Text
I have never seen anyone who committed themselves to the Qur’an, and the Qur’an didn’t change them for the better. The blessings that rush into one’s time and life are immense and indescribable. It inculcates subtle wisdom into you and beautifies your characters and manners. Its verses become your anchor that guides you before making every move. Its admonitions and glad-tidings become your immune system that saves you every time you fall back your way. And above all, it gives you a criterion in your chest and mind so you can distinguish what’s haqq and what’s batil — truly a فرقان. But for that, you have to give a part of yourself to the Qur’an so you can reap its rewards and blessings.
اللهم اجعلنا من أهل القرآن
470 notes
·
View notes
Text
Kalimat indah dari Dr. 'Aidh Al-Qarni. Nukilan dari ust Musyaffa Ahmad Rahim.
نحن لا نملك تغییر الماضي Kita tidak bisa merubah yang telah terjadi
و لا رسم المستقبل Juga tidak bisa menggariskan masa depan
فلماذا نقتل انفسنا حسرة Lalu mengapa membunuh diri kita dengan penyesalan?
على شيئ لا نستطیع تغییره؟ Atas apa yang sudah tidak bisa kita ubah
الحیاه قصیرة وأهدافها كثيرة Hidup itu singkat sementara targetnya banyak
فانظر الى السحاب و لا تنظر الى التراب Maka, tataplah awan dan jangan lihat ke tanah
اذا ضاقت بك الدروب فعلیك بعلام الغیوب و قل الحمدلله على كل شيئ Kalau merasa jalan sudah makin sempit, kembalilah kepada Allah yang Maha Mengetahui hal yang gaib…
Dan ucapkan alhamdulillah atas apa saja.
سفينة (تايتنك) بناها مئات الاشخاص Kapal Titanic dibuat oleh ratusan orang
وسفينة ( نوح ) بناها شخص واحد Sedang kapal nabi Nuh dibuat hanya oleh satu orang
الأولى غرقت والثانية حملت البشرية Tetapi, Titanic tenggelam. Sedang kapal Nabi Nuh menyelamatkan umat manusia
التوفيق من الله سبحانه وتعالى Taufik hanya dari Allah swt
نحن لسنا السكان الأصليين لهذا الكوكب الأرض بل نحن ننتمي إلى الجنّة Kita bukanlah penduduk asli bumi, asal kita adalah surga
حيث كان أبونا أدم يسكن في البداية لكننا نزلنا هنا مؤقتاً لكي نؤدّي اختبارا قصيرا ثم نرجع بسرعة Tempat, dimana org tua kita, Adam, tinggal pertama kali…
Kita tinggal di sini hanya untuk sementara. Untuk mengikuti ujian lalu segera kembali.
فحاول أن تعمل ما بوسعك لتلحق بقافلة الصالحين التي ستعود إلى وطننا الجميل الواسع و لا تضيع وقتك في هذا الكوكب الصغير Maka berusahalah semampumu, untuk mengejar kafilah orang-orang salih, Yang akan kembali ke tanah air yang sangat luas, di akhirat sana…
Jangan sia-siakan waktumu di planet kecil ini..!
الفراق: ليَس السفِر، ولا فراق الحب، حتىّ الموت ليس فراقاْ سنجتمَع في الآخره الفراق هو: أن يكون أحدنا في الجنه والآخر في النار Perpisahan itu bukanlah karena perjalanan yang jauh, Atau karena ditinggal orang tercinta…
Bahkan, kematian pun bukanlah perpisahan, sebab kita akan bertemu lagi di akhirat
Perpisahan adalah ketika satu diantara kita masuk surga, sedang yang lainnya terjerembab ke neraka.
جعلني ربي واياكمَ من سكان جنته
Semoga Allah menjadikan aku dan kita semua menjadi penghuni surgaNya.
Aamiin.
367 notes
·
View notes
Text
Manusia Hebat
Aku sering melihatnya, di media sosial terutama. Orang orang yang bisa menaklukan dirinya sendiri pergi ke negara lain untuk belajar. Orang orang yang memaksakan diri untuk bisa terus bertumbuh. Orang orang yang sering memendam rasa rindunya. Karena mereka tahu bahwa untuk menggapai sesuatu ada yang harus mereka korbankan.
Mereka ternyata memang hebat sekali. Mereka bertahan dengan melawan kebiasaan kebiasaan mereka, mereka berambisi dengan mimpi mereka, pun mereka merelakan kebebasannya untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan. Sungguh, mereka manusia diatas rata-rata.
Mereka menjadi indah dengan apa yang mereka perjuangkan. Mereka menjadi indah dengan usaha usaha mereka. Mereka menjadi indah karena bertahan menghadapi kesulitan. Mereka menjadi indah karena semakin bertumbuh.
Barangkali aku harus belajar pada mereka, berjuang lebih banyak, memaksakan diri untuk terus belajar, melangkahkan diri untuk step by step menggapai mimpi dan jangan cepat merasa puas dngan apa yang sudah didapatkan. Aku ingin sekali memiliki etos kerja seperti mereka.. Etos kerja yang bukan untuk duniawiku saja tapi juga untuk akhiratku..
13 notes
·
View notes
Text
Kapan Boleh Menyerah
——
Kita pasti pernah punya satu momen dalam hidup saat sebuah perasaaan ingin menyerah rasanya begitu kuat. Ketika rasanya sudah melakukan apapun yang kita mampu, tapi hasil masih tak mau jauh dari kata nihil. Aku pernah berada di titik itu. Saat semua rasanya percuma : ‘Jika tak ada guna, lalu buat apa diteruskan ceritanya’.
Aku tahu bahwa kamu pasti juga tahu.
Tentang ayat, dalil dan kata-kata yang searah dengan frasa ‘Jangan Menyerah’.
