Menepi untuk bercerita dari hiruk pikuk dunia dan segala kebangsatannya.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Sabtu pagi, tidak banyak berbeda. Jika dipaksa harus menyebutkan apa yang beda mungkin hanya dia yang tidak mengantarku seperti sabtu- sabtu biasanya.
Percayalah, bukan masalah besar, kurasa aku pernah melewati Sabtu panjang yang cukup kelabu sebelumnya.
Sabtu pagi ini lebih dingin dari biasanya, jalanan juga lebih sepi. Hanya itu yang kuingat, selebihnya aku hanya sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri.
Akhir- akhir ini aku sangat kelelahan, padahal aku tak melakukan apapun. Rasanya aku berputar-putar dan terjerembab pada hal-hal yang tidak pasti. Kubayangkan diriku sedang berjalan mengitari suatu tempat tanpa akhir yang jelas, lalu tiba- tiba saja aku tak menyadari ada lubang dan aku terjerembab.
Aku mengulurkan tanganku keatas, berharap datang bantuan ternyata nihil. Tak satupun dapat membantuku. Entah tak mampu atau tak mau.
Aku mencoba mengubah jalan pikiranku, mencari cara agar aku berhenti meratapi nasib sialku. Aku mulai berpikir, hal apa yang sekiranya bisa membuatku lupa akan semua penderitaan ini.
Lampu merah disalah satu perempatan menyala membuyarkan lamunanku, Kuhentikan laju kendaraanku. Mataku tak sengaja melihat pasangan muda asik berbincang tak berjarak diatas kendaraan bermotor. Sesekali tangan lelaki mengusap lembut lutut perempuan dibelakangnya. Sang perempuan membalas manja dengan menempelkan dagu di pundak lelaki itu.
Manis juga, pikirku.
Aku mulai berpikir, apa kencan dengan orang baru bisa membuatku bergairah kembali.
Persetan, aku malas memulai dan berbasa-basi tak menjadi diriku sendiri.
Lampu lalu lintas berubah hijau, kendaraanku melaju sekenanya. Pikiranku kembali rumit. Tanpa sengaja tempat yang kutuju terlewat. Aku menyadari hal itu setelah 20 meter berjalan. Lagi- lagi tanpa alasan yang jelas aku menghentikan kendaraanku didepan minimarket kecil disana. Aku menuju lemari pendingin, melihat- lihat minuman apa yang menarik untuk dibeli tapi sialnya sekeras apapun diriku mencoba memilih minuman- minuman itu aku tak tertarik sama sekali. Aku mengalihkan pandanganku lalu sedikit membungkuk melihat kue di etalase dekat kasir, memilih- milih mana yang sekiranya kusuka.
Pilihanku jatuh kepada kue yang berbentuk seperti potongan pizza.
"Mau yang ini mas" ucapku pada kasir.
Kasir itu mengambilnya lalu berhenti sejenak dan berkata
"Maaf kak yang ini sudah ga layak dikonsumsi, sudah jamuran"
Aku terdiam, lalu memilih kue yang lain sebanyak tiga kali dan hasilnya sama saja.
Aku kehabisan ide, aku tak tau mau apa.
Aku keluar dari minimarket itu tanpa membawa apapun.
1 note
·
View note
Text
Perempuan dengan raut muka dingin dan rambut hitam sebahu, kuperkirakan umurnya hampir seperempat abad.
Berkacak pinggang dan memalingkan pandangan. Garis-garis di matanya tak bisa berbohong bila dia sedang lelah.
Lelah mendengarkan omong kosong kegelisahan perempuan di seberangnya.
"Sudahlah, semua akan berjalan baik- baik saja" ucapnya.
Perempuan di seberang memijit dahinya sambil terus membantah "Ah, kamu ga ngerti. Ga akan pernah ngerti keadaan semakin tak terkendali dan satu-satunya hal yang bisa ku lakuin cuma.."
"Gak ada" ucap wanita dengan raut muka dingin itu.
"Gak semua hal bisa kamu atur dan kendalikan, terima saja bagaimanapun akhirnya" tambahnya lagi.
Begitulah percakapan mereka, dua perempuan bersebrangan yang terpisahkan oleh cermin di ujung koridor gedung tua itu.
