la-ci-me-ja
lacimeja
6 posts
𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚍𝚒𝚜𝚒𝚖𝚙𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚗��𝚒𝚛𝚒.
Don't wanna be here? Send us removal request.
la-ci-me-ja · 2 months ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
la-ci-me-ja · 5 months ago
Text
Tumblr media
Dibungkus kain jarik berkalung melati, selembar kertas menguning yang menguar besi, bertulis:
---------
"Di purnama dua pertiga malam, saat lenting ombak mengecup nyiur, temui aku.
1. Datang! Berhiaslah kamu dengan air mata nyai di pipi, ketidakrelaannya adalah manisku. Goreskan merah darah patin di bibir itu agar tidak kalah cantik oleh putih gigimu.
2. Satu helai sirih, dua buah bola mata burung dara, seribu satu butir beras ketan
3. Letakkan di atas piring tipis yang kamu ukir dari napas anak laki-laki yang urinnya belum dianggap najis
4. Hirup asinnya udara, simpan di paru-paru, dan teriakkan mantra,
"BAJINGAAAAAN, BAJINGAN SEMPAK KANCIL! HADIR DI HADAPANKU KALAU BERANI!"
PEJAMKAN MATA
JANGAN DIBUKA
5. Abaikan bunyi tiga pasang sepatu kuda yang berjalan melingkar--pasir yang terpental akan membakar tulang keringmu, renyah.
6. Setelah tiga kali bunyi buangan ingus kasar, buka mata untuk pastikan warna lendir hijau bercampur hitam pekat.
7. Bakar dupa
8. Rentangkan tangan dan senyum lebar
9. Senandungkan kidung lembut, dansa cha cha dengan angin
10. Dari horison jauh, aku berjalan. Siapkan dua buah kelapa, potong dengan tangan kosong.
11. Ikatkan selendang bertanah di dekat tali pusar, berloncat sambil menepuk kedua mata kaki. Kumur-kumur dengan air sumur milik kepala desa sampai aku mendekat. Telan tanpa mengedip.
1x
13. Selamat menikmati."
-------------
Sungguh kamu tidak tahu betapa aku rindukan kamu, 10 jari panjang di atas kulitku...lembutnya daging lutut di antara taringku.
Kamu makan aku, aku makan kamu.
Makan, makan, makan.
Kamu berhenti makan.
Aku makan sukmamu sampai aku kenyang.
----------
-Inspired by
Spirit Cooking (1996) by Marina Abramovic
A line from Tiga dalam Kayu (2023) by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
0 notes
la-ci-me-ja · 6 months ago
Text
Tumblr media
it's the boy who lived in my dreams.
he would take my hand and we would board on mad men's ships, the ones with their broken keels not even grazing the sea; sailing coast to coast, to places of glorious kingdoms and their bewitching beauties, exotic smells and stupendous feasts. we would go home on windy nights with the sky clear, and i would lay my head on his shoulder as we listened to the lure of the sirens near, a promise of eternal youth, unconditional love, an unending victory--a trap that would have easily tricked me had he not given me the same promise already. we would part on the shore of my little town, bidding farewell with longing eyes and a heavy sigh; white waves crashing on our unmoving feet as the moonlight starts to run from the chase of the sun. we would kiss and i would wake up, with the memory of a new adventure and the boy with chocolate mane; who smells like coconut and jasmine, whose lips taste like honey and mint, whose promise i held on to even when i no longer dream of him.
he stood before me and smiled. hasn't it been a long time? where have you been? i have always wondered. finding my way back to you.
he reached out his hand and i took it; an almost forgotten comfort and safety, a confidence, a promise kept.
to another one? it's the boy-now a man, who no longer lives in my dreams.
so to him, i answered, to another one.
0 notes
la-ci-me-ja · 6 months ago
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
3 notes · View notes
la-ci-me-ja · 2 years ago
Text
konfeti kemenangan
terbebas
dari linearitas
waktu
dan ruang
yang mengurungku
aku kebas
melintas samudra demi samudra
tanpa batas
berharap binaran matamu
membekas
di udara yang menuntun aku ke ruang satu
ke yang lainnya
di mana aku dan kamu hadir bersama
dalam satu waktu
yang suntuk tapi magis tapi gemas
selamat tinggal untuk ke depan
tak ada
ragaku melindungimu dari topan
namun pasti
diriku di setiap tetes hujan
saat aku turun
nanti
tersenyumlah
kamu
lepas
1 note · View note
la-ci-me-ja · 4 years ago
Text
Hari ini, awalan angka satu milik usia Biru direnggut tempatnya oleh angka dua.
Langit hari Sabtu itu terlihat lebih cerah dari biasanya-atau mungkin itu perasaan Biru saja. Langkahnya menuju tempat tujuan ringan dan santai sambil diiringi suara ketukan hak tinggi miliknya yang beradu dengan batuan trotoar. Arah mata Biru terpaku pada sebuah papan nama besar beberapa puluh meter di depannya yang semakin mendekat, namun isi kepala Biru seperti biasa sedang berjelajah ke tempat lain, di masa lalu sebelum angka satu hadir mengubah jumlah digit usianya menjadi dua.
***
Tahun kedelapan : Rahasia.
“Biru, awas!”
Teriakan Ceri terdengar lantang dari belakang Biru, tapi sepedanya yang sudah oleng dan terlalu besar untuk dikendalikannya dengan cepat membuat Biru terlambat untuk bereaksi. Sekali kedipan manik cokelat Biru berlalu, dirinya sudah terduduk miring di tanah dengan posisi sepeda yang menimpa setengah kiri dari badannya. Ceri berhenti mendadak dan membelalakkan mata dengan panik saat melihat balita yang tak sengaja ditabrak oleh temannya mulai menangis, kemudian buru-buru membantu Biru yang juga membeku panik untuk kembali duduk di sepeda.
Ceri dan Biru mengayuh pedal sepeda dengan kecepatan maksimal, bergegas pergi dari tempat kejadian sebelum pengasuh balita tersebut sempat keluar dari rumah. Punggung Biru basah oleh keringat dingin dari adrenalin yang mengalir deras dalam darahnya sambil memperingatkan Ceri yang melaju di sampingnya.
“Jangan lihat ke belakang sampai pulang.”
Ceri mengangguk mantap sebelum tak lama kemudian keduanya berpisah di bundaran jalan komplek dengan senyum canggung. Biru berjanji dalam hati untuk tidak akan pernah melewati rumah balita itu lagi, takut akan dikenali dan diomeli bersama Ceri.
Biru memarkirkan sepedanya asal lalu masuk dengan pikiran kalut melalui pintu rumahnya yang sudah terbuka. Berakting seolah tidak terjadi apa-apa, ia bergegas masuk ke dapur di mana ibunya menghabiskan waktu setiap sore. Ibu Biru tersenyum menyambutnya yang beringsut masuk ke pelukan wanita itu.
“Ada apa Biru? Mau Ibu potongkan kue ulang tahunnya?”
Biru yang hendak membuka mulutnya terdiam, menggelengkan kepalanya sebelum pergi ke ruang tamu untuk menonton kartun di televisi.
***
Langkah Biru terhenti di depan sebuah pintu kaca dengan bingkai warna hitam, didorongnya terbuka dengan semangat. Aroma manis cokelat menyeruak menyambut Biru saat ia masuk ke dalam kedai.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” Wanita di meja kasir tersenyum kecil pada Biru.
“Saya mau ambil kue ulang tahun red velvet, sudah pesan dua hari yang lalu lewat telepon.” Ujar Biru sambil melirik tanda pengenal lawan bicaranya, Claudia.
“Oh, ya! Sebentar...atas nama Ceri?” Pegawai kedai bertanya seraya mengecek ulang sebuah kertas putih berisi tabel panjang, kemudian menengok ke arah Biru yang membalasnya dengan senyuman sambil mengangguk.
Biru mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan selagi Claudia mengeluarkan kue dari lemari pendingin dan mulai membungkusnya dengan apik. Pandangan Biru bertemu dengan milik Ceri yang berdiri di sudut ruangan, melemparkan sebuah seringai tipis.
***
Tahun keempat belas : Kehidupan.
“Biru, selamat ulang tahun!” Ceri yang ikut duduk di kasur Biru berseru ceria sambil mengulurkan sebuah kotak kecil berwarna merah marun kepadanya.
Biru tertawa sambil menerima kotak dengan antusias lalu membukanya dengan perlahan, menyingkap sebuah kain berwarna kuning matahari yang terlipat rapi berbentuk persegi.
“Apa ini? Kamu kasih aku sapu tangan?” Canda Biru dengan nada meledek, mengingat tahun sebelumnya Ceri memberinya sebuah sisir kayu, sebelumnya lagi boneka beruang, sebuah gaun musim panas di tahun kesebelas, dan barang cantik lain di banyak tahun sebelumnya.
“Ih, bukan, Biru. Ini bandana.”
Ceri merengut sebal sambil meraih kain di dalam kotak yang kemudian dilebarkan di depan jendela, memperlihatkan kilauan cantik cahaya matahari yang memantul di permukaannya yang licin.
“Kata ayahku, begini pakainya.” Gadis yang berambut lebih pendek dari Biru itu melipat kain bandana menjadi bentuk segitiga, memasangnya di kepala Biru dengan ikatan yang kuat dan rapi. Keduanya bertukar tawa kekanakkan saat menoleh ke arah cermin, melihat dahi Biru yang tersibak lebar.
Telepon genggam milik Biru berbunyi selincam sebelum dengan cepat diraih dari meja di samping kasur oleh Ceri. Saat melihat nama pengirim pesan singkat yang masuk, gadis itu kehilangan senyum lebarnya.
“Dari Puspa.”
Bahu Biru terjatuh lesu. Seminggu sebelum hari itu, Biru memasukkan sebungkus bubuk cabai dalam jus stroberi milik Puspa saat jam makan siang. Ia hanya ingin mengerjainya, sungguh. Setelah hampir jatuh dari balkon lantai tiga karena Puspa, Biru hanya tidak tahan lagi rasanya. Biru tidak tahu kalau perundungnya itu punya alergi terhadap cabai hingga beberapa menit setelah menghabiskan jusnya, Puspa sesak napas dengan hebat sampai harus dilarikan langsung ke unit gawat darurat dari sekolah. Teman sekelasnya itu kemudian dirawat selama tiga hari di rumah sakit.
“Dia bilang apa?”
“Ingin bertemu. Kita berdua.” 
Biru menghirup napas dalam-dalam, kemudian dikeluarkannya dengan keras. 
“Hei, tidak akan ada masalah. Kita akan menggertak Puspa. Besok Senin pada ibu guru, kita adukan perundungannya. Masalah kantin, aku akan bilang aku yang beli bubuk cabainya, kamu diam saja. Toh, memang benar adanya seperti itu. Kita tidak berbohong, hanya tidak mengatakan yang sebenarnya.”
Biru terdiam memikirkan rencana Ceri, bahunya dipijat pelan oleh gadis yang berusaha meyakinkannya itu.
“Memang tidak apa-apa?” Tanya Biru khawatir, dahinya yang lebar mengeriput di bagian tengah.
“Aku akan baik-baik saja karena hubungan ayah dengan sekolah, tapi kamu bisa saja harus pindah sekolah kalau disalahkan. Aku tidak mau.”
Ceri dan Biru kemudian bergegas keluar dengan sepeda menuju taman luas dekat rumah Puspa setelah berpamitan kepada ibu Biru yang sedang duduk di ruang tamu, menonton televisi. Mereka tidak berhenti hingga tiba di depan gerbang taman yang sunyi, nihil pengunjung karena matahari yang sudah cepat meringsuk masuk ke dalam horizon untuk beristirahat.
“Kamu tunggu di sini.”
“Buat apa?” Biru bertanya dengan bingung.
“Aku tidak akan lama, hanya menggertak lalu pergi. Kamu tidak berhutang penjelasan apapun padanya.” Ceri berujar tegas, Biru yang sudah sedari tadi menahan tangis hanya mengangguk patuh.
“Jangan kemana-mana.” 
Setelah Ceri berseru sambil mengayuh sepedanya masuk ke dalam taman, Biru menunggu. Biru menunggu hingga matahari lenyap sepenuhnya dan bulan kuning menggantung tinggi di langit, memberi pelita samar-samar di antara selimut gelap taman. 
Ceri tidak kunjung kembali.
Biru tidak bisa lagi menahan keinginannya untuk menyusul Ceri. Gadis itu berjalan masuk meniti taman dengan roda angin yang dituntunnya perlahan, cemas akan melewati Ceri dengan tidak sengaja bila dirinya melaju terlalu cepat.
Sayup-sayup dari kejauhan, terdengar suara tangis milik sahabat baiknya itu. Biru yang panik mendengarnya, buru-buru menaiki sepeda mendatangi sumber suara. Ia mendapati Ceri sedang duduk di pinggir danau sambil menangis tersedu-sedu, badannya yang basah kuyup berlutut lemas di samping sepedanya yang setengah tenggelam dengan ban kempes.
“Ceri? Ada apa?! Kenapa kamu tinggalkan aku sendirian?!”
Biru ikut menangis bersama Ceri dan memeluknya erat. Mereka pulang dengan cepat setelahnya, agar tidak ada yang membantah kebukansebenarnyaan akan penjelasan tentang apa yang terjadi-pada dua gadis sekawan malang itu, sesuai rencana Biru.
***
Setelah melakukan pembayaran, Biru duduk di salah satu kursi di samping jendela besar kedai yang mengarah ke jalanan besar. Dengan hati-hati, kue berwarna merah marun berbentuk hati dikeluarkan lagi dari kotaknya. Sebuah lilin angka dua dipasang Biru di atas kue yang sekelilingnya dihiasi oleh buah ceri itu.
Ponsel Biru bergetar lembut di atas meja, kemudian menunjukkan beberapa pesan di layar setelah kuncinya terbuka oleh sidik jari Biru.
“Biru sayang, tidak sabar ingin bertemu.”
“Aku sudah siapkan masakan yang terbaik untukmu.” 
“<3.”
Sejenak Biru memandangi label nama “Puspaku”  yang terpampang di atas kolom percakapan, kemudian menekan tombol keluar yang membawanya pada sebuah artikel yang dibuat enam tahun lalu. Di dalamnya berisi serangkaian paragraf yang menceritakan seorang gadis yang tenggelam di danau taman. Tentu saja kecelakaan, tentu saja tragis, dan tentu saja tidak ada yang mengingatnya lagi setelah beberapa bulan berlalu.
Ponsel kembali dikunci dan diletakkan di tempat asalnya. Biru merutuk dalam hati sambil menatap Ceri yang duduk di hadapannya dengan senyum lembut. Ceri bodoh, tentu saja. Tentu saja hari itu Ceri tidak menyebut nama Biru sekalipun di hadapan Puspa, tentu saja Puspa jauh lebih jahat dari perkiraan Ceri dan Biru, dan tentu saja Ceri tidak bisa berenang.
Akan tetapi, untungnya, tentu saja Ceri dan Biru jauh lebih pintar daripada Puspa.
Biru membalas senyum Ceri sama lembutnya dan menyalakan lilin dengan korek api yang diberi Claudia beberapa menit lalu saat Ia memintanya. Sekilas, fokus Biru tercuri oleh kilau kain kuning yang terikat di tali jinjing tas di pangkuannya, seolah tidak mau kalah dari kilau pisau yang mengintip dari kedalaman kantung bawaannya itu.
Biru menyentuh tetesan air yang jatuh di meja dari surai cokelat milik Ceri, mengasahnya pelan di antara jemarinya yang berhasil mengubah senyum lembut sang pemilik basah menjadi sendu.
“Tidak akan ada masalah.” Ujar Biru dengan tangannya yang mengenggam erat jemari dingin Ceri.
Kedua kelopak mata Biru terpejam sebelum wanita itu bergumam dalam hati,
“Semesta, sebagaimana kamu merahasiakan dosa-dosaku yang telah lalu, sudilah kamu bantu rahasiakan dosa-dosaku yang akan datang.”
Api lilin sekejap padam dari angin yang bertiup dari dua arah berbeda, meninggalkan asap hitam tipis nan hangat diantara dua bibir yang hampir bertautan.
Hari ini, awalan angka satu milik usia Biru direnggut tempatnya oleh angka dua. Hari ini, Biru tidak mendapat hadiah, tetapi memberi hadiah.
Tahun kedua puluh : Penyelesaian.
***
- 04/02/2021 
- tentang cinta, rahasia, dan hadiah,
- untuk Mama, selamat ulang tahun.
(yang terlambat satu hari)
prompt 1442
Invent a character and throw them a birthday party. Write about it. You can also use a memory of a past birthday party you had or describe your ideal birthday party. Describe the presents and your reactions to them. (Or your character’s). Make a wish!
115 notes · View notes