Halo, I'm Vella. Sometimes I found joyousness within myself when I travel to new places, meet new people, take memorable pics, sing a beautiful song, share my experiences in words or just sit, look around and meditate. Learning about life is my passion and being a friend of you is one of my big dreams. I believe all of us are connected each other, but sometimes we call it serendipity. So, thank you for visiting this blog and welcome to my jungle, people!
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Series of Dreaming Mama
Yogyakarta, 4 Agustus 2024
Subuh tadi aku terbangun dengan mata sudah sembab. Ketika kucek jam di tangan, pukul 5 pagi. Chris tidak ada di sebelahku karena sudah berangkat ke penatu, ritualnya setiap Minggu dini hari. Jam juga menunjukkan hari ini bulan baru. Aku terbangun persis saat sedang di fase REM, kondisi tidur ketika mimpi biasanya berlangsung dengan jelas. Fase yang paling jarang terpenuhi akhir-akhir ini selain deep sleep dan light sleep, karena aku terbiasa bangun lebih awal sehingga biasanya fase REM ku kurang.
Jika pun aku bermimpi biasanya memang dipenuhi dengan memimpikan mama. Lalu saat terbangun langsung ku kirimkan Al Fatihah untuknya. Hanya saja mimpi semacam semalam adalah tipe mimpi yang paling menyesakkan. Aku lebih suka jika mimpiku seperti sedang berinteraksi dengan mama. Namun jika di mimpi suasananya sudah kehilangan mama sehingga yang dimunculkan adalah perasaan kerinduan mendalam karena sudah tak dapat bersua, ini yang seringkali membuatku bangun dengan sesak dan berat hati.
Sudah lama aku tidak menangis terisak seperti ini. Tangisan yang rasanya dada ini semacam ditusuk-tusuk dengan belati, atau ditekan dengan batu raksasa. Berat sekali. Kugali-gali apa kira-kira triggernya. Kenapa mimpi ini kembali mengingatkanku bahwa rasa kehilangan itu masih nyata, lubang luka itu masih menganga, sebanyak apapun memori baru telah diciptakan kembali.
Not that I don’t want to move on. It’s just my love for her is too big to be handled under loss circumstances. Not being able to reach her anymore is the most painful reminder.
Mimpi kali ini settingnya ada di lingkungan kerja mama. Aku sedang naik bus feeder yang biasa mama tumpangi saat pulang kerja. Lalu supirnya tiba-tiba menghampiriku dan menyerahkan beberapa barang peninggalan mama. Selimut satin biru yang biasa ia pakai, mug kesukaannya, sisir yang selalu terselip di tasnya, sweater wool yang dibawanya kemana-mana, flashdisk yang berisi lagu-lagu kesukaan mama, foto berbingkai yang dipajang di atas meja, hingga lipstik sampai sepatu dan sandal cadangan yang biasa disimpan di bawah meja kerja. Total ada dua kardus, tiga kantong kresek besar, hingga tas kecil yang harus aku terima.
Tidak hanya itu, pak supir juga memutarkan video yang mereka rekam saat ibu-ibu di kantor berjoged bersama membuat koreografi untuk tujuh belasan. Video yang membuatku auto terisak di dalam mimpi. Ma, Vella kangen. Kangen liat mama joged lepas gitu lagi, dengerin mama rekaman nyanyi, atau sekadar melihat mama beraktivitas biasanya, mama dengan kesibukan yang dibuatnya sendiri.
Meski mama sudah tidak menaiki bus feeder itu, di dalamnya masih penuh rekan kerja mama yang juga sama merindukan mama sebegitu besarnya. Rasa kehilangan kami menemukan muaranya, mengambang, dan tak tahu harus dialirkan kemana. Kami semua tetap melanjutkan perjalanan kami masing-masing dalam duka dan tawa seadanya, meski mama sudah tak ada di sana.
Puncak dari mimpinya adalah ketika aku tersadar bahwa terlarut dalam kesedihan membuatku lupa aku harus turun di mana. Bus itu ternyata kini tujuannya ke Lebak Bulus sedangkan aku harus pulang ke rumah mama untuk menaruh semua barang peninggalan penuh makna itu. Dari Senayan aku minta turun di Komdak agar bisa melanjutkan naik bus ke Jonggol.
Saat menurunkan kardus dan tas kresek, aku dibantu teman kerjaku yang menemani dalam perjalanan itu. Namun mengusung kardus-kardus itu membuatku harus mengingat kembali betapa rindu ini masih terlalu besar ma, rasa kehilangan ini masih terlalu kuat, meski sudah enam tahun berlalu. Lalu aku teringat, ah bulan Juli di tahun itu mama sudah mulai sakit, Agustus adalah bulan-bulan terberat, dan September adalah bulan saat mama sekarat. Bulan-bulan ini kembali hadir menjadi pengingat. It was not easy for me that time. Accompanying her in that situation for quite suddenly. And it is still not easy for me right now to process all of that.
Turun dari bus dengan perasaan semakin sesak membuatku tak bisa menahan tangis di depan kolega mama. Mereka semua turut terisak. Kehadiranku di bus itu juga mengingatkan mereka akan lukanya ditinggal sahabat tercintanya. You were too precious to us, and you are right now still too precious to us, even though you're not beside us anymore. We are all losing our best friend, and we're stuck with this feeling, can't really let you go even when we try to continue living.
Perjalanan masih panjang, dari Komdak aku masih harus lanjut ke Jonggol untuk menaruh semua barang-barang peninggalan mama di rumah mama. Namun kuputuskan untuk menginap sebentar di kota yang sudah bukan ibu lagi. Bus pun berlalu, tangis ku semakin pecah di halte, baik di dalam mimpi maupun di kenyataan. Saat membuka mata, kudengar masjid terdekat sedang mengaji, kucing-kucing melihatku dengan tatapan bingung, Chris tidak ada untuk kupeluk saat itu juga, aku harus menghadapi sesak ini sendiri, dalam keheningan ini.
1 note
·
View note
Text
On Friendship
Yogyakarta, 17 May 2023
Beberapa waktu terakhir tema pertemanan ini menjadi isu yang beberapa kali seliweran hasil dari obrolan dengan beberapa orang, isu yang tricky. Mulai memasuki angka 30 banyak yang mengalami perubahan orientasi, kebutuhan, mekanisme, dan preferensi dalam hal pertemanan. Ada yang bilang, circlenya jadi lebih kecil namun lebih mendalam. Ada juga yang merasa susah sekali mendapatkan teman baru di umur dewasa ini karena kikuk memulai proses berkenalan ulang dengan orang baru. Ada yang pertemanan lama mulai usang karena keterbatasan kesibukan, prioritas hidup, kekecewaan, dan sebagainya.
Sebagai yang dari kecil terbiasa hidup berpindah-pindah, pertemanan bukanlah isu yang sederhana buatku. Baru mulai attach sama satu orang, udah asik main bareng, nyaman, eehh diajak tinggal pindah kota lagi. Begitu terus sampai aku memilih kuliah di Jogja, dan kembali memilih tinggal di Jogja lagi sesaat sebelum menikah. Jadi, hingga umur awal 30an ini, meskipun tidak lahir dan besar di Jogja, kota ini adalah kota terlama yang pernah aku tinggali. Sehingga wajar jika pada akhirnya aku lebih familiar dengan hal-hal yang ada di Jogja.
Hanya saja karena telah berproses di banyak tempat, karakterku sendiri menjadi berubah. Meski kembali ke Jogja, aku telah menjadi sosok yang berbeda. Secara kultur sifatku menjadi lebih fluid. Didukung pula dengan kondisi kehidupan yang akhirnya membuatku mengerucutkan prioritas, entah kepada siapa waktu akan aku habiskan; energi, perhatian, dan lain sebagainya.