Aku juga tahu bahwa kamu pun tentu sangat paham tentang itu. Dan aku pun mengerti meski kamu paham tentangnya, rasa ingin berhenti dalam hatimu kadang datang menyapa dan bertanya.
Tapi aku ingin kamu ingat bahwa tak semua hal dalam hidup berada di bawah kendali kita.
Yang kita bisa hanyalah mencoba dan berusaha. Yang kita yakini adalah selama langkah tak berhenti, kemungkinan untuk sampai di tujuan masih bisa kita miliki.
Maka izinkan aku bertanya :
“Bolehkah kata menyerah itu ku ganti dengan kata berserah?”
Karena berserah berarti mengingati bahwa di setiap alasan yang sedang kamu perjuangkan,
kamu masih punya Dia, yang Maha Mendengar dan Mengabulkan.
Berserah berarti kau kerjakan bagianmu
dan percayakan padaNya tentang apa yang ada di luar kendalimu.
***
‘Tak Ada Hati yang Tak Butuh Peluk’
- Quraners
203 notes
·
View notes
Text
أصبحت لا أنتظر شيئا، فالأقدار كتبت وكلشيئ يأتي في وقته
"Aku tidak menunggu siapapun, kerana takdir telah tertulis, dan semuanya akan datang pada waktunya"
لا أعرف لماذا، في كل مرة أتلقى فيها رسالة منك أبتسم دائمًا، هل هذا ما يسمى بالحب؟
"aku tak tau kenapa, setiap mendapat pesan dari mu aku selalu tersenyum apa ini yang dinamakan cinta?"
ليس لك الحق في أن تذرف الدموع على من لا يحل لك
"Kamu tidak berhak mengeluarkan air mata untuk seseorang yang belum halal bagimu."
7 notes
·
View notes
Text
Fitrah
Fitrah ibarat benih, yang apabila di di rawat dan di didik dengan telaten kelak akan tumbuh paripurna. Menjadi pohon yang baik, yang akarnya menghujam ke tanah dan batangnya menjulang ke langit, serta buahnya banyak sehingga menebar rahmat dan manfaat bagi sekitar.
Prof. Muhammad Yasien dalam bukunya, The Islamic of Human Nature menyebutkan bahwa fitrah adalah sifat dasar spiritual (spiritual nature) manusia.
Jadi manusia dilahirkan membawa sifat-sifat dasarnya dan ini mengarah kepada aspek spiritualnya bukan sekedar insting.
Secara lengkap fitrah adalah innately predisposed to know God (Marifatullah), to do good (Akhlaqul Karimah), dan to accept the true knowledge (Kitabullah).
Jadi fitrah adalah sesuatu yang telah diinstal di dalam diri manusia untuk mengenal Allah, melakukan kebaikan atau akhlaq yang mulia dan kesiapan untuk menerima kebenaran Kitabullah.
Berikut klasifikasi Fitrah Manusia :
1. Fitrah Keimanan
Setiap anak lahir dalam keadaan telah terinstal potensi keimanan. Bahkan setiap kita di alam rahim pernah bersaksi bahwa Allah sebagai Rabb (Qs. Al-A'raf : 172). Tidak ada anak yang tidak cinta Tuhan dan kebenaran kecuali di simpangkan dan di kubur oleh pendidikan yang salah gegabah. Ini meliputi moral, spiritual, keagaaman dsb.
Golden age fitrah ini ada pada usia 0-6 tahun. Fitrah ini berinteraksi dengan life system (kitabullah) sehingga dicapai peran menyempurnakan semua akhlak. Buahnya adalah akhlak terhadap Allah dan melingkupi semua akhlak lainnya.
2. Fitrah Belajar dan Bernalar
Setiap anak adalah pembelajar tangguh dan hebat yang sejati. Tidak ada anak yang tidak suka belajar kecuali fitrahnya telah terkubur atau tersimpangkan.
Golden age pengembangannya di usia 7-10 tahun. Interaksi terbaiknya dengan alam. Pesan yang di capai adalah rahmatan lil alamin. Buahnya adalah akhlak terhadap alam.
3. Fitrah Bakat
Setiap anak adalah unik, mereka masing-masing memiliki sifat atau potensi unik produktif yang merupakan panggilan hidupnya, yang akan membawa nya kepada peran spesifik peradaban.
Golden Age pengembangannya di usia 10-14 tahun. Fitrah ini berinteraksi dengan dengan kehidupan untuk Bashiro wa Nadziro. Buah nya adalah akhlak pada kehidupan manusia.
4. Fitrah Perkembangan
Perkembangan manusia memiliki sunnatullah, ada tahapan, ada masa emas bagi bagi fitrah tertentu. Tidak berlaku makin cepat makin baik.
Secara umum terdiri dari sebelum aqilbaligh, yaitu tahapan usia 0-2 tahun, 2-6 tahun (pra-latih), 7-10 tahun (pre-aqil baligh), 11-14 tahun (pre-aqil baligh II) dan sesudah aqil baligh yaitu >15 tahun (post aqil baligh).
5. Fitrah Seksualitas dan Cinta
Setiap anak dilahirkan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Bagi manusia jenis kelamin ini akan berkembang menjadi peran seksualitasnya. Bagi anak perempuan akan menjadi peran keperempuanan dan keibuan. Bagi anak laki-laki akan menjadi peran kelaki-lakian dan keayahan.
6. Fitrah Estetika dan Bahasa
Setiap anak memiliki selera keindahan dan menyukai keindahan, termasuk kesenian, keharmonian, kesusastraan dsb. Setiap anak sudah dikaruniai kemampuan berbahasa, kemudia di aktualisasi oleh bahasa ibu oleh kedua orangtuanya.