0 notes
Text
Aku berada di kebun bunga yang katanya adalah milikku. Aku memetik satu demi satu kelopak bunga dari tiap- tiap tangkai yang ada, sembari berhitung mundur.
Aku tahu untuk memetik semua kelopak yang ada pada bunga-bunga ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Tapi bukankah perlahan tapi pasti kelopak-kelopak ini akan habis berguguran.
Begitulah aku, sedang berhitung mundur dari sebuah bilangan yang kuduga tak terhingga. Entah kapan akan selesai, tapi satu hal yang kutahu perlahan tapi pasti semua ini akan berakhir. Walaupun aku tak pernah tahu akhir apa yang kudapat. Ah persetan akan hasil akhir, sebab kataNya aku harus mampu melihat dengan mata iman. Bukan sekadar dugaan-dugaan yang kubuat sendiri di pikiran.
Baiklah, aku berucap selamat mengulang sepuluh November yang kesekian kalinya. Semoga aku makin mahir mengendalikan ke-aku-anku.
0 notes
Text
Aku berada di ruangan yang terletak di lantai 2. Ruang ini tidak terlalu besar mungkin perkiraanku 4x5 meter, dengan dinding warna putih dan parquet kayu di lantai. Di sudut timur sebelah kanan terhampar tempat tidur king size dengan sprei polos warna prussian blue. Tidak ada lukisan yang cukup berarti hanya gambar-gambar abstrak yang didapat dari Pinterest.
Di samping kiri tempat tidur terdapat meja kerja dan kursinya yang terbuat dari kayu menghadap ke jendela. Jendela ruangan ini dibuat menghadap ke arah timur, sehingga setiap weekend aku dan dia dapat menikmati matahari terbit dengan piyama kami berdua.
Di meja kerja ini, selain terdapat laptop juga terdapat humidifier, dengan deretan essential oil yang selalu kubeli dengan cara menyisihkan sedikit penghasilan perbulan. Cinnamon, pine dan frankincense masing-masing dua tetes, membuat suasana ruangan ini begitu nyaman.
Ting..
Suara oven berbunyi, aku berlari kecil mengambil isi didalmnya. Biskuit dengan oat dan taburan bluberi terlihat begitu lezat.
Sayup kudengar nyanyian kecil seseorang keluar dari kamar mandi.
"Sudah siap?" katanya.
Aku tersenyum dan mengangguk.
Laki-laki itu mengambil gelas dan membuat lemongrass tea.
"Aku mau yang dingin" ucapku.
"Kenapa gak mau yang hangat?" ucapnya.
"Kalau perkara hangat, bagiku kamu sudah cukup" balasku sekenanya.
Aku melihat simpul senyum mengembang di wajahnya.
Hari itu adalah hari libur. Kami lebih sering memilih tidak kemana-mana, cukup berdua menikmati keramaian yang ada.
Ramai dari mana kan cuma berdua?
Ya dari pikiran kita berdua, yang tak pernah berhenti mengucap cinta.
0 notes
Text
Swafoto dengan rambut setengah digerai agar meningkatkan kesan feminin. Jangan gunakan aksesoris berlebih. Kalung choker, anting pesta, atau tindik hidung jangan sampai ada. Tidak berdandan berlebihan, pensil alis dan eyeliner tidak, lipstik merah menyala juga tidak agar tidak dikira sedang menggoda suami orang. Cukup menggunakan lip balm tipis-tipis agar tidak pucat tapi tetap natural. Jangan lupa kenakan daster supaya makin menambah kesan feminin atau juga kesan keibuan. Kenakan dengan baik dasternya, jangan sampai tali bh terlihat apalagi isinya, sebab tidak elok karena dapat dianggap membangkitkan syahwat. Lalu jangan lupa tersenyum manis, jangan terlihat berpura-pura, jangan terlalu lebar apalagi terlihat gigi agar tidak mengurangi keanggunan. Jangan berpose dengan muka angkuh atau menantang sebab yang demikian dianggap terlalu superior. Tak baik. Jangan memakai filter yang berlebihan, gunakan pencahayaan yg cukup.
Jangan lupa bila ada yang mengetik komentar "cantik banget sih kak" atau semacamnya balas dengan kalimat yang intinya "makasih kakak yang lebih cantik"
Begitu kira-kira cara dipuja mahkluk penganut paham patriarki yang berlebihan.