Bagiku, pertemanan ini adalah sesuatu yang cukup kompleks, karena ia dibentuk dengan segenap set of expectations yang juga dibuat semakin rumit di zaman sekarang. Misalnya perlu bertemu intensif, kalau hilang-hilangan dianggap tidak memaintain pertemanan. Sedangkan energi dan waktu rasanya makin terlimitasi karena mengupayakan survival hidup, entah dari segi finansial, intelektual, fisik, sosial, hingga emosional.
Karena tidak terlatih memaintain pertemanan dari kecil, akhirnya aku menjadi sosok yang kalau ada yang ngajak main alhamdulillah kalau ga ada ya udah, kehidupan akan tetap berjalan. Akhirnya low maintenance kind of friends yang berhasil bertahan menjadi teman dekat, juga biasanya karena orientasi hidup masih sefrekuensi sehingga kalau ngobrol masih nyambung. Kalau udah ga nyambung? yaudah gausah dipaksakan. Tidak perlu terlalu attach. People come and go adalah keniscayaan. Yang pasti adalah aku harus survive dan enjoy menghadapi kehidupan hari ini. Aku apresiasi bagi mereka yang masih butuh kehadiranku dalam hidupnya, respect my presence, namun jika tidak ya gapapa juga bukan sesuatu yang harus dipaksakan.
Pada dasarnya aku cukup cuek pada hal siapa temanku, karena dari dulu dibiasakan hidup self sufficient, jadi siapa aja bisa jadi temanku, aku tak terlalu pilih-pilih sebenarnya, tidak butuh banyak syarat untuk bisa berteman. Namun sungguh egois sekali jika kukatakan aku tak butuh teman, tentu kita semua butuh teman. Tapi teman macam apa?
Tema kenapa berteman dengan si a si b ini cukup menggelayuti pikiranku, khususnya setelah menikah. Aku sempat cerita ke beberapa teman, aku kah yang berubah? atau mereka juga berubah melihat kondisiku yang sudah berganti status ini? Apakah menikah artinya akan lebih membatasi diri untuk main dengan teman. Ternyata tidak juga, balik lagi, itu semua pilihan.
Kenapa masih berteman dengan dia? kenapa baru berteman dengan dia? kenapa sudah tidak berteman dengan dia? atau kenapa mungkin kecil kemungkinan akan berteman dengan dia? Pertanyaan-pertanyaan ini merasuki momen reflektifku akhir-akhir ini. Aku pun jadi mengevaluasi pertemanan itu sendiri.
Oh aku masih berteman baik dengan dia karena kami masih sefrekuensi, meskipun status relasiku sudah berubah. Prioritas dan strategi menjalani hidup kami masih nyambung walau kami tinggal di beda kota. Dia masih apresiasi kehadiranku dalam hidupnya, begitupun sebaliknya.
Lalu kenapa aku sudah sulit untuk bisa berteman dengan dia? Ya mungkin sudah tidak cocok aja, preferensinya sudah beda, jenis aktivitas yang dulu enjoy dilakukan bersama kini sudah tidak enjoy lagi, tidak ada pembaharuan dan progress bersama. Semacam sudah tidak bertumbuh bersama, arah tumbuhnya berbeda. Dan mungkin dia juga sudah tidak butuh kehadiranku lebih intens dalam hidupnya? Atau aku yang tidak butuh? atau salah satu / salah dua dari kami yang memang menjauh begitu saja?
Kenapa dulu tidak dekat sekarang jadi dekat? Ya bisa jadi karena orientasi dan fokus hidupnya sekarang sejalan, dulu tidak sejalan. Bisa jadi salah satu dari kami saling memengaruhi di kemudian hari, bisa juga memang pada akhirnya bertemu di titik fase yang sama sehingga bisa berkoordinasi untuk menentukan titik langkah selanjutnya.
Kenapa kecil kemungkinan akan berteman dengan dia? Mungkin karena memang ga nyambung aja, seperti beda dunia, atau beda prinsip dan orientasi hidup. Misal, ada yang mencari teman untuk kebutuhan panjat sosial. Nah, apakah aku juga butuh dekat seperti itu? Ternyata tidak, malah agak risih berteman sama orang terkenal karena jadi rancu motivasi pertemanannya apa, apakah benar-benar tulus peduli atau karena ada kepentingan? Berteman karena ada butuhnya. Atau baru bisa berteman kalau ada project bareng. Hmm, kalau beneran care ya care aja.
Atau ngerasa aku mau temenan sama dia karena kondisi hidup dia tidak lebih baik dariku, jadi aku akan merasa selalu lebih beruntung kalau aku berteman sama dia. Jadi teman kita akan selalu diposisi sub-ordinat, tidak akan pernah setara. Kita yang harus paling bersinar, hebat, mujur, bahagia, dan sebagainya. Kalau teman kita lebih bahagia dalam momen-momen tertentu, maka kita akan mulai merasa insecure. Kondisi ini ternyata aku juga kurang nyaman.
Menemukan relasi yang setara ini susah, yang bukan cuma masalah adu nasib tapi yang memang bertumbuh bersama, ada yang pas lagi susah ya dibantu, tapi kalau ada yang lebih happy ya ikut happy, ga perlu insecure. Kalau temannya berprestasi ya turut bangga dengan pencapaian tersebut bukan kemudian menyalahkan diri sendiri kenapa aku ga berprestasi juga? Pertemanan yang sarat unsur kompetisi ini tidak membuatku nyaman ternyata. Kalau support ya beneran support, kalau bangga ya beneran bangga. Berproses bertumbuh bersama, berprogress bersama ternyata lebih menjadi preferensiku. Bukan cuma pertemanan level adu keren-keren an.
Aku juga ternyata bukan tipe yang cocok untuk mengglorifikasi pertemanan. Ya kami sama-sama tahu aja kalau kehadiran kami saling bermakna di kehidupan satu sama lain. Yang gapapa kalau karena kondisi, pertemanannya jadi low maintenance tapi seketika akan fast response dan jadi prioritas. Yang sudah dan masih ada dan relasinya baik ya dirawat, yang sudah tidak ada ya di let go. Kita tetap butuh teman, tapi teman macam apa?
1 note
·
View note
Text
Almost
Yogyakarta, 5 April 2023
Bagaimana situasi ‘hampir’ atau ‘nyaris’ bisa mengacak-acak perasaan lebih dalam daripada kondisi tidak ada sama sekali. Hampir selesai, hampir juara, hampir jadian, hampir akrab, hampir dapat. Nyesak ga sih? Apa mending ga usah mengusahakan sekalian biar yaudah ga perlu tahu rasanya hampir namun tak tercapai. Ga usah kenal sekalian, atau ga usah dekat sekalian.
Self sabotage semacam ini kerap kali menghantui pikiran. Efeknya, tidak jadi selesai target pekerjaan, tidak jadi kenal dekat dan akrab, tidak jadi juara, tidak ada pencapaian. Sudah diusahakan, dapat lelahnya tapi tidak dapat hasil akhirnya. Kesel ga sih?
Dari dulu sering sekali entah kenapa berada di posisi kedua. Jarang sekali jadi yang pertama, utama, prioritas, dsb. Otakku memanipulasi kapasitasku. Entah awal mulanya dari mana, tapi posisi tertinggi atau terbaik terlihat menakutkan buatku. Tanggung jawab yang berat mengemban title itu. Mendapatkannya bisa saja mudah namun mempertahankannya sangatlah susah. Jadi, lebih baik di posisi almost/hampir/nyaris biar selalu masih ada ruang untuk mengusahakan yang terbaik. Humble brag mentality ini, pffft.
Seringkali membohongi diri sendiri dengan mengatakan aku tak layak ada di posisi ini, tak pantas, tak seharusnya, belum mampu, belum cukup, belum belum belum, aahh this imposter syndrome. Finish line terasa mengerikan, sebagaimana aku kerap menunda-nunda menyelesaikan satu bacaan. Jika buku ini selesai kubaca, nanti tak ada lagi cerita seru yang kunanti-nanti. Begitupun dengan film. Makanya aku lebih suka nonton series, karena aku bisa menikmati kisahnya lebih panjang. Lebih suka baca novel yang tebal, biar tidak perlu cepat-cepat dituntaskan. Series pun buatku lebih menarik menonton episode 2 dan 3 terakhir daripada episode terakhir. Akhirnya biasanya sudah bisa ditebak, klimaksnya sudah selesai, sehingga terasa tidak terlalu menarik.
Mungkin memang yang lebih kunikmati adalah perjalanannya, journeynya, daripada tiba di finish line. Bagaimana perasaan bisa naik turun, frustasi, excited, sedih, bahagia, marah, kecewa, namun jika sudah selesai ruang untuk merasa ya juga selesai. Sebagaimana aku lebih menikmati kebersamaan meskipun mengesalkan, daripada perpisahan. Lebih baik diacak-acak di tengah daripada kosong di akhir. Ahh, mungkin ini juga kenapa karirku menjadi peneliti, proses riset panjang yang tiada akhir, selalu bisa dibantah dan dikembangkan lebih lanjut, proses membaca yang bahannya tidak ada habis-habisnya, proses menulis yang juga sangat panjang (tidak seperti menulis jurnal harian), yang lebih sering bikin frustasi lalu berujung jadi onggokan draft nyaris selesai.
Namun ada kalanya aku akan menikmati puncak-puncak kecil, karena tahu bahwa masih ada puncak yang lebih besar yang harus aku tuju. Seperti naik gunung, summit is not really my attempt, camping di salah satu puncak bukit kecil terasa lebih menarik. Manjat, teman-teman yang biasa main bareng tahu, kalau aku lebih sering almost top daripada sekalian sent jalur. Lari, untuk bisa menyelesaikan 5km aja harus kutanamkan di otak bahwa sebenarnya goalku 7km atau 10km. Akhir-akhir ini latihan yoga lagi, saat headstand, aku sebenarnya bisa 10-20 detik, tapi 5 detik aku turun sendiri, saat ditanya gurunya kenapa? Disimpan buat besok aja yang lamanya. Sehingga aku kerap memosisikan diri di situasi nanggung. Buat yang nonton performance semacam ini pasti gemas denganku, karena mereka yakin aku sebenarnya bisa selesaikan tapi lebih memilih untuk turun lagi dan jatuh atau berhenti. Bisa jadi aku punya bakat atletik, tapi aku tidak bisa jadi atlet. Bukan karena kondisi fisik, tapi karena kondisi mental haha.
Hampir tidak selesai tesis, hampir tidak selesai paper, hampir tidak jadi menikah, hampir tidak bisa keluar dari cycle depresi setelah kematian mama, hampir top jalur, hampir satu circle dengan dia, mereka, hampir juara 1, hampir hampir hampir.
Darimana kah awal mulanya narasi hampir ini? Apakah sejak penciptaan, atau sejak di kandungan? Terapi terakhir mempertegas bahwa saat conceiving me, my parents did not involve God in the process, sehingga ketika di awal kehamilan sempat tidak sadar bahwa janin sudah ada. Spiritku hampa. Ketika di kandungan pun sempat ada momen untuk tidak jadi dilahirkan karena kondisi sulit masa itu. Apakah ini awal mula dari akar hampir mengada, yakni dikondisikan untuk tidak jadi sekalian saja? Ahhh this baggage.
Tapi bisa jadi kondisi hampir ini membuatku merasa perlu tetap berjalan menuju sesuatu, karena jika semua sudah diselesaikan, tidak ada lagi yang perlu diupayakan. Ya sudah selesai, istirahat, pulang.
Toh, akhir-akhir ini pulang dan beristirahat terlihat begitu menyamankan.
Selamat datang, hampir pulang.
*Plot twist
Lalu biasanya di saat ingin menuju titik akhir, diberikanlah aku kondisi baru.
Ingin mati muda: dipertemukan dengan orang-orang baik yang perhatian.
Tidak suka komitmen panjang: dikasih pekerjaan sampai umur 70 tahun.
Tidak ingin menikah: dipertemukan dengan jodoh.
Tidak suka berutang: dikasih kesempatan menyicip KPR.
Belum siap punya anak: cimit datang.
Ya sudah, belum waktunya pulang. Semesta becandanya ga kurang-kurang.
0 notes
Text
Bagan Hidup 2022
Yogyakarta, 21 September 2022
Sudah hampir memasuki kuarter akhir dan aku baru bisa merumuskan bagan hidup tahun ini seperti apa. Perpindahan dari Jakarta ke Jogja dengan segala penyesuaian baru membuat rutinitasku berubah. Aktivitas yang biasanya sebagian besar aku lakukan sendiri kini perlu bergandengan dengan jadwal harian Chris. Meskipun belum tinggal bersama tapi setidaknya agenda-agenda utama rata-rata kami lakukan berdua.
Beberapa kali mengalami krisis komunikasi karena penyesuaian rutinitas harian ulang ternyata tidak sesederhana yang aku bayangkan. Terutama ketika jadwal shift kerja Chris yang berubah-ubah. Jam biologis kami juga berubah. Sehingga setelah menjalani setengah tahun lebih baru aku menemukan pola yang sesuai. Ternyata kebutuhanku dapat dirumuskan seperti Teori Maslow juga ilustrasi titik chakra.
Memasuki umur 30 dengan perubahan pola hidup membuatku harus menentukan prioritas dan arah gerak yang pas untuk mewujudkan diri yang utuh. Sebagaimana piramida, penjelasannya sesederhana bahwa hal-hal yang berada di atas tidak akan bisa bergerak sempurna ketika pondasi bawahnya tidak penuh.
Daily basis tubuhku butuh makanan bernutrisi yang tidak memicu munculnya gejala penyakit (seperti akhir-akhir ini Gerd). Energi dari makan ini jadi pijakan dasar aku agar bisa functioning melakukan hal-hal lainnya. Tidur yang cukup juga sangat penting untuk aku mengecas energi. Kadang di tengah jam kerja aku perlu power nap, baru kemudian bisa fokus kerja lagi. Makan dan tidur saja tidak cukup, ternyata badanku harus aktif bergerak, terutama karena pekerjaan sehari-hari intens sekali duduk. Olah tubuh secara reguler membantuku untuk detox, melancarkan pencernaan, mengolah energi, dan menjaga mood harian. Jika makan, tidur, dan olahragaku berantakan, bisa dipastikan aku akan kacau mengerjakan hal-hal lainnya. Kebutuhan ini ternyata masuk dalam optimalisasi titik cakra dasar, sakral, dan solar.
Pondasi kedua adalah hal-hal yang berhubungan dengan kepuasan emosional dan mental. Setidaknya ini harus dipenuhi minimal seminggu sekali (beberapa sifatnya harian). Beberes rumah, seperti merapikan tempat tidur, meja kerja, menyapu kamar, mencuci baju, menjemur, melipat pakaian, mencuci piring, mengosek wc, memasak, mengatur finansial, perlu diteraturkan agar suasana tempat tinggalku selalu terasa nyaman dan aman, sehingga ketika berkegiatan produktif atau istirahat aku tidak risih karena kotor / berantakan sana sini. Ternyata aktivitas ini jika dilakukan dengan tenang jadi cukup meditatif juga.
Tempat tinggal yang bersih dan nyaman juga membantuku untuk lebih jernih dalam menjalin relasi dengan orang-orang tersayang. Badan bersih, tempat tinggal bersih, pikiran juga jadi lebih jernih. Beraktifitas bersama terasa lebih menyenangkan. Aku tipikal yang butuh heart to heart moment atau sekadar ngobrol receh agar tetap merasa terhubung dengan orang lain. Jadi biasanya aku lebih suka ngobrol berdua atau dalam grup kecil. Makin ke sini makin kesulitan berada dalam keramaian. Seperti mudah kehilangan makna dan menghabiskan banyak sekali energi, meladeni banyak orang membuatku lelah dan tidak fokus.
Menghidupkan hobi dan rekreasi diri menjadi kebutuhan emosional lainnya. Makin ke sini aku makin butuh banyak waktu untuk me time. Merenung (refleksi/kontemplasi), terapi, baca buku, menulis jurnal harian, menyanyi/mendengarkan lagu/podcast, berjoget, leyeh-leyeh, nonton film/series, melihat pemandangan, jalan di alam/pemukiman, meditasi, mencoba hal-hal baru, dan banyak lainnya. Rekreasi diri ini juga termasuk treatment untuk wajah dan tubuh. Biasanya ini agenda 2 mingguan. Hal-hal ini aku pertimbangkan sebagai apa yang disebut Maslow kebutuhan safety, belonging and love, dan self esteem. Sedangkan dari segi cakra aku masukkan dari titik solar dan heart.
Pijakan ketiga yaitu intelektual. Jika dua pondasi awal sudah terpenuhi, aku baru bisa optimal untuk perform di lapisan ini. Bekerja baik full time dan part time aku masukkan sebagai wahana penguatan kognitif dan aktualisasi diri (sinkronisasi terhadap cakra tenggorokan). Aku tidak ingin melihat bekerja hanya sebagai media penghasil uang. Uang adalah efek samping dari terpenuhnya aktualisasi diri. Berlatih untuk bekerja profesional tidak hanya melahirkan kepuasan finansial tapi juga intelektual dan value atas kehidupan yang lebih luas. Untuk hal ini aku berupaya mendedikasikan 5 hari seminggu dan per harinya 12 jam (8+4).
Setelah tiga layer ini terpenuhi, kekuatan spiritual juga mendapat ruang untuk kuoptimalkan. Menjaga hubungan diri dengan Tuhan dan segala isi alam semesta tidak bisa dihindari agar gerak jiwa kita terarah. Jagad alit perlu terhubung dengan jagad buana. Micro cosmos yang terhubung dengan macro cosmos. Energi diri yang terhubung dengan energi semesta. Penemuan makna diri sejati dan proses pemurnian diri terjadi di sini. Bahwa kita semua sebagai titik kecil ini saling terhubung dan bergerak sesuai orbit dan fungsinya masing-masing. Bahwa ada makna yang lebih besar dari sekadar rutinitas survival harian. Melatih intuisi dan kesadaran batin sangatlah penting agar kita tidak hilang arah. Aktualisasi titik puncak ini ternyata sesuai dengan optimalisasi third eye dan crown chakra.
Kira-kira inilah rutinitas harian, mingguan, bulanan, dan arah pijakan ku dalam menjalani hari-hari yang semoga lebih baik, sehat, dan seimbang. Semakin ke sini aku semakin yakin bahwa healthy routines bring healthy habit, healthy habit brings healthy life. Bagaimana dengan peta hidup kalian saat ini?
2 notes
·
View notes
Text
Progress
Dear Future Vella,
I hope you are doing fine in the next couple years. I hope you are still alive and having a healthier and happier life. A balance life as you wished all these time.
Remember the times when you feel that you are such a wreck? When you think you don’t deserve life and the feeling of being loved was such a luxury?
I hope life has granted you a very valuable lessons along its turmoil moments. I know you used to see yourself as a broken pieces and you wanna give up every single time you feel hurt.
Meeting up with lots of people because you have to move constantly, get closer, be attached, and suddenly pushed to let go those you love were part of your growing process in understanding life. And most of the times you play it harsh. You get hurt, you get mad, you curse life, you hate those who abuse you, and you were absorbed in so many negativities mentally, emotionally, and physically.
Remember when your mind was full of assumptions that you never tried to clarify or confirm?
Remember when you choose to give people silent treatment when you feel hurt to protect your feeling?
Remember when you tend to push people away because of misunderstandings that you never resolve?
Remember the times when you couldn’t differentiate your sensitive mind speaking with full of biases and not trying to see the reality as it is?
Remember when you avoid conflicts and choose to look okay in front of people while deep down you’re playing passive aggressive toward them?
Remember when you prefer play victim and not to stand up take responsibility of your own shit?
Remember when you were full of denials on how you actually feel and perceive the way other people approach you?
Remember when you keep devalue yourself, underestimate yourself, feel insignificant, think that you don’t deserve to be loved, that very weak self esteem which keeps haunting you every time you couldn’t work on your interpersonal relations properly?
Remember every time you breakdown that you always want to be gone, to be deleted from universe, be invisible and shattered into non-existence?
I hope now you can understand that those kind of acts only will make your life even more miserable.
I hope you can break the pattern, wash the dirty mentalities, clear your mind, and purify your heart so you can only live the truth.
I can sense that now you’ve tried to speak up realistically about how you feel toward problems and obstacles you’re having with others. Conflict is part of life, no need to run away from it. Problem is part of daily life, learn how to understand them and try to solve it mindfully.
I can see that you start to respect others now and see them as natural human beings, just like you who also has feeling and conscience. I can see that you are becoming a more supportive companion and willingly to see others happy and progressing as well. I know that you always love other beings and be one another support system instead of crushing down each other.
I can see now you are even more capable in handling bigger challenges. Your mental muscle are breaking and becoming more stable in grabbing greater matters. You start to trust yourself, like how you learn to trust your hands on reaching more difficult points to grab while climbing. As your body regularly exercises, handling endurance training, getting more pressures, accomplish harder projects, now you have arrived in fully capacity and resources to face life (with all its complexities) gracefully.
Being adult is not easy, being alive while you are adult is even harder, and I’m making sure that you can still be playful along the way, be silly, expressive, and innocent like you always be. You can still be childish in heart but more mature in mind, with a healthier body as your home.
And that’s what I actually value as progress in you. Remember that progress is not merely in job and financial security. It diffuses as well in your way of developing intra & interpersonal relations. I love you, Vella. I really love you. And I’m so proud of you to see you’ve grown into a beautiful soul. Congratulation, You have destroyed that old habit which didn’t serve you well in the past.
Your chaotic past,
Also Vella.
0 notes
Photo
Memetakan 2021 menjadi cukup sederhana karena di 2020 kesempatan untuk eksplorasi tidak terlalu banyak, namun ketika menemukan hal-hal tersebut berpotensi untuk hadir dalam jangka waktu lama (semoga).
Masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, goal tahun ini adalah untuk bisa hidup lebih seimbang, baik di ranah personal maupun profesional. Personal growth aku petakan ke arena spiritual, grounding base, social, physical, dan emotional. Sedangkan ranah profesional aku kuatkan di sisi intelektual dan finansial.
Setelah ngobrol dengan beberapa teman dekat, kolega di organisasi, client tarot, dan utamanya pada pasangan (alhamdulillah ya maemunah), akhirnya aku menemukan pola yang memang telah lama bekerja untukku. Entah the perks of being generalist, atau mengidap fear of commitment, atau apapun itu, ternyata hadirku tidak bisa secara fanatik kuat di satu ranah saja. Aku perlu banyak circle untuk bisa membantu menyeimbangkan cairan hormon di tubuh. Dan voila, circle-circle ini benar telah melengkapi sisi-sisi yang unik satu sama lain.
(1) Grounding base aku temukan di Rukita. Co-living space di Pejaten ini menjadi titik tengah yang cukup nyaman untuk ditempati dan boleh lah ku sebut rumah, meski bukan properti sendiri. Di sini relasiku dengan Intan menjadi lebih sehat, kami bisa berbagi tugas domestik yang tidak memberatkan, meski sibuk produktif masing-masing karena full WFH, tapi kami bisa sharing space tanpa terlalu merasa terganggu satu sama lain. Ruang privacy dan personal juga masih terjaga meski tidur di ranjang yang sama. After office hour khususnya saat masak-makan bareng, exercise bareng, atau pillow talk adalah quality time yang sangat berharga karena bisa bahas fenomena-fenomena hidup secara lebih conscious.
(2) Spiritual. Selain jadi lebih teratur vipassana dengan meditasi pagi sebangun tidur di pojok singgasana hamba, grup Sinau Klenik ga bisa dipungkiri telah memberi ruang kelegaan yang luar biasa. Teman-teman sambat karena becandanya semesta terlalu bakekok, lalu menertawakan kebodohan masing-masing karena kok bego diusilin semesta ga kapok-kapok. Di grup ini mekanisme mesin cuciku bekerja, yakni learning how to turn tragedy into comedy. Thanks babes. I love you all to the Pluto pas lagi retrograde and gausah balik-balik wakakakaka. Selain bacot sampah yang anehnya bisa menyembuhkan, di grup ini juga aku cukup konsisten terlibat di Divination Reading for Donation. Sudah Vol 21 dan most of the times bisa join, alhamdulillah ya. Satu hal paling pasti, aku tetep lebih suka reading interaktif, karena jadi bisa sharing heart to heart moment sama client. Lebih deep aja buat digging method self healing.
(3) Physical. Dari kecil emang suka olahraga. Volley, badminton, tenis meja, lari, renang, sepedaan, parkour, dance, pencak silat, squash, yoga, jemparingan, freeletics, trekking, dan sekarang finally climbing. Dulu pas kuliah agak emoh nyobain climbing, ngapain cape-cape dan belum nemu sisi fun nya. Ternyataaa, ini lebih ke exercise batin, mental, pikiran, selain butuh fisik yang ok. Belajar buat mengangkat badan sendiri, belajar percaya sama tubuh sendiri, tangan sendiri, kaki sendiri. Akhirnya kombinasi olahraga dengan dominasi climbing tahun ini sepertinya cukup challenging untuk dicoba.
(4) Social. Tidak bisa dipungkiri aku masih lebih nyaman menyambung silaturahmi dengan teman-teman yang kenalnya di Jogja. Seperti home base sudah untuk urusan persosialan. Jogja yang karakternya super humble dan receh namun tetap produktif dan kontributif. Murah tapi rencana membangun ide dan mimpi tetap jalan. Networking di Jogja itu mudah. Nongkrong di burjo atau warung kopi dan bisa dapat teman yang umur pertemanannya bertahun-tahun. Kadang sesimple itu, ga perlu muluk-muluk harus menyelesaikan masalah bangsa hehe. Circle komunitas tetap bisa hidup meski dompet sering kering. Kenalnya di Jogja, tapi pertemanannya bisa sampai mana-mana. Rindu ini tiada habisnya kakaaaaa.
(5) Intellectual. Terima kasih banyak Think Policy masih mau menampung aku untuk belajar, berproses, dan bertumbuh bersama. Banyak hal ga bisa disebutkan satu persatu kenapa wadah satu ini sungguh jadi sumber inspirasi sekaligus perpanjangan tangan akan hobi berkomunitas dalam gerakan sosial. Sumber rezeki dalam banyak warna, indeed. Ilmu iya, pengalaman iya, teman, kolega, kakak, saudara, mentor, tutor, dan sekarang menuju cuan, amin. Tanpa Thinkpol, hidupku di Jakarta mungkin terasa sangat hampa, meaningless, will be dominated by working like a machine type only.
(6) Financial. Ini doa (almh) mama yang agak paradoks. Akhirnya ketarik jadi PNS dan tinggal di Jakarta dengan segala suka dukanya. Oh, gini toh rasanya kemakan fear jaman kuliah dulu, hehe. Seru sih, walau kuakui banyak sekali challenge adaptive leadershipnya. Sistem birokrasi yang mbulet dan njelimet, kudu banget belajar sama mekanisme di sektor lain yang orientasinya sudah mulai ke human centered design, lebih user friendly in giving services. Semoga lah ya, banyak generasi muda yang progressive dan mau bikin perubahan dari dalam. Paling ga, meski secara keilmuan masih ngerasa B aja berprogress di sini, alhamdulillah jadi sumber rezeki buat bayarin makan, hobi, perawatan, jalan-jalan dan nabung tipis-tipis. Ehe.
(7) Emotional (dan ehm next, sexual). Jungkir balik bertahun-tahun semoga akhirnya sudah menemukan tambatan yang pas. Terima kasih kepada Chris yang setiap hari konsisten menyapa dengan hangat dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, bahkan kadang masih ‘ketemu’ pas lagi tidur. Saksi kelakuan pekokku sampe nangis mewek-mewek pas lagi breakdown dan pengen mati aja. New hope coming in new version and shape. Semoga sama-sama bisa bantu healing dari trauma yang udah mengendap berpuluh-puluh tahun. Terima kasih sudah mau bersedia jadi SBR ku, Sandaran, Bantalan, Rebahan. Ruang di mana aku bisa menjadi sangat vulnerable dan insecurity-insecurity ini dipeluknya dengan erat. Semoga energi dari cintamu lebih besar daripada insting kematianku ya. Semoga mimpi-mimpi kita teramini, dan semesta merestui. Amin.
Ini peta 2021 ku, semoga diberi umur yang cukup untuk memfokuskan energi pada hal-hal yang sudah terpetakan tersebut. Bagaimana denganmu?
0 notes
Text
Tadi di jalan menuju kantor,
Berpapasan dengan sesosok bapak,
Lusuh, rambutnya berantakan, pakaiannya kumal..
Namun ia tertawa lepas
Sudah jarang hari gini melihat orang tertawa sebahagia itu
(Khususnya bagi blue collar yang hidupnya makin tidak bergairah banyak lelah hatinya)
Entah apa yang menyelinap di pikiran bapak
Atau menyempil geli di benaknya
Sudah lepas dari gelisah (anxiety + overthinking) tampaknya
Yang tersisa tinggal tawa
Satu-satunya yang tidak perlu bayar di Jakarta
Sepulang dari kantor
Berpapasan dengan beberapa pemulung membawa gerobak atau karung bekas
Entah ada isinya atau tidak
Tampaknya masih kempes
Kini hampir di setiap lampu merah ada pengamennya
Padahal suara dan genjrengnya tidak terdengar karena macet perbaikan jalan terlalu panjang
Lalu ada dua adik kecil
Masing-masing memegang karungnya sendiri-sendiri
Tapi mereka sedang bergurau di teras entah rumah siapa
Bersandar di pagar kayu raksasa sambil mengusili satu sama lain
Tawanya lepas pula
Aku iri pada kelegaan id mereka
Hidup dibuat ringan dan sederhana
Tidak banyak bahan overthinking karena yang jadi fokus terbatas pada, “Hari ini makan apa?”
0 notes
Text
Dalam suasana jingga senja di mega angkasa dan lautan rasa
Pertemuan yang sureal bagi sepasang anak semesta yang hobinya meracau dan menyambatkan kehidupan
Mengikuti intuisi high priestess dan bakat psychic yang telah lama tersesat dalam rimbanya masing-masing
Mungkin aku terlalu liberal untukmu yang terlahir konservatif
Mungkin tasbihku kurang bernyawa ketika bersanding dengan rosariomu yang diliputi doa Novena setiap hari
Mungkin rukuk dan sujudku jauh dari tuma’ninah jika didampingi Ekaristi misamu yang khusyuk di Minggu pagi
Jika batin ini yakin, mengapa sekitar seakan tak peduli?
Perasaan yang sejatinya fitrah seketika menjadi tabu dan haram karena pijakan moral yang berbeda
Dosakah jika anak semesta hadir dalam kepolosannya untuk saling mencinta?
Dalam jarak, dalam bungkam, dalam segenap kontra, dalam senyum getir membayangkan tajamnya duri yang akan menghampiri
Sepertinya lika liku ini akan jadi sarat makna, semoga dalam perjalanan ini kita menemukan arti Sastra Jendra dan Sastra Gumelar yang sesungguhnya
0 notes
Text
Siluet di Sylvia
Untuk pertama kalinya aku lupa pada cita-citaku mati muda.
Sore itu langit cerah, matahari sudah ingin beristirahat namun pesonanya masih terlalu memukau. Diizinkan ekornya berdansa elegan dengan rumah galaksi nila, menciptakan maha karya gradasi siluet yang begitu mewahnya. Lembayung, ditemani awan cirrus terbias jingga, perlahan menggelap di ufuk barat ujung pelabuhan.
Seseorang dengan sangat tenang mengenalkanku pada langit indah di sore hari itu. Pertemuan kami sebentar saja, tapi magisnya keterhubungan terasa seperti berabad-abad racikan rasa yang menanti untuk disuguhkan.
Untuk pertama kalinya aku bersyukur masih diizinkan hidup dan menikmati kemilau dunia yang sementara.
Bertemankan papan mengambang dan dayung sederhana, berada di atas air asin yang hening, seketika menjadi obat mujarab tumpukan kegelisahan puluhan tahun. Mengapa baru sekarang? Oh, semesta pintar sekali menyetel waktu untuk mempertemukan.
Pantulan cahaya langit di atas air laut yang hangat itu menyisakan rasa syukur yang tak ada habisnya. Terlalu indah, ataukah aku yang bergerak terlalu lamban untuk keluar dari zona kelabu di ibukota?
Perasaan membuncah ini hanya dibalasnya dengan senyum tenang. Layaknya panacea bagi inner childku yang melompat-lompat kegirangan menyaksikan romantisme alam yang tercipta dalam sekejap mata. Diajaknya kami berlayar sebentar, sehingga tampak kemilau dari dasar laut yang menguak dunia absurd lainnya. Suatu hari nanti aku kan kembali menyambangmu, benak ini mengamini.
Ia dan senyum manisnya ternyata bukan sembarang insan yang semesta lahirkan. Ada makna mendalam yang membuat pertemuan ini berkelanjutan. Sosoknya terlalu memikat, pesonanya terlalu kuat. Aku lemah di hadapan peri-peri romansa. Matanya, rambutnya, bahunya, senyumnya, hidungnya. Semua punya makna. Cantik tak hanya mampir pada geliat cahaya di balik bukit Sylvia, tapi juga pada tatapannya yang lembut menyejukkan, parasnya yang menenangkan, suaranya yang menentramkan.
Tak banyak kata yang terlontar, tapi kami sadar ada rasa yang mulai menghinggap. Kami biarkan rasa itu menari dengan lincahnya di udara.
Semesta telah mempertemukan kami dalam skenario waktu terbaiknya. Di saat tiada ambisi kemelekatan menguasa. Ia adalah jiwa yang bebas, begitu pula denganku. Kami telah menjadi pribadi yang utuh dalam perjalanan masing-masing. Pun jika dibersamakan, itulah yang tersebut sebagai pertemuan kebahagiaan, tidak untuk melengkapi, tapi saling menyempurnakan.
Satu hal yang terus terpatri di dalam hati, sebagaimana kebijaksanaan yang dihadirkan utara tanah para dewa, adalah sebuah pengingat bahwa kita perlu menghargai apa-apa yang tidak kita ketahui. Mohon izin jika diberi umur panjang, agar semesta merestui kami, apapun jalan yang harus ditempuh di kemudian hari.
0 notes
Text
Tentang Mendengarkan
am I a good friend?
am I a good listener?
Apa tolok ukurmu dalam menilai seseorang itu teman / pendamping yang baik?
Bagiku adalah kemampuan mendengarkan.
Sudah banyak yang bicara mengenai hal ini, ungkapan klise namun realitanya sangat sulit untuk dijalankan.
Mendengarkan adalah seni. Seni yang rumit. Salah metode bisa jadi boomerang.
Sejak kecil aku sudah terbiasa, terdidik, terlatih menjadi pendengar. Mendengarkan dan menanggapi masalah-masalah di rumah minimal. Namun skill mendengarkan ini seringkali menjadi tekanan di dalam diri. Aku tidak mengalirkannya kembali ke luar, akibatnya masalah orang yang kutampung berbuah menjadi stress entah sadar tidak sadar. Manifestasi fisiknya bisa jadi jerawat, susah nambah berat badan, rambut rontok, dan lain sebagainya.
Kebiasaan menampung masalah orang lain dan menekan perasaan sendiri ini membentuk aku menjadi sosok seperti Gang Tae di serial “It’s Okay to Not Be Okay”. Putting fake smiles, kalau ada masalah ya selesein sendiri, keluarga bertumpu secara emosional ke aku, sedangkan aku dibiasakan untuk tidak boleh mengeluh dengan sekitar. Akhirnya, kebiasaan memprioritaskan kebutuhan orang lain dibanding diri sendiri menyebabkan aku mengalami savior complex. Tendensi untuk menyelamatkan nasib orang lain meskipun diri sendiri sedang terpuruk.
Setelah mengikuti vipassana 8 tahun lalu banyak perubahan cara pandangku dalam berelasi. Termasuk salah satunya memposisikan diri sebagai pendengar yang bijak. Tidak lagi selalu mengorbankan diri sendiri demi kebahagiaan orang lain. Namun kembali melihat kebutuhan diri sendiri terlebih dahulu, sembuhkan luka batin sendiri, baru berbagi energi baik untuk sekitar. Anapana, Vipassana, baru Metta. Tidak sebaliknya.
Perubahan ini membawa transformasi diri yang luar biasa. Aku jadi less drama, tidak terlalu sering holding grudge, belajar mengkomunikasikan kegelisahan dengan cara yang tepat, tidak tantrum, tidak manic juga. Jadi lebih stabil dalam memproses berbagai macam tipe perasaan.
Karena siklus proses kegelisahan diri jadi lebih sederhana, aku tahu kapan waktunya untuk terlibat dalam konflik produktif, kapan sebaiknya menghindar, kapan sebaiknya intervensi, kapan dan seperti apa sebaiknya mendengarkan tubuh dan memenuhi kebutuhannya. Pengalaman demi pengalaman memproses masalah seperti ini menjadikanku tidak terlalu kompleks lagi dalam menganalisis fenomena, tapi menjadi lebih pragmatis, dengan alibi solutif.
Masalahnya dengan level kelola masalah seperti ini adalah aku jadi kurang berempati dengan kemampuan orang lain dalam handling masalah mereka. Way too expert jadi tidak mempertimbangkan bahwa orang lain masih di tahapan yang berbeda ketika melihat masalah hidupnya. Bagiku yang kini masalah x sudah tampak sepele bisa jadi adalah masalah kompleks bagi orang lain. Ujung-ujungnya aku lebih cenderung mendengarkan untuk menganalisis masalah orang tersebut, lalu langsung memberikannya resep bagaimana sebaiknya ia mengatasi masalahnya.
Tarot menjadi media yang cukup efektif untuk menyalurkan daya analisis problem solving + intuisi + penanda dan interpretasi tinanda dari semesta. Namun ketika pendekatan yang kugunakan lebih cenderung ke ‘telling people what to do” ini adalah cara malas bagiku dalam menyimak masalah orang yang ingin berbagi kisah denganku. Seakan-akan masalah itu adalah masalahku, lalu aku akan mengambil langkah apa jika berada dalam kondisi yang sama, lalu kutawarkan solusiku.
Masalahnya adalah, belum tentu opsi solusi tersebut applicable untuk orang tersebut. Entah dari kapasitas teknis, adaptif, intelektual, emosional, finansial, hingga spiritual. Aku tidak berupaya untuk menganalisis lebih dalam mengenai kompleksitas background dari orang yang ingin kudengarkan masalahnya. Bisa jadi ia hanya perlu dibantu untuk didengarkan, lalu dikenalkan dengan tipe-tipe metode penyelesaian masalah, dijabarkan referensi yang ada, dan diizinkan untuk memilih sendiri langkah mana yang akan diambil olehnya.
Kadang ia hanya butuh didengar dan didukung apapun keputusannya, yang semoga diambil dengan penuh pertimbangan dan kesadaran. Kadang ia hanya butuh ditemani dalam prosesnya mengambil pilihan-pilihan langkah tersebut. Kadang ia hanya butuh mimpi-mimpinya diamini.
Harus kuakui, aku belum mampu menjadi teman yang baik akhir-akhir ini. Terlalu sering memprioritaskan kebutuhan dan kenyamanan diri sendiri. Ketika temanku protes atas absenku dalam hidup mereka aku malah terkadang berlaku defensif seperti adegan semacam ini, “lah, gue kalo ada masalah nyelesein sendiri ga merengek-rengek ke lu. gue sedih lu dimana, lu happy juga diem-diem aja, giliran lu sedih baru lu datang ke gue.” Bukannya berupaya mendengarkan dengan empati, alih-alih aku malah menyalahkan balik. Ada benarnya, tapi kurang bijak saja.
Melalui postingan ini, aku mau minta maaf kepada semua orang yang sudah terlau sering aku sodorkan kalimat-kalimat bossy seperti, “coba lu gini, harusnya lu gitu, gue kasih tau lu ya,, ini itu ini itu..”
Akan lebih bijak jika aku berlatih untuk lebih banyak bertanya seperti ini, “kamu gimana perasaannya? kamu maunya gimana? kalau dari pertimbanganmu nyamannya gimana? aku belum bisa bayangin gimana kamu melalui ini semua, kamu kuat sekali, aku salut sama kamu. kamu kalau ada apa-apa jangan segan-segan cerita ya, kontak aja kalo emergency kabarin langsung aja.”
Iya, bertanya semacam itu kadang rasanya lebih banyak buang waktu apalagi kalau dilakukan sekedar lip service, namun ketika aku mencoba bertanya dari hati, sungguh diri ini langsung reflektif membayangkan situasinya yang benar-benar sulit dan menyesakkan baginya, aku perlu belajar memahami situasinya sebelum memberi kesimpulan dari obrolan yang singkat.
Maka dari itu tarot readingku lebih sering kusediakan dengan platform interaktif dan tanpa promosi. Jika ada yang ingin bercerita langsung hubungi saja. Aku ingin berlatih mendengar dengan lebih sabar. Latihan seni mendengarkan. Dan semoga aku tidak tergesa-gesa langsung menyarankan solusi dalam prosesnya, semoga aku tidak judgemental dalam mendengarkan semua keluh kesah yang berdatangan. Semoga solusinya bisa kita temukan bersama ketika kita saling bercerita dari hati ke hati. Kita latihan saling jujur sama perasaan masing-masing, saling membuka diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Jangan segan-segan kalau kalian mau berbagi kisah ya, kita sama-sama latihan menjadi seniman pendengar yang bijak..
0 notes
Text
Governmentality
Beberapa hari yang lalu mendapat kritik tajam dari salah satu kolega riset yang belum mengenalku cukup dekat, katanya aku terlalu bossy. First impression matters though.
Sebagian diriku mengamini pernyataan tersebut, namun sebagian lagi menyelidiki tanpa henti, mengapa, bagaimana, dan seperti apa itu terjadi.
Malam, pagi, siang, sore. Bekerja, sandaran, baca buku, masih kepikiran. Sungguh mengganggu ritme aktivitas sehari-hari.
Akhirnya aku coba telusuri asal-usul terbentuknya kebiasaan itu. Sekian tahun berkutat dengan konsep dan teori kepengaturan, relasi kuasa, dan lain sebagainya, ternyata sadar tidak sadar itu sudah mengendap dalam laku sehari-hari dan pola komunikasi.
Aku pun kembali menyediakan waktu untuk refleksi, kontemplasi, dan otokritik. Waktu-waktu yang sangat berharga dalam proses bertumbuh diri.
Sejak di kandungan kita sudah terbiasa dengan laku governmentality atau kepengaturan ini. Kita terlahir sebagai makhluk innocent yang menjadi justifikasi pihak lain untuk mengatur hidup kita, dan kita mengatur hidup orang lain, secara langsung maupun tidak langsung.
Contohnya, Ibu memberikan asupan makanan sesuai waktu yang ia tentukan, bayi harus menurut makan, mandi, dan meladeni penghiburan bagi orang tuanya. Bayi merengek agar ibunya yang sedang mengerjakan hal lain menghampiri ia untuk memberikan susu, menggendongnya agar tidak gelisah. Suami merasa perlu mencari nafkah untuk menghidupi anak istrinya, istri mengalokasikan waktu tenaga dan pikiran untuk mengurusi rumah tangga yang dipimpin oleh suaminya. Ini contoh sangat sederhana yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Secara sadar kita hanya melihat fenomena tersebut sebagai bentuk pembagian tanggung jawab dan peran. Namun ada hal-hal yang terjadi secara intrinsik yang mungkin terlepas dari kesadaran bahwa kita perlu melakukan sesuatu untuk orang lain yang belum tentu keharusan itu lahir murni dari free will si pelaku, bukan dilihat sebagai tanggung jawab dan keharusan.
Sebagai seorang anak, tentu saja aku ditempa dengan banyak kepengaturan. Di rumah, di sekolah, di lingkungan pertemanan, di pekerjaan, di agama, di negara, termasuk sebagai bagian dari komunitas dunia. Namun sejak kecil pula aku dibiasakan untuk melakukan kepengaturan terhadap hidup orang lain. Ibu yang sering meminta pertimbanganku, teman yang meminta masukan. Lucunya, yang paling jarang terdampak kepengaturanku atau aku yang terdampak kepengaturan mereka adalah ayah dan adik laki-lakiku. Simple, kepengaturan ini terlihat no harms, tapi terlihat jelas hasil perbedaaanya.
Karena terbiasa saling atur mengatur, relasiku dan almarhum mama dapat dikatakan cukup kompleks. Ada perasaan bersalah jika salah satu dari kami tidak menuruti keinginan satu sama lain. Padahal jika dilogikakan penolakan tersebut dapat terjadi secara wajar, dengan no hard feelings. Tapi guilty menjadi momok utama, konsekuensi pahit jika salah satu dari kami menolak mengaimini keinginan satu sama lain. Aku harus meladeni insecurity mama, dan mama harus menanggapi insecurityku. Governmentality dari mama yang melahirkan perasaan bersalah ini masih ada meskipun secara fisik mama sudah tiada. Ia bisa mengingatkanku dalam mimpi! Mentally disturbing. Aku merasa masih punya kewajiban untuk menuntaskan berbagai pekerjaan mama yang belum selesai semasa ia masih hidup dulu.
Lain halnya dengan adik dan ayahku. Kami terbiasa untuk urus diri masing-masing, jika perlu bersama ya karena memang ingin membantu, bukan karena merasa wajib membantu. Sehingga jika ada unsur perintah dalam relasi kami, rasanya itu sangat mengganggu, karena kami terbiasa bergerak secara otonom. Bukan berarti kami tidak peduli satu sama lain. Namun dampaknya adalah relasi kami jadi lebih luwes, tidak ada keterikatan yang menimbulkan perasaan bersalah jika kami di waktu-waktu tertentu saling cuek sibuk dengan kehidupan masing-masing.
Kebiasaan menjadi tempat memberi saran bagi mama dan teman-teman di sekitarku membentuk kepribadian yang dominan. Sejak kecil aku sudah dilatih untuk mengatur hidup orang lain, selain mengatur penuh diriku sendiri. Dan ini berdampak pada relasiku dengan orang-orang sekitar saat ini, di pertemanan, di pekerjaan, di organisasi, dan relasi sosial lainnya.
Ketika kutelusuri, inilah kenapa aku merasa cocok bekerja sebagai peneliti yang cukup independen mengembangkan kerangka berpikir dan metodologi sendiri juga keputusan menjadi tarot reader. Yap, karena aku mendapatkan ruang untuk kembali melakukan tindak-tanduk kepengaturan ini. Ruang untuk menjadi dominan.
Lalu bagaimana jika aku dihadapkan pada kerja tim? insting alamiahku dalam menyesuaikan diri mengatakan aku perlu mundur jika sudah ada yang mengambil tanggung jawab tersebut. Semacam, your work your job, my work my job. Tetap dengan pembagian kerja masing-masing. Splitting the task. Pun jika harus membangun dokumen satu file bersamaan, biasanya aku akan memilih untuk fokus pada chapter apa yang perlu aku tulis dan menghiraukan apa yang orang lain tulis di chapter mereka. Secara tidak sadar aku sudah terbiasa dengan pola spesialisasi ala Adam Smith ternyata. Justifikasinya adalah efektivitas, padahal menjadi pelarian agar aku tidak harus selalu commune.
Cara bekerjaku berbentuk pembagian ruang authority. Batasnya harus jelas. Jika dimintakan saran oleh pihak lain, maka aku akan kembali menguasai ruang penuh dengan intensi kepengaturan. Sangat tidak cair. Makanya aku lebih suka ngobrol intensif berdua daripada beramai-ramai. Karena kalkulasi praktik kepengaturannya lebih terukur.
Melalui vipassana dan momen reflektif secara kritis sebenarnya sudah membuatku mengurangi dominasi dalam banyak ruang, tapi jatuhnya aku menjadi pasif dan kehilangan interest. Biasanya aku akan mencoba mendengarkan, menyaksikan, menyimak, lalu setelahnya imajinasi akan membuatku merancang apa yang perlu ditambah, dikurangi, dibentuk, dihancurkan, dihilangkan. Seringkali proses diskusinya sendiri menjadi minim makna dalam diriku. I take what people say, and I give what I should say. What’s on my mind is what’s important. Aku menjadi kurang berempati. Polanya begitu. Aku menjadi sulit untuk memposisikan diri, blending, melebur, tarik ulur, seperti adonan donat yang nikmat itu. Karakter yang dominan ini opsinya kaku sekali, antara menjadi sangat ada atau menjadi tiada. Sulit untuk memposisikan diri menjadi setengah ada dan tiada. Padahal aku mengaku diri makhluk liminal.
Inilah kenapa akhirnya aku datang pada kesimpulan untuk mencari mentor. Entah dari guru vipassana, dosen yang aku kagumi pemikirannya, atau rekanan yang menjadi contoh teladan untuk perkembangan karir, studi, kesehatan mental, dan kehidupan secara umum. Kehadiran mereka adalah sebagai teman berbagi cerita dan pengalaman yang nyaris setara, relasi kuasa sangat bisa disesuaikan, bahkan seringnya tanpa relasi keterikatan yang memaksa dan kaku. Minim unsur ketergantungan, dan aku pun tidak perlu mengatur hidup mereka. Sama-sama sebagai makhluk independen yang bertemu untuk berbagi kisah, mendapatkan perspektif menarik dan berbeda, lalu mencoba kembali menjalani hidup masing-masing.
Ini yang ingin aku coba praktikkan baik dalam lingkup keluarga, pertemanan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Hadir hanya menjadi teman seperjalanan yang relasinya saling membebaskan namun tetap bertumbuh bersama. Sayangnya, pola relasi semacam ini sulit diaplikasikan pada kehidupan berumah tangga, karena kita sudah terinternalisasi dengan norma sosial budaya yang mengatur pola pembagian tanggung jawab dan kepengaturan. Tanggung jawab domestik, tanggung jawab non domestik.
Harapannya semoga suatu hari dapat menemukan relasi yang tidak lagi melihat hal semacam ini sebagai kewajiban dan beban tapi karena kesungguhan diri dan hati untuk memilih secara sadar dan penuh menjalankan aktivitas itu semua dengan tulus sebagai free will. Yang lebih penting dari itu semua adalah, aku juga sedang belajar untuk berhenti menggovern diriku sendiri, ia punya insting alami yang perlu kudengarkan, bukan kupaksakan dengan kehendak kepengaturan lagi. Aku ingin belajar mendengarkan diri dari dalam, melakukan sesuatu karena itu adalah laku alamiahku, bukan karena aku merasa harus begini begitu agar aku begini begitu.
Jika ada teman-teman yang merasa aku cukup bossy, mohon dimaklumi ya. Pun, aku sedang berporses untuk mengurangi dominasi kepengaturan / governmentality ini. Agar relasi kita menjadi lebih sehat dan membebaskan.
Peluk hangat namun tidak terlalu erat,
V
0 notes
Text
Tentang Memaafkan
Dear Oma,
Bukannya aku ga paham karma. Karena saking pahamnya makanya milih diam aja. Ga usah berurusan kalo ga perlu-perlu amat. Buat apa juga basa basi kalau hati ga tulus lagi. Oma ga perlu imposing pengalaman dan pengetahuan mendesak gitu pas jam sahur masih ngantuk kan. Jatuhnya kekerasan simbolik, bikin gloomy dan stress secara psikis mendadak.
Pertama, karena oma pernah ngalamin, bukan berarti pengalaman kita relatable. Kemampuan adjust, process, dan menerima kita beda. Oma aja telat kan sadarnya? Pengalaman rasa sakitnya juga beda. Lagian aku juga ga lagi minta buat dikasih petunjuk sama oma karena bingung. Aku sadar betul situasiku rumit, dan ga usah dibanding-bandingin sama kisahnya oma dulu, atau karma yang oma jalanin sekarang. Karena judulnya sama, bukan berarti kemampuan memprosesnya juga sama. Oma juga ga ada selama proses aku disakiti, jadi izinkan aku menata hati pelan-pelan sendiri.
Pepatah juga bilang, “Cutting people from your life does not mean you hate them, it simply means, you respect yourself.” Oma ga tau kan kalau deep down aku udah ga benci kok, bahkan di mimpi pun relasi kami berlangsung romantis. Artinya, di alam bawah sadar penerimaan itu sudah ada. Penerimaan atas rasa sakit di masa lampau. Tapi meskipun sudah memaafkan masa lalu, bukan berarti orang yang dimaafkan sudah pasti berubah kan? Nah inilah yang dimaksud dengan saat ini, bertanggung jawab untuk menjaga diri sendiri, menjaga hati agar tidak dizalimi lagi. Karena sudah memaafