Text
I decided to move.
I decided to move my blog account from tumblr to wordpress for my readers (kalo ada) convenience. I think tumblr does not allow people to enjoy my posts freely and organized-ly. It supposed to be a social media, but a very few people join tumblr nowdays. I want my account be able to accesssed extensively. Beside, i’m so sorry with this, but i have a different principle which kinda contradict with tumblr (their company), and i got a little uncomfortable seeing suggested posts in my tumblr homepage.
So yeah, please see me at lidcorr.worpress.com
And thank you tumblr for giving me a place to put my thoughts together. See you when i see you :)
300617
0 notes
Text
The Prodigal God
https://www.youtube.com/watch?v=ZPC8Cv27YTk
Tulisan ini adalah terjemahan bebas dari video khotbah Timothy Keller yang saya tonton di Youtube. Sepertinya video Khotbah ini adalah rangkaian dari buku Timothy Keller yang berjudul “The Prodigal God”, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Allah yang Maha Pemurah”. Saya sudah mendengar rekomendasi mengenai buku ini dari beberapa orang, namun saya belum sempat membeli dan membaca bukunya (karena buku yang belum dan harus saya baca masih menggunung). Tapi segera setelah saya membaca bukunya (semoga segera), saya akan membagikannya juga.
Ketika saya menonton video khotbah yang hanya 30 sekian menit ini, saya merasa otak saya hampir meledak. Firman yang dibagikan begitu… sulit untuk saya jelaskan dalam kata-kata. Saya begitu terharu setelah menonton video ini. Saya sudah mengetahui dan mendengar banyak khotbah mengenai kisah “Anak yang Hilang” dalam Lukas 15:11-32, tapi tidak pernah saya sampai pada kedalaman Firman seperti ini.
Karena itu, saya merasa wajib untuk membagikan khotbah ini kepada semua orang. Saya berusaha sebisa mungkin membantu orang-orang yang mungkin kesulitan mengerti khotbah dalam Bahasa Inggris (kebetulan video ini tidak memiliki subtitle baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia). Namun sebagai seorang amatir, kemampuan bahasa dan kemampuan menulis saya tentu tidak cukup mumpuni. Karena itu saya sangat menganjurkan untuk tetap menonton videonya dan menjadikan tulisan ini sebagai supporting translator saja.
Dalam khotbahnya, Timothy Keller terlebih dahulu menjabarkan observasi dengan interpretasi secara singkat dari Lukas 15:11-32 sesuai pembagian yang dibuat oleh beliau. Kemudian barulah beliau menggali lebih dalam apa pesan yang sesungguhnya dimaksud oleh Yesus ketika menyampaikan perumpamaan ini. Saya akan menjabarkan observasi secara poin per poin.
Lukas 15:11-32
(Mohon baca terlebih dahulu perikop ini)
Ayat 11-12
Anak bungsu meminta bagian dari harta warisannya berarti mengharapkan ayahnya meninggal dunia. Anak bungsu menginginkan harta ayahnya,tapi bukan ayahnya. Ia menginginkan ayahnya meninggal. Seharusnya, sang ayah mengusir si anak bungsu. Namun sebaliknya, sang ayah memenuhi permintaan anaknya. Hal ini sangat aneh dan tidak lumrah pada tradisi bangsa Yahudi pada saat itu.
Sang ayah kemudian membagikan harta miliknya (ayat 12). Harta (property) yang digunakan dalam ayat ini dalam bahasa aslinya menggunakan kata “bios” yang artinya “the course of life for which by life is sustained”. Artinya sang ayah membagikan hidupnya kepada anak-anaknya. Mengapa hidup? Dalam adat Yahudi, kehidupan sangat melekat dengan tanah. Tanah adalah identitas dari orang Yahudi pada saat itu. Jika orang Yahudi kehilangan tanahnya, maka bisa disamakan ia kehilangan identitas dan status sosialnya di dalam masyarakat Yahudi. Ketika sang ayah membagikan hartanya kepada si anak bungsu, artinya ia menjual sepertiga dari tanahnya untuk diberikan kepada si anak bungsu. Sang ayah kehilangan sebagian tanahnya, yang berarti ia kehilangan sebagian dari dirinya dan status/kedudukannya dalam masyarakat.
Berarti, ketika si anak bungsu meminta sang ayah untuk memberikan kepadanya harta warisan yang menjadi bagiannya, si anak bungsu meminta sang ayah untuk tear apart his life, dan sang ayah bersedia melakukannya.
Ayat 13-19
Setelah menyadari betapa menyedihkan hidupnya setelah menghabiskan hartanya, si anak bungsu pun menyesal telah pergi dari rumah dan ayahnya. Karena itu, ia membuat dua buah rencana (plan). Rencana bagian pertama adalah ia akan kembali ke rumah (home). Rumah yang dimaksud oleh perikop ini bukanlah gedung atau bangunan rumah (house), melainkan (Home is) a relationship, a place where you belong and accepted, loved and cared. Untuk rencana bagian pertama ini, tidak ada masalah (sesuai penjabaran Timothy Keller).
Kemudian rencana bagian kedua adalah si anak bungsu meminta untuk dijadikan seorang upahan (hired man). Upahan adalah pembantu yang kemudian digaji oleh majikannya atas pekerjaannya. Maksud si anak bungsu adalah ia ingin membayar kembali sepertiga bagian yang sudah ia minta dan habiskan dari ayahnya. Si anak bungsu berpikir bahwa dia tidak bisa kembali begitu saja kepada masyarakat yang nilai moralnya telah dirusak ketika si anak bungsu meminta bagian harta warisan ketika sang ayah masih hidup. Karena itu ia perlu me-restitusi/mengganti perbuatannya di masa lalu. Si anak bungsu seolah-olah berkata: “saya tidak layak menjadi anakmu lagi, saya tidak menginginkan diangkat kembali menjadi anak dan status sebagai anak, tapi saya ingin mendapatkan cara untuk kembali (earn a way back) menjadi anak. Karena itu, jadikan saya sebagai orang upahan.”
Ayat 20-24
Sang ayah melihat si anak bungsu yang kembali dengan penuh belas kasihan, ia berlari menuju si anak bungsu. Tindakan berlari (yang tentu sambil mengangkat jubahnya) merupakan tindakan yang tidak patut untuk seorang pria yahudi pada saat itu. Pun demikian sang ayah melakukannya karena ia begitu bahagia melihat si anak bungsu kembali.
Ketika si anak bungsu berusaha mengutarakan rencana bagian keduanya, sang ayah tidak peduli. Bahkan sang ayah memberikan segala kemewahan bagi si anak: jubah, cincin, sepatu, anak lembu tambun. Memberikan cincin artinya mengembalikan status si anak (cicin pada saat itu memiliki stempel keluarga sebagai pengganti tanda tangan).
Si anak bungsu tidak ingin dikembalikam (brought back) sebagai anak, ia ingin mendapatkan jalannya sendiri (earn his own way back). Tapi sang ayah tidak mau. Sang ayah-lah yang akan mengembalikan status si anak bungsu kembali sebagai anak, dan semua itu semata-mata karena anugrah.
Banyak dari kita yang seperti si anak bungsu, kita menginginkan hal-hal yang Tuhan sediakan, tapi mereka tidak menginginkan Tuhan. Lalu satu hari, orang-orang ini sadar dan ingin kembali kepada Tuhan. Dan sama seperti yang sang ayah lakukan kepada si anak bungsu ketika ia kembali, Allah selalu menerima kita dan mengaruniakan kasih karunia hanya karena anugrah. Kita mungkin mencoba untuk diterima dengan usaha kita sendiri, tapi kita tidak akan mampu memperoleh jalan kembali dengan usaha kita sendiri. Allah-lah yang menginisiasi segala sesuatu sendiri dan menerima kita tanpa memandang usaha kita.
Inti dari cerita ini bukanlah tentang pengampunan semata, melainkan inti dari cerita yang Yesus sampaikan kepada pendengarnya (orang-oramg Yahudi) adalah segala hal yang mereka pikirkan dan mereka anggap benar tentang pendekatan kepada Allah, sebenarnya adalah salah. Orang Yahudi percaya bahwa segala upaya mereka mematuhi hukum Taurat-lah yang membawa mereka pada keselamatan, padahal Allah memberikan keselamatan sebagai anugrah.
Ayat 25-32
Sang ayah mengadakan pesta dengan menyembelih anak lembu tambun, berarti kembalinya si anak bungsu adalah the greatest day of his life, karena pada saat itu anak lembu tambun sangat spesial dan hanya dikonsumsi pada saat-saat tertentu.
Tapi kemudian datanglah si anak sulung. Ketika si anak sulung mengetahui bahwa ayahnya mengadakan pesta dan menyembelih anak lembu tambun untuk adiknya, ia tidak mau masuk karena ia sangat marah.
Kenapa anak sulung marah? Karena harta yang “dihamburkan” oleh ayahnya dengan mengadakan pesta dan menyembelih anak domba yang tambun adalah bagian dari harta warisan yang akan menjadi bagiannya. Sekali lagi, anak sulung tidak peduli dengan sang ayah, ia hanya peduli dengan milik sang ayah (yang akan menjadi harta warisannya).
Segala milik ayahnya (sisanya) adalah harta anak sulung semata. Karena itu, ketika sang ayah mengeluarkan biaya untuk pesta untuk anak bungsu, maka sumber biaya tersebut berasal dari harta ayahnya yang akan diwariskan kepada si anak sulung.
Dari sini, Timothy Keller membagi umat manusia menjadi dua kelompok besar: anak sulung dan anak bungsu. Anak sulung adalah kelompok orang yang religius (religious), sedangkan anak bungsu adalah kelompok orang yang non-religius (irreligious). Berikut matriks perbedaan di antara keduanya:
Baik anak sulung dan anak bungsu hanya menginginkan apa yang dimiliki ayahnya, bukan ayahnya sendiri. DUA-DUANYA SAMA-SAMA TERHILANG. Kita bisa lari dari Allah dengan imorality and irreligion, tapi kita juga bisa menjauhi Tuhan dengan morality and religion. Anak sulung berusaha untuk hitung-hitungan dengan Tuhan, membuat Tuhan berhutang dengannya, untuk kemudian menjadi juruselamat atas diri sendiri. Inilah gambaran orang Yahudi (ahli Taurat dan orang Farisi) pada saat itu. Di sisi sebaliknya, ada juga kelompok orang yang dengan sadar tidak mencari Tuhan dan hidup memberontak dalam dosa, seperti perempuan sundal, pemungut cukai, dsb.
Bagaimana cara pulang ke rumah, baik bagi anak sulung dan anak bungsu?
The initiating love of God.
Learn to repent for something besides our sins. Repent for the very reasons they ever did anything rights. Repent for your righteousness in God alone.
Melted and moved by the price to bring us home.
Cerita dari perumpamaan ini berakhir pada jawaban sang ayah atas kekesalan si anak sulung. Namun kita tidak tahu apa reaksi si anak sulung atas jawaban sang ayah. Ceritanya terkesan menggantung. Mengapa? Because Jesus wants us to long for something that missing in this story: a true and better elder brother.