0 notes
Text
Hari itu sudah agak larut, aku melihat jam tanganku menunjukkan pukul 20:18. Aku pergi mengendarai motorku menuju kesebuah rumah tua di kotaku.
Rumah dengan gaya arsitektur kolonial itu selalu menarik perhatianku. Lebih dari itu terkadang rumah itu memiliki sisi magis yang bisa saja memanggilku untuk singgah kedalamnya.
Aku menghentikan sepeda motorku tepat didepan gerbang rumah tua itu. Aku memasukinya. Di ruangan utama aku melihat 6 jendela mengelilingi ruangan. Mataku tertarik untuk melihat satu persatu pemandangan yang ada disana jadilah demikian :
Jendela pertama aku melihat diriku mengenakan atasan warna biru muda, rok dan dasi warna biru tua. Sepertinya itu seragam sekolah. Kutebak aku yang ini berumur sekitar empat sampai lima tahun. Rambutku saja masih di kepang dua dengan pita merah motif polkadot. Tubuhku terlihat kecil dan ringkih. Aku bersembunyi di kolong meja kelas di taman kanak-kanak dengan mata ketakutan dan menahan tangis. Sekitar lima meter dari situ aku melihat tiga anak laki-laki menginjak dan meludahi tasku. Tasku yang berwarna kuning itu seketika lusuh berbekas jejak sepatu. Isi dalam tasku berserakan, pun botol air minumku sudah pecah dan isinya tercecer membasahai lantai
Jendela kedua aku melihat diriku menangis dan menahan amarah yang menjadi-jadi. Di dalam ruangan 3x4 meter dengan dinding warna coklat muda, banyak lukisan-lukisan tua disana. Sayup kudengar seseorang wanita berusia sekitar 50 tahun menangis juga. Disampingnya seorang pria seumuran terduduk lesu dengan raut wajah merasa bersalah. Kulihat aku yang ini begitu emosional, aku banyak berteriak dan mengucap sumpah serapah. Tangan kananku memegang sebuah golok kuacungkan tepat mengenai muka pria itu. Darahnya bercucuran, merah legam membanjiri lantai dari batu granit putih. Tangis wanita 50 tahun itu semakin menjadi-jadi. Kupikir mereka pasangan suami istri. Sepertinya si istri panik melihat suaminya telah mati bersimbah darah, raut wajah wanita itu seperti menyalahkan apa yang telah kuperbuat. Aku yang disitu memandangnya iba, hanya perlu kurang dari lima menit aku memutuskan melakukan hal yang sama seperti yang kuperbuat pada suaminya. Setidaknya ini yang terbaik pikirku.
Jendela ketiga aku melihat diriku mengenakan kaos hitam polos kedodoran dengan potongan v-neck yang sudah memudar di dekat lehernya. Rambutku yang ikal diikat sekenanya, kantung mataku hitam dan tebal seperti manusia korban series korea. Wajahku juga begitu pucat. Aku duduk diantara kerumunan banyak orang. Walaupun terlihat sangat lelah, mataku disitu begitu tajam sepertinya otakku disitu bekerja keras. Aku berbicara panjang lebar didepan mereka menyusun strategi entah apa sepertinya akan ada acara besar. Kata yang kusebut berulang-ulang hanyalah grand design, sponsor dan vendor. Kulihat jam tangan murahan yang melingkar di pergelangan tanganku waktu itu sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Tak lama aku mendengar suara braaaakkk. Kulihat aku yang ini terjatuh dilantai entah karena kelelahan atau sudah terlalu lama menahan lapar. Ah, kupikir ini tidak menarik sepertinya aku yang ini adalah budak event organisasi. Menyedihkan sekali. Aku menarik kepalaku mundur dan beralih ke jendela berikutnya.
Jendela keempat aku melihat diriku berada didalam Corolla DX KE70 bersama seorang pria berperawakan sedikit tambun dengan rambut ikal warna coklat kehitaman, berkacamata. Aku yang ini terlihat begitu bahagia, sesekali tertawa dan berkali-kali tersenyum. Pria yang bersamaku itu membuka jendela dan mulai menyalakan sebatang rokok. Tangan kirinya mencoba meraih tubuhku untuk semakin mendekat kepadanya, telapak tangannya sesekali mengelus lembut kepalaku. Sesekali juga dia tersenyum dan tertawa menimpali semua ceritaku. Sepertinya dia tipe pendengar yang baik. Setelah menghabiskan sebatang rokok pria itu menutup jendela dan mulai semakin mendekatkan bibirnya ke bibirku. Tangannya mulai mengelus punggungku dan berpindah meremas dadaku. Aku mendengar nafas kami saling memburu begitu manis sekali. Aku suka pemandangan diriku yang seperti ini. Sayup terdengar Lucky milik Jason Mraz terputar bersama gerimis yang turun mendadak.