7. Fitrah Individual dan Sosial
Setiap manusia di lahirkan sebagai individu, sekaligus juga sosial atau membutuhkan sekitarnya. Manusia memerlukan interaksi sosial dengan kehidupan sekitarnya. Sosialitas akan tumbuh baik sejak usia 7 tahun, jika individualitas utuh pada usia 7 tahun ke bawah. Di bawah 7 tahun anak belum punya tanggung jawab moral dan sosial.
8. Fitrah Fisik dan Indera
Setiap anak lahir dengan membawa fisik yang suka bergerak aktif dan pancra indera yang suka berinteraksi dengan bumi dan kehidupan. Setiap anak suka kesehatan dan asupan yang sehat. Bersih dan baik. Setiap indera juga senang menerima input yang membahagiakan dan menenangkan.
—beberapa tahun terakhir mengenali konsep pendidikan berbasis fitrah ini. Karena konsep ini mencuri hati terkait memfokuskan terangnya cahaya utama dalam hal pendidikan Tauhid. Masing-masing fitrah manusia dengan porsi masa terbaiknya memulangkan hakikat penciptaan pada pilar utama nya—beribadah kepada Allah Swt.
|| 5. 6. 2022 ||
29 notes
·
View notes
Text
Mengekalkan Terima Kasih
Kita sering mengambil momentum kebersamaan bersama keluarga atau teman lalu mengunggahnya di media sosial. Tak jarang pula dilakukan ketika kita menerima hadiah atau pujian sebagai bentuk apresiasi atau terima kasih.
Nabi Daniel pun demikian. Beliau diselamatkan dua kali oleh singa. Pertama, ketika beliau baru saja lahir lalu disembunyikan ke dalam hutan karena raja mengincar bayi laki-laki dalam mimpinya (kisah ini mirip seperti mimpi Namrudz dan Fir'aun). Kedua, ketika beliau sudah menjadi nabi dan berdakwah kepada Nebukadnezar, Raja Babel, kemudian ditentang dan hendak dijadikan makanan untuk singa-singa yang kelaparan.
Atas izin Allah, singa-singa itu menjadi tunduk dan tidak liar. Seperti api Nabi Ibrahim yang menjadi dingin dan menyelamatkan. Seperti ikan Nun yang isi perutnya tidak menghancurkan Nabi Yunus. Oleh karenanya beliau mengabadikan nikmat dari Allah dalam satu cincin bergambar singa agar ia senantiasa bersyukur. Cincin itulah yang ditemukan di kemudian hari, ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah.
Itu hanya salah satu bentuk. Sedangkan nikmat Allah yang beragam rupa ini tentu sangat layak kita syukuri sepenuh hati. Bentuk syukur terbaik adalah mempergunakan pemberian sebagaimana keinginan Sang Pemberi.
Syukur = Memberdayakan
Dan ketika Allah sudah mengaruniakan kita nikmat iman dan Islam, kita pada akhirnya akan memikirkan bentuk terima kasih yang baik.
"Allah ingin saya berbuat apa terhadap Islam?"
"Apa versi terbaik diri saya yang bisa saya persembahkan dalam penghambaan ini?"
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (Ibrahim 14: 7)
Sekarang jadi ngerti, kenapa nikmat akan bertambah jika disyukuri. Karena:
Selama seseorang memberdayakan sesuatu, resource memang harus tetap bertambah agar proses pemberdayaan tetap berjalan
Selama resources terus bertambah (melimpah) maka kapasitas dan kualitas seseorang sebagai pemberdaya pun akan senantiasa meningkat
Semisal pabrik, semakin pandai/canggih mesinnya dalam proses pengolahan, maka perlu semakin banyak lagi bahan mentah (resource) yang ditambah agar mesin (tools) tidak sia-sia. Di sisi lain, semakin banyak bahan mentah, mesin juga akan terus di-upgrade agar mampu melakukan pengolahan secara efektif dan efisien.
Maka tiap-tiap diri manusia sudah merupakan paket tools dan resource, dengan fungsi input-proses-output, ditambah lagi dengan adanya resource di luar diri. Pantaslah Allah mengatakan, manusia sedikit sekali yang bersyukur. Soalnya, boro-boro memberdayakan resources dengan tools yang ada, kesadaran akan resources dan tools-nya pun kadang belum utuh (resource awareness, self awareness) sebab belum reading comprehensive (iqra).
Mudah-mudahan kita dikaruniai kemampuan menyadari sumber daya dari Allah serta senantiasa terpandu dalam mengalokasikannya.
— Giza, belajar menjadi manusia
69 notes
·
View notes
Text
Ternyata, bahagia bukanlah sebuah tujuan. Ia adalah serangkaian perjalanan.
Sore tadi aku —sebagai penggemar jalan kaki, melakukan perjalanan kecil menuju Indomaret yang hanya 850 meter jauhnya dari tempat tinggalku. Pergi membeli sebotol jus jambu yang tak pernah tergantikan posisinya dalam jajaran kandidat jus yang kukehendaki. Bagian menariknya bukan soal perjalanan kecilku, tapi tentang seorang kakek dengan kulit legam dan rambut ikal tak terawatnya yang berpapasan denganku di dekat meja kasir. Kakek itu hanya membeli sebotol air mineral. Tetapi kilau matanya sama bersinarnya seperti kilau mata yang akan aku pancarkan ketika aku berhasil membeli satu pesawat pribadi. Sengaja aku menyapanya yang duduk di bangku sambil meneguk air dari botol yang mulai berembun. Berceritalah ia begitu senangnya bisa memasuki tempat ini, baginya semua terlihat mahal dan ia tak berani untuk sekedar menjajakan ibu jarinya. Maka membeli sebotol air mineral dari Indomaret terasa seperti berada pada level baru kehidupannya.