Apa konteks perumpamaan ini?
Sebelumnya ketika Yesus duduk bersama pemungut cukai dan “orang berdosa” lainnya, datanglah Ahli Taurat dan orang Farisi bertanya mengapa Yesus duduk bersama kumpulan orang berdosa (Lukas 15:1-2). Yesus kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan tiga perumpamaan. Perumpamaan yang pertama tentang Perumpamaan Domba yang Hilang dan Perumpamaan Dirham yang Hilang. Kedua perumpamaan itu punya pola yang sama. Ada domba atau dirham yang hilang, namun kemudian ada seseorang yang mencari hingga menemukannya.
Tapi dalam perumpamaan anak yang hilang, tidak ada yang mencari si anak bungsu. Maka pertanyaannya adalah: “Siapa yang seharusnya pergi mencari si anak bungsu?” Orang pada jaman itu tahu jawabannya, yaitu si anak sulung. Seharusnya si anak sulung mempertahankan keluarga mereka, tanah mereka, status keluarga mereka dalam masyarakat dengan mencari, menemukan, dan membawa si anak bungsu pulang walaupun itu akan merugikan dia dan membuat si anak sulung mengeluarkan biaya untuk itu. Sang ayah juga tidak akan bisa mengembalikan si anak bungsu, memberikan dia jubah, sendal, dan cincin, maupun memberi makan anak bungsu dengan tidak mengeluarkan biaya yang berasal dari bagian si anak sulung.
Begitu juga kita, para anak bungsu yang berdosa. Ketika Allah menerima kita kembali menjadi anak-Nya, ada harga yang harus dibayar dan harus ada Pribadi yang membayar harga itu. Dia-lah si anak sulung yang sesungguhnya, the true and better older brother. Siapakah Dia? Hanya satu nama yang bisa menjadi the true and better older brother bagi manusia yang terhilang: Tuhan Yesus Kristus. JESUS IS THE TRUE AND BETTER ELDER BROTHER.
There is One who loved and obeyed the Father completely, One who came to earth and loved God with all His heart soul strength, loved His neighbor as himself, One who earned everything: the robe, the ring, everything. But in the end, what do we see? He doesn’t get royal robe, He got stripped. He does not get the fattened calf, He got vinegar. He does not get a ring of honor, He gets a crown of thorns. And this true elder brother comes to us and says, “I did it all for you. You could not be clothed unless I was stripped. You could not get the robe and the ring, unless I lost them. I’ve earned them all, they’re mine. But I freely give them to you.”
Keselamatan sepenuhnya diberikan kepada kita secara cuma-cuma, namun harga yang harus dibayar oleh-Nya amat sangat mahal. Dalam Perumpamaan Anak yang Hilang, Yesus mencontohkan anak sulung yang jahat agar kita merindukan kehadiran anak sulung yang sejati.
Sudahkah kita sadar akan apa yang Sang Anak Sulung yang Sejati telah lakukan bagi kita? Have we ever been melted and moved by the price He paid for a debt that we owe? Jika kita sudah sampai pada kesadaran ini, maka seluruh pola pikir dan pola tindak kita akan sepenuhnya berbeda, barulah kita akan menjadi sepenuhnya Kristen. Pengalaman terhisap dalam kasih karunia akan membuat kita melihat keselamatan, perbuatan baik, dosa, pelayanan, dan jutaan hal lainnya menjadi berbeda. Bukan karena kita, tetapi karena kasih karunia.
So, have you ever been melted and moved by the price He paid for a debt that we owe?
credit pic: http://quotescite.com/book/prodigal-god/846
Soli Deo Gloria,
280617
0 notes
Text
My Favorite Things in Life #3: Skincare
I don’t know whether this sounds pathetic or not, but I do love doing my skin care routine. FYI, I’m a lazy and slow person, just like a sloth. But when it comes to skin care routine, suddenly I become a diligent expert. I asked myself why I am obsessed with skin care. If I wanted to look pretty, I just have to do my make-up properly. But I don’t really in to make up. I do love it, but I was too lazy to do it. Seriously. I could leave house with bare face confidently, but I definitely would not leave house without moisturizer and sunscreen on my face. I’d rather be late than skipping my daily skin care routine.
Today, a beauty vlogger help me to find the ultimate answer of my skin-care-reason-quest. She said:
Btw, her name is Liah Yoo. She is a Korean beauty Youtuber, known for her knowledge in skin care.
I do really agree with her. I’m not doing these complex skin care to look pretty in front of other. I do this to appreciate myself, by starting to treat my skin right.
But eventually, I become a little (or much) obsessed with skin care. I have 7steps-AM-skin-care-routine and 6steps-PM- skin-care -routine. It probably sounds crazy for some people, but believe me, there are thousands or even millions of people out there doing more skin care step than I do.
My AM-skin-care-routine are:
Cleanser - Toner - Essence - Moisturizer - Eye gel - Sunscreen - Day Cream
While my PM-skin-care-routine are:
Double cleansing - Mask - Toner - Essence - Eye gel - Night cream
FYI, my face is not sensitive to (almost) anything at all and a very cost-friendly-face. I’ve never experience breakouts before, and I don’t get acne easily. But lately, my face started to grow some acnes, and I got really upset of it. I don’t really pay attention about it first, but I’m eventually getting more and bigger acne(s). And because I always pop it (it’s my habit though), the pop-ed acne leave acne spot and hyperpigmentation. I was so stressed about it that I really look for a solution all over the internet.
Then, I found out about Liah Yoo’s Youtube channel and I started to watch her videos. She experiences the same problem, but hers is much more complicated because she also has sensitive and oily skin. She explain a lot about skin care active ingredients and their function for our skin. For me, her explanation is like an enlightenment because many of us buy a beauty products because of the description in the front of the box. But Liah Yoo tells us to read the back of the box (the ingredients), and knowing whether or not we need that chemical thing on our face.
But among all of her video, I put a lot of interest about this video:
https://www.youtube.com/watch?v=CxEq-UyCXAM&feature=youtu.be
It’s about Skin Care Diet / Fasting. The whole idea of the skincare diet is basically cutting down your skincare routine for one month and adding other products in gradually after one month. In this one month, we are targeting on healing our damaged skin barrier. You have to believe that your skin has the ability to heal itself. Besides, with this minimal skincare routine, we are pushing our skin to do its job. (source: http://aminoapps.com/page/korean-beauty/7433682/i-tried-the-skincare-diet-for-30-days)
In this fasting, we have to simplify our skin care routine in to 3 steps-AM-skin-care-routine: gentle cleanser (or not) - mousturizer - sunscreen ; and 2 steps-PM-skin-care-routine: double cleanser - moisturizer. We also have to leave other skin products we use outside this routine (including acne treatment etc).
I was kinda surprise of this idea. I mean… fasting for skin care?
.
.
.
.
.
That’s a great idea!
The first reason why it’s a great idea because it has a solid reasoning about skin barrier. I also believe that our body is created with it’s own natural mechanism to protect itself from harm. I used to not caring about my skin at all (I only used day cream throughout my teenage days), and my skin is perfectly fine (though it looks dull wqwq). There is no acne, spots, or hyperpigmentation. But now that I gradually obsessed with all those skin care products, my skin is not okay. I think I kinda spoiled my skin so it’s started to lost it’s own way to protect and nourish my skin.
The second and my ultimate reason to do this fasting thing is because I obsessed with skin care, and anything that we got obsessed of is definitely a danger. Fasting is a process which we prove to ourselves that we are fine without it. Just like when I started to obsessed with Instagram, I took an extra measurement by stop using it for a while. Now that I obsessed with skin care routine, I really need to stop and rethink about it (while fixing my natural skin barrier). I spent A LOT of money for this and I got upset because of an acne. This is not healthy, because if anything got us obsessed and drive our heart, our mind, and our existence away from God and more divine things, it could be our idol. And just like Kyle Idleman said:
If I find more pleasure in doing those routines than read His Words, I will only find emptiness. Beautiful face will never makes us genuinely happy. Flawless skin will never lead us to eternity. God will, and He did.
I’m going to try this skin care fasting from July 1st, 2017. And just like the Instagram fasting, I will also share my thoughts after this phase. I really wish this experience is more than just a physical exercise, but another spiritual experience regarding earthly beauty (while saving my money kekeke~).
Soli Deo Gloria,
270617
0 notes
Photo
Tinggal Sertaku (Kidung Jemaat No. 329)
Abide with Me, Henry F. Lyte, 1847
1. Tinggal sertaku; hari t'lah senja. G'lap makin turun, Tuhan tinggallah! Lain pertolongan tiada kutemu: Maha Penolong, tinggal sertaku!
2. Hidupku surut, ajal mendekat, nikmat duniawi hanyut melenyap. Tiada yang tahan, tiada yang teguh; Kau yang abadi, tinggal sertaku!
3. Aku perlukan Dikau tiap jam; dalam cobaan Kaulah kupegang. Siapa penuntun yang setaraMu? Siang dan malam tinggal sertaku!
4. Aku tak takut, kar'na Kau dekat; susah tak pahit duka tak berat. Kubur dan maut, di mana jayamu?Tuhan yang bangkit tinggal sertaku!
5. B'rilah salibMu nyata di depan; tunjukkan jalan yang menuju t'rang. Fajar menghalau kabut dan mendung. Tuhan, kekal Kau tinggal sertaku!
Soli Deo Gloria, karena apapun ya Tuhan, semuanya, hanyalah demi kemuliaan nama-Mu.
16 Juni 2017
2 notes
·
View notes
Text
Memories.
Jarak rumah ke SD gue gak terlalu jauh. Waktu itu gue ke sekolah naik angkot, tapi sebenarnya bisa juga jalan kaki (kira-kira setengah jam kalau jalan kaki). Sebenarnya beberapa kali gue suka pulang jalan kaki sama teman-teman supaya ongkos-nya bisa dijajanin. Tapi waktu kelas 2 SD, gue pernah kehilangan ongkos gue, sehingga akhirnya gue terpaksa pulang jalan kaki. Waktu sampai di rumah, ada papa di rumah dan beliau sedang tidak masuk kerja. Seketika gue cerita kalau gue pulang jalan kaki karena uang ongkosnya hilang. Gue masih ingat, papa langsung memeluk gue sambil menangis. Kejadiannya sudah sangat lama, tapi gue gak bisa lupa karena peristiwa papa menangis adalah hal yang sangat tidak lazim. Waktu itu gue berpikir kalau papa berlebihan sampai menangis, tapi kalau gue merenungkannya sekarang, kejadian itu adalah tanda bahwa papa sangat sangat sangat menyanyangi anaknya dan tidak mau anaknya kesusahan.
