Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
‘Terhah’ berasal dari bahasa Esperanto – bahasa artifisial yang bersifat universal – yang didefinisikan sebagai ‘ide’. Adalah Syaiful Aulia Garibaldi atau yang akrab disapa Tepu, seniman muda Bandung, rupanya tak kuasa menciptakan Dunia Terhah pada tahun 2007 silam. Dunia yang menjadi wilayah mediasi bagi ilmu pengetahuan untuk berpadu dengan seni melalui imajinasi pada proses berkarya.
Kala itu, Tepu memulainya dengan sistem tanda dan tata bahasa bagi para penghuni Dunia Terhah. Sederhana saja, bahasa Terhah ini sebenarnya hanya merupakan celetukan Tepu sehari-hari yang kemudian ia catat dan kumpulkan. Hingga saat ini sudah lebih dari 1.500 kata terdaftar dalam Kamus Terhah. Kamus bahasa yang sempat ngetren di Kota Bandung, khususnya di kalangan mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB).
Dan, entah ini termasuk menjijikan atau tidak, abjad dalam Dunia Terhah ditemukan dengan cara mengkultur salah satu unsur yang ada pada bakteri e-coli, bakteri yang umumnya menimbulkan penyakit diare. Kemudian, pola-pola itu tumbuh sesuai dengan kemauan si mikroorganisme itu sendiri. Maka, muncul abjad-abjad Terhah nan ajaib itu.
Ada satu kata kunci di sini : mikroorganisme. Mahkluk hidup yang kasat mata namun punya segudang manfaat bagi kehidupan.
"Tubuh manusia itu terdiri dari sekitar 60 macam mineral. Kalau diurai dan disebarin di dalam tanah, itu bakal bermanfaat buat mahkluk-mahkluk hidup lainnya. Jadi kalau ngomongin konsep hidup-mati dan ngomongin peran kita sebagai manusia, secara fisik, itulah manfaat kita kalau udah mati.” Syaiful Aulia Garibaldi
Riset terhadap dunia renik ini menjadi sumber referensi untuk memperkaya dan membangun landasan empiris bagi dunia imajiner Tepu. Mikroorganisme menjadi inti dalam setiap karyanya dalam mengonstruksi dunia. Untuk menunjukkan hubungan simbiosis antara mikroorganisme dengan kita, manusia.
Judul: Kamus Terhah
Penulis: Syaiful A. Garibaldi
Penerbit: Logpustaka, 2018
ISBN: 978-602-53349-3-1
0 notes
Text
Di tengah bergulirnya arus globaliasi, perpindahan antar individu tidak terbendung lagi. Baik perpindahan tempat yang disebabkan adanya tugas-tugas negara, bisnis, belajar, maupun untuk sekedar berwisata ke negeri asing. Jika negeri yang dituju adalah negara Arab, maka bahasa Arab mempunyai nilai penting tersendiri. Salah satu negara berbahasa Arab tersebut adalah Lebanon, yang selain mempunyai bahasa baku juga mempunyai bahasa gaulnya sendiri, sebagaimana negara-negara Arab yang lain.
Mengapa perlu mempelajari bahasa “khusus”?
Sebab, Bahasa Arab di dalamnya terdapat bermacam-macam dialek yang berbeda di antara kabilah-kabilah Arab. Secara umum dapat disimpulkan bahwa bahasa Arab terdiri dari dua jenis, yaitu bahasa Arab Fusha (baku/resmi) dan 'Amiyah (pasaran).
Bahasa Arab Fusha adalah bahasa Al Qur'an, bahasa Arab yang paling lurus yang banyak digunakan dalam situasi resmi seperti penyampaian ilmu di masjid maupun sekolah, rapat, dan yang sejenisnya. Bahasa ini menggunakan kaidah-kaidah ilmu Nahwu dan Sharaf. Oleh karena itu, bahasa ini adalah bahasa yang menunjukkan ilmu dan adab. Bahasa ini juga merupakan pemersatu di antara dialek-dialek bahasa Arab yang berbeda-beda.
Adapun bahasa Arab 'Amiyah, merupakan bahasa Arab yang tidak berada di atas kaidah ilmu nahwu dan sharaf. Oleh karena itu, bahasa ini lebih mudah diucapkan dan dipelajari. Bahasa ini digunakan dalam percakapan sehari-hari yang tidak bersifat resmi seperti ketika berada di pasar, di rumah, dan yang sejenisnya. Bahasa ini diucapkan dengan dialek yang berbeda-beda sehingga tidak mampu mewujudkan kesepahaman di antara seluruh penduduk daerah-daerah Arab, bahkan di antara orang-orang Arab dalam satu daerah.