I'm lucky I'm in love with my best friend
Lucky to have been where I have been
Lucky to be coming home again
Aku tersenyum menarik kepalaku, ah akhirnya aku melewati sesuatu yang manis juga pikirku.
Di jendela kelima aku melihat diriku yang lain, sepertinya aku disini berumur dua puluh tiga tahun, aku sedang berjalan mengekor mengikuti seorang pria yang mengenakan jaket warna army dan tas ransel hitam. Dari belakang aku melihat tubuhnya sekitar 175 senti dengan badan sedikit berisi dan rambut ikal warna coklat kehitaman. Aku masih tak bisa menebak apakah dia pria yang sama yang menciumku di jendela sebelumnya. Aku yang ini masih memakai seragam kerja warna peach dan menggunakan ransel hitam. Sepertinya kita sedang berjalan menuju restoran cepat saji. Kulihat antrian cukup ramai, pria itu menoleh ke arahku yang sedari tadi membuntutinya, dia bertanya aku ingin makan apa. Aku ingat, aku memilih banana croissant dan ice hazelnut latte. Tiba-tiba aku melihat tiga anak lelaki kecil yang kulihat di jendela pertama membawa cutter dan mencoba merusak bagian luar tasku. Entah apa yang dicari, tapi aku ingat sempat meneriaki mereka pencuri. Hingga pria yang memesankan makanan itu menarik lenganku dan menyadarkanku bahwa aku berhalusinasi tanpa sebab. Aku marah dan meneriaki laki-laki itu tapi dia meyakinkan diriku bahwa tak ada bagian yang rusak sedikitpun dari tasku. Aku menangis, menutup kedua muka dengan telapak tangan, pria itu terus menerus memarahiku karena selalu berhalusinasi dan merepotkan. Entah sudah berapa jam aku melihat diriku yang ini menangis di restoran cepat saji sendirian, sepertinya laki-laki yang memesankanku makanan tadi pergi meninggalkanku begitu saja dengan makanan yang yang ku pesan. Menangis berjam-jam membuat perutku lapar hingga kumakan habis makanan yang sudah dingin itu. Kemudian aku tersedak dan terbatuk-batuk, seorang pelayan berlari terburu-buru mendatangiku, membuka mulutku lebar-lebar dan memasukkan tangannya mengambil sedotan dan gelas plastic yang telah berusaha kutelan hingga aku tersedak dan mataku melotot hampir keluar.
Di jendela ke enam, aku melihat diriku dengan rambut tergerai kusut. Tubuhku lebih kurus dari yang kukira, aku juga tak bisa menebak berapa umurku disini, yang jelas aku melihat sedikit garis-garis keriput di bawah mataku yang begitu nyata.Terdapat bekas luka dipelipis kananku yang membuatnya sedikit berlubang. Sepertinya pernah ada peluru yang menembusnya entah perbuatan siapa, atau mungkin bisa jadi itu perbuatanku sendiri. Bibirku pucat tanpa mengenakan pulasan lipstick. Aku mengenakan gaun putih selutut dengan sedikit motif bunga kecil warna pink tanpa menggunakan alas kaki. Ah aku bercanda, aku tak perlu alas kaki. Kakiku tak akan kotor, kakiku sudah tak menyentuh tanah lagi. Aku duduk di bebatuan, kanan kiriku merupakan lahan yang ditanami banyak bunga. Aku suka salah satu bunga disini yang berwarna kuning, bunga ini terlihat suci sekali. Barangkali bunga ini merupakan bunga yang digunakan untuk persembahan bagi dewa-dewi. Tak jauh di belakangku berdiri wanita dan laki-laki tua berumur 50 tahunan yang kutemui dijendela kedua. Sepertinya kami sekarang berteman baik. Kami semua tersenyum bahagia.
Hai, bukankah ini indah?
