Text
menempatkan kepercayaanmu.
©kurniawangunadi
Seseorang begitu tenang dalam menunggu, sebab dalam hatinya ada rasa percaya. Mengapa ada keresahan, kekhawatiran, kegelisahan? Karena tiadanya percaya. Tidak ada satu hal yang pasti memang, tapi rasa percaya mampu meredakan ketidakpastian.
Kau menunggunya, itu ketidakpastian. Kau mau percaya? Tidak ada satupun darinya yang bisa membuatmu percaya bahwa kau harus menunggu sekian lama. Jadi, meletakkan kepercayaan itu harus pada tempatnya.
Allah masih menjadi yang pertama, kan?
2K notes
·
View notes
Text
Merenungi
Saat kita bertanya-tanya tentang apa sebenarnya keinginan orang tua terhadap kita, keinginan mereka, harapan-harapannya. Kita tidak tahu apa maunya Ibu, kita tidak juga tahu apa sebenarnya maunya Ayah.
Barangkali, sebenarnya yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang tidak mengerti apa maunya kita, karena kita tidak pernah bercerita kepada mereka. Kita tidak pernah menunjukkan minat kita pada sesuatu dan mengutarakannya. Mereka tidak pernah kita ajak berdiskusi terhadap masalah-masalah yang kita hadapi, tak terkecuali mengajak mereka saat kita bahagia.
Mereka yang tidak memahami apa maunya kita, karena kita tidak pernah melibatkannya. Selain hanya pada urusan biaya hidup, biaya sekolah, dan segala keperluan kita yang lain.
Hingga tiba saat usia kita beranjak dewasa, beranjak cukup matang dalam takaran mereka. Mereka masih belum menemukan titik terang, apa maunya kita. Hingga mereka memutuskan turun tangan, berusaha mengarahkan, berusaha peduli, sesuatu yang barangkali tidak kita sukai keterlibatannya. Tapi, semata-mata mereka ingin sekali melihat anak yang dicintainya itu, bahagia.
Sudahkah kita berhasil membuat mereka bahagia? Sementara mereka berusaha melakukannya setiap waktu, untuk kita.
©kurniawangunadi | yogyakarta, 1 januari 2018
1K notes
·
View notes
Text
Merenungi
Saat kita bertanya-tanya tentang apa sebenarnya keinginan orang tua terhadap kita, keinginan mereka, harapan-harapannya. Kita tidak tahu apa maunya Ibu, kita tidak juga tahu apa sebenarnya maunya Ayah.
Barangkali, sebenarnya yang terjadi justru sebaliknya. Mereka yang tidak mengerti apa maunya kita, karena kita tidak pernah bercerita kepada mereka. Kita tidak pernah menunjukkan minat kita pada sesuatu dan mengutarakannya. Mereka tidak pernah kita ajak berdiskusi terhadap masalah-masalah yang kita hadapi, tak terkecuali mengajak mereka saat kita bahagia.
Mereka yang tidak memahami apa maunya kita, karena kita tidak pernah melibatkannya. Selain hanya pada urusan biaya hidup, biaya sekolah, dan segala keperluan kita yang lain.
Hingga tiba saat usia kita beranjak dewasa, beranjak cukup matang dalam takaran mereka. Mereka masih belum menemukan titik terang, apa maunya kita. Hingga mereka memutuskan turun tangan, berusaha mengarahkan, berusaha peduli, sesuatu yang barangkali tidak kita sukai keterlibatannya. Tapi, semata-mata mereka ingin sekali melihat anak yang dicintainya itu, bahagia.
Sudahkah kita berhasil membuat mereka bahagia? Sementara mereka berusaha melakukannya setiap waktu, untuk kita.
©kurniawangunadi | yogyakarta, 1 januari 2018
1K notes
·
View notes
Photo
Semoga apa yang kita perjuangkan itu bisa membuat hidup kita lebih tenang dan berserah, bukan membuat kita semakin memaksakan kehendak. Semoga yang kita perjuangkan itu adalah sesuatu yang banyak kebaikannya, sekalipun kita bersikeras merasa bahwa itu yang terbaik, kita hanya tidak diperlihatkan celanya. Semoga yang kita perjuangkan itu adalah sesuatu yang kalau nanti kita mendapatkannya maupun tidak, tidak membuat kita kecewa, tidak membuat kita bersedih. Karena kita paham, Allah masih menjadi yang pertama.