Oh, ternyata ada ya orang yang begitu sumringah hanya karena dapat membeli sebotol air mineral di Indomaret. Bagiku berlalu-lalang di pintu Indomaret sudah tak dapat kuhitung lagi jumlahnya, teramat sering dilakukan hingga terasa biasa saja. Tapi, bagi beberapa orang yang beruntung, satu langkah melewati pintu itu terasa seperti sebuah perayaan yang istimewa yang dipenuhi binaran pada matanya.
Waduh, lagi-lagi aku lupa. Terlalu banyak hal berkecamuk dalam kepalaku beberapa hari terakhir, perihal syukur dan ragu, juga perihal yakin dan takut. Aku paham betul tak seharusnya aku membiarkan mereka berngiang dalam kepalaku. Namun aku dengan segala kesombonganku berpikir bahwa semuanya harus kuatur sedemikian rupa agar aku merasa lebih baik. Padahal punya kuasa untuk mengintip nasib saja tidak, tapi aku bertindak seolah semua akan berjalan dengan benar jika aku yang memimpin diriku sendiri. Hingga aku menempatkan semua ambisi dalam daftar prioritas dengan berjubel, membuatku cukup khawatir dan tak tenang, serta sedikit lupa untuk berbahagia.
Untungnya, sore ini aku kembali diingatkan bahwa bahagia itu sendiri berasal dari tenangku terhadap hal yang sederhana. Menjadi bahagia kadang memang terasa tak semudah seperti menekan tombol 'menjadi bahagia' lalu seisi dunia akan berjalan mengikuti ritmeku begitu saja. Sejatinya menjadi bahagia memang sesederhana menekan tombol 'menjadi bahagia' itu saja. Sebab semuanya berasal dari pilihan dan kemauan, sebagai dua hal paling sederhana yang terasa rumit dalam pertimbangannya —apalagi ketika tengah melalui masa yang tidak mudah. Tetapi untuk terus merasa beruntung adalah sebuah pilihan dan kemauan. Sebab merasa beruntung dengan hal-hal sederhana terurai sebagai bentuk manusia mengakui nikmat kehidupan.
Whenever I feel life is uneasy, Tuhan selalu mengingatkan dengan membawaku kembali membumi. Tentang bagaimana benda-benda luar angkasa yang berukuran raksaksa itu dibentuk dari debu-debu asteroid yang ukurannya berbanding jutaan kali lebih kecil. Tentang bagaimana pohon ek yang berlingkar lebih dari satu depa dalam sinema juga berasal dari sebuah biji yang ukurannya hanya sebesar genggaman tanganku. Tentang bagaimana aku sebagai sapiens yang juga tersusun dari komponen atom-atom dalton yang bahkan mata telanjangku saja tak dapat melihatnya.
Maka dari itu kukatakan, bahagia bukanlah tujuan sebab ia adalah serangkaian perjalanan. Tak datang dalam bentuk yang tiba-tiba besar, namun dimulai dari ukuran 'sederhana'. Terus dilipatgandakan hinga ukurannya bisa bermilyar kali lipat dari 'sederhana'. Namun ketika bahagianya sudah lebih besar, janganlah lupa dengan rasa tenang dalam kesederhanaan-kesederhanaan yang kecil ukurannya. Tuhan maha baik, aku seharusnya memperbanyak syukur dan menguatkan yakin.
23 notes
·
View notes
Text
ORANG TUA SEKARANG MEMBUNUH ANAKNYA SECARA HALUS
Ada seorang operations manager dari client kantor saya yang cool banget. Kita undang dia makan siang dan nasinya keras. Kita sebagai vendor yang baik, meminta maaf. Dia bilang,
“Gak papa. Justru saya suka nasi keras. Gak suka tuh saya, beras sushi.”
“Kok sukanya nasi yang keras Pak?” I cannot help but to ask.
“Iya, orang tua saya ngajarin jangan pernah buang makanan. Nasi kemarin juga kita makan.”
This may be simple. But this, blew my mind.
Dan setelah saya menjadi orang tua, di sini lah saya lihat banyak orang tua mulai mengambil langkah yang tidak disadari, berdampak.
“Saya waktu kecil, miskin. Saya pastikan anak-anak saya mendapatkan yang terbaik, termahal.”
“Waktu kecil, saya makan aja susah. Saya pastikan mereka itu sekarang makan enak.”
“Waktu kecil, saya belajar ditemani lilin dan 2 buku. Sekarang anak saya, saya sekolahkan ke Inggris.”
We experienced the worst and therefore we tend to give the best.
The question is, is the best…is what our children need? Really?
Orang sukses itu menjadi sukses karena :
(1) dididik dengan benar, terlepas dari dari apakah dia kaya atau miskin
(2) dididik oleh kesulitan yang dia hadapi.
Kita akui ada anak orang kaya yang tetap jempolan attitudenya dan perjuangannya. Tapi kita lihat kebanyakan orang sukses juga dulunya sulit. Kesulitan (dalam beberapa kasus, kemiskinan) itu yang menjadi drive orang-orang untuk menjadi sukses. Ini adalah resep yang nyata. Kesulitan yang orang-orang sukses ini hadapi adalah ladang ujian di mana mereka menempa diri mereka menjadi orang sukses.
Pertanyaannya, jika kita ingin mencetak anak-anak yang bermental baja, kenapa kita justru memberikan semua kemudahan? Kenapa justru kita hilangkan semua kesulitan itu?
Karena dengan menghilangkan kesulitan-kesulitan itu, justru kita menciptakan generasi yang syarat hidupnya banyak.
Generasi Berikutnya
Apa yang terjadi dengan dari hasil thinking frame ‘dulu saya susah, saya tidak ingin anak saya susah’? Ini yang terjadi:
Anak dari teman ibu saya terbiasa makan beras impor thailand. Di 98, kita terkena krisis dan orang tuanya tdiak lagi mampu beli beras impor. Yang terjadi adalah, anaknya gak bisa makan.