0 notes
Text
Kamu bisa berlari pergi, tapi hingga detik ini kamu masih menunggu. Walaupun banyak usahamu tak pernah dianggap berarti, dirimu lebih memilih diam, menyimpan emosi. Merapal doa-doa untuknya, menangis juga sesekali.
Lelahmu datang bertubi-tubi, beribu kali ingin pergi, tapi jiwamu diam terududuk sendiri.
1 note
·
View note
Text
Marigold di kebun itu
Hai Marigold, apa kabarmu?
Aku tahu pasti selalu tak baik. Benar kan?
Kulihat kau banyak berubah. Mekarmu terlihat berbeda, semakin cantik dengan segala upaya yang kau lakukan untuk mengelabuhi mata manusia.
Palsu!
Hai Marigold, mengapa kau diam?
Apa kau lupa aku? Haha, aku tak yakin kau lupa.
Pura-pura lupa mungkin lebih pantas mendeskripsikannya.
Sungguh?
Lupa katamu?
Baik, akan sedikit kuceritakan tentang hubungan kita, setidaknya kau bisa berhenti berpura-pura tak mengenalku.
Aku sahabatmu, yang begitu menyayangimu, yang selalu berusaha membantumu.
Masih tidak ingat?
Baik, kita mulai.
Sewaktu kau kecil di panas terik pulang sekolah aku yang mengajakmu berlarian. Kau kuminta berlari duluan, aku mengamatimu dari belakang. Seingatku waktu itu kau sedih tapi aku lupa apa sebabnya. Lalu dari kanan dan kiri kupanggilkan dua kendaraan berbeda. Jika tidak salah ingat itu truk dan sepeda motor. Bukankah aku baik, aku ingin mengajakmu pergi. Tapi kau tak paham, tangismu pecah. Banyak orang berkerumun melihatmu sebelum kau tak sadarkan diri dan berdarah-darah. Lalu kau pergi, bersama kerumunan orang itu. Kau meninggalkanku, sosok yang bermaksud baik menolongmu.
Belum ingat katamu?
Waktu itu kau belum genap 17 tahun. Kau benci orang-orang terdekatmu yang selalu menghina warna kulitmu, bibirmu yang gelap, atau badanmu yang selalu kurus. Kubawa kau ke jembatan kereta dekat rumahmu. Kukatakan bahwa kau cukup berlari mendatangi kereta itu sekencang-kencangnya niscaya kau tak akan lagi dengar ocehan orang-orang terdekatmu. Mereka akan merasa menyesal pernah berurusan denganmu. Tapi lagi-lagi kau tolak itu. Katamu kau tak mau membuat orang lain trauma karenamu.
Belum ingat juga?
Apa kau lupa, aku selalu membantumu. Saat teman-temanmu merendahkanmu, aku memberikanmu ide membenturkan kepala mereka ketepian meja. Kau berhasil kan? Mereka menangis dan tak pernah mengganggumu. Apa kau juga ingat ketika aku menyuruh meletakkan serpihan kaca didalam sepatu mereka yang merasa jijik melihatmu. Menuangkan cairan korosif dimeja kerja temanmu, lalu kau melihat dia menangis dengan sekujur tangan perih kemerahan. Bukankah itu semua bukti yang cukup bagimu untuk mempercayai aku temanmu yang baik. Aku cukup mampu membantu melegakan hatimu.
Lalu apa kau juga lupa, aku pernah meminjamkan pisau tajam. Waktu itu seingatku hatimu sedang patah karena terlalu banyak tuntutan yang bagimu tak masuk akal untuk diselesaikan. Kau ingat kan? Kau goreskan pisau itu. Tanganmu mulai berdarah. Perih katamu, tapi ku bilang "Mungkin cara menyelesaikan rasa sakit yang ampuh adalah membuat rasa sakit baru yg jauh lebih sakit". Kau tersenyum. Aku berkata kepadamu coba satu goresan lagi, tepat di nadi. Niscaya tuntutanmu selesai. Kau hanya butuh satu langkah lagi, tapi sayangnya kau menolak. Masih ada urusan diluar katamu, kau mengemasi pisau itu dan kau buang. Kau katakana pada temanmu bercak darah di lantai hanya bekas darah tamu bulananmu yang datang mendadak. Sungguh, kemampuanmu berbohong kadang sebodoh itu.