2K notes
·
View notes
Photo
Bismillah for everything in next year. May Allah always bless us. Aamiin 😇 (at Karawang, Indonesia)
0 notes
Text
Pelit adalah salah satu bentuk tidak menghargai diri. Jika pelit terhadap diri sendiri berarti tidak menghargai diri sendiri. Jika Anda tidak menghargai diri sendiri bagaimana orang lain akan menghargai Anda
Laily A. Wardani
0 notes
Text
dari Ayah kepada Bayi Perempuannya.
Aku punya dunia yang dulu amat ingin kukejar, sebelum kau hadir dan menjadi duniaku. Saat aku mulai memahami perasaan cinta yang bisa membuatku berkorban lebih dari sebelum-sebelumnya. Saat aku mulai bisa merasakan detak jantungmu yang merambat melalui udara, mengatakan bahwa engkau mencintaiku. Dan kujawab, “Aku lebih dari itu.”
Aku punya dunia yang dulu amat ingin kegenggam, ku simpan dalam saku bajuku. Aku ingin menjadi ini dan itu, menjadi seseorang yang dikagumi seisi dunia. Itu sebelum kau hadir. Impian itu tidak berubah, hanya saja aku ingin menjadi yang terbaik untukmu, duniaku saat ini. Pengakuanmu, kebanggaanmu, dan kekagumanmu yang akan mampu membuatku memiliki segala-galanya.
Rasa cinta itu tumbuh bagai mata air. Aku tahu, akan ada banyak sekali kekhawatiran. Salah satunya kekhawatiran bahwa aku tidak bisa menjadi dan memberi yang terbaik. Namun, kala kau tumbuh nanti. Semoga kau mengetahui bahwa aku telah berjuang.
Kelak, waktu akan memberi tahumu bahwa seseorang yang menjadikanmu sebagai dunianya, takkan tiada oleh waktu. Ia hanya akan berubah dari kehadiran menjadi kenangan.
Yogyakarta, 27 November 2017 | ©kurniawangunadi
1K notes
·
View notes
Text
03.58 a.m
Malam, selalu berhasil membuat diri ini merenungkan banyak hal. Apalagi soal hidup, soal ambisi, soal cita-cita, soal motif, soalan-soalan lainnya yang membuat diri ini seperti habis memikirkan dunia.
Hidup yang tidak lama adalah keniscayaan. Sekuat apapun kita mengusahakan umur panjang, tidak akan pernah lebih dari 200 tahun. Bahkan jarang yang mencapai setengahnya.
Kini, di dunia kita disajikan pada pilihan-pilihan yang menarik hati, termasuk pilihan untuk berbuat baik. Sekian banyak ladang amal tersaji di depan mata kita. Sebanyak itu pula kita sering mengabaikannya, membiarkannya lewat begitu saja.
Lalu diri ini merenung. Jika berbuat baik saja belum tentu mendapat pahala, sebagaimana shalat kita selama ini belum tentu diterima. Sebab oleh niat atau hal-hal lain yang membuatnya menjadi sia-sia. Sementara setiap perbuatan buruk pasti dicatat. Bagaimana mungkin diri ini masih bisa berleha-leha tidak melakukan kebaikan, tidak melakukan apapun.
Diri ini, tentu saja masih salah di sana sini. Tapi itu bukan alasan untuk tidak melakukan suatu kebaikan. Shalat yang belum khusu’, bacaan Quran yang masih salah di sana sini, belum paham tajwidnya, ilmu agama yang masih terbatas, dan semua keterbatasan lainnya. Semua itu tidaklah tepat untuk menjadi alasan diri ini tidak berbuat baik.
Diri ini menginsyafi, bahwa sebagaian besar waktu sia-sia. Sebagian besar kesempatan hilang karena terlalu banyak berpikir, juga terlalu lama mengambil keputusan. Diri ini menginsyafi bahwa masih sering mengukur-ukur kebaikan, hanya ingin mengambil kebaikan yang sekiranya bernilai pahala besar dan mengabaikan yang kecil. Diri ini menginsyafi masih sering mengukur-ukur kebaikan manusia dengan cara atau sudut pandang sendiri yang terbatas, hanya melihatnya dari satu sisi tanpa bersedia membuka diskusi, bertanya mengapa, bagaimana, dan pertanyaan lainnya yang membuat diri ini sadar bahwa diri ini juga manusia yang penuh kesalahan.
Yogyakarta, 20 Desember 2017 | ©kurniawangunadi
948 notes
·
View notes
Text
Hadiah untuk Anak-Anak Kita Nanti
Segala bentuk kejadian yang kita alami di masa muda ini akan menjadi pengalaman emosi yang luar biasa berharga. Bekal yang akan amat berguna saat kita menjadi orang tua nanti. Berbagai perasaan khawatir, kecemasan, ketakutan, jatuh cinta, patah hati, penerimaan, penolakan, dan segala bentuk rasa yang tidak bisa dijelaskan satu persatu. Semuanya akan menjadi sesuatu yang berharga.
Bagaimana perasaan kita kepada orang tua. Terhadap kekhawatiran mereka, terhadap ketidaksepakatan mereka, terhadap perintah dan larangan mereka, dan segala bentuk hal yang berkaitan dengan mereka. Akan menjadi cermin yang membuat kita menjadi orang tua yang (seharusnya) bisa lebih bijak kepada anak-anak kita nantinya.
Bagaimana perasaan kita kepada seseorang. Bagaimana perasaan itu tumbuh dan diterima dengan baik, tapi dihadapkan dengan berbagai rintangan, penolakan keluarga, juga keadaan. Semuanya akan menjadi cerita yang berharga saat anak-anak kita nanti meminta nasihat dan pertimbangan kita kala mereka mengalami hal serupa.
Sekolah, kuliah, pekerjaan, pertamanan, organisasi, semuanya akan memberikan pengalaman rasa yang berbeda. Rasa yang akan mengasah hati, mengasah kebijaksanaan kita kelak kemudian saat kita menjadi orang tua. Saat pengalaman masa muda kita bisa diceritakan kepada anak-anak kita hingga berbinar matanya. Hingga mereka bisa menangkap pembelajaran berharga, hingga mereka tidak mengulangi kesalahan yang serupa.
Juga, agar mereka bisa mendapatkan orang tua yang bijaksana. Orang tua yang bersedia mendengarkan, belajar, terbuka, dan mampu membimbing. Sebab, pasti setiap orang tua ingin yang terbaik dan ingin anak-anaknya bahagia. Akan tetapi, banyak yang tidak bertanya kepada anaknya tentang apa hal yang membuat mereka bahagia. Memaksakan definisi-definisi kebahagiaan kepada anak.
Kelak, anak-anak akan bertanya. Jawabannya adalah apa-apa yang sedang terjadi dalam hidup kita saat ini dan segala rasa yang sedang kita rasakan. Tinggal bagaimana kita berhasil atau tidak mengambil pelajarannya :) Yogyakarta, 3 Desember 2017 | ©kurniawangunadi
1K notes
·
View notes
Text
Hadiah untuk Anak-Anak Kita Nanti
Segala bentuk kejadian yang kita alami di masa muda ini akan menjadi pengalaman emosi yang luar biasa berharga. Bekal yang akan amat berguna saat kita menjadi orang tua nanti. Berbagai perasaan khawatir, kecemasan, ketakutan, jatuh cinta, patah hati, penerimaan, penolakan, dan segala bentuk rasa yang tidak bisa dijelaskan satu persatu. Semuanya akan menjadi sesuatu yang berharga.
Bagaimana perasaan kita kepada orang tua. Terhadap kekhawatiran mereka, terhadap ketidaksepakatan mereka, terhadap perintah dan larangan mereka, dan segala bentuk hal yang berkaitan dengan mereka. Akan menjadi cermin yang membuat kita menjadi orang tua yang (seharusnya) bisa lebih bijak kepada anak-anak kita nantinya.
Bagaimana perasaan kita kepada seseorang. Bagaimana perasaan itu tumbuh dan diterima dengan baik, tapi dihadapkan dengan berbagai rintangan, penolakan keluarga, juga keadaan. Semuanya akan menjadi cerita yang berharga saat anak-anak kita nanti meminta nasihat dan pertimbangan kita kala mereka mengalami hal serupa.
Sekolah, kuliah, pekerjaan, pertamanan, organisasi, semuanya akan memberikan pengalaman rasa yang berbeda. Rasa yang akan mengasah hati, mengasah kebijaksanaan kita kelak kemudian saat kita menjadi orang tua. Saat pengalaman masa muda kita bisa diceritakan kepada anak-anak kita hingga berbinar matanya. Hingga mereka bisa menangkap pembelajaran berharga, hingga mereka tidak mengulangi kesalahan yang serupa.
Juga, agar mereka bisa mendapatkan orang tua yang bijaksana. Orang tua yang bersedia mendengarkan, belajar, terbuka, dan mampu membimbing. Sebab, pasti setiap orang tua ingin yang terbaik dan ingin anak-anaknya bahagia. Akan tetapi, banyak yang tidak bertanya kepada anaknya tentang apa hal yang membuat mereka bahagia. Memaksakan definisi-definisi kebahagiaan kepada anak.
Kelak, anak-anak akan bertanya. Jawabannya adalah apa-apa yang sedang terjadi dalam hidup kita saat ini dan segala rasa yang sedang kita rasakan. Tinggal bagaimana kita berhasil atau tidak mengambil pelajarannya :) Yogyakarta, 3 Desember 2017 | ©kurniawangunadi
1K notes
·
View notes
Text
RTM : Laptop
Kebebasan saat masih sendiri dan selepas berumah tangga tentu sangat berbeda. Dan kadang, persoalan kebebasan inilah yang membuat seseorang enggan segera berumah tangga atau hal yang membuat rumah tangga retak bila tidak ada pengertian di dalamnya. Di keluarga kami, saya sendiri belajar bagaimana mengatur kebebesan diri, terutama dalam hal membelanjakan harta.
Dulu, sebelum menikah saya bebas sekali membelanjakan uang saya untuk beli berbagai macam kesenangan. Mulai dari mainan seperti gundam yang harganya ratusan ribu dan diecast yang kini jumlahnya sekitar 200 buah (merasa khilaf). Sampai barang elektronik mahal seperti iPhone pada saat itu.
Selepas menikah, semuanya menjadi berbeda. Saya tidak merasa terkekang kebebasannya. Istri saya masih mengizinkan untuk membeli mainan karena memang hobby saya (dan saya bersyukur). Tapi, setiap kali selesai transaksi membeli mainan, saya sering merasa bersalah. Sebab dengan uang sebanyak itu, bisa digunakan untuk keperluan lain dalam rumah tangga.
Pernah satu kali, iPhone saya rusak dan sudah dalam kategori lebih baik beli baru daripada diperbaiki. Pergilah kami ke AppleStore dan waktu itu iphone 7 baru rilis dan harganya setara harga motor, sekitar 14 juta. Kalau masih single, barangkali saya tidak berpikir panjang. Tapi, selepas menikah ini. Uang sebanyak itu jika digunakan untuk membeli handphone, rasanya keterlaluan. Apalagi kebutuhan rumah tangga amat sangat banyak. Akhirnya beralihlah ke samsung yang kelas menengah, secukupnya. Yang penting layarnya cukup lebar untuk menulis dan mengerjakan datasheet, ditambah baterainya tidak sejahat iphone saya dulu yang sehari bisa tiga-empat kali charging.
Kini, setiap kali ingin berbelanja untuk kebutuhan sendiri. Pertimbangannya begitu banyak. Saya sampai berpikir, mungkin inilah yang oleh para Ayah diluar sana rasakan dan pikirkan. Semuanya untuk keluarganya lebih dahulu.
Dulu semasa masih di rumah dan sebenarnya hingga sekarang. Bapaklah yang selalu menghabiskan nasi dingin yang dimasak kemarin jika tidak habis di pagi harinya. Sementara saya dan ibu, makan dari nasi yang baru ditanak. Dulu sewaktu saya masuk SMA, keluarga kami beli satu motor lagi untukku. Supra X 125 yang waktu itu belum lama rilis, diberikannya untuk saya. Tidak bertahan lama, hanya sekitar 2 bulan saya memakainya karena saya sedih bapak masih pakai motor lama tahun 1995. Akhirnya bertukarlah, saya pakai motor ibu, ibu pakai motor baru tersebut. Dan motor itu saya pakai hingga lulus kuliah di ITB, sekarang pun motornya masih di Bandung dipakai oleh adik sepupu yang kuliah di UPI, tidak akan dijual.
Belum lagi, selama saya di Bandung, banyak sekali biaya yang dikeluarkan oleh orang tua saya. Sebagai PNS guru (waktu itu belum ada sertifikasi), setengah total pendapatan keluarga setidaknya mengalir ke saya waktu itu. Itu yang membuatku berusaha mencari pendapatan sendiri di bandung dari mulai jualan donat masjid Salman, tukang desain untuk kaos, jual beli mainan online, kamera analog, dsb. Semua hal yang memungkinkan untuk tambahan uang jajan, selama halal, saya kerjakan.
Kini, selepas berkeluarga. Saya mulai memahami dan merasakan apa yang dulu orang tua saya rasakan. Apalagi jika ada anak nantinya, belum ada saja rasanya sudah seperti ini, apalagi sudah ada mereka di rumah.
Minggu ini, saya dan istri jalan-jalan untuk mencari laptop. Laptop saya yang bernama Luna sudah berusia hampir 8 tahun. Baterainya sudah tidak begitu baik, speakernya rusak, kabel chargernya mau putus. Yang kalau dihitung-hitung, jika memperbaikinya dan membeli charger baru, itu bisa dapat laptop baru. Maka diputuskanlah untuk mencari laptop pengganti.
Ternyata, untuk spesifikasi yang saya butuhkan. Harganya sebelas dua belas dengan harga Samsung Galaxy S8. Akhirnya galau, mengingat kebutuhan-kebutuhan keluarga yang lain. Akhirnya buka OLX, mencari laptop bekas yang cukup secara spesifikasi dan kantong. Semoga segera berjodoh.
Memang benar, kita tidak pernah tahu bagaimana perasaan orang tua secara tepat sampai kita benar-benar menjadi orang tua. Perlahan demi perlahan, saya merasakannya. Sebagai laki-laki, sebagai suami, sebagai ayah nantinya.
Yogyakarta, 20 November 2017 | ©kurniawangunadi
854 notes
·
View notes
Link
Free crochet patterns! :)
http://www.diycraftsy.com/crochet-flowers-90-free-crochet-flower-patterns
30 notes
·
View notes
Link
Free crochet tutorial! :)
https://www.mamainastitch.com/crochet-blanket-stitch/
78 notes
·
View notes
Text
Repost : Melapangkan Pintu-Pintu Pernikahan
Lika repost review lecture ust.Nouman di link ini : https://www.youtube.com/watch?v=FXP39jFRfGY Tidak ada yang lebih persuasif ketimbang Allah SWT pada urusan ini. Dia berfirman hanya beberapa kata di dalam al-Quran, dan itu sudah menggambarkan ‘worldview’ cara pandang atas bagaimana komunitas muslim dan keluarga-keluarga muslim seharusnya memikirkan tentang pernikahan anak laki-laki dan perempuan mereka.
Faktanya tidak hanya untuk anak-anak mereka, saat turunnya ayat ini banyak orang baru masuk Islam. Mereka ini berasal dari keluarga non-muslim. Ada perempuan yang ayahnya tidak mendukung agama baru anaknya, tidak juga memikirkan pernikahannya. Ada juga yang baru berpisah (cerai karena beda agama) dan di antaranya menanggung anak. Ada juga kondisi-kondisi konvensional di mana kamu punya anak laki-laki atau anak perempuan dan mereka tumbuh lalu pada usia tertentu kalian memikirkan agar mereka menikah.
Harus diingat keluarga kita yang lebih besar sesungguhnya adalah ummat, masyarakat Islam. Rasulullah mengistilahkan ummat yang besar itu dengan ‘satu tubuh’ sementara al-Quran menyebutnya ‘ikhwah’.
Seperti saudara sedarah. Kita semua saling bersaudara dan merupakan satu-kesatuan keluarga besar yang diikat Islam. Sehingga bila seorang di komunitas kita entah ia laki-laki atau perempuan tidak bisa menikah maka secara tidak langsung itu juga masalah kita. Urusan ini menimpa pundak kita semuanya.
وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَـٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّـٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌۭ
Wa ankihuul-aayaamaa min kum. ‘Dan nikahkanlah orang-orang bujang’ adalah bagaimana ayat ini bermula. ‘Ayyimun’ dalam Arabiyah dapat digunakan untuk seorang perempuan maupun seorang laki-laki.
Namun secara umum ditekankan lebih sering digunakan untuk perempuan dan agak jarang digunakan untuk laki-laki. Kelihatannya dari ayat di atas, penggunaannya dalam Arabiyah mengindikasikan bahwa ini seakan bicara tentang laki-laki yang menjumpai momen sulit menemukan istri. Atau juga yang dengan kata lain kadang-kadang laki-laki yang menolak menikah.
Jadi begini.. entah apapun alasannya, mari dorong mereka untuk menikah sesegera mungkin. Namun sebenarnya mayoritas makna kata yang digunakan di sini bicara tentang perempuan. Jadi konteksnya adalah ada banyak perempuan yang sebelumnya sudah menikah, bercerai, belum pernah sama sekali menikah, perempuan yang baru masuk Islam dan berasal dari keluarga lain (asing), dan lain-lain.
Lalu sekarang sebagai penguatan, ketika Allah berfirman ‘nikahkanlah orang-orang bujang’, ini adalah perintah yang mencakup aspek luas. Dan menurutmu siapa yang terkena sasarannya? Mungkin kamu kira seorang laki-laki yang baru lulus dari pendidikan tingginya, sudah bekerja, sudah menabung, sudah menikmati investasi kecil-kecilan dan memberikannya ke orang tua. Sudah ini, sudah ini, sudah ini, dan sudah bisa menanggung seluruh keluarganya.. maka baru kami pikirkan bagaimana ia akan menikah.
Karena jika kami menikahkannya sekarang, nanti seluruh perhatiannya akan teralihkan ke istrinya saja. Kami (orang tua dan keluarga) tidak akan dapat apa-apa. Ini putra kami, ini investasi kami. Kami perlu hasil uang (investasi) itu dulu sebelum kami mengizinkan dia untuk menikah.
Dan bahkan ketika kami mengizinkannya, nanti pernikahannya harus ada keuntungan materi, harus ada kebanggaan keluarga terutama ketika memamerkan menantu di komunitas. Bisa diajak foto-foto, diundang sana-sini, menghadiri pesta bergengsi, sehingga bisa menunjukkan kalau putra kami bisa menikah dengan seorang dari keluarga level atas, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut, pertimbangan seseorang menikah (untuk laki-laki dan perempuan) adalah dengan memberi larangan umur, sementara untuk batas menikahnya adalah kebalikannya. Pada banyak keluarga (kultur negara mayoritas muslim) sesaat anak perempuan menginjak usia remaja maka orang tuanya ingin meninggalkan tanggung jawabnya. Dianggap seperti penyakit di rumah, orang tua ingin mengeluarkan anak perempuannya dari rumah.
Lalu anak perempuan merasa depresi karena ayah dan ibunya selalu bicara “Kok kamu masih tinggal di sini?”, “Kamu kok nggak nikah-nikah?”. Dan sebaliknya anak laki-laki yang ingin menikah tapi orang tua melarangnya. “Belum, belum waktunya kamu menikah. Kamu masih nggak siap.”
Perhatikan kelanjutan ayatnya. Wash-shaalihiina min ‘ibaadikum wa imaa-ikum. Bahkan ambillah orang-orang yang baik (shalih) dari kalangan budak (laki-laki maupun perempuan). Dulu kan masih ada masyarakat dari kalangan budak. Dan mereka ini jelas-jelas adalah kalangan yang tidak menghasilkan uang sama sekali.
Allah perintahkan, nikahkan mereka juga! Jadi rasionalnya kalau seseorang harus mencapai tataran status ekonomi tertentu untuk siap menikah itu diremukkan sehancur-hancurnya oleh satu pernyataan ayat di atas. Seluruh asumsi roboh dan sia-sia. Hal yang masih disinggung ialah pertama “Apakah mereka sudah cukup umur” Apakah mereka sebaiknya menikah?”, dan yang kedua “Apakah mereka orang-orang shalih? Baik terhadap Allah, juga bermakna mereka sudah dewasa dan siap”.
Betapapun Allah masih menambahkan, perhatikan kelanjutan ayatnya. Iy-yakuunuu fuqaraa-a yugnihimullahu min fadhlihii. Ya kali aja mereka tiba-tiba jadi miskin atau bangkrut, tidak punya cukup uang, nggak perlu khawatir itu bukan masalah. Allah akan memberi mereka dari berkah-Nya. Kebangkrutan itu juga masalah, tapi jauh lebih kecil.
Perhatikan kata imaa bermakna ‘banyak orang di masyarakat yang tidak menikah’, nah itu masalah yang lebih genting dibandingkan kebangkrutan. Tidak punya banyak uang itu masalah yang jauh lebih kecil. Punya orang-orang yang terikat dalam hubungan rusak (bukan pernikahan) itu masalah yang amat amat besar di hadapan Allah SWT.
Saat aku mempelajari kata ini, aku bahkan menjumpai narasi hadith yang isinya: Rasulullah SAW dulu biasa berdoa memohon perlindungan dari sebuah masyarakat yang ada banyak bujangnya. Dia amat khawatir bila ummatnya terdiri dari orang-orang bujang, sendiri-sendiri yang merasa happy dengan kondisinya. Begini, mereka tidak bahagia dengan kondisinya. Perlu diketahui, keluarganya selalu menekan dengan calon-calon yang tidak disenangi. Dan di satu waktu mereka ingin menikah malah tidak diizinkan. Pada akhirnya whatever saja lah. Terserah ayah dan ibu, aku akan tetap bujang saja kalau begini caranya.
Dan ketika seorang berkata: I stay single doesn’t mean I stay an angle.
Berlama-lama membujang tidak berkorelasi positif dengan keshalihan. Mari dipahami jelas-jelas apa yang sebenarnya terjadi. Laki-laki berumur 30 tahun, dia seorang profesional dan bergaji bagus. Perempuan berumur 29 atau 28 tahun dan dia baru lulus dari S2 (atau S3), belum menikah. Itu bukan berarti hasrat tidak datang kepada mereka, tidak ada dosa yang menghampiri jalannya, hidup alim seakan tinggal di Madinah zaman Nabi.
Kembali ke pokok persoalan awal aku ingin meletakkan bahwa urusan pernikahan ini harus mudah sebab ini juga urusannya syaitan. Perhatikan yang tengah terjadi di masyarakat, syaitan telah membuat mudah yang haram dan membuat rumit yang halal. Bila itu sudah berlangsung maka syaitan yang menang.
Jelas-jelas orang akan tertarik pada yang mudah. Sekarang kalau kamu mau kenikmatan mata, apa-apa yang kamu peroleh dari layar digital, tempat-tempat yang bisa kamu kunjungi, akses-akses yang kamu peroleh di tempat kerja, kampus, di perangkat mobile, media sosial, aplikasi kencan, yah kamu lebih tahu lah. Semua-semua itu telah menjadi mudah.
Pintu menuju haram selalu penuh karena laki-laki pasti punya hasrat kepada perempuan. Memang Allah SWT yang meletakkannya di dalam tubuhnya, tidak bisa hasrat itu dibuang atau diabaikan begitu saja. Perempuan pun ingin teman spesial, itu juga sesuatu yang secara alamiah Allah hadiahkan di dalam dirinya. Justru itulah kenapa institusi bernama keluarga diperlukan.
Ketika pintu-pintu yang mengarah pada cinta tidak sehat, kotor, dan terlarang itu terbuka lebar.. dan anak muda datang ke orang tuanya sembari berkata: “Aku kira aku harus segera menikah. Aku sadar baru tahun ketiga di kampus, tapi situasinya sekarang benar-benar sulit.” Dia tidak bilang kalau hormonnya sedang naik dan itu membuatnya gila.
Sebagai orang tua kita senantiasa menekan sesuatu yang fitrah dan alami, sesuatu yang ada pada diri anak-anak kita. Padahal Allah SWT sendiri yang meletakkan hal itu di dalam diri mereka semua. Manusia butuh teman atau seseorang yang disenangi, membuat nyaman, dan lain-lain. Hasrat itu tidak hilang begitu saja. Hasrat itu nantinya akan terisi dengan berfantasi, berpikir aneh-aneh, dan keluyuran di media sosial. Memaksa pernikahan yang tidak diinginkan sama saja memaksa mereka memberontak ke Allah SWT.
versi lengkap : http://rifqi.ikhwanuddin.com/2017/06/melapangkan-pintu-pintu-pernikahan-nouman-ali-khan/
32 notes
·
View notes
Text
Yang Paling
Orang yang paling sedih saat tahu kita bersedih adalah orang tua kita. Yang lebih khawatir saat kita khawatir. Yang sangat bahagia saat kita bahagia. Bukankah sebenarnya sederhana bagi kita untuk berbakti? Hanya saja, kita terjebak pada gaya hidup, tren, pada hal-hal kekinian yang membuat kita resah karena sibuk membandingkan pencapaian, penampilan, kekayaan, dan atribut lainnya.
Kita bingung pada diri kita sendiri dan orang tua lebih bingung pada anaknya yang tidak bisa menjelaskan hidupnya. Seakan mereka merasa gagal mendidik kita padahal kita yang gagal mendefinisikan diri sendiri, kita gagal meletakkan sumber-sumber kebahagiaan dan rasa syukur. Kita menjadikan cita-cita orang lain menjadi cita-cita kita tanpa kita sadari bahwa kapasitas kita berbeda. Kita sibuk merawat penampilan tapi lupa merawat akal sehat.
©kurniawangunadi
2K notes
·
View notes
Text
Pas buka tumblr langsung ada postingan yang sesuai dengan suasana hati. Dapat kabar suami sakit, dari sore tadi kepalanya pusing; walaupun katanya cuma masuk angin. Asli itu bikin khawatir. Apalagi lagi LDR buat ngurus surat pindah. Jadilah makin sedih, karena gak bisa menjadi istri yang baik; sekedar mijitin atau bikinkan minuman hangat. Semoga segera sehat. May Allah bless you. Aamiin
Kekhawatirannya
Khawatirnya perempuan itu seperti pepatah; mati satu tumbuh seribu. Seolah tidak ada habisnya. Sesuatu yang kalau ia perbincangkan dengan laki-laki mungkin akan ditanggapi; ah santai saja. Dan itu membuatnya semakin jengkel, juga bertambah khawatir.
Khawatirnya perempuan itu tumbuh seperti ombak, bergulung-gulung. Siang-malam tak pernah berhenti sepanjang angin terus mengalir. Dan kita tidak bisa melihat angin, hanya bisa merasakannya. Dan seperti itulah sebab-sebab khawatirnya. Tidak kelihatan, tapi dirasakan terus menerus.
Dari khawatir tentang fisiknya seperti kulit putih, rambut berbagai model, tinggi redahnya badan, cantik tidaknya, gigi yang rapi atau tidak, dan segala sesuatu yang seringkali diam-diam diresahkan tentang dirinya. Dari khawatir tentang pakaiannya, menarik atau tidak, luwes atau tidak, norak atau tidak. Sampai khawatir tentang apa yang dipikirkan orang lain tentangnya.
Ketika masih remaja, khawatir pada peer group, masuk ke dunia berikutnya khawatir tentang pekerjaan dan karir, juga khawatir tentang jodoh. Setelah menikah, khawatir pada perekonomian keluarga, godaan dari luar dsb. Khawatir pasangannya tidak setia, dan lain-lain. Ada saja yang memenuhi ruang-ruang dipikirannya. Ada saja hal-hal yang membuat resah khawatir.
Dan ketika ia menemukan seseorang yang mampu meniadakan kekhawatirnya, membuatnya percaya bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja. Ia akan dengan senang hati mencurahkan segala daya dan pikirannya untuk orang tersebut. Sekalipun mungkin itu menyakiti dirinya.
Kadang ini membuatku percaya bahwa kemampuannya melihat sesuatu dari sisi negatif (hal yang buruk) membuat perempuan jauh lebih jeli dan hati-hati daripada laki-laki, yang terburu-buru, grusah-grusuh, kurang terliti. Dan kekhawatiranya itu adalah kekuatan yang hebat kala berumah tangga. Saat ia sanggup berhitung atas situasi dan membuatnya selalu bersiap dalam kondisi terburuk. Dan kekuatan itulah yang sadar atau tidak, membuatnya menjadi kuat.
Yogyakarta, 14 Juli 2017 | @kurniawangunadi
2K notes
·
View notes