Papa bekerja sebagai PNS di Badan Pengawas Obat dan Makanan, dulu masih Direktorat Jenderal-nya Kementrian Kesehatan. Kondisi PNS waktu itu belum semakmur sekarang. Penghasilan papa masih sangat kecil, apalagi untuk membiayai kami yang tinggal di Jakarta dan anak-anaknya yang masih kecil. Karena itu, papa dulu juga bekerja sebagai apoteker di apotek dan dosen di akademi farmasi. Tapi itu pun pengasilan papa masih kecil untuk ukuran orang yang punya tiga pekerjaan, dan ya kami hanya hidup pas-pas saja. Tapi gue selalu ingat bahwa papa suka sekali bawa makanan, entah roti bakar atau es krim (sekaligus cone-nya) kalau papa baru gajian untuk anak-anaknya. Dan gue sangat senang waktu itu. Walaupun hidup kami serba pas-pas-an, tapi selalu ada uang untuk kebutuhan sekolah kami.
Di tahun 2000-an, papa sempat terjatuh di rumah teman segereja kami. Setelah jatuh itu, kaki kanan papa mati rasa dan berat sehingga jalan papa pincang. Gue ingat papa melalui berbagai macam pengobatan untuk menyembuhkan sakit di kaki papa itu, mulai dari berobat ke dokter spesialis, pengobatan tradisional china ala ala klinik tong fang, minum jus mengkudu (dan satu rumah jadi bau banget), segala macam pijat-pijat, dan banyak metode lain. Tapi papa tidak sembuh, sehingga akhirnya papa menyerah dan menjalani kondisinya. Papa tidak pernah mengeluh atau mengatakan apapun, jadi kami tidak tahu apa yang sebenarnya papa rasakan mengenai sakitnya itu. Tapi yang jelas papa selalu senang kalau gue pijitin kakinya, tapi (sayangnya) gue jarang memijat papa.
Papa juga tidak pernah mengeluh tentang sakit apapun yang beliau alami. Gue ingat kalau papa pusing, papa akan ambil dasi pramuka gue dan ikat kepalanya sekencang mungkin. Kalau papa demam, papa akan minum decolsin (obat favorit papa) dan tidur sambil berselimut. Papa tidak pernah mau menunjukkan bahwa ia sedang kesakitan dan berusaha menyembuhkan dirinya sendiri. Papa beberapa kali pernah dirawat di Rumah Sakit, tapi itu pun beliau selalu “terlihat baik-baik saja”. Makanya kemarin ketika papa meninggal, I was wondering how much pain that he actually hides from us all this time.
Walaupun tidak pernah papa katakan, but we always know how much he loved us and try to give us the best. Semua anaknya disekolahkan di sekolah yang sebagus mungkin, diikutkan les bahasa Inggris yang biayanya cukup mahal (padahal hidup kami dulu benar-benar serba pas-pas-an), dan setiap kebutuhan sekolah selalu dipenuhi. Filosofi hidup orang Batak “anakkon ki do hamoraon di au” (anakku-lah kekayaan-ku) benar-benar diterapkan papa dan mama. Mereka tidak pernah pelit sama kebutuhan anaknya, semahal apapun itu, kalau memang butuh, mereka akan berikan segalanya untuk memenuhi kebutuhan itu.
Tapi kebalikan dengan apa yang diberikan untuk kami, papa sangat hemat dan bahkan cenderung pelit sama dirinya sendiri. Setiap kali kami membelikan sesuatu untuknya, papa selalu bertanya berapa harganya. Dia tidak suka dibelikan barang yang mahal. Dulu bahkan pernah sekali mama dan papa berantem karena mama (dan anak-anaknya) membelikan kemeja batik sutra dengan harga ratusan ribu sebagai hadiah ulang tahun. Pokoknya papa selalu berusaha untuk punya barang-barang yang murah-murah saja, walaupun kami tahu sejujurnya papa senang diberikan hadiah.
Karena sulitnya memberikan barang untuk papa, dan karena papa selalu bilang “tidak usah” kalau ditanya mau diberikan apa, gue jarang memberikan hadiah untuk papa. Ketika gue punya uang dari menang lomba atau dapat beasiswa, gue selalu memberikan sesuatu untuk mama, kakak, dan adek gue. Tapi gue bahkan hampir tidak pernah memberikan sesuatu untuk papa. Setelah gue bekerja, gue pernah sekali memberikan uang kepada papa. Sebenarnya mama melarang gue dan kakak gue untuk kasih uang ke papa karena takut dibelikan rokok. Tapi di bulan April kemarin, gue memberikan uang gaji gue untuk papa, “untuk beli pulsa papa ya pa,” begitu kata gue. Tidak begitu besar, hanya 250 ribu saja. Tapi gue masih mengingat tatapan mata papa ketika menerimanya. Tatapan mata yang penuh dengan rasa bangga dan terharu, seolah-olah papa berkata, “wah sekarang anakku sudah bisa kasih orang tua-nya uang hasil kerja.” Karena itu, gue berjanji sama diri gue bahwa gue akan lebih sering memberikan uang atau hadiah untuk papa, tapi ternyata papa sudah terlebih dahulu dipanggil Tuhan. Papa akhirnya tidak pernah benar-benar sempat menikmati hasil kerja kerasnya selama ini membesarkan anak-anaknya. And that’s what really sad.
Selain itu, karena filosofi “anakkon ki do hamoraon di au” juga, papa juga selalu membanggakan anak-anaknya di depan siapapun. Dulu gue bahkan sampai pada titik kesal karena papa berulang-ulang memberitahukan prestasi anak-anaknya ke semua orang. Sungguh bersyukur Tuhan kasih kesempatan buat gue, kakak gue, dan (soon) adek gue untuk memberikan hasil yang baik dari studi kami yang juga merupakan hasil kerja keras papa dan mama. Gue sungguh bersyukur bahwa papa pergi setelah menyaksikan gue lulus kuliah dengan prestasi yang lumayan.
This is the truth, semua prestasi yang bisa gue peroleh saat ini, semuanya, adalah hasil kerja keras papa dan mama. Waktu gue masih SMA, papa selalu mengantar gue pergi sekolah naik motor sampai ke depan komplek jam 5 pagi. Papa mengantar gue kuliah setiap hari naik motor sampai ke kampus (sampai tahun ketiga akhirnya gue bawa motor sendiri). Dan yang paling gue ingat adalah cerita ketika kompetisi pertama gue, lomba debat hukum di Universitas Parahyangan. Seringkali hari gue pulang jam 10 malam (atau gak pulang sama sekali a.ka nginep di kampus). Dan setiap kali gue pulang malam itu, papa selalu jemput gue di Lenteng Agung. Gue sampai diomelin kakak gue karena membuat papa naik motor malam-malam untuk menjemput gue. But you know what, papa sama sekali tidak pernah mengeluh. Beliau selalu tanya, bagaimana latihan gue hari itu, apakah gue kelelahan, dan lain-lain. Dalam proses latihan, gue sampai di titik stress banget dan hampir mengundurkan diri dari keikutsertaan gue. Tapi gue mengingat kerja keras dan pengorbanan papa, dan gue gak mau itu sia-sia. Begitu menang, gue langsung memberi kabar ke keluarga, dan gue tidak sabar untuk pulang dan berterima kasih sama papa. Pulang dari Bandung, gue dijemput papa di kampus, dan begitu gue lihat papa, gue langsung lari dan meluk papa. Papa begitu senang dan bangga (dan cerita sama semua orang tentunya), dan gue sangat bahagia karenanya.
Papa sangat sangat pendiam. Beliau tidak suka banyak bicara, tapi papa selalu langsung bertindak. Berbeda dengan kebanyakan orang (dan gue sendiri), papa senantiasa menghindari spotlight. Prinsip pelayanan papa adalah lakukan apa yang bisa dilakukan, tanpa banyak ini itu. Karena itu banyak orang yang tidak memperhatikan papa dan apa saja yang sudah beliau lakukan. Tapi papa pernah bilang sama gue kalau harusnya kita bersyukur kalau pelayanan kita tidak diapresiasi dan dibalas oleh manusia, karena Tuhan sendiri yang akan mengapresiasi dan membalaskan kepada kita, dan itu jauh lebih baik. Papa selalu tulus mengerjakan apapun, dan tidak pernah mengeluh. Kalau ada orang yang melakukan sesuatu yang jahat sama papa, atau menyakiti hatinya, beliau tidak pernah marah atau badmouthing di belakang. Dia menyimpan semuanya di dalam hatinya, walaupun gue juga tidak paham bagaimana cara beliau melakukannya.
~ ~ ~
Masih banyak sekali kenangan gue bersama papa, tidak akan cukup ditulis dalam halaman blog ini. Tapi setidaknya cerita-cerita ini akan jadi pengingat gue, menjadi kotak kenangan gue bersama papa. Cerita-cerita ini akan gue ceritakan kepada suami dan anak-anak gue di masa depan yang tidak pernah bertemu dengan bapak mertua dan oppung doli-nya. Gue akan menceritakan bahwa gue sangat bangga dan beruntung bisa memiliki papa yang menyayangi keluarganya lebih daripada dirinya sendiri; papa yang hanya memikirkan orang lain dan tidak pernah memikirkan dirinya sendiri; papa yang membesarkan kami dengan sedikit kata-kata, tapi penuh dengan tindakan nyata; papa yang tidak pernah marah dan berusaha agar kami selalu melihatnya baik-baik saja.
Gue berharap akan tiba saatnya, setiap kali gue mengingat kenangan yang manis bersama papa, gue akan mengingatnya sambil tersenyum. Walaupun rasanya air mata kerinduan selalu membayangi setiap kenangan bersama papa, tapi bukankah kenangan yang manis harus diingat dengan senyum?
16 Juni 2017
Satu bulan kepergian papa.
1 note
·
View note
Text
Menikmati Rasa Sedih
“Kakak pasti kuat kok.”
“Kamu pasti bisa melewatinya.”
“Tetap semangat Kak Lid!”
“Jangan sedih terus ya!”
“Be strong sister!”
Kalimat di atas sudah beratus-ratus kali saya terima dari banyak orang, bahkan orang-orang yang tidak terlalu saya kenal. Kalimat-kalimat itu, dan presepsi dunia, ‘menyemangati’ semua orang yang berduka (termasuk saya) untuk segera bangkit dan meninggalkan kesedihannya. Tentu kita harus melanjutkan hidup, tapi bagaimana kalau menjadi “kuat” itu bukan soal waktu? Maksudnya, dunia menghendaki kamu untuk segera bangkit dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (seperti teks Proklamasi) dan menyatakan kamu baik-baik saja secepat mungkin. Itu baru namanya kamu kuat. Tapi bagaimana kalau menjadi kuat adalah menyadari kamu tidak baik-baik saja dan menikmati rasa sedih itu?
Beberapa minggu ini saya berusaha keras untuk tidak menangis dan sedih kalau mengingat papa. Tapi kamu tahu, saya tidak bisa. Membayangkan masa lalu atau melihat foto papa selalau membuat lidah saya kelu dan tenggorokan terasa pahit. Untuk menjadi kuat, saya berusaha sekuat mungkin untuk langsung mengusap air mata saya dan menelan ludah saya, untuk kemudian terlihat baik-baik saja. Bukan sekali dua kali, tapi puluhan bahkan ratusan kali saya mengalaminya. Semua karena saya ingin menjadi kuat, seperti apa yang orang-orang katakan.