Apakah kau juga lupa, aku pernah memberikanmu satu bungkus rokok untuk kau hisap selagi kau kalut dan gelisah. Bukankah asap yang memenuhi tenggorokanmu itu seperti oksigen yang melegakan?
Apa kau lupa, waktu itu kau lelah sekali. Tanggung jawabmu tidak ada yang selesai. Lagi-lagi kau datang menemuiku. Kuajak kau ke lantai 5 sebuah gedung. Kutunjukkan kau betapa indah pemandangan disana, lalu kukatakan kau hanya butuh menerjunkan dirimu kebawah. Katamu kau takut, tapi kukatakan kepadamu sakit itu takkan lama, jika kau gugup kau bisa membalikkan badanmu tanpa perlu memandang kebawah. Kau terjunkan saja, tepat dibawah sana ada banyak batu-batu besar. Jika kepalamu yang terlebih dahulu sampai ketanah sepertinya kemungkinan besar kau akan berhasil. Tanggung jawabmu akan selesai. Tapi lagi-lagi kau menolak. Kau berlari kencang dan berteriak menjauhiku lewat tangga darurat.
Bagaimana, apa kau sudah ingat?
Apa nafasmu sesak sekarang?
Apa air matamu mengalir mengingat semua hal itu?
Ah tentu saja tidak, tidak akan kau menangis lagi.
Bukan karena kau kuat, tapi karena kau sudah mati berbulan-bulan lalu.
Hidupmu berhenti. Aku tahu itu.
Sungguh menyedihkan, berusaha terlihat kuat padahal kau tidak.
Masa bodoh dalam menjalani hidup tanpa menggunakan standar dunia saja kau tak mampu.
Kau masih saja menghiraukan validasi orang lain untuk terlihat mampu menghadapi dunia.
Bodoh!
Kau hancur atas nama orang-orang terdekatmu.
Kau paksa dirimu menelan pil pahit yang bertuliskan janji manis setiap hari.
Miris!
Kau berusaha menutup dirimu seolah kau mampu padahal lukamu mengaga dan berbau busuk penuh belatung disana-sini.
Sungguh menyedihkan jiwamu mati sia-sia.
Tubuhmu berfungsi dengan baik tapi jiwamu tidak. Kau musnah bersama kejamnya dunia
Jadi, apakah kau sudah ingat siapa aku Marigold?
Akulah satu-satunya yang selalu ada walaupun sering kau tinggalkan pergi begitu saja.
Hai Marigold, katamu kau simbol hangatnya sinar mentari, cinta yang segar dan kesetiaan. Katamu kau suci, kau jadi persembahan bagi dewa-dewi
Omong kosong!
Kau tak lebih dari simbol cinta yang sedih, rasa yang dingin, kekejaman, kekecewaan dan keputusasaan orang mati.
Jadilah abadi Marigold, dalam dinginnya dunia orang mati.
2 notes
·
View notes
Audio
Aku selalu suka kamu. Aku selalu suka bagaimana kamu datang, bagaimana kamu meletakkan kupu-kupu diperutku, membuatku merasa ada dan diinginkan, atau caramu membawakan sebotol air mineral untukku saat itu. Apapun itu yang jelas kamu selalu berhasil menarik simpul senyum diwajahku. Tapi, semua itu tak pernah berlangsung lama, semudah itu kamu datang, semudah itu juga kamu pergi. Meninggalkanku, membuatku hancur, terhempas dan merasa tak berarti lagi. Entahlah aku tak mengerti, mungkin seperti itulah cara kerjamu.
Lagi- lagi aku kesal bagaimana pikiranku selalu riuh memutar ingatan tentangmu tanpa kenal waktu. Kamu bias saja hadir di pagi buta saat aku baru saja ingin memulai hari, kamu juga bisa hadir di siangku yang mencekam seperti mimpi buruk itu atau kamu pun kadang hadir di malam-malam panjang yang penuh kegelisahan.