Ada anak dari teman yang terbiasa makan es krim haagen dasz, ketika pertama kali makan es krim lokal, dia muntah.
Ada cucu yang ngamuk di rumah neneknya karena di rumah nenek, gak ada air panas.
Saya tidak mencibir mereka. Apa adanya seorang manusia itu terjadi dari nature dan nurture. Semua ini, adalah nurture.
Bahkan di kantor pun sama. Di kantor kebetulan saya jadi mentor seseorang (saat ini). Dalam sebuah kesempatan, dia pernah berkata “Duh, gak nyaman di posisi ini.”
Di lain kesempatan, “Sayang ya, si X resign, padahal dia membuat saya nyaman di kantor sini.”
Pada kali kedua saya mendengar temen saya ngomong ini, saya mulai masuk “Kamu sadar gak, kamu udah 2 kali menggarisbawahi bahwa kenyamanan dalam kerja itu, penting bagi kamu.”
“…”
“Emang sih idealnya nyaman. Tapi sayangnya, this is life. We don’t get to pick ideal situations. Sometimes we need to settle with what we have and deal with it.
"Tentang kenyamanan, coba jadikan itu sebagai sesuatu yang ‘nice to have’ dan bukan "must have".
What to Do?
Saya menyukai cara Sultan Jogja mendidik anak-anaknya. Saya pernah dengar bahwa di saat balita, anak sultan dikirim untuk hiidup di desa. Makan susah, main tanah, mandi di sumur. Intinya, meski dia anak sultan, dia tidak tahu bahwa dia anak sultan dan dia merasakan standar hidup yang rendah – dan merasa cukup dengan itu. Setelah agak besar, dia kembali ke istana. Dampaknya, semua Sultan, bersikap merakyat. Dia makan steak, tapi dia tahu bahwa steak yang dia makan adalah sebuah kemewahan. Bukan sebuah syarat hidup minimum.
Saya pun memiliki syarat-syarat hidup. Semenjak menjadi seorang bapak, saya berubah total dan saya kikis hilang itu semua. Karena saya tidak ingin anak-anak saya memiliki syarat hidup yang banyak. Dan satu-satunya cara memastikan itu terjadi adalah bahwa sayapun tidak boleh memiliki syarat hidup banyak.
Saya mengajak mereka naikkopaja atau transjakarta setiap hari ke sekolah, sebelum mereka merasakan bahwa naik angkutan umum itu, rendah.
Saya membiarkan mereka tidur di lantai. Siapa tahu suatu saat nanti mereka harus terus-terusan.
Saya mematikan AC saat mereka tidur – siapa tahu mereka suatu saat cannot afford air conditioning.
Saya tidak menginstall air panas karena saya ingin anak-anak saya baik-baik saja jika suatu saat nanti mereka tiap hari harus mandi air dingin.
Saya melarang mereka main tablet karena saya ingin mereka tidak tergantung dengan kemewahan itu.
Saya melarang mereka menilai teman dari merk mobil mereka karena merk mobil itu gak pernah penting, dan gak akan penting.
Kita pergi ke mall memakai kopaja. And we have fun ketawa-ketawa, seperti jutaan orang lain.
Saya tidak membuang nasi kemarin yang memang masih bagus. Instead saya makan sama anak-anak saya. Siapa tahu suatu saat, that is all they can afford. Agak keras. And we like it.
We teach them to pursue happiness so that they learn the value and purposes of things. Not the price of things.
Nasi kemarin yang masih perfectly safe to eat, masih punya value. Kopaja dan mercy memiliki purpose yang sama, yaitu mengantar kita ke sebuah tempat.
AC atau gak AC memberikan value yang sama. A good night sleep.
Kenapa semua ini penting? Kita harus ingat bahwa generasi bapak kita adalah generasi yang bersaing dengan 3 milyar orang. Mereka bisa mengumpulkan kekayaan dan membeli kemudahan untuk generasi kita. Kita harus bersaing dengan 7 milyar orang. Anak kita nanti mungkin harus bersaing dengan 12 milyar orang di generasi mereka.
One needs to be a tough person to be able to compete with 12 billion people. Dan percaya lah, memiliki syarat hidup yang banyak, tidak akan membantu anak-anak kita bersaing dengan 12 milyar orang itu.
(Anonim)
174 notes
·
View notes
Text
Usia semakin menua kenapa hati terbesit ingin menikah terus ya? Apa ada yang sama? Wkwkkwk
Padahal jiwa masih berlumur dosa, meminta satu takdir di percepat saja rasanya sperti durjana. Mengingat kematian emang paling tepat sih ketimbang meratapi usia karna belum ada yang datang melamar.... Kalau tiba2 kematian yang datang lebih cepat untuk melamar? Gimana fa? Siap nggak?..
Tenangkan jiwamu ya... Nggak usah terlalu ingin dipercepat, ilmui dulu hal2 yang perlu di ilmui, kelak anakmu butuh sosok ibu yang sudah dewasa, cerdas dan memiliki pemikiran besar.. Stay be happy meskipun kanan kirimu sudah di miliki 🫠
23 tahun
0 notes
Text
Menemukan seseorang yang menjadi penghujung dari segala tanya, pasti penuh tanjakan, lika-liku dan jatuh-bangun.
Sebab akan ada beberapa pertemuan dengan orang yang salah pada waktu yang tak tepat di persimpangan takdir, akan ada pula ekspektasi yang menguji relung perasaan, menumbuh-layukan harapan, yang sarat dengan pelajaran yang mendewasakan.
Menemukan seseorang yang menjadi muara atas segala doa-doa, memerlukan kesabaran yang panjang juga keberserahan. Namun, seringnya kita terlalu jumawa akan rahasia takdir. Hanya karena hadir perasaan menginginkan "seseorang", kita pikir rasa "ingin" itu adalah tanda dari-Nya bahwa "seseorang" itu adalah yang terbaik. Kita lupa betapa lemah dan betapa mudah biasnya perasaan kita karena godaan-godaan yang menggoyahkan keimanan.