Presepsi dunia tentang menjadi kuat begitu melekat, bahwa kamu kuat kalau kamu tidak sedih lagi dalam waktu yang cepat. Dunia menganggap air mata adalah lambang dari kelemahan.
Tapi bagaimana kalau menjadi kuat berarti menikmati kesedihan dan bersyukur karenanya? Bagaimana kalau air mata yang tertumpah adalah arti bahwa perjalanan ini memang sulit dan menyesakkan dada, tapi pun kamu akan melewatinya?
Tentu kesedihan ini bukanlah air mata yang “Saya tahu, tapi…” melainkan air mata yang “Tapi saya tahu…” Bukan air mata yang “Saya tahu Tuhan baik, saya tahu Tuhan menyiapkan yang terbaik bagi saya, tapi tetap saja saya merasa sedih dan terluka karena kehendak-Nya.” Tetapi air mata yang “Ini terasa sangat berat dan pedih, tapi saya tahu kehendak Tuhan yang terbaik untuk hidup saya.” Air mata yang pertama mencerminkan keraguan dan kekecewaan, tapi air mata yang kedua mencerminkan keyakinan dan iman. Saya mau belajar menikmati air mata yang kedua, menikmati rasa sedih sambil melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam hidup saya.
Seringkali saya merasa sedih ketika saya sedang sendirian. Tapi saya tahu bahwa saya tidak pernah benar-benar sendiri karena Tuhan selalu bersama saya. Saya tahu hati Tuhan tersentuh karena kesedihan saya, dan Ia hadir dalam setiap sesi menangis saya. Bahkan beberapa kali, saya merasa Tuhan ikut menangis bersama saya, seperti ketika saya sedang menangis dan tiba-tiba saja hujan turun. Seolah-olah Tuhan berkata, “Tidak apa-apa, menangis dan bersedihlah. Aku bersamamu.”
Sungguh bersyukur saya punya Tuhan yang merasakan kesedihan dan kedukaan. Tuhan pernah merasakan kehilangan seseorang yang dikasihiNya (lihat cerita Lazarus, Yohanes 11:33). Bahkan Ia pernah merasakan “kesedihan seperti mau mati” (lihat ketika Tuhan Yesus berdoa di Taman Getsemani, Matius 26:38). Tuhan juga pernah merasa ditinggalkan hingga Ia berteriak “Eli, Eli, lama sabakhtani?” dari atas kayu salib (Matius 27:46).
Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. (Ibrani 4:15)
Pada akhirnya, saya memilih jalan menikmati rasa sedih ini bersama Tuhan. Saya tidak mau memalsukan kondisi saya hanya untuk sebuah label “kuat” dari dunia. Saya mau menikmati kesedihan saya dan setiap tetesan air mata di dalamnya karena saya tahu, Tuhan yang akan mengusap air mata saya. Dan itu sudah cukup.
Soli Deo Gloria.
080617
0 notes
Text
My Fake Happiness
Ever since dad is gone, I felt an unexplainable emptiness within my heart. I just… feel nothing. Actually I kinda felt it when dad was hospitalized, but I was so busy to take care of him (or myself), so I have no time to really think about what I really feel. But after the funeral, when we go back to our house, I know something is missing but I don’t know what nor how was that.
Sadness is absolutely something you will feel when your beloved passed away. So in order to deal with that, I try to fill my days with my-kind-of-happiness, which is everything related to Korea-pop: TV shows, drama, music show, etc. I think this is also a revenge because we just installed a cable TV and WIFI-connection in our house just a few days before dad was hospitalized, but we barely use it. So I “try my best” to utilize these facilities. I would automatically turn on the TV, choose TV-on-demand, and pick the re-run of my favorite TV shows, even before I take my shoes off after work. I would enjoy watching the TV for 3 or even 5 hours, and go to bed really late. I have no time to thinking about life or everything because I was so busy laughing and cheering and singing and dancing and everything (though sometimes I got attacked by “sadness attack”, see on my previous post).
I think my strategies works pretty fine until I started to get bored by these things. I feel nothing anymore: no more excitement or overflowing joy. I don’t feel at urge to return home as fast as I can. I don’t fight for TV remote control with my sister anymore. The more I watch, the more I did not want to watch. It just doesn’t give you the spark anymore.
And I realized, I escape to the fake reality.
“Turn my eyes away from worthless things; preserve my life according to your word.” (Psalm 119:37)
Today’s daily reading slap me on my face. I try so hard to preserve my life, my happiness, my kind of “I’m okay”, by watching those worthless things. My favorite TV shows are like an overly-MSG-chips, they make me craving for them more and more, yet left me thirsty at the end. I know I was so hungry, but despite of seeking a real meal, I try to fill myself up with those full-of-air-chips. I might be feel full, but it’s only in a short period. Then I found myself still hungry just a few seconds later.
His Word, God’s Word, are the real deal. He alone can satisfy my soul. I know it for a long time, yet I was too stubborn and impatient to learn. Like today’s lifestyle, I wanted to gain happiness instantly. But today I learn that it is not time that heal everything, but God and His Words are. I may not be able to say I’m perfectly fine in a speed of light, but I believe someday, just someday, I would be genuinely happy every time I remember the past and truly hopeful about the future.
Thank you, Lord, for loving me still after all this time.
Seperti rusa yang haus, rindu aliran sungai-Mu
hatiku tak tahan menunggu-Mu
Bagai tanah gersang menanti datangnya hujan
Begitupun jiwaku Tuhan
Reff:
Hanya Engkau pribadi yang mengenal hatiku
Tiada yang tersembunyi dari-Mu, seluruh isi hatiku Kau tahu
dan bawaku ‘tuk lebih dekat lagi pada-Mu
Tinggal dalam indahnya dekapan kasih-Mu.
Soli Deo Gloria
060617
0 notes
Text
Serahkan pada Tuhan
Tepat di pagi hari setelah malam dimana saya menuliskan apa yang saya rasakan belakangan, saya melayani sebagai singer di ibadah pagi. Salah satu lagu yang saya nyanyikan adalah lagu dari Kidung Jemaat No. 417, judulnya “Serahkan pada Tuhan”. Sesuai arahan kertas acara, kami menyanyikan bait 4 dan bait 5. Demikian liriknya:
4. Dan waktu setan maju berontak menyerang, tak usah ragu-ragu: Allahmu yang menang! Mustahil Allah mundur di dalam maksudNya; RencanaNya tak luntur, teguh selamanya.
5. Beban kekuatiran lepaskan sajalah; segala kesedihan tinggalkan segera. Tak mampu kauatasi segala-galanya; Rajamu yang abadi menyelesaikannya.
Pagi ini, saya membuka desiringgod.com dan menemukan artikel utama hari ini berjudul: “Six Words to Say Through Tears: The Source of Comfort in the Pain of Grief”. Sang penulis, Nancy Guthrie, menulis demikian:
But when we are the ones who are grieving, what is far more important than what other people say to us is what we say to ourselves — what we say to ourselves in between sobs, when we have more questions than answers, when the emptiness feels overwhelming, when anger is getting a foothold in our heart.
When the grief is fresh and intense, we might take some wild ideas for a test drive, but to move toward healing and return to joy requires that we press this one idea deeply into our souls until it begins to impact us at the level of our feelings: “I can trust God with this.”
Rasanya sangat menyenangkan kalau Tuhan sendiri yang menghibur kita.
Soli Deo Gloria,
290517
0 notes
Text
Kabar Saya
"Kamu apa kabar, Lid?" "How's life?" "Baik-baik aja kan?" Sejak papa kembali kepada Bapa di Surga, banyak orang yg menanyakan kabar saya. Biasanya saya jawab sekenanya, atau kadang saya bawa bercanda. Bukan saya tidak mau menjawab, tapi sesungguhnya saya juga tidak tahu apa yang benar-benar saya rasakan. Kalau ada yang bertanya apakah saya baik-baik saja, maka jawabannya adalah "ya" dan "tidak". Setiap hari terlewati dengan baik. Saya makan, minum, tertawa, dan bernapas seperti biasa. Tidak ada yang berbeda. Tapi ada kalanya, tanpa saya hendaki, mata saya bergetar dan air mata saya jatuh. Saya namakan peristiwa ini sebagai serangan kesedihan. Dan seringkali ia datang tanpa melihat waktu dan kondisi. Seringkali di malam hari ketika saya hendak tidur. Pernah di kantor ketika jam kerja. Kadang di motor ketika perjalanan saya ke tempat kerja. Setiap kali saya mendengar lagi "Downpour" milik IOI atau "Flower Way" milik Sejeong atau lagu Kidung Jemaat "Tinggal Sertaku" (lagu yang selalu saya nyanyikan untuk papa ketika papa di ICU). Dimana saja, kapan saja. Begitu banyak keluhan yang tidak terkatakan dan kerinduan yang tidak bisa tersampaikan. Dan serangan kesedihan itu datang begitu saja. Saya jelas tidak mau terus menerus 'diserang'. Tapi sayangnya hari demi hari tidak menjadi lebih mudah. Atau mungkin memang saya saja yang cengeng. Entahlah. 280517 12:22 am Setelah serangan kesedihan yang keduapuluhsekian kali.