Lagi dan lagi aku kesal melihat bagaimana ingatanku selalu mampu mengulang semua tentangmu. Sepasang bola mata yang kamu paksa teduh untuk mengelabuhiku, hidung mungil dan runcing, deretan gigi rapimu, bibir tipismu, dada bidangmu, kulitmu yang kemerahan ataupun rambutmu yang hitam kecoklatan yang sering kamu buat seolah acak-acakan. Kemeja warna burgundy motif kotak-kotak yang kamu lipat lengannya. Blouse merah marun dengan motif bunga. Jam tangan klasik warna hitam. Stiletto pink murahan atau sneakermu yang juga seleraku. Riasan matamu yang kamu paksakan, warna lipstikmu yang selalu membuatmu terlihat menggairahkan. Ah, dan masih banyak sekali detail yang kuingat tentangmu. Cukup ini saja yang kukatakan, dadaku sangat sesak saat diriku memulai membicarakanmu.
Ya aku mengingatnya. Setiap detail itu, aku ingat. Kamu membuatku sesak. Kamu mengganggu hari-hariku. Lagi-lagi aku kesal tentang semua itu.
Kamu tahu terkadang aku berandai- andai, jika saja aku terlahir menjadi Joe Goldberg mungkin aku lebih memilih mengambil jam tanganmu, setidaknya itu balasan yang harus kamu terima karena telah datang dan mengacaukan waktuku. Lalu aku membunuhmu, membakarmu, memunguti sisa gigimu yang tak dapat hancur terbakar api untuk kusimpan di bawah bantalku,
Ya itu terdengar sedikit melegakan bagiku, setidaknya aku bisa berhenti berandai-andai menantimu datang. Padahal kamu tidak.
Lagi-lagi kukatakan aku kesal, aku benci kepadamu, aku lelah, dirimu membawaku masuk kedalam perdebatan rumit untuk membuat logikaku bersepakat menyebut aku menginginkanmu, atau sederhananya aku merindukanmu.
Baiklah aku kesal padamu, kamu tau itu. Tak ada alasan bagiku untuk mengejarmu bahkan mendapatkanmu. Aku menyerah sebelum berusaha karena aku tak pernah tahu siapa kamu.
Oh iya, namun ada satu hal yang harus kamu tahu seberapa banyak kata kesal yang kutulis ini aku ingin memberi tahumu satu hal yang lebih besar daripada setiap rasa kesalku. Kamu penasaran? Baik, kamu tak perlu bertanya-tanya. Cukup kamu baca kalimat pertama tulisanku ini kamu pasti akan menemukannya.
0 notes
Text
Aku (tubuh dan pikiranku) memiliki hak sepenuhnya terhadap bagaimana caraku memandang nilai, menyikapi masalah dan bertindak.
0 notes
Text
Kadang ada logika-logika sederhana dalam pikiran yang mencuat begitu saja ketika menghadapi masalah, bahwa tak setiap masalah itu rumit, yang pasti rumit hanya ego sendiri.
1 note
·
View note
Text
Juni 2020
Udah memprediksi hal ini bakal terjadi tapi ga hari ini juga, walaupun aku juga gatau kalau datengnya kapan-kapan aku bakal siap atau ya sama aja. Semenjak lama ga drama cinta-cintaan tiba-tiba ketampar kaya ginian rasanya beneran sesakit itu. Hati berasa sensitif banget kaya kulit bayi. Jadi ga ngenalin diri sendiri kan.
Merasa kehilangan arah, gatau pijakan yang dipakai bener apa ga. Gatau lagi merjuangin prinsip yang bener apa ga. Semuanya serba bener-bener gatau. Kalau bisa triak mungkin akan triak. Ribet amat jadi orang dewasa, kalau bisa puter balik mungkin mau request menjadi mahkluk hidup lain.
Mau nangis nahan-nahan, sesek, tapi mikir nangis ga ngrubah keadaan. Jadi air matanya netes tapi muka masih tetep tengil. Trus lupa, trus inget belet nangis lagi, kepikiran ga guna and repeat.
Memang ya potensi orang terdekat buat nyakitin itu jauh lebih besar dibanding orang lain yang ga kita kenal. Makin yakin buat ngurangi deket sama orang biar ga disakitin.
Duh, Tuhan aku nih ngapain sih? Aku cape, mau tidur- tiduran biar ga lelah-lelah banget bawa beban, tapi rumahku kayanya ilang. Jadi aku malam ini tidur menggelandang berselimut kejamnya kenyataan, sama pake guling kesedihan.
Besok instal Line mau curhat ke bagi kata ah.