Pada kenyataannya, yang terbaik seringnya tak pernah kita duga sosoknya, yang mungkin selama ini selalu berdiri dihadapan kita tetapi luput kita perhatikan sosoknya, yang mungkin selama ini semesta telah banyak memberikan isyarat namun kita tidak pernah peka.
Pada kenyataannya, yang terbaik seringnya adalah sosok asing nan meneduhkan yang meminta kita secara baik-baik dan beradab pada kedua orang tua dengan penuh keberanian. Yang niatnya penuh kejujuran dan kesan kehadirannya ke dalam hidup kita begitu sederhana namun sarat makna.
Sungguh, pada kenyataannya, waktu dan seseorang yang tepat adalah yang tak pernah kita tahu "kapan" dan "siapa". Penanda bahwa pengetahuan kita begitu terbatas tentang takdir. Maka sudah semestinya kita senantiasa meminta petunjuk dan pertolongan-Nya untuk mencari tahu jawabannya.
Kelak, ketika rahasia-Nya telah terbuka, akan ada banyak butiran-butiran hikmah yang terhampar untuk menjawab segala tanda tanya yang selama ini selalu bergemuruh di dada.
Kelak, ketika rahasia-Nya telah terbaca, segala sebab-akibat dalam hidup yang telah terjadi di masa lalu akan melegakan hati seperti hujan gerimis yang basah oleh haru dan syukur...bahwa segala penundaan, penolakan dan kekecewaan yang pernah terasakan mengandung pelajaran terbaik yang tak tergantikan.
Bahwa selama ini, mencari dan menemukan itu tentang "saling". Saling melalui titian-titan doa tak kasat mata yang kita langitkan. Saling dibentur-hancurkan untuk dibentuk menjadi lebih baik oleh-Nya sebelum saling menggenapkan. Kita diperbarui sebelum saling mengisi. Kita disembuhkan sebelum saling menumbuhkan kebaikan bersama-sama. Kita saling didewasakan oleh hidup dan perjalanannya——agar ketika kapal ini berlayar mengarungi samudra rumah tangga; kita tidak goyah, tidak menyerah dan atas seizin-Nya kita akan saling selamat di dunia dan akhirat. Aamiin ya Rabb
Usai hujan reda di tanah Rantau, 14 Maret 2023 12.40 wita
496 notes
·
View notes
Text
Yang Terbangun Menghidupkan Sepertiga Malam
Kapan terakhir kali engkau merasa ingin bertambah-tambah menambah sujud, memperpanjang waktu terbentang sajadahmu? Kapan terakhir kali engkau ketagihan dengan nikmat keheningan malam, saat gemercik air menjadi temanmu bangun? Kapan terakhir kali engkau bermunajat dengan tenang, tanpa adanya sisipan pikir bejubel aktivitas duniawi di tengah nuansa dinginnya hawa malam?
Wahai aktivis, engkau tidak kurang-kurang dalam eskloprasi ide, teknis, bahkan tidak jarang engkau begitu berbuih-buih saat mendiskusikan dakwah lengkap dengan tantangannya. Namun engkau begitu kering akan ibadah yang menghidupkan ruhmu. Engkau tampak tak begitu yakin, bahkan engkau sedikit lebih mengakhirkan amal ibadah, sebab engkau mendahulukan dan melandaskan keyakinan atas apa yang engkau usahakan, bukan atas apa yang engkau sandarkan kepada Allah.
Engkau lupa, bahwa Gusti Allah maha besar, lebih besar dari apa pun, maha menguasai, yang menguasai dari penguasa mana pun, maha kaya yang memiliki segalanya. Engkau selalu gemar berbicara teknis, metodologis, empiris bagaimana dakwah bekerja, namun mengakhirkan bagaimana sistem Allah bekerja.
Bahwa memang betul, mendalami metode itu penting, banyak sahabat dan generai pendahulu yang menyongsong kejayaan Islam, bermula tekun mempelajari mesin-mesin altileri, mekanik kapal, konstruksi pelabuhan, bahasa filsafat, dan banyak lagi. Namun, kejayaan itu dalam polanya ditopang karena kehebatan amal yang luar biasa.
Keteguhan generasi pendahulu akan amalnya menyebabkan kalibrasi kapasitas. 1 orang bernilai 1000 orang, begitu seterusnya. Maka tidak heran sedikit pasukan Islam mampu mengoyak barisan musuh. 1 pedang pasukan Islam mampu mematahkan lebih banyak pedang musuh.
Salah satu keteguhannya adalah menjada sepertiga malam. Sepertiga malam tidak dilupakan, sepertiga malam bukan dongeng semata. Maka rindulah sepertiga malam, sebab dari sepertiga malam akan menghujam ruh ruh yang mengakar.
Wahai aktivis, gapailah kedekatan dengan Allah di sepertiga malam, hidupkan sepertiga malammu. Engkau udah lelah, cukupkan aktivitas duniamu, hidupkan sumber-sumber kedekatan dengan Allah, agar hari-harimu berisi, jauh dari kehampaan.
240 notes
·
View notes
Text
Terimakasih sudah menjadi pengingat di saat pikiranku sedang di kelilingi oleh berhala dunia yang bernama kekhawatiran🦋
Untuk setiap apa yang gagal, mungkin Tuhan sedang mengajar kita untuk lebih berserah tanpa memaksa keadaan, dan kita? hanya perlu menjalani hidup seperti biasa. Mengikut arus yang sudah Tuhan takdirkan, kerana kadang melawan arus hanya akan buat kita tenggelam dalam kedukaan yang kita cipta sendiri.