1 note
·
View note
Photo
"Bagaimana rasanya menjadi anak yatim?" Sabtu, 11 Maret 2017 H-12 dari jadwal awal operasi papa, saya bercerita kepada seorang sahabat betapa takutnya saya ditinggal pergi papa. Dengan berurai air mata (mungkin sahabat itu juga tidak tahu), saya katakan bahwa pertama kalinya dalam hidup saya, saya tidak bisa berdoa minta yg terbaik dari Tuhan. Saya hanya ingin papa sembuh karena saya tidak bisa membayangkan hidup saya tanpa papa. Saya akan amat sangat hancur, dan mungkin tidak akan berbentuk lagi. Saya tidak rela dan tidak siap. Saya katakan bahwa saya "Gak rela kalau papa 'pergi' walaupun ku tahu akan kemana dia pergi". Hari itu, Tuhan tahu betapa tidak sanggupnya saya jika papa pergi meninggalkan saya selama-lamanya. Selasa, 16 Mei 2017 Waktu menunjukan 08.30 ketika speaker ruang tunggu ICU RS Fatmawati memanggil keluarga Bapak Todung Tampubolon ke dalam ruang ICU. Saya ikut masuk ke dalam ruang ICU, ke tempat tidur papa, dan menemukan papa sedang di-CPR oleh seorang perawat. Grafik detak jantung papa yang awalnya sudah hampir rata kemudian mulai naik turun. Tapi dokter kemudian berkata, "ya beginilah kondisi pasien. Jantungnya sudah berhenti berdetak. Mungkin ini berdetak lagi, tapi ya tidak tahu kapan akan berdetak lagi. Kalau berhenti berdetak lagi, apakah mau di-CPR lagi?" Sambil terisak, mama kemudian menjawab, "tidak usah, dok. Biarkan secara alami saja." Benar saja. Tidak lama kemudian, grafik jantung papa kembali rata. Jantung papa berhenti berdetak. Kami semua terpaku melihat monitor. Waktu menunjukan Pkl 08.52. Di tengah deru mesin ventilator dan bunyi alarm monitor papa, pikiran saya kosong. Hal yang paling saya takutkan terjadi: papa pergi meninggalkan kami selama-lamanya. Kamis, 18 Mei 2017 Sore hari papa akan dimakamkan. Dari pagi hari sampai siang, akan ada acara keluarga, upacara adat, ibadah gereja, dan diakhiri dengan pemakaman di sore hari. Sejak pagi, saya bertanya pada diri saya sendiri, "akan sanggupkah saya melewati hati ini?" Air mata sudah mengumpul di pelupuk mata, dan sekuat tenaga saya berusaha agar mereka tidak terjatuh. Sebelum acara keluarga, tidak tahu dari mana asalnya, saya merasa kuat. Pertama kalinya dari sejak papa pergi, saya mampu berkata pada dirinya saya sendiri: "it is well with my soul." Dan benar saja, hampir tidak ada air mata yg menetes atau raungan kesedihan dari saya. Saya hanya menangis 3 kali: saat kalimat penghiburan dari matua saya, saat berjalan memasuki gereja di depan peti mati papa sambil memeluk salib, dan saat peti mati papa ditutup. Tidak keluar lagi kalimat: "Tuhan saya tidak sanggup" dari mulut saya seperti hari-hari sebelumnya. Ketika giliran saya mengucapkan selamat tinggal pada papa, saya mampu menatap wajah papa yg sudah menghitam sambil berkata, "sampai jumpa di kemuliaan, papa." Bahkan di pinggir liang kubur papa, saya bisa berdiri dengan tenang, tanpa setetes pun air mata keluar. Barulah saya mengerti, apa artinya "penghiburan yang dari Tuhan." Lebih tepatnya, saya merasakan sendiri rasanya dihibur oleh Roh Kudus dan diberikan kekuatan tidak terduga. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Tapi saya tahu, bahwa Tuhan memperhatikan saya. I know my Savior cares. . . Jadi, bagaimana rasanya jadi anak yatim? It is well with my soul, because i know my Savior cares. Soli Deo Gloria 200517
1 note
·
View note
Text
Rindu
Dalam rumah yang kosong, sprei tempat tidur tidak lagi kusut
Tidak lagi terdengar desahan napas pendek
Aku rindu
.
.
Demi air mata yang tertahan, hati yang ingin berteriak, dan kesedihan yang meluap,
Bersama himne dan mazmur yang terlantun dari mulut,
.
.
Ya Tuhan, kiranya hatiMu tersentuh oleh jiwa yang hancur.
Oh, yes, He cares, I know He cares, His heart is touched with my grief; When the days are weary, the long nights dreary, I know my Savior cares.
("Does Jesus Care?" Joseph L. Hall, 1901)
150517
0 notes
Text
Tentang Iman dan Operasi Papa
Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah. (Mazmur 62:2-3)
Ketika beberapa bulan lalu dokter berkata kalau papa saya harus dioperasi agar kondisi saraf papa tidak bertambah parah, tanpa berpikir dua kali, kami sekeluarga mendesak papa untuk mengikuti saran dokter. Menurut dokter jika papa tidak dioperasi maka lama kelamaan papa akan lumpuh, dan tentunya kami tidak mau hal itu terjadi. Awalnya papa keberatan dengan pilihan ini, tapi karena papa juga sadar bahwa ini jalan satu-satunya, papa (terpaksa) menerima. Papa sudah mencoba berbagai metode lain, termasuk terapi, tapi tidak membuahkan hasil yang berarti karena memang masalahnya berada di saraf pusat papa yang terjepit.
Waktu itu dokter juga memaparkan apa saja konsekuensi dan resiko dari operasi ini. Karena yang dioperasi adalah saraf pusat yang ada di belakang leher (sum-sum tulang belakang), resiko dari operasi ini cukup fatal, yaitu lumpuh dan stroke. Belum lagi mengingat kondisi paru-paru papa yang sudah tidak bagus (yang berfungsi tinggal 60%, sisanya rusak karena rokok) dan riwayat diabetes papa, resiko-resiko lain juga ada. Kami cukup kaget mendengarnya, tapi tindakan apakah di dunia ini yang tidak punya resiko?
Di tengah berbagai konsekuensi dan resiko yang ada, kami mantap untuk menjalani operasi ini. Jadwal harusnya operasi papa adalah 23 Maret 2017, tapi karena ada satu dan lain hal, operasi papa diundur menjadi 28 April 2017.
Selama satu bulan itu, saya belajar tentang apa itu iman.
Sebelum tanggal 23 Maret 2017, saya tidak bisa tenang. Ketakutan dan kekhawatiran menyergap saya malam demi malam. Satu bulan yang lalu, di malam setelah mama menceritakan apa yg dikatakan dokter di rumah sakit, saya tidak bisa tidur. Saya sangat mengasihi papa saya, dan saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia. Saya tidak bisa membayangkan hidup saya mendatang tanpa papa ada di dalamnya. Saya tidak siap, dan saya tidak rela. Semalaman saya menangis dan berdoa, dan akhirnya saya memutuskan untuk membaca beberapa pasal dalam Kitab Mazmur. Barulah saya bisa tertidur.
"Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya." (Mazmur 46:2-4)
Ternyata operasi papa harus diundur. Dan lama kelamaan saya belajar apa artinya beriman. Beriman bukan hanya sekedar yakin bahwa Tuhan akan memberikan kesembuhan, tapi yakin bahwa apapun yg akan terjadi God knows the best. Saya belajar mempasrahkan apapun yg terjadi, sembari tetap yakin Tuhan akan memberikan kesembuhan.
Sungguh bersyukur Tuhan berikan kesempatan untuk mengikuti Graduate Christian Learning Center (GCLC) di bulan April yang mengangkat Kitab Nabi Habakuk. Dalam kisahnya, Nabi Habakuk "berdebat" dengan Tuhan, karena dia tidak mengerti mengapa Tuhan membiarkan kekerasan dan ketidakadilan terjadi dan menimpa umatNya; mengapa Tuhan yang Maha Kudus membiarkan orang Babel yang fasik menjajah umat pilihanNya. Tapi jawaban Tuhan sungguh tidak terduga, karena justru Tuhan menggunakan orang Babel untuk "menghancurkan" Bangsa Israel. Tuhan menggunakan hal-hal yg manusia anggap sebagai malapetaka sebagai alat kasih karunia-Nya. Awalnya Nabi Habakuk tidak mengerti, tapi karena imannya, Nabi Habakuk belajar percaya bahwa apapun yg Tuhan lakukan bagi orang-orang-Nya, Tuhan punya dasar yang kuat dan mungkin tidak bisa dimengerti. Tapi di atas segalanya, Tuhan mengerjakannya di dalam kasih-Nya. Karena itulah dalam Habakuk 3:17-18, Nabi Habakuk berkata:
"Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku."
Inilah iman yang paling murni. Iman yang percaya bukan pada berkat Tuhan, tetapi pada pribadi Tuhan itu sendiri. Iman yang percaya walaupun kondisi sungguh mengerikan dan tidak ideal, Tuhan tahu apa yg Ia lakukan, dan Ia melakukannya dalam kasih. Kita mungkin tidak mengerti mengapa, tapi kita percaya. Itulah iman.
Ketika melihat papa di ruang ICU setelah dioperasi kemarin, hati saya hancur lebur. Saya tahu papa kesakitan dengan berbagai jarum dan selang yang dimasukkan ke dalam tubuhnya. Saya tahu luka leher bekas operasi papa pasti meninggalkan rasa sakit yg sangat dalam. Begitu banyak pertanyaan dan kekhawatiran yang muncul di kepala saya. Tapi satu hal yang sudah saya renungkan selama beberapa hari ini mengingatkan saya: "apakah hal lain yang bisa manusia banggakan dan andalkan selain daripada iman?" Jawab saya, "tidak ada." Saya beriman bahwa papa pasti sembuh; kondisi papa pasti bertambah baik; papa akan segera pulih, segera dapat bernafas dan makan dengan normal, dan segera dapat berkomunikasi dengan kami. Papa akan segera bisa menjalani segala aktivitasnya seperti biasa. Papa akan bertambah sehat dengan kondisi motorik yang baik. Papa akan menghadiri pernikahan kakak saya, wisuda adik saya, pernikahan saya, pernikahan adik saya, dan bahkan kelahiran cucu-cucunya.
Tapi kalau pun hal lain terjadi, saya mau belajar seperti Nabi Habakuk. Belajar untuk percaya bahwa "Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku."
Belajar untuk mengimani salah satu ayat terfavorit saya selama ini:
"Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya." (Mazmur 73:26)
Soli Deo Gloria.
290417
1 note
·
View note
Text
Detox?
Bukan, ini bukan tentang detox yang juice cleansing dan sebagainya itu. Detox atau Detoxification pada dasarnya adalah upaya untuk membersihkan tubuh dari racun ataupun zat-zat berbahaya. Kalau gue boleh menarik lebih lanjut, bukan hanya tubuh kita yang perlu dibersihkan dari racun ataupun zat-zat berbahaya, tapi hati dan pikiran kita.
Di era teknologi informasi seperti sekarang, di era yang gak pegang HP 5 menit aja rasanya udah mau mati, kita sudah terpapar dengan berbagai macam hal yang dunia tawarkan lewat teknologi informasi yang ada di genggaman kita, dimana kebanyakan dari mereka tidak berguna, bahkan cenderung berbahaya. Konsumerisme, hedonisme, narsisme, dan isme-isme lainnya tanpa kita sadari merasuki pikiran dan perasaan kita lewat sosial media feeds, berita-berita online, dan bahkan dari kolom komentar. Namun percayalah, hal ini sangat amat tidak sehat.
Karena itu, gue memutuskan untuk men-detox diri gue dengan puasa Instagram selama 40 hari, mulai dari 6 Maret 2017 sampai dengan 16 April 2017. Sebenarnya puasa ini adalah komitmen puasa gue dalam rangka Paskah. Gue ingin belajar sesuatu dalam Paskah tahun ini, karena itu gue mau belajar meninggalkan hal apa yang gue anggap mengikat gue. Akhirnya gue memutuskan untuk puasa Instagram karena Instagram adalah media sosial yang paling bikin gue ketagihan. Tingkat ketagihan gue sudah tiba pada titik dimana jari tangan gue bisa otomatis buka Instagram tanpa gue sadari.