Meskipun karya ini hanya sebuah percikan kecil dari kekayaan bahasa Arab yang begitu luas, namun kami sebagai Duta Besar di Lebanon sangat menghargai karya ini, karena baru kali ini ada orang Indonesia yang mempunyai gagasan dan karya nyata dalam bentuk buku kecil berisi ungkapan-ungkapan populer dalam bahasa Arab Amiyah Lebanon ini.
—————————————————————————
Judul: Kamus Arab Lebanon (pasaran)
Penerbit: Log Pustaka, 2019
Penulis: H. Muhammad Arkan Darmin Harahap
ISBN: 978-602-53349-4-8
0 notes
Text
Hari-hari yang terlewati, apa akan berakhir dan tentu takkan kuhirup lagi, bukan? Perlahan kamu pudar tanpa aba-aba. Apakah kalimat rindu di zaman kini sudah mati? Apa-apa rindu, aku rasa hilang maknanya.
Setelah melakukan hijrah fisik dari Indonesia ke Lebanon dan berusaha mengekspos Arab sejujur-jujurnya, kami jadi sadar bahwa hijrah yang tersulit bukan apa yang telah kami lakukan. Hijrah fisik ini hanya berat saat lebaran dan tahun baru saja, sisanya bisa ditebus dengan nonton film atau video dagelan. Yang sulit justru ada di dalam—hijrah bagi jiwa. Melawan diri sendiri. Menghadapi diri sendiri ketika berhadapan dengan pilihan yang biasa diambil, dan mengambil keputusan yang baru. Seruan Sang Nabi memang sudah paripurna, “Jihad terbesar adalah melawan diri sendiri!”. Ganti saja kata jihad dengan hijrah, masih relevan, kok.
Banyak momen-momen sederhana dalam kehidupan kita yang sebenarnya adalah momen untuk hijrah, namun terlalu duniawi untuk diperhatikan. Padahal sejatinya, hijrah yang kini dimaknai sebagai perubahan diri menjadi lebih Islami haruslah lebih dari sekadar penggunaan pakaian dan panggilan akhi wa ukhti.
Jatuh cinta-pun bisa menjadi sebuah momen hijrah. Dalam artian, ketika rindu menyerang, kita mengambil waktu sesaat untuk merefleksi keputusan yang mungkin kita ambil, dan memilih keputusan yang lebih baik dalam menyikapinya. Atau ketika melihat orang bertengkar, ketika menjalankan tugas negara, ketika dilanda bencana, ketika mendapat warisan, ketika berhadapan dengan Tuhan dalam ibadah, berdebat dengan orang yang beda pendapat, atau bahkan ketika kebelet pipis. Setiap detik haruslah menjadi momen hijrah—jika memang kita peduli.
(Jazirah Kucing Kampung Hijrah)
0 notes
Text
“Kata Imam Ali, ada kalanya perang terjadi karena satu kalimat, dan ada kalanya pula cinta tertanam karena pandangan sesaat.”
“Maksud, lo?”
“Kau mau pulang, aku ingin ikut ke Indonesia, atau semua akan jadi berat.” Haifa tersenyum cantik, seperti biasanya. Tapi kali ini senyum itu membuat jantungku kelabakan.
Kita sering lupa bahwa Arab tak melulu soal agama dan teroris, atau gamis dan serban; Timur Tengah tak hanya Saudi dan Iran, atau Palestina dan Suriah. Sama halnya seperti Indonesia, yang pasti kita tak terima jika hanya dianggap punya Prabowo dan Jokowi, atau hanya punya permasalahan di Jakarta atau Jawa saja. Begitupun Timur Tengah, selalu punya Lebanon dengan pesona kembang desanya, dan Arab selalu punya drama sosial-nya yang seperti kisah-kisah FTV di televisi swasta.
Menjadi kaum ekspat Indonesia di Lebanon memaksa 12 mahasiswa meruntuhkan apapun yang mereka dengar soal Arab selama ini. Sebab nyatanya, bangsa yang melahirkan nabi agung umat Islam ini masih sama manusia-nya seperti mereka—sama galau-nya, sama menderitanya.
Lewat antologi cerpen “Jazirah Kucing Kampung di Negeri Syam” ini, para penulis mengaku berusaha membawa kenyataan yang mungkin enggan kita dengar—tentang dunia Arab yang sering dianggap ‘suci’. Realitas bangsa Arab mereka kemas dalam bungkus cerita yang ringan dan familiar bagi pembaca Indonesia. Hal-hal mengenai cinta, kemiskinan, kangen liburan, sampai soal terlambat lulus kuliah bisa anda nikmati dengan bahasa yang sama sekali lain dengan yang ada di koran-koran.
1 note
·
View note