0 notes
Text
Pernah ga sih kalian merasa punya cerita/uneg-uneg/kegelisahan yang pengen banget diceritain ke seseorang/beberapa orang, tapi kalian entah merasa mager/lagi ga punya waktu/ takut mengganggu/ gatau mulai darimana lalu akhirnya kalian memilih diam-gak cerita-menyepelekan, sampai suatu ketika pas kalian beneran punya waktu hal yang pengen diceritain itu sudah jadi ga menarik lagi. Pernahkah?
0 notes
Text
Simple way to relieve the pain :
Ngobrol random sama orang yg ga berhubungan langsung dengan kegiatan kita sehari-hari.
Ya tapi cuma melegakan sesaat sih, bukan menyelesaikan.
0 notes
Text
Someone I See My Self Marrying/ Being With In The Future
Disclaimer : Gw nulis ini setelah baca super kilat buku Mark Manson yang judulnya The Subtle Art of Not Giving A Fuck. Jadi mon maap bisa jadi apa yang gw tulis bakalan kepengaruh dikit-dikit sama pemikiran si Manson. :)
First, gw ga ngerti napa gw ngasih emot senyum diatas wkwkwk. Pokoknya bagus aja.
Kembali ke topik, Someone I see my self marrying/ being with in the future :
Gw skip kalo ngomongin fisik ya, orang-orang yang deket sama gw pasti paham, gw suka modelan cowo berkacamata, tinggi dan punya kulit segelap-gelapnya minimal kaya kulit gw awokawokwwok. Oh iya kalo bisa gendut-gendut gemay juga gapapa agar empuq awokaowkwowkw.
Gw juga skip nyebutin bahwa dia harus seiman, mencintai Tuhan lebih daripada cintanya ke gw, mencintai keluarga gw. Mengapa? Sebab itu terdengar bullshit, eh bukan ding itu terlalu klise. I mean kalo gw mau nikah di gereja ya gw sebisa mungkin akan memilih yang seiman, dan tentu bukan cuma mengaku beragama di KTP aja. Dan yang mau-gamau nrima Bapak gw yang banyak bacot, Emak gw yang tukang sambat dan Adek gw yang mewarisi kedua sifat orangtua gw.
Gw ngomongin tentang "Bagaimana dia memperlakukan istrinya?"
Yang jelas ini berisi harapan-harapan gw, jadi kalo yang namanya harapan pasti isinya cuma minta-minta dan mintaa teroooooossss.
Jadi, gw berharap sebelum menikah nanti calon suami gw paham tentang diri gw. How to treat me rigt, I mean pas gw lagi badmood dia paham kapan waktu yang tepat buat nanya aku kenapa. Dia paham kalau aku sangat menghargai me time, sehingga dia tau jika nanti calon istrinya juga butuh sendirian tanpa ditemani. Paham kalau calon istrinya menghargai dan memiliki personal space. Paham kalau calon istrinya itu bukan ibunya, pasti akan ada yang berbeda perlakuannya. Ga akan bisa sama percis perlakuannya walaupun gw pasti akan belajar bagaimana cara calon suami gw diperlakukan oleh ibunya.
Gw juga ga munafik, gw berharap calon suami gw ketika sudah sah beneran nikahin gw bisa ekspresif dalam menyatakan rasa sayangnya ke gw. Se-pendiem, introvert, pemalu, gak punya ekspresi atau apapun dia akan tetap mencoba. Sebab gw terkadang juga butuh yang manis-manis entah diucapkan atau dilakukan, soalnya hidup gw sudah terlalu hamba.
Apalagi yaa?
Oh iya, semarah-marahnya dia. Dia akan tetap mau nasehatin-ngingetin dan ngomong apa yang dia ga suka dari gw. Gak cuma diem aja.
Yaa komunikasi memang sepenting itu sih.
Oh iya, Tentunya dia ga akan maen kasar ke gw. Karena dia ngambil gw sebagai istrinya atas dasar sayang dan bukan untuk dikasari.
Sudah sih, gitu aja. Gw ga ngomongin masalah finasial dia harus begini atau begitu. Yang jelas gw pasti akan memilih laki-laki yang bertanggung jawab menghidupi gw dn anak-anaknya kelak. Sebab hidup kalo makan cinta aja nanti akutuuu balik kurus lagi.
Sekian, tadinya gw mau nulis banyak tapi mendadak lupa semua.
Yasudalah, kapan kapan kalo inget gw tambahin lagi.
0 notes