Awalnya gue bikin Instagram karena tahu banyak artis korea yang punya instagram dan rajin nge-post. Karena itulah akhirnya gue memutuskan bikin Instagram untuk sekedar kepo-in hidup artis-artis korea favorit gue. Tapi lama kelamaan, Instagram ternyata menawarkan berbagai macam “feature-nya yang bikin gue ketagihan: mulai dari potongan drama korea, nail art tutorial, make-up tutorial, sampai akun Instagram seseorang-yang-gue-juga-gak-kenal-tapi-asik-aja-liatnya. Belum lagi Instagram adalah tempat stalking paling ciamik karena up-to-date dan disertai foto tentunya (no-pic hoax sist soalnya). Selain memakan kuota, bahaya Instagram yang lain adalah memakan waktu. Gue bisa buka Instagram selama berjam-jam tanpa sadar. Gue bisa melewatkan waktu makan, mandi, bahkan saat teduh karena Instagram. Instagram membuat hidup gue sangat tidak produktif. Dan terutama, bahaya Instagram adalah membentuk pola pikir tidak sehat. Gue jadi suka ngurusin post-post orang lain di Instagram yang sebenarnya gak berhubungan sama gue. Akun-akun tutorial make-up membuat gue agak obsessed dengan kecantikan. Akun-akun gosip (terutama bagian komentarnya) membuat gue membaca hal-hal yang gak mendidik dan gak pantas untuk dibaca. Akun-akun potongan drama korea itu membuat gue…. Ya gapapasih cuma gak produktif aja hehe. Intinya gue menemukan fakta bahwa (kebanyakan) main Instagram itu tidak berfaedah.
Karena itu, gue memutuskan untuk melepaskan rantai ikatan gue akan kecanduan buka Instagram dengan berpuasa Instagram. Fokus utama gue adalah memakai waktu yang dulunya gue pakai untuk main Instagram dengan kegiatan lain yang lebih berfaedah seperti menghabiskan waktu dengan keluarga maupun mendekatkan diri kepada Tuhan. Walaupun sering tergoda untuk cheat (dan akhirnya gagal dua kali karena harus memastikan sesuatu di Instagram dan ikutan giveaway di Instagram), puji Tuhan gue (cukup) berhasil melewati 40 hari ini :D Gue memutuskan untuk membuat post tentang manfaat berpuasa Instagram selama 40 hari, yang akan gue jadikan sebagai post pertama gue setelah 40 hari hiatus dari dunia per-Instagram-an.
Manfaat pertama adalah waktu yang lebih produktif. Dulunya sepulang kantor, gue pasti langsung tidur-tiduran di sofa sambil main Instagram. Tapi sekarang gue lebih memilih untuk nonton TV sama keluarga, walaupun beberapa kali gue masih suka main hp sendiri (karena chatting atau buka LINE TODAY). Gue juga lebih fokus, terutama di kantor (thanks to sistem kantor yang udah ngeblokir youtube juga wqwq). Jadi gue bisa menggunakan waktu gue untuk melakukan hal lain, terutama membaca dan menulis. Yah mayan produktif lah ya hehe.
Manfaat kedua, tentunya, adalah gue tidak terpapar hal-hal yang tidak perlu. Yang gue rasakan, gue lebih rasional dalam membeli sesuatu sejak gue gak buka IG. Gak ada tuh, “ih ini kan yang kemaren ada di IG”, atau “gue mau beli ini soalnya kemaren di IG kayaknya bagus”. Gue juga gak terlalu tergila-gila sama drama korea (susah dipercayai sih emang). Dulu karena liat cuplikan-cuplikan drama Korea, gue jadi penasaran setengah mati dan berpikir kalau gue akan meninggal kalau gak nonton drama itu wqwq. Tapi sejak gak buka IG, gue jadi gak terlalu tahu update drama korea, sehingga gak terlalu penasaran. Gue juga jadi gak terlalu update dengan gosip-gosip artis dan hal-hal viral (yang sebenernya gak terlalu penting juga). Tapi sebagai gantinya, gue lebih membaca berita online atau nonton berita di TV yang sepertinya lebih berfaedah. Memang sih sekarang timeline LINE dan LINE TODAY mulai menyajikan hal-hal yang tidak terlalu berfaedah, tapi gue masih bisa mengontrolnya karena akses ke akun-akun gak berfaedah juga masih terbatas.Gue juga gak lagi repot urusin post-an orang lain (kadang yang gue juga gak kenal) di IG karena ya gue gak buka juga hehe
Memang harus gue akui, dalam beberapa hal gue masih agak membutuhkan Instagram sebagai tempat cari informasi, terutama online shop makanan yang informasi lengkapnya cuma ada di Instagram (ini true story). Tapi ya dengan tidak membuka Instagram sesungguhnya juga membuat hasrat gue untuk beli makanan-makanan itu juga menurun HAHAHAHA
Tapi bukan berarti gue mengatakan bahwa adalah bad idea. Justru Instagram adalah good idea, namun sayangnya manusia sudah jatuh ke dalam dosa dan membuat kita kreatif dalam menjadikan Instagram sebagai sumber dosa, entah itu dosa konsumtif atau dosa nyirnyir dan judgemental atau dosa narsis.
Apakah gue akan kembali “main” Instagram? Mungkin iya, mungkin enggak. tapi ya jelas sekarang gue tahu bahwa gue bisa hidup tanpa membuka Instagram.
Inti dari cerita gue adalah, segala sesuatu yang berlebihan adalah hal yang gak bagus. Karena itu, kita harus belajar menge-rem hal-hal yang kita anggap sudah kita nikmati secara berlebihan. Dan hal ini bukan hal yang tidak mungkin. Tidak ada ikatan yang tidak bisa dipatahkan. Wong ikatan maut karena dosa aja bisa dipatahkan oleh kematian dan kebangkitan Yesus Kristus kok.
Selamat Paskah semuanya!
Soli Deo Gloria
170417
1 note
·
View note
Text
Today's Random Thoughts
Jadi bagaimana? Adakah kita mempunyai kelebihan dari pada orang lain? Sama sekali tidak. [...], seperti ada tertulis: "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. (Roma 3:9-10, dengan perubahan seperlunya).
Hari ini, ketika saya menyampaikan kebenaran Firman, saya kembali dikoreksi oleh Firman itu sendiri. Di pagi hari saya membawakan Firman di kelompok kecil yang membahas ttg dosa dan jalan menuju keselamatan. Kami sama-sama belajar dari Roma 3 bahwa semua manusia berdosa, tidak ada yg lebih baik, dan upah dosa adalah maut, sehingga kita membutuhkan Kristus untuk menebus dosa kita dan menyelamatkan kita dari maut.
Di malam hari, seperti malam-malam minggu sebelumnya, saya pergi ke gereja untuk memimpin latihan paduan suara pemuda gereja. Sepulang latihan (sekitar jam 10 malam), saya membuka Path. Lalu saya melihat dua orang yang dulunya adalah pemimpin padus gereja, dan sekarang juga masih anggota pemuda gereja, post foto nongkrong bersama di sebuah kafe di jam yang seharusnya mereka ikut berlatih paduan suara. Saya tahu cerita kepahitan mereka dengan komisi pemuda di gereja saya, tapi entah mengapa saya melihat ada niatan "rebel" yang ditunjukan dengan post itu. Seolah-olah berkata, "kami tahu sekarang waktunya latihan padus di gereja, tapi siapa peduli?" Di saat saya melihat gambar itu, saya "triggered". Saya berpikir, betapa tidak dewasanya perbuatan mereka yang mencoba memamerkan ke-"nakal"-an mereka. Saya juga mengalami masa-masa yang sulit dalam memimpin padus pemuda, tapi saya tidak akan melakukan hal se-childish itu.
Lalu tiba-tiba ayat di atas terlintas. Saya tertampar sendiri. Terkadang sebagai manusia, kita suka lupa diri, sehingga dengan mudah kita menghakimi orang lain dengan asumsi bahwa diri kita lebih baik dari mereka. Ketika seseorang jatuh ke dalam dosa, kita berkata "bagaimana bisa dia melakukan hal itu?!" Tapi apakah benar kita pasti lebih baik, lebih benar, lebih kudus? Rasul Paulus dengan jelas menyatakan "tidak" dalam ayat di atas. Tidak ada manusia yang lebih kudus daripada manusia lain (kecuali Yesus Kristus), karena semua manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Semua. Saya, kamu, dan kita sekalian. Tidak ada dosa yang lebih hina dari dosa lainnya. Tidak ada dosa kecil dan dosa besar. Semua dosa tetaplah dosa, dan "sekecil" atau "sesedikit" apapun dosa kita, kita tetap pendosa. Kita semua membutuhkan pengampunan dan penebusan dari Yesus Kristus, satu-satunya jalan menuju hidup yang kekal. Sebanyak apapun perbuatan "baik" yang kita lakukan tidak akan pernah sanggup menghapus dosa-dosa kita. Bahkan percayalah, kesanggupan kita untuk berbuat baik hanyalah karena anugrah daripada-Nya semata-mata.
Karena itu, saya tidak punya hak untuk menghakimi orang lain atas dosanya, karena pada dasarnya saya sama saja dengan mereka, hanya jenis dosanya saja yang berbeda.
"Jika demikian, apakah dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan apa? Berdasarkan perbuatan? Tidak, melainkan berdasarkan iman!" (Roma 3:27)
Ya Tuhan, ampuni saya jika satu detik pun saya merasa cukup benar, cukup baik, dan cukup kudus; untuk menghakimi orang lain.
Soli Deo Gloria.
150417
0 notes
Text
Eli, Eli, lama sabakhtani?
Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Matius 27:46)
Dulu waktu Retreat Pekabaran Injil PO FHUI 2012, ketika saya baru masuk FHUI, Pak Yonas (pembicara di sesi KKR) menjelaskan alasan mengapa Yesus menyerukan kalimat ini di atas kayu salib. Jawabannya adalah karena Allah Bapa memang telah meninggalkanNya. Mengapa? Karena Yesus sedang menanggung dosa seluruh dunia, dosa saya, dosa kamu, dosa kita semua. Dosa di masa lalu, dosa di masa itu, dan dosa di masa depan. Seluruh dosa yang pernah dan akan ada. Dia yg tidak mengenal dosa telah dibuat menjadi dosa kita. Dia yang kudus telah terhitung diantara pada pendosa. Dan Allah Bapa yg Maha Kudus tidak sanggup melihatNya. Kalau kata Pak Yonas, Allah jijik. Allah Bapa jijik dengan dosa-dosa manusia, karena itu Ia jijik melihat Kristus yang sedang menanggung dosa kita semua, terutama dosa saya. Waktu itu hati saya rasanya hancur sekali. I felt so sorry for Him.
Hari ini, saya teringat dengan khotbah itu. Lebih dari jijik, saya tahu Allah Bapa juga benci kepada dosa. Murka-Nya menyala-nyala atas dosa, bahkan dosa yg kecil sekalipun. Maka dalam lagu “In Chirst Alone” dikatakan:
“Till on that cross as Jesus died, The wrath of God was satisfied; For ev’ry sin on Him was laid—”
Hari ini saya sadar, bahwa di atas kayu salib, Kristus sedang menanggung murka Allah yang menyala-nyala atas dosa saya dan dosa kita semua. Ia sedang meminum cawan murka Allah. Cawan yang seharusnya saya, kamu, dan kita semua, yang meminumnya. Hingga akhirnya murka Allah sudah “dipuaskan” dengan pengorbanan Kristus.
Saya tidak bisa membayangkan, betapa dalamnya, beratnya, besarnya penderitaan yg Kristus tanggung, baik secara fisik maupun spiritual. How does it feels to be laid by every single sin in the world, and to bears God’s entire wrath for sins?
Dia disalibkan pada salib yang harusnya menggantung kita. Dia menerima setiap tamparan, setiap cambukan, setiap air ludah, setiap ejekan, setiap olokan, yang harusnya kita terima. Dia menanggung seluruh dosa kita. Dia meminum habis cawan murka Allah yang harusnya menjadi bagian kita.
How can i say thanks for the things You have done for me?
Soli Deo Gloria.
140417
0 notes
Text
Cerita tentang REFIVE
Ali - Yosep - Rei - Lidya - Gilbert - Alvin
[ DISCLAIMER: Post ini khusus menceritakan KK REFIVE. Gue punya dua kelompok kecil: KK REFIVE dan KK RIBS. Tapi gue tidak akan menceritakan KK RIBS dalam post ini karena tiap KK punya ceritanya masing-masing :) ]
Gue menikmati bertumbuh dalam kelompok kecil sejak gue SMA. Bersyukur Tuhan menganugrahkan dua kelompok kecil yang luar biasa: PKK yang luar biasa militan dan TKK yang luar biasa manis. PKK gue (Kak Kika dan Kak Louise) adalah PKK-PKK yang…. entah gimana menjelaskannya. Kak Kika (PKK waktu SMA) adalah alumni SMA gue yang waktu itu sedang koas di RSCM. Bayangkan gimana sibuknya beliau. Yet, Kak Kika tetap meluangkan waktu untuk membimbing KK kami. KK gue waktu SMA berjalan singkat, tapi banyak banget hal yang gue nikmati dalam KK ini. Sedangkan Kak Louise adalah ex-koordinator PO FHUI, yang sepertinya seluruh hidupnya dicurahkan untuk mikirin KK-nya dan PO FHUI. Gue ingat banget dulu kami adalah KK yang paling advance dibanding KK yang lain (jumawa wqwq). Berkali-kali kami diajarin PA sampai paham, dikasih segala macam buku rohani, dan Kak Louise kreatif banget dalam membawa pembahasan bab demi bab di MHB. Intinya, dua kali gue KK, dua kali gue menikmati kelompok kecil yang bertumbuh dan menyenangkan. Ketika gue ditawari jadi pemimpin kelompok kecil, salah satu alasan praktis gue untuk menjawab “iya” adalah karena Tuhan sudah begitu baik menganugrahkan kepada gue pengalaman berkelompok kecil yang luar biasa. Gue berhutang, dan satu-satunya cara membayarnya adalah dengan menjadi PKK yang berjuang memuridkan.
Namun “sayangnya”, gue selalu berada dalam KK yang anak-anak KK-nya manis-manis dan baik-baik. TKK gue waktu SMA namanya Deva dan Ity, dan mereka memang sudah bertumbuh. KK gue waktu kuliah namanya Yosi dan Anna, dan kami bertiga memang sudah KK waktu masih SMA. Seinget gue, gak ada tuh insiden kabur-kaburan, atau menghilang, atau susah ketemu jadwal KK selama gue kelompok kecil. Semuanya sangat smooth dan aman. Namun justru itu “bahayanya”.
Waktu gue masih jadi calon PKK (belum dikasih nama AKK), gue pernah membayangkan bagaimana kalau AKK gue anak-nya badung-badung, kabur-kaburan, susah dibilangin, dan lain-lain. Di saat itu, gue ketakutan setengah mati. Gue merasa gak siap, dan gue memohon-mohon sama Tuhan untuk diberikan AKK yang manis-manis dan baik-baik.
Tibalah waktu pemberian nama AKK, gue dikasih secarik kertas yang isinya nama calon-calon AKK gue. Gue amat sangat terkejut pas ngeliat yang tertulis di kertas itu adalah “Yosep, Reinaldo, Juan, dan Alvin.” Gue reflek langsung ngomong, “KOK COWOK SIH.” Jujur, gue gak kebayang gimana kalau pegang AKK cowok. Pernah sih terlintas pikiran itu, tapi buru-buru gue abaikan karena takut kualat. EH MALAH KEJADIAN .__. Tapi ya gue kemudian berusaha untuk tegar dan kuat (cailah), karena gue menjawab “iya” untuk menjadi PKK, bukan PKK bagi AKK wanita saja. Akhirnya gue ajak ketemu-lah empat nama itu, walaupun ternyata Juan pindah ke STAN dan diganti sama Ali.
Singkat cerita, keempat calon AKK itu setuju ikut KK dan akhirnya kami pun KK perdana di bulan Oktober 2014. Di sesi KK perdana, salah seorang AKK (sebut saja Mawar) mendadak tidak bisa dihubungi, di-chat gak dibalas, ditelpon gak diangkat, dan keberadaannya tidak diketahui. Gue sok tersenyum tegar aja, padahal dalam hati sudah nangis “cobaan apakah ini ya Allah”. Ternyata si mawar mendadak ditawari main basket untuk mewakili angkatannya di kompetisi olahraga antar angkatan di FHUI, dan langsung diiyakan sama si mawar. Dengan senyum pahit, gue cuma bisa bilang “iya gak apa-apa.” Perasaan gue sudah gak enak tentang kelompok kecil ini. Anyway, nama kelompok kecil kami adalah KK REFIVE. Kata “REFIVE” diambil dari kata “revive” yang artinya hidup kembali, dengan harapan kami bisa memulai hidup yang baru (seperti buku PA yang kami pakai). Kenapa “v” diganti jadi “f” maksudnya untuk menyatakan jumlah kami yang berlima / five (waktu itu, sebelum bertambah Gilbert dan kami jadi berenam). Jadi REFIVE adalah lima orang yang hidup kembali untuk menjalani hidup yang baru. Ya semacam itulah makna-nya. Di awal KK, ada empat orang AKK : Ali, Alvin, Yosep, dan Reinaldo. Kira-kira setahun lalu, formasi kami bertambah Gilbert :)
Tiga bulan pertama, gue benar-benar bukan diri gue di setiap sesi KK. Gue setakut itu ditolak sama AKK, jadi setiap gue mau melakukan sesuatu dan mengatakan sesuatu, gue pasti berpikir ulang. Ada juga ketakutan kalau mereka gak akan terbuka sama gue, karena gue cewek dan mungkin ada presepsi “yaelah gue ceritain juga lo gak bakal ngerti”. Karena AKK gue cowok, gue berusaha untuk mengerti apa yang mereka omongin (walaupun tetap gak ngerti juga). Gue berusaha se-cozy dan se-woles mungkin supaya mereka nyaman sama gue, padahal FYI gue orang yang amat sangat rempong. Sejuta rencana mau ini mau itu yang dulu gue rancang rasanya menguap begitu saja karena gue takut AKK merasa dirempongkan dengan rencana-rencana gue. Di samping itu, (mungkin karena mereka cowok) jadi ya excitement mereka terhadap apapun itu zero banget :( gue udah heboh dari A sampai Z, sementara mereka kayak lempeeeeng aja gitu. Mereka berempat juga cenderung pasif dan gak mau banyak cerita, mungkin karena mereka berempat berasal dari peer yang berbeda (kecuali Alvin dan Reinaldo) jadi obrolan kami juga gak berkembang. Setiap kali mau KK, gue selalu cemas kalau-kalau mereka bosen dan malas KK. Di enam bulan pertama KK, pertanyaan yang selalu ada di dalam kepala gue adalah “can we make it?” atau “berapa lama KK ini akan bertahan?” Jujur, gue gak percaya diri bahwa KK kami akan bertahan lama (bahkan untuk setahun).
Tapi dalam masa-masa itu, gue belajar apa artinya berserah dan bergantung pada Allah. Masa depan KK kami sangat tidak pasti (cenderung suram bahkan WQWQWQWQ), tapi kasih setia Allah selalu pasti. Terlepas dari apapun yang akan terjadi, gue berusaha untuk tetap terus mengajak mereka bertumbuh dan fokus sama pertumbuhan mereka saja. Walaupun kadang kalau gue kasih proyek ketaatan, suka gak dikerjain. Dikasih iming-iming, mereka bilang gak tertarik. Tapi kalau dikasih hukuman, mereka gak mau kerjain :” Gue pernah iri dengan beberapa PKK yang AKK-nya manis-manis dan seru-seru. Pernah satu kali gue lagi KK, gak jauh dari kami ada KK lain. Waktu itu gue ajak AKK gue untuk nyanyi sebelum mulai KK, dan mereka nyanyi-nya ogah-ogahan gitu wqwqwq terus KK lain itu ngeliatin kami sambil ketawa-ketawa dan bilang “kok kak Lidya nyanyinya sendirian?” HAHAHAHAHA :’D Tapi gue gak marah sama AKK gue saat itu, justru gue merasa sedih.
Tapi waktu itu salah seorang senior gue bilang, “lo mau KK atau mau seru-seruan? Tugas kita itu menabur, masalah apakah kita yang menuai atau bukan itu bukan urusan kita.” Akhirnya gue sadar, bahwa alasan gue iri dengan KK lain adalah karena gue punya standar dan ekspektasi untuk AKK gue. Jadi ketika gue melihat mereka tidak memenuhi ekspektasi gue (kurang heboh gitu maksudnya), gue iri sama AKK lain yang memenuhi ekspektasi gue (baca : heboh). Padahal jelas KK bukan kelompok buat lomba heboh atau lomba seru, lagian kan AKK gue cowok, jelas mereka bukan tipe “heboh” dan “rempong” kayak AKK-AKK cewek.
Gue juga mulai merasa jenuh memasuki usia satu tahun KK. KK kami terasa stagnan dan jalan di tempat. Gue melihat AKK gue seperti tidak bertumbuh. Mereka mulai malas-malas-an, terasa dari respon-respon mereka ketika diajak KK. Ditambah lagi beberapa kejadian dan “kenakalan” lain yang membuat gue merasa “kok gue cuma dapat capeknya doang ya”. Sukacita gue dalam kelompok kecil mulai pudar. Pas AKK males-malesan KK rasanya pengen bilang”emangnya gue gak males dan sibuk apa.” Ditambah beberapa KK lain juga mulai mandek, jadi rasanya gue punya alasan pembenaran untuk menyerah dan “se-bodo-amat” sama mereka. Gue coba untuk gak terlalu peduli sama mereka. But guess what? Gue gak bisa. Akhirnya gue kembali narik-narikin mereka, maksa-maksa mereka lagi untuk KK, dan sedikit banyak berhasil (walaupun mereka masih rada ogah-ogahan wqwq). Kalau ditanya kenapa gue gak bisa bodo amat sama mereka, jawabannya adalah : karena gue sayang sama mereka. Kedengeran perez sih, tapi gue juga gak tahu kenapa, gue gak rela kalau mereka larut dalam “kenakalan-kenakalan” mereka. Kalau masih dalam KK aja mereka masih bisa jatuh, apalagi kalau mereka gak KK??? Bayangan akan mereka yang “tenggelam dalam kenakalan” itu membuat gue bergidik ngeri. Gue gak rela dan gak bisa.
