Text
Tantangan Pendidikan bagi Generasi Digital
Aku duduk di depan, diatasi kursi yang lebih tinggi dari mereka. Aku juga dipandang lebih tinggi dari mereka yang ada di depanku; baik secara fisik maupun secara status. Mereka memanggilku guru, walaupun aku tak yakin layak dipanggil seperti itu.
Suasana kelas yang ramai, 3-4 murid lelaki bergerombol di bagian kiri, dan 5-6 bergerombol di bagian kanan kelas. Mereka sibuk bercerita, tentang kesukaan mereka, tentang game online yang biasa mereka mainkan, tetapi jarang yang mengobrol membicarakan tentang materi pelajaran. Aku sering bertanya, bagaimana mungkin mereka mampu memahami tentang pelajaran yang diberikan gurunya, sedangkan bagi mereka mengikuti pelajaran di kelas adalah kewajiban yang terpaksa mereka lewati setiap harinya. Setelah itu mereka kembali ke dunia mereka, tempat yang asyik memainkan game, atau kesukaan-kesukaan lain mereka. Pikiran mereka tidak benar-benar diisi oleh pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah, setidaknya itu menurutku.
***
Berapa banyak kapasitas memori manusia?
Jika pernah menonton serial film 'Sherlock Holmes', yang dibintangi oleh Benedict Cumberbath kita tidak akan asing dengan kata-kata yang sering ia lontarkan, "Bahwa sesuatu yang tidak penting hanya akan mengurangi kapasitas di otakku saja". Sherlock juga memiliki. 'Istana Pikiran', sebuah tempat imajinatif yang ia buat di pikirannya saat merenung. Secara tidak tersirat, adegan tersebut menunjukkan bahwa otak manusia tidak lah berbeda dari sebuah hardisk dalam komputer, yaitu ruangan yang memiliki fungsi dan kapasitas penyimpanan.
Berdasarkan penelitian dari Paul Reber, profesor psikologi di Northwestern University, otak manusia memiliki kapasitas penyimpanan sekitar 2,5 petabyte (setara dengan satu juta gigabyte). Kapasitas tersebut sanggup menyimpan tiga juta jam acara tv atau selama 300 tahun--tak ayal dalam film Lucy, manusia yang mampu membuka kapasitas otaknya hingga 100% bahkan diimajinasikan mampu menjelajah hingga zaman manusia purba.
Lalu dengan kapasitas yang begitu besar mengapa beberapa manusia bahkan memiliki kesulitan untuk menghafal nama-nama orang di sekitarnya? Mengingat jalan pulang ke rumahnya? Atau mengingat nomor telepon darurat? Begitu pula aku yang seorang pengajar, sulit mengingat nama-nama siswa. Apa yang menjadi kendala padahal kapasitas otak manusia itu sebegitu besar?
Beberapa menjawab bahwa dengan kapasitas otak yang begitu besar, tidak semua orang mampu memaksimalkan keajaiban tersebut. Hanya sekitar 10% kapasitas otak yang mampu dimanfaatkan oleh manusia pada umumnya. Jawaban klinis semacam itu tak dapat dipungkiri, tapi faktor apa yang membuat orang hanya mampu mengakses 10% kapasitas memori otak?
Erich Fromm--seorang psikoanalisis asal Jerman--dalam salah satu bukunya menekankan kelemahan tentang manusia modern dalam berkonsentrasi. Dengan kapasitas yang begitu besar jarang sekali ada manusia yang mampu menyimpan dengan baik dan rapi segala macam pengetahuan maupun rangsangan dari luar. Ini seperti komputer dengan bermacam-macam file yang ditaruh sembarangan di dalam penyimpanan tanpa di pilah-pilah ke dalam folder-folder tertentu. Alhasil memori kita berserakan di dalam sebuah tempat yang sangat luas, membuatnya sulit untuk dicari dan dijangkau dalam ingatan--bayangkan betapa sulitnya mencari benda yang berserakan di tempat yang sangat luas.
