihat apa yang terjadi pada dirimu.
Akan sampai kapan perasaan sakit itu ditanam? Akan sampai kapan? Tidak kah kau merasa rugi karena telah menanam benalu pada perasaan dan pikiranmu? Semakin hari menggerogoti rasa senang, menggerogoti kepercayaan diri dan kau semakin kehabisan dirimu sendiri. Tidakkah kau ingin bangun dan mencabut benalu itu? Mencabut sampai akarnya dan mematikannya.
Mungkin akan sulit, mungkin akan menguras tenaga karena akarnya sudah mencengkram begitu dalam, tapi akan dibiarkan sedalam apa lagi? Tidak kah semua sudah cukup? Cukup. Kamu sudah cukup lama membiarkannya tumbuh. Saat ini waktunya dirimu tumbuh. Bukan benalu itu lagi.
(RL, 29/08/2021, 23:10)
0 notes
Text
Omong Kosong.
Semua yang ada di sekelilingku begitu cepat, seperti sedang saling berlomba. Entah berlomba dengan siapa. Berlomba dengan kerumunan orang disekitarnya atau dengan ego dirinya. Aku tak tahu.
Aku sempat tergiur ikut arus lomba itu, merasa tertantang dan tak mau tertinggal. Sampai-sampai aku memacu diriku untuk ada di paling depan dan menanggalkan semua perasaan ragu. Sayangnya aku tidak benar-benar tau untuk apa aku ada pada arus itu.
Arus itu lama-lama membuatku kian terombang-ambing. Aku semakin merasa kehilangan kontrol atas diriku. Aku tak tau apa yang sebenarnya sedang aku lakukan.
Lalu...tiba-tiba kabut kekosongan menyelimutiku.
Pandangan ku kosong. Otakku kosong. Bahkan hatiku pun demikian. Kosong! Ini memang terdengar seperti omong kosong tapi begitulah adanya. Kekosongan itu datang begitu saja tanpa ada pertanda.
“Iyakah tanpa pertanda?” (aku mulai ragu).
1 note
·
View note