kureikurenai-blog
kurei
8 posts
yang patah tumbuh yang hilang berganti
Don't wanna be here? Send us removal request.
kureikurenai-blog · 6 years ago
Photo
Tumblr media
MUKA PANTAT "Pantat gue kayak muka elu". Terngiang di benakku kata-kata simbah dalam salah satu tulisannya yang dulu sempat ku baca. Sudah beberapa kali selama satu sampai tiga bulan terakhir ini beliau menyambangi mimpiku. Andai saat ini simbah duduk di sampingku pasti sudah dijewer telinga cucunya yang mulai gembleleng, hanyut, keli dalam arus mainstream hipokrit dunia belakangan ini. Maafkan cucumu mbah, untuk sejenak aku menjauh dari pohon yang engkau sendiri pertaruhkan umur dan energi mu untuk merawatnya. Cucumu hendak belajar kepada tanaman lain yang mungkin hanya benalu di muka bumi. Namun di mataku terlihat bagai pohon khuldi yang amat menggiurkan hati. Mungkin sakitku selama dua minggu kemarin juga ada kaitannya dengan ideologi sikap otakku akhir-akhir ini. Aku mengabaikan cara dudukmu saat medhar kawruh kepada para pemuda yang ingin weruh. Aku lupa cara bersyukur kepada dzat yang paling masyhur. Wajahku sekarang hanya refleksi dari pantatmu namun aku harus mengakuinya. Maaf. (Relung, 24 Februari 2019)
0 notes
kureikurenai-blog · 6 years ago
Text
Tumblr media
AMBANG
Ambang atau Ngambang bukanlah sebuah situasi yang bisa dipastikan "selamat" atau "celaka" nya. Ah itu mungkin hanya selintas fikiran sesatku. Lagi-lagi selamat atau celaka itu kalau diurai berdasarkan sudut pandang materi maupun immateri simpulannya bisa berbeda lho. Kita bersama-sama sudah sinau, bahwa sejatinya bencana itu tidak ada. Gunung meletus itu bencana atau berkah? Tsunami di Aceh itu bencana atau seruan kemesraan Tuhan kepada hamba yang dicintaiNya? Lalu kita geser dikit, keberhasilan pembangunan infrastruktur di negeri kita itu pembangunan atau perusakan? Jadi kita seringkali terkecoh terhadap apa yang tiap hari kita lihat. Schotoma. Mata cenderung menafsirkan sepintas apa yang dilihatnya. Tentu saja engkau boleh tidak sepakat dalam hal ini. Ndak papa. Di belantara dunia inilah kita bersama-sama mencari ilmu sebagai kendaraan untuk kembali kepada Yang Kuasa atas Kehidupan. Nah, sekarang pertanyaannya, "bagaimana kalau yang mengambang itu adalah persoalan Hati?" apa lagi yang diinginkan, didambakan, dan diperjuangkan pada situasi ngambang itu selain sebuah "kepastian"?
(relung, 15 Januari 2019)
0 notes
kureikurenai-blog · 7 years ago
Photo
Tumblr media
APALAH DAYA
Kalau kamu sendiri tidak memiliki daya dan upaya untuk menjamin keselamatan dirimu, maka kenapa kamu memaksa dia untuk mengikuti jalanmu, atau kamu cela tindak tanduk masa lalunya, kamu salahkan perilaku khilafnya. Sungguh bukan wewenangmu untuk membuat nya baik. Bukan sama sekali. Kewajibanmu hanya berbuat baik. Berperilaku baik. Agar dia yang kamu cela masa lalunya itu tanpa harus kamu perintah, kamu bentak, kamu ceramahi pun diam-diam menuruti ajakanmu. Maafkan aku, ayastku. Mudah-mudahan. Tuhan tidak tersakiti oleh pengingkaranmu. Dia tersakiti jika kamu pura-pura menyembahnya. ( relung, 4 Februari 2018 )
0 notes
kureikurenai-blog · 7 years ago
Text
Tumblr media
BUAH KARMA
Kalau boleh ku bilang pola kehidupan itu siklikal, di dalamnya terkandung semacam hubungan kausalitas, depan adalah bagian dari belakang, belakang pun bagian dari depan. Esok itu akhirat bagi Kemarin. Kemarin pun merupakan akhir bagi hari sebelum kemarin. Yang ingin ku katakan di sini adalah bahwa Karma itu ada sebagai kausalitas perilaku manusia di dunia. Yang tidak bakal lama lagi engkau dan aku terima. Engkau akan rasakan kepedihan atau ketentraman atas buah kelakuanmu sendiri. Walau itu sekecil wiji sawi pasti tak terlewatkan. Dan kalau kamu ksatria, kamu harus mau mengunyah dan menelan getir karma itu walau rasanya teramat pahit di lidah. Maka sesekali renungkan, bisikkan dalam hatimu sebelum engkau berbuat. Hidup manusia itu pilihan. Dan pilihan itu sangat berharga. Karena tidak semua makhluk Nya ditawarkan pilihan-pilihan. Maka pergunakan hak pilihmu dengan yakin sesuai kemantapan hatimu. Agar nanti kalau datang kepadamu karma itu di kemudian hari engkau tidak menyesal dan menyalahkan bahkan melampiaskan kekesalanmu pada orang lain. ( relung, 5 Januari 2018 )
0 notes
kureikurenai-blog · 7 years ago
Photo
Tumblr media
MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI KEBUDAYAAN LOKAL Muqoddimah sinau bareng 10 Juni 2017
Karakter adalah otentisitas. Keaslian pembawaan sifat maupun watak yang biasanya terlihat dalam penyikapan seseorang terhadap dinamika hidup mulai dari yang paling ringan sampai yang terberat. Sejatinya istilah membangun karakter itu sudah sejak dulu kala dilakukan oleh para leluhur bangsa. Yang kini kita lakukan adalah berusaha menggali kembali nilai-nilai luhur itu agar dapat diterapkan dalam keseharian berbangsa dan bernegara kita. Salah satu bentuk penggalian karakter bangsa yang bisa kita tempuh adalah dengan ngugemi kebudayaan lokal. Membangun karakter bangsa bisa pula kita asumsikan sebagai pola penyikapan bangsa hari ini terhadap dinamika kehidupan bernegara. Dan di Indonesia sekian banyak kita jumpai kreatifitas-kreatifitas ampuh yang terlahir dari usaha manusia nusantara dalam menyikapi kesulitan hidup. Dalam hal kuliner misalnya, nampaknya hanya di Indonesia kita temukan teknologi sambal. Sekian banyaknya kita temui olahan sambal itu dengan beragam citarasa. Adanya masakan thengkleng konon juga berlatar belakang dari sulitnya keuangan keluarga. Karena daging waktu itu hanya mampu dikonsumsi oleh keluarga bangsawan keraton dan Belanda. Sehingga para juru masak keraton itu berinisiatif untuk memanfaatkan tulang belulang kambing yang masih tertempel sedikit daging kemudian mereka bawa pulang untuk makan keluarga. Itu baru sambal dan thengkleng. Belum lagi singkong dan bahan makanan lainnya. Salah satu karakter pribumi bangsa yang lain adalah rasa kebersamaannya yang kolektif. Betapa kita teringat di desa ada tradisi kerukunan gugur gunung, sambatan, atau ‘saiyo sakato’ istilah minangnya. Dimana ketika seseorang membangun rumah, maka para tetangga di sekitarnya guyub rukun bahu-membahu untuk membantu. Diulang-ulungake amrih enggal rampunge. Tanpa membedakan dia kaya atau miskin, atas dasar susah senang bersama semua kedudukannya sama. Di situlah secuil pengamalan keadilan sosial. Nampaknya hari ini tradisi semacam itu sulit kita jumpai di masyarakat perkotaan. Mungkin karena mobilitas keseharian yang padat di luar tempat tinggal atau mungkin memang pola kebudayaan yang terbentuk di perkotaan tidak mengarahkan atau malah me-ninabobo-kan kita terhadap kebudayaan lokal semacam gugur gunung itu. Wallohu a’lam. Terlebih dengan hadirnya berbagai kecanggihan teknologi dimana untuk bermain saja, seorang anak kini tidak perlu ke luar rumah mencari kawan bermain. Cukup menggunakan fitur ‘cari lawan’ di game online maka lawan bermain dari berbagai belahan bumi akan muncul sehingga pada beberapa keadaan menyebabkan si anak tersebut kehilangan semangat bersosial terhadap teman sekitarnya. Belakangan dari hari ke hari makin kita temukan egosentrisme itu merajai ranah kehidupan berbangsa kita. Manusia modern Indonesia mulai kehilangan rasa malu dan pekewuh ketika melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Seharusnya malu ketika merenggut hak orang banyak, pekewuh ketika tidak bisa memenuhi janji yang digemborkan waktu pemilu, juga isin apabila mencitrakan kebaikan untuk kemenangan kelompoknya sendiri. Persatuan dan kesatuan bangsa yang sudah berpuluh tahun bergandeng mesra ini kini tengah dirubuhkan oleh berbagai kepentingan. Tidak ada jaminan bahwa tanpa adanya penjajahan zaman kolonial itu mungkin Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya utopia semata. Dalam sejarah keberagaman Nusantara mulai dari suku, agama, ras, bahasa, adat-istiadat yang amat multikultur itu rasanya sangat sulit terlahir Negeri satu nusa satu bangsa. Setidaknya di balik romansa penjajahan Belanda itu kita menemukan pentingnya rasa persatuan. Melalui epos kisah-kisah wayang, kita seringkali diajarkan tentang berbagai kisah heroik dan petuah-petuah, dalam peperangan antara kebenaran dan kebatilan. Maka majelis ilmu maiyah kidung syafaat malam hari ini bertempat di resto Ki Penjawi milik pak Iwan, akan mengajak semua yang hadir untuk bersama-sama menyelami kisah-kisah heroik lewat lakon wayang purwa yang akan dibawakan oleh dhalang cilik yakni Nyi Inas Faeroza Rizkillah dan Nyi Eliza Naviana Damayanti.
0 notes
kureikurenai-blog · 7 years ago
Photo
Tumblr media
LELURI BUDAYA JAWI 7 Juni 2017
Beberapa waktu lalu para petani di desa mengira akan tiba musim kemarau, namun ternyata hujan deras selama dua hari mengguyur persawahan sehingga mereka kemudian memantapkan niat untuk menyebar benih dan mulai bercocok tanam. Tapi pasca dua hari itu ternyata cuaca kembali panas. Hujan pun enggan turun sehingga menyurutkan tekad pak tani. Rasanya sulit dipercaya kalau para petani itu tidak faham akan ngelmu pranoto mangsa. Sebab jauh sebelum mereka mengenal baca tulis, orang tuanya sudah lebih dulu mengenalkan arit dan pacul. Sementara pada tataran ilmu modern lewat perkiraan cuaca BMG juga sering kali tidak tepat sasaran. Tuhan Maha berkehendak. Sak kersane. Manusia hanya berusaha untuk mendekatkan diri berusaha mengenaliNya, memahami ketentuan-ketentuan Nya dengan segala kehinaan dan keterbatasan diri. Mungkin alasan itu yang akrab melintasi fikiran kita. Atau jangan-jangan fenomena di atas adalah ungkapan bahasa Tuhan untuk memperingatkan manusia modern atas segala kerusakan yang diperbuat oleh manusia. Mungkin juga manusia masa kini mulai melupakan cara memesrai Tuhan maupun alam semesta. Banyak sekali pola kemesraan hubungan manusia dengan alam semesta termasuk manusia. Salah satunya dengan leluri budaya. Leluri budaya berusaha mengajak kita untuk hidup harmonis, bahwa hidup itu saling menggenapi dan menguatkan seperti bunyi saron yang tidak akan terdengar nyaring manakala balungan yang lain tidak pula ikut dibunyikan. Maka dalam hal harmonisasi itu, leluri budaya berarti mengajak semua elemen untuk bareng-bareng berpulang menuju sangkan paraning dumadi. Semua bukan hanya manusia. Bahkan gamelan dengan berbagai elemen, entah itu kayu, kuningan, besi, kulit hewan pun kita ajak bersama-sama menggemakan dan mengagungkan asma’ Tuhan. Belakangan ini bangsa kita kehilangan nyawa penting harmonisasi itu. Satu sama lain beradu mulut. Masing-masing mengelu-elukan jagoannya. Memamerkan kebaikan-kebaikan. Bentrok padahal sama-sama seagama hanya karena berbeda cara ibadahnya. Terlebih dengan berbagai tayangan media yang sangat kekanak-kanakan, mata duitan, dan sarat dengan provokasi. Cepat sekali pola pikir orang berubah dengan berguru pada TV dan internet. Misi mereka hanya memuaskan hasrat keinginan orang dan bukan kebutuhan orang. Sembari dodolan. Sebab manusia modern sukar sekali membedakan mana kebutuhan mana keinginan. Karena memang hadirnya media massa itu disinyalir untuk melumpuhkan sisi terlemah manusia. Sebab watak pribadi manusia cenderung melampiaskan, ambillah contoh waktu buka puasa misalnya. Karena seharian menahan lapar ada juga yang melahap berbagai hidangan yang dimasak oleh ibu. Apa saja dimakan dalam waktu yang bersamaan. Padahal sejatinya poso atau topo yang dilakukan oleh leluhur kita dulu itu melatih diri untuk bisa menahan, ngerem, bukan ngeblong, melampiaskan atau menghamburkan. Maka sinau budaya malam hari ini, kita semua, warga Njethak dan Simpul Maiyah Kidung Syafaat Salatiga berusaha untuk bersama-sama menyelami khasanah peninggalan leluhur bangsa Jawa. Sebab bangsa Jawa adalah bangsa tertua sekaligus induk dari bangsa-bangsa dunia. Maka hanya di Jawa kita jumpai unggah-ungguh bahasa. Bahasanya paling jangkep, komplit, dan lugas. Orangnya santun, gotong royongnya tekun, dan keberagamannya rukun. Siapa kita? Dimana kita tinggal? Sejak dulu Indonesia memang sudah beragam, kita ulang lagi beragam sejak dulu sebelum jadi Indonesia. Wong jowo ki piye? Kudu piye? Piye jhal..?? Sudahkah luntur jawane? Bahaimana nguri uri kejawenya orang jawa? Tanyakan pada rumput yang berjoget.
0 notes
kureikurenai-blog · 8 years ago
Photo
Tumblr media
MAMBU ISLAM Tak lama lagi bulan ramadhan menyapa kita. Kita semua berdoa agar diberi umur panjang agar bisa bersua, menjawab sapaan dan seruan Tuhan tersebut. Yah sok-sok'an banget nih. Maklum, dulu waktu kuliah biasanya di bulan ramadhan sering diminta ngisi kultum atau ngadain peskil (pesantren kilat) di sekolah-sekolah. Yang saya tak habis pikir adalah, 'Kok bisa ya mereka asal nunjuk orang yang ndak paham agama untuk jadi da'i dadakan?'. Jangankan agama, memahami diri sendiri aja susah, apalagi memahami kamu. Lohh. Oke kembali ke jalan yang benar. Waktu disuruh akunya mau lagi. Habis lumayan sih soalnya ibuk-ibuk jamaah masjid nya baik banget. Cuma ngomong plegak-pleguk 7 menitan ngalor ngidul, nanti pulang dibawain oleh-oleh, kadang makanan buat sahur. Maklum anak kos lur. Bantuan itu sangat berarti. Di bulan itu nanti kita bisa lihat berbagai aksi yang mendadak islamic. Program di Teve pun jadi mambu islam. Baru mambu lhuw ya. Host di berbagai acara jadi berbusana koko, yang cewek juga pada berhijab, tapi masih cuwawakan sama kayak hari-hari sebelumnya. Tak heran juga di momen ramadhan itu adalah momen nya para ustadz ngartis atau kyai cost berlaga. Menjual ayat dan taushiyah yang klise, wis tau, dan sudah sering dihafalkan oleh anak-anak TPQ. Berbagai iklan makanan atau pakaian mendadak menjamur, mengucapkan 'selamat menunaikan ibadah puasa'. Saat menjelang buka puasa, di sepanjang jalan raya kota pasti berderet penjual kolak berhimpitan. Ibu-ibu yang di rumah juga sibuk mengolah bermacam makanan dan minuman untuk menyegarkan prosesi buka puasa yang hanya singkat itu. Pokoknya gegap gempita itu seakan ikut ngamboni, memberi aroma pada bulan suci ramadhan. Dalam kesendirianku diam-diam aku bertanya. 'Inikah puasa?' dimana letak keistimewaannya dengan hari-hari biasa?'. Maksud saya begini, memang di bulan itu kita jadi punya tambahan ritual ibadah, ya puasa, sahur, buka, tadarus, tarawih, zakat. Tapi Kesemuanya itu kan bisa saja kita lakukan di selain bulan itu. Ndak harus menunggu setahun sekali. Trus apa harus semeriah dan semewah itu penyambutannya? Pikirku, pasti Tuhan punya maksud lain di balik perintahnya untuk berpuasa satu bulan itu. Apa ya? kayaknya Tuhan tidak petheken terhadap penyembahanmu. Justru kita yang sangat butuh untuk dekat Dia. 'kalau kamu mendekatiku dengan berjalan, maka aku akan mendekatimu dengan berlari', firmanNya dalam hadits qudsi. 'kalau kamu berniat melakukan kebaikan dan kamu tidak jadi mengamalkannya, maka tuliskanlah (wahai malaikat) satu pahala, namun jika ia melakukannya maka tuliskan sepuluh sampai tujuh ratus pahala', demikian baiknya Tuhan. Duh, kok jadi ceramah agama gini ya. Maaf ya lur sering khilaf. Oke lanjut. Kalau melihat berbagai fenomena gegap gempita itu, kayaknya kita masih jauh dan belum sampai pada hakekat puasa. Kata simbah puasa mengajarkan pada kita pembiasaan untuk mengendalikan, bukan melampiaskan. Berani untuk 'tidak' di tengah kebiasaan 'ya'. Sebab banyak hal di dunia ini cenderung bersifat melampiaskan daripada mengendalikan. Seharian kita lapar toh nanti saat buka tiba, apa saja bisa kita teguk dan kunyah, bercampur rasa dendam karena seharian menahan lapar, apa saja dimakan. Padahal perut tidak menuntut macam-macam, justru lidah lah yang biasanya memilih harus makanan ini, itu, rasa yang begini, begitu. Kata Rasul, "makanlah hanya jika kamu lapar dan berhentilah makan sebelum kamu kenyang". (sudut)
0 notes
kureikurenai-blog · 8 years ago
Photo
Tumblr media
~ KEBEBASAN DAN JATIDIRI ~
Aku lebih senang melihat burung-burung bebas lepas terbang tinggi mengarungi udara dan hinggap ke manapun dia suka daripada melihatnya dihidangi berbagai makanan namun terkekang dalam sangkar yang sempit sehingga membunuh potensinya untuk terbang. Terlebih kuat rasa senangku kala melihat ikan-ikan berenang kesana kemari mengarungi kedalaman di biru samudra daripada menyaksikan ikan itu disuapi tiap hari namun dia terkurung dalam aquarium kaca yang sempit, menjadi tontonan di gedung atau rumah mewah. Aku rindu kebebasan, aku kangen akan kedaulatan. Andai ikan dan burung itu punya daya untuk melawan dan juga para manusia tidak melulu memburu hasrat untuk kesenangannya semata, ku rasa mereka lebih memilih untuk tinggal bersama sesama ikan bahkan bermacam marga ikan yang lain di perairan lepas. Makan seadanya, menghadapi musuh setiap saat, namun dia bebas menggerakkan tubuhnya kemana saja. Sedemikian bebas dan merdekanya burung dan ikan di hamparan langit dan samudra biru. Sampai-sampai sesekali terbesit iri ku padanya. Tapi saat ingat piweling simbah, ‘kalau kamu ayam ya berlakulah seperti ayam, kalau kamu burung ya bersikaplah seperti burung. Jangan engkau memaksakan terbang seperti burung padahal dirimu ayam. Atau sebaliknya’. Ya. Hidup memang harus punya koefisien yang jelas. Harus ada padatan dan ketegasan atas jatidiri kita. Alasannya sederhana. Supaya kita tetap hidup. (relung)
0 notes