Kalau ditanya kenapa bisa sayang? Jawabannya pasti karena Tuhan. Kalau kata lagu “cintai aku karena Allah”, ya gue mengasihi mereka karena Tuhan. Karena Tuhan mengasihi gue terlebih dahulu, dan karena Tuhan mengasihi mereka. Apalah hak gue untuk meninggalkan mereka? Lagu berikut sangat menolong gue melewati masa-masa kritis di tahun pertama kami ber-kelompok kecil. Lagu yang sangat tipikal, tapi sangat dalam ketika kita menghayati soal relasi domba dan gembala.
Gembalakanlah kawanan domba Allah
Yang diserahkanNya kepadamu
Bukan dengan paksa atau hati yang susah
Sukacita hati rela diminta darimu
Gembalakanlah kawanan domba Allah
Yang dipercayakanNya kepadamu
Mengabdikan diri dengan hati yang kasih
Memelihara dan menjaga tanpa lelah
O Tuhan Yesus Gembala Agungku yang rela mati demi diriku
Ku yang hilang t’lah Kau bawa pulang ke padang kesukaan
O Tuhan Yesus pimpinlah hidupku,
jadi gembala ‘tuk kawanan dombaMu
Mengasihi dengan hati murni setiap domba yang Kau beri
Kalau diingat-ingat, gue juga pernah jadi AKK. Gue juga pernah jadi domba. Dan sama seperti domba lain yang lemah dan helpless, gue akan hilang, tersesat, dan mati jika tidak ada gembala yang mencari dan menuntun gue kembali. Tapi Tuhan mencari gue, dan membawa gue pulang lewat begitu banyak orang, salah satunya ya PKK(-PKK) gue. Sekarang, gue diberi anugrah yang luar biasa untuk menjadi alat Sang Gembala Agung (mungkin jadi asistennya) untuk mencari dan menuntun domba-domba-Nya yang lain. After everything He already done for me, how can I dare to despise His calling?
Long story short, tanpa terasa, bab demi bab Memulai Hidup Baru kami kerjakan hingga selesai tanpa hambatan yang berarti. Gue juga belajar kalau cowok gak nyaman untuk cerita tentang masalah mereka dalam grup, karena itu gue mulai membuat sesi-sesi ngobrol berdua sama mereka masing-masing dan membangun relasi secara personal. Cara ini cukup berhasil, mereka mulai mau cerita banyak hal sama gue. Bahkan terkadang mereka yang menginisiasi untuk ketemuan berdua untuk cerita. Awalnya sesi-sesi KK kami terasa awkward, tapi lama kelamaan obrolan-obrolan kami pun mulai hidup (walaupun ngomonginnya masih seputar kuliah). Kami mulai punya bahan perbincangan, mulai dari hal-hal kecil. Mereka pun mulai peduli satu sama lain.
Sabtu minggu lalu, tanggal 1 April 2017 kami kembali KK setelah berbulan-bulan hiatus. Pertemuan KK kemarin menandai 2 tahun 6 bulan kami ber-kelompok kecil. Kalau ingat ke belakang… rasanya momen kemarin seperti mimpi. Kami yang dulunya bisa sesi KK sejam saja sudah bagus (saking sekenanya wqwq), kemarin menghabiskan waktu dua jam lebih. Obrolan mereka yang dulunya terbatas, sekarang sudah kompleks dan beragam. Jawaban yang dulunya sekedar saja, sekarang berubah jadi pertanyaan-pertanyaan yang kritis dan kontekstual. Momen cerita yang dulunya asal cerita saja, sekarang terdengar tulus dan bersemangat. Cara mereka berelasi satu sama lain bisa dibilang berubah 180 derajat dari pertama kali kami kelompok kecil.
Akhirnya gue sadar, yang mempersatukan kami bukan upaya-upaya kesehatian yang kami lakukan atau acara-acara rempong yang gue recanakan, tapi Roh Kudus melalui Firman dan doa yang kami lakukan. Kalau bukan karena Tuhan; kalau bukan karena Dia sangat mengasihi Ali, Alvin, Gilbert, Reinaldo, dan Yosep; kalau bukan karena Tuhan mengasihani gue yang buta dan berdosa ini; mustahil kami bisa menjalani semua sejauh ini.
Untuk siapapun kamu di luar sana yang mungkin merasa putus asa dengan kelompok kecil-mu, jangan pernah menyerah. Memang pasti akan tiba saatnya kita merasa lemah dan lelah, tapi ingat terus bahwa Tuhan tidak pernah salah dan gagal. Dia punya alasan yang kuat menganugrahkan mereka menjadi AKK-mu. Dia mengasihimu dan AKK-mu lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Jangan lelah menabur Firman-nya, jangan lupa menyebut nama AKK-mu dalam doa-doamu, dan jangan kendor mencurahkan kasihmu untuk mereka. Jangan jemu melayani dan berbuat baik bagi mereka, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah (Galatia 6:9).
Anw, gue bisa ngomong kayak gini bukan karena KK gue udah gimana banget juga. Masih banyak kelemahan gue dalam menggembalakan KK REFIVE, banyak banget ups-and-downs sepanjang kami ber-kelompok kecil (dan mungkin ke depannya). Tapi gue berharap pengalaman gue bisa menjadi kesaksian bahwa apapun yang terjadi dalam kelompok kecil kita, Tuhan tidak pernah absen mencurahkan kasih karunia demi kasih karuna. Jangan menyerah, like He never give up on us.
Soli Deo Gloria.
050417
0 notes
Text
My Favorite Things in Life #2
Sudah lama banget gue tidak menulis dengan tema ini. Sebelumnya gue menulis tentang lagu-lagu Korea yang gue suka. Kali ini, gue akan me-list produk kecantikan favorite gue yang sering gue pakai dan works very well, beserta short review-nya.
roduk pertama adalah Emina Cheek Lit Cream Blush yang shade Pink. Harganya sekitar Rp 33.000. Produk ini adalah blush on berbentuk cream. Pertama kali dikeluarkan dari tube-nya sih warnanya putih, tapi setelah diaplikasikan ke pipi sambil diusapkan gitu, warnanya akan berubah jadi pink. Kenapa gue suka banget sama barang ini adalah karena sangat pigmented, tapi juga kasih hasil yang natural. Selain itu, produk ini juga tahan lama. Jadi bener-bener kasih rona pink yang natural, seolah-olah emang pipi kita merona dari sana-nya. Gue udah dua kali re-purchase produk ini karena produk ini sangat cocok buat gue.
Produk kedua adalah Maybelline Baby Lips Color yang shade Berry Crush. Harganya sekitar Rp 20.000-an. Produk ini adalah color lip balm. Jadi selain sangat melembabkan bibir, lip balm ini juga memberi warna. Memang sih warnanya sheer gitu, tapi masih tetap terlihat. Kenapa gue suka produk ini adalah karena murah, warnanya cantik banget, dan pastinya melembabkan bibir. Banyak orang yang memuji kalau gue pakai produk ini karena kelihatan natural dan manis gitu hehe~ Tapi karena ini lip balm, jadi jangan heran kalau transfer kemana-mana dan cepat banget hilang warnanya. Gue juga udah repurchase produk ini sekali (karena yang pertama hilang hiks).
Produk ketiga adalah DHC Lip Cream. Walaupun namanya lip cream, tapi bentuknya stick seperti produk bibir pada umumnya. Produk ini fungsinya sebenarnya untuk melembabkan bibir, seperti lip balm. Produk ini juga tidak berwarna. Produk ini adalah produk Jepang dan belum masuk Indonesia, dan gue beli waktu itu di Jepang. Harganya 680 yen, yang kalau dikalikan dengan kurs saat itu (1 yen = 128 rupiah), harganya Rp 87.040. I know produk ini sangat mahal untuk sebuah lip cream tidak berwarna, tapi believe me produk ini baguuuuuuuussssss banget banget banget. Selain itu ya kan memang di Jepang semua barang itu mahal banget L Waktu itu gue beli karena memang direkomendasikan sama setiap blogger yang mem-post Japan Haul. Bentuk packaging-nya memang tidak meyakinkan, kayak produk-produk Ch*na gitu, bau-nya juga rada aneh. Tapi formula-nya juara banget. FYI, bibir gue itu amat sangat kering. Gue punya masalah dengan saluran pernapasan gitu, karena itu hidung gue sering (most of the time) tersumbat. Akibatnya, gue sering bernapas dengan mulut (terutama saat tidur). Karena itulah bibir gue selalu kering. Gue sudah menggunakan berbagai macam produk lip balm dari berbagai merek, taoi menurut gue DHC Lip Cream ini yang terbaik. Beda-nya terasa di pemakaian pertama: sangat melembabkan, melembutkan, dan efek ini bertahan cukup lama. DHC Lip Cream ini bahkan bisa di bilang satu-satunya produk pelembab bibir yang ampuh untuk bibir gue. Makanya gue rada hemat memakainya karena gak tahu bagaimana bisa repurchase-nya…. Yakali ke Jepang cuma buat beli lip cream.
Produk keempat adalah The Body Shop Grapeseed Glossing Serum. Produk ini adalah hair serum yang fungsinya untuk meraawat rambut agar tetap lembab dan tidak mudah kering. Bentuknya seperti gel yang agak cair. Harga normalnya (kalau tidak didiskon) adalah Rp 199.000. Dulu gue beli cuma untuk coba-coba karena kebetulan lagi diskon lumayan, harga waktu gue beli pertama itu Rp 137.000 (jauh banget kan). Menurut gue produk ini memang mahal, tapi kualitas memang tidak mengkhianati harga. Kenapa gue suka produk ini adalah karena serum ini adalah solusi bagi rambut gue yang amat sangat kering, kusam, dan sulit diatur. Terasa banget bedanya pakai produk ini dan tidak pakai produk ini. Bisa dikatakan gue cukup ‘ketergantungan’ dengan produk ini. Bukan cuma gue, tapi juga kakak gue (karena produk ini juga cocok banget sama dia). Efek setelah memakai produk ini itu rambut kita jadi halus, lembut, tidak mudah kusut, mudah diatur, tapi tidak lepek. FYI, gue juga sebenarnya sudah pakai conditioner. Tapi karena rambut gue sangat kering, conditioner saja tidak cukup :’) Walau demikian, Glossing Serum ini bahkan masih tidak mampu mengatasi problem rambut bercabang gue HIKS. Gue dulu pakai vitamin rambut yang merek lokal, yaitu elips. Produk ini bekerja cukup baik juga, tapi efeknya tidak se-paten Glossing Serum. Efek bagus-nya elips hanya bertahan satu hari, dan besoknya rambut jadi agak lepek. Sementara Glossing Serum ini efeknya bisa tahan 3 hari. Akhirnya, walaupun menguras kantong, kakak gue bersedia untuk beli lagi produk ini untuk dipakai berdua.
Demikianlah produk-produk kecantikan favorit gue. Semoga berfaedah. Terima kasih.
0 notes