And if there’s something I would tell to my younger self? jangan terlalu lama dan terlalu larut dalam kedukaan. Hiduplah seperti biasa, dan teruslah memperbaiki diri hingga nanti bila kau kembali pada Tuhan, kau akan bertemu denganNya, dalam versi terbaik dirimu, sebagai hambaNya.
Hidup ni kalau sentiasa nak puaskan hati orang, sampai ke sudah kau takkan jumpa jalan bahagia. Bersederhana lah, agar hidup kau tenang tanpa perlu berlebihan dalam segala hal.
275 notes
·
View notes
Text
Kalau lagi gabut suka iseng nyari kata-kata di Al-Qur'an. Suatu hari nemu potongan ayat menarik.
"Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat."
Al-Furqan (25) : 20
Kesan pertama saat bacanya tuh merasa tersentuh, karena ditanya, "maukah kamu bersabar?" meanwhile di ayat lain justru biasanya berbentuk perintah. Udah gitu, dikasih tau kalau kita tuh dilihat dan dinilai ketika sedang bersabar.
Kesan keduanya adalah, ayat ini aneh. Aneh karena maknanya tidak lazim dan harus dipikirin beberapa kali buat nemu the next wow. Perhatiin deh kalimatnya. Normalnya yang disuruh bersabar kan yang diuji ya, tapi ini malah "kamu" sebagai cobaan yang harus bersabar.
Kalimatnya kalau normal bakalan gini,
"Dan Kami jadikan sebagian yang lain sebagai cobaan bagi sebagian dari kamu. Maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat."
Nah ayat itu justru memposisikan "kamu" sebagai ujian bagi orang lain. Keren kan point of view-nya? Jadi sabar tuh bukan cuma ketika diuji, melainkan:
Maukah bersabar juga ketika kita dipakai Allah untuk menguji orang lain?
Maukah sabar dalam menumbuhkan dan memelihara awareness, mengenal diri, dan memperbaiki diri ketika kita menjadi ujian bagi orang lain?
Harus ngeh juga kok bisa kita jadi ujian untuk orang lain?
Maukah bersabar agar tidak menjadi ujian bagi orang lain?
Ayat ini menunjukkan bahwa ujian dalam hidup sering datang melalui interaksi kita dengan orang lain, bisa berupa konflik, perbedaan pendapat, atau tantangan dalam hubungan sosial.
Di sini ada dualitas ujian dalam hubungan sosial yang menekankan bahwa semua orang adalah bagian dari ujian bagi orang lain. Secara nggak langsung ayat ini mengingatkan kita supaya nggak hanya melihat diri kita sebagai korban cobaan, tetapi juga untuk reflektif terhadap bagaimana tindakan kita bisa menjadi ujian bagi orang lain.
Dalam konteks ini, hubungan sosial bersifat dua arah di mana kita berinteraksi dan saling mempengaruhi. Misalnya, kita mungkin menghadapi kesabaran ketika berhadapan dengan orang yang pemarah, sementara orang pemarah tersebut juga sedang diuji untuk belajar mengendalikan emosinya.
Refleksi Diri dan Empati
Memahami bahwa kita bisa menjadi sumber ujian bagi orang lain mendorong kita untuk introspeksi dan mengembangkan empati. Kita perlu menyadari tindakan, kata-kata, dan sikap kita karena itu bisa menjadi tantangan atau cobaan bagi orang lain. Ini mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam perilaku kita sehari-hari.
Pembelajaran dan Pertumbuhan Bersama
Kesalingan dalam ujian membuka ruang bertumbuh bersama. Ketika kita menyadari bahwa kita adalah bagian dari ujian bagi orang lain, kita dapat bekerja sama untuk mengatasi tantangan tersebut. Misalnya, dalam sebuah keluarga atau komunitas, kita memahami mana "red button" atau hal-hal yang dapat melukai ego orang lain, sehingga lebih mengolah komunikasi menjadi lebih efektif dan membangun level pemahaman serta memperluas pengertian bersama.
Peran dalam Pembentukan Karakter
Ujian yang kita berikan dan terima dari orang lain berperan penting dalam pembentukan karakter kita. Dengan proses ini, kita belajar tentang kesabaran, toleransi, pengendalian diri, dan nilai-nilai positif lainnya. Dengan menyadari peran kita dalam ujian sosial, kita dapat lebih fokus pada pengembangan karakter yang positif dan konstruktif. Perspektif ini bisa menumbuhkan rasa saling menghormati dan mengurangi egoisme dalam interaksi sosial.
"Maukah kamu bersabar?"
Dengan menanyakan "Maukah kamu bersabar?", Allah memberikan kebebasan dan tanggung jawab kepada manusia untuk memilih bagaimana mereka akan merespons cobaan. Ini menunjukkan bahwa kesabaran bukan sesuatu yang dipaksakan, tetapi sebuah pilihan yang harus diambil secara sadar dan sukarela oleh individu.
Pertanyaan ini juga mengajak kita untuk secara aktif merenungkan dan menyadari situasi yang kita hadapi. Ini memaksa kita untuk berhenti sejenak dan mempertimbangkan sikap kita (baik ketika diuji maupun ketika kita yang menjadi ujian) daripada bereaksi secara impulsif atau tanpa berpikir panjang.
Dengan menawarkan pilihan untuk bersabar, ayat ini juga menekankan bahwa kesabaran adalah kualitas yang harus dikembangkan. Ini bukan cuma tentang menahan diri dalam situasi sulit, tetapi juga tentang membangun karakter dan ketahanan batin. Kesabaran menjadi sebuah latihan spiritual dan moral yang membantu kita tumbuh sebagai individu.
Kalimat tanya ini juga mengimplikasikan bahwa kesabaran memiliki nilai tinggi dan layak diperjuangkan. Dengan memilih untuk bersabar, seseorang menunjukkan kepercayaan kepada Allah. Inilah adalah sikap yang diharapkan dan dihargai oleh-Nya. Selain itu, kalimatnya menunjukkan hubungan dialogis antara manusia dan Allah. Allah nggak cuma memerintahkan, tapi juga ngajak kita untuk berpikir dan memilih. Begitu dinamis dan interaktif, kan?
Dengan menyadari bahwa kesabaran adalah sebuah pilihan dalam menghadapi ujian, kita juga lebih sadar akan maksud Allah menguji dan sifat sementara dari ujian itu sendiri. Ini bisa membantu kita melihat cobaan sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang seperti maunya Allah, daripada hanya sebagai penderitaan yang harus ditanggung.
"Dan Tuhanmu Maha Melihat."
Ini another subhanallah lagi sih. Liat deh peralihan kata ganti dari sebelumnya "Kami" menjadi "Tuhanmu."
Kalau dalam istilah kebahasaan, ada yang namanya Pluralis Majestatis, yang berarti penggunaan bentuk jamak untuk menunjukkan keagungan dan kebesaran. Contohnya banyak dalam banyak teks keagamaan, termasuk di Al-Qur'an saat Allah menggunakan diksi "Kami".
Peralihan ke "Tuhanmu" di akhir ayat ngasih sentuhan yang lebih personal dan nunjukin kedekatan emosional. Ketika menguji, Allah dengan diksi "Kami"-nya mengirimkan 'aparatur kerajaan-Nya'. Namun Dia langsung mengawasi dalam rangka menjalankan kedudukan-Nya sebagai Rabb. Ini menekankan hubungan langsung antara Rabb dan hamba-Nya.
Dengan menyebut "Tuhanmu Maha Melihat" juga, ayat ini ngasih tau bahwa segala ujian dan cobaan yang dialami manusia ada dalam pengawasan Allah langsung. Yang dengannya dapat memberikan rasa ketenangan dan keadilan, karena mengetahui bahwa tidak ada yang terjadi di luar pengetahuan Allah. Kek, Allah tuh bukannya gak tau kita kesusahan. Kalau kata Pastor Raguel Lewi,
"Hanya karena kita tidak melihat, bukan berarti Dia diam dan tidak bekerja."
Ini juga memperkuat pesan bahwa meskipun Allah mengatur segala sesuatu di alam semesta, Allah juga memiliki perhatian khusus terhadap setiap individu. Allah sangat dekat dan peduli terhadap setiap detail kehidupan kita, termasuk cobaan yang kita hadapi.
Sebagai penutup, gaya bahasa dalam ayat ini membantu memperkuat pesan tentang ujian dan kesabaran. Maha Benar Allah atas segala firman-Nya.
— Giza, menebak dan menanti ayat mana lagi yang akan Allah pertemukan dengannya untuk dielaborasi seperti ini?
257 notes
·
View notes
Text
101/366
Kalau tujuan bersama seseorang cuma pengen dibahagiain, kayanya sampai kapanpun gaakan pernah merasa puas dan selalu terpuaskan, ya?
Apalagi ini manusia, yang hari ini paling membahagiakan, belum tentu besok sama membahagiakannya, yang hari ini jadi sebab tertawa, boleh jadi besok sebab deraian air mata.
Manusia labil. Satu-satunya yang konstan ya cuma Tuhan. Kalau udah tau gini, mestinya sadar dong, sedekat dan sepercaya apapun kita, bukan hal yang baik menggantungkan harapan, terlebih kebahagiaan pada seseorang.
Tujuannya bukan lagi sekadar karena kita merasa bahagia dengannya, namun bagaimana kita bisa turut andil membahagiakannya.
Berat sih. Level tertingginya manusia. Ketika kantung kebahagiaanya selalu habis karena sering dibagikannya, bukan sibuk mengumpulkannya. Tapi perlahan kita terus belajar kesana.
-Na, 22th
55 notes
·
View notes
Text
Sometimes you swallow Sabr on your hardships, sometimes this sabr is for obeying the commandments of Allah, sometimes it is for controlling your nafs, whereas somewhere you need to be patient when someone hurts you brutally, and again you will be doing sabr when someone leaves you.
This is a life-long process dear. You will never get a leave from Sabr. Daily you have to put in effort,daily you have to wait for relief.
And in between we get mentally, emotionally, physically disturbed. Those suicidal thoughts , irritation, frustration and unsatisfied heart with unorganised mind full of tangle perspectives.
You want shoulder to cry on. You want support to discuss. You want company to enjoy. And you want to get rid of all these daily dealings. Right?
But no one is there!.
But we all know that like always this time too we will get relief from the Qur'an and Sunnah.
Allah says in Surah Zumar:36
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ ۖ
Is not Allah sufficient for His Servant?
It's such a profound aayat.
Pause and reflect.
Allah is sufficient for all of us for your every single tear,every single unbearable pain, every thing that you're suffering from.
Ask Allāh azzawajal whatever you want to ask.
Anything you want just grab the opportunity of Tahajjud.
I highly recommend you all to please pray Tahajjud and pour out your every single thought in Dua.
May Allaah reward all of us for our struggling and grant us a mountain of sabr and istiqamah. Aameen
Via Motivation for Soul
44 notes
·
View notes
Text
Saat kekuatan mulai melemah, bukan berarti harus menyerah. Saat kemampuan mulai pudar, bukan berarti harus menghindar. Saat kegigihan mulai rapuh, bukan berarti harus jatuh.
Bentuk kasih sayang Allah tidak selamanya terasa manis, kadang dia hadir dalam bentuk derita yang tragis. Di sinilah proses hidup berjalan, hingga sampai pada puncak kemenangan.
Maka senantiasa mengelola rasa lelah menjadi lillah adalah jaminan Istiqomah di jalan hidayah.
Solo,.
166 notes
·
View notes