Kesulitan berkonsentrasi pada sesuatu hal adalah dampak dari kehidupan modern yang memaksa seseorang untuk mampu memaksimalkan kemampuan multitasking. Generasi modern dalam beraktivitas mampu bekerja dengan menggunakan beberapa inderanya secara bersamaan. Semisal perhatikan lah mereka yang membaca sembari mendengarkan musik menggunakan headset. Mereka yang menyetir sambil menelpon, dan bentuk kegiatan lain yang bagi manusia modern tidak sulit dilakukan dengan mengaktifkan inderanya bersamaan. Kebiasaan ini membuat kita sulit berkonsentrasi pada satu hal saja, mudah kehilangan kesabaran karena prinsip dari multitasking adalah kecepatan.
Dalam pikiran kita pun begitu. Secara bersamaan kita memikirkan tentang materi pelajaran, game online yang baru saja kita mainkan, chat dari pacar yang belum sempat kita balas, ataupun lainnya semua masuk secara bersamaan tanpa sempat kita serap dan pilah satu persatu. Pada akhirnya kita menyimpannya secara acak, dan sangat sulit untuk berkonsentrasi menemukan hal-hal penting dalam pikiran kita. Materi pelajaran jadi mudah terlupakan, tugas-tugas dan janji-janji kita terlalaikan, semua karena pikiran kita terbagi bersamaan secara acak sedang proses berpikir (konsentrasi) kita memiliki keterbatasan.
***
Ketika mendapatkan pelatihan tentang metode pembelajaran bagi generasi digital, aku diingatkan tentang pentingnya menyelaraskan model pembelajaran dengan karakteristik anak-anak generasi digital. Satu yang pasti, bahwa generasi ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangan itu salah satunya adalah kurangnya kemampuan berkonsentrasi.
Sayangnya, hilangnya kemampuan ini berarti bahwa sangat mungkin generasi digital melewati hidupnya hanya sebatas 'mengalir' saja. Mereka kehilangan kepekaan, kepedulian terhadap berbagai hal yang mereka temukan sepanjang hidupnya. Tesis-tesis ilmuwan sosial tentang masyarakat yang cair--masyarakat yang hanya merupakan kerumunan yang bertemu atas dasar kepentingan di ruang-waktu tertentu--pada akhirnya dapat aku temukan juga saat menghadapi kenyataan di dunia pendidikan hari ini. Lantas kondisi ini kah yang harus dipertahankan dalam dunia pendidikan?
Jakarta, 26 April 2017
3 notes
·
View notes
Quote
Politik bagaikan jalan penuh persimpangan dimana kawan/lawan bisa saling bertemu/berpisah
Self quote
0 notes
Text
Bagaimana Cara yang Tepat Merayakan Perpisahan?
Suara gong berbunyi nyaring. Bapak tua dengan topi hitam segi enam yang memiliki tali panjang yang nyangkut di lubang hidung nampak gagah ketika memukul gong itu untuk membuka sebuah acara perpisahan, yang isinya cuma pidato bertele-tele untuk menyampaikan satu hal; perpisahan. Aku duduk diantara ribuan orang lainnya, dipaksa khidmat dalam kejemuan yang sangat. Untuk kau ketahui saja, aku tak pernah menikmati sesuatu hal yang bertele-tele.
Barangkali tak begitu denganmu. Wajah yang amat berseri, dengan riasan tipis dan gincu yang membuat senyuman terlihat lebih manis. Mungkin memang sudah begitu seharusnya. Acara ini merupakan hal yang menggembirakan bagimu, bagiku, bagi kalian. Ah, tentu saja untukku tetap saja ini menjemukan.
Kau tahu aku masih mengingat kata-kata ini, yang tentu kau kutip dari lini masa akun media sosial Tumpukkan Puisi;
“perpisahan tetaplah perpisahan. Ia meninggalkan segala suka, duka, lara menjadi kenangan yang tak bisa di bagikan.”
Jika memang perpisahan dapat menyisakan kepaitan, lalu mengapa perpisahan harus dirayakan?
Seorang pertapa pernah berwasiat pada anaknya, dan ditulis wasiat itu oleh anaknya sebagai sebuah riwayat dengan judul, “Berpisah untuk Bersatu, Bersatu untuk Berpisah”. Wasiat pertapa itu pada anaknya ketika bicara tentang perpisahan setelah pertemuan kiranya seperti ini;
“orang yang berpisah setelah bertemu akan selalu dikutuk untuk terjebak dalam sebuah kerinduan yang konyol dan imajinasi tak masuk akal bernama kenangan.”
Setelah aku berulang kali membaca kalimat tersebut aku tertawa, lalu bertanya pada diri sendiri; apakah mempelajari sejarah membuatku selalu tertarik bicara tentang kenangan? Tentu bukan hanya aku saja yang harus menjawab pertanyaan itu.
Orang yang suka nyemil upil harus mampu menjawabnya duluan. Karena orang tersebut mendaku diri memiliki aura jatmika karena dekat dengan Tuhan. Sesungguhnya aku tak mengerti dengan ocehan si tukang cemil upil sendiri itu. Andai saja orang semacam ini tak banyak memberi aku sajian yang sedap–karena kalian tahu dia hobi memasak, rasa nya pun sedap, tapi dia lebih suka nyemil upil sendiri ketimbang memakan hasil masakannya–pasti sudah ku sumpal lubang hidungnya dengan putung rokok yang masih menyala.
Orang yang suka nyemil upil sendiri suka bicara sejarah dengan ngelantur, sehingga harus sial meratapi hidup dengan kesepian. Tapi, dia berkilah;
“bukankah yang setia itu hanya kesepian?” Dan itu lah saat yang tepat untuk akhirnya ku sumpalkan Putung rokok yang masih menyala di lubang hidungnya.
***
Tidak pernah ada orang yang bisa menghindar dari perpisahan. Barangkali, selain maut, perpisahan termasuk sebagai kepastian dalam kehidupan.
Perpisahan memiliki dua akibat; kesedihan ataupun kegembiraan. Bagi yang menganggap bahwa perpisahan adalah sesuatu yang menyedihkan; perpisahan adalah kiamat mikro-sughro. Berpisah adalah sesuatu yang menakutkan, karena tak ada yang tahu apa yang akan dihadapi setelah kita melewati pintu gerbang perpisahan.
“Setiap proses menuju sesuatu yang belum diketahui serta meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang lama adalah sesuatu yang begitu menakutkan bagi manusia.” Begitu kata salah satu psikoanalisis dari Jerman.
Namun, tidak semua orang menganggap perpisahan adalah hal yang buruk. Dalam beberapa segi kehidupan, perpisahan adalah suatu tahap menuju sesuatu hal yang lebih baik–barangkali semacam hijrah dalam keyakinan Islam. Seorang anak akan dianggap lebih baik dan sudah dewasa jika ia telah hidup berpisah dari orang tuanya. Dan kemampuan seseorang untuk dapat menerima perpisahan adalah salah satu kegembiraan bagi dirinya, maupun orang-orang disekitarnya.
Dan begitulah perpisahan punya dianggap punya dua sisi yang memiliki makna berbeda. Baik sebagai momen yang menyedihkan maupun menggembirakan, bagi sebagian orang perpisahan adalah sesuatu yang sakral sehingga patut dirayakan. Lantas menurutmu, bagaimana cara yang tepat untuk merayakan perpisahan?
***
Aku masih ingat ketika kau tiba-tiba menepuk pundakku, lalu berbisik,
“Aku mencintaimu”.
Tentu saja aku tersenyum, walau katamu itu adalah senyum tersinis yang pernah kau lihat dan harga dirimu langsung terasa terinjak setelahnya. Ku kecup bibirmu setelah itu, dan saat kau termangu dan terlarut dalam hasratmu, ku lepas ciumanku dan aku pergi. Melangkah semakin jauh membelakangimu. Tapi kau berteriak, dan mengatakan bahwa ini adalah perpisahan.
Ku minta kau bertanya–entah pada anak pertapa yang menulis buku tentang nasihat-nasihat bapaknya atau pada orang yang suka nyemil upilnya sendiri itu–adakah kebersamaan yang diciptakan tidak untuk perpisahan?
1 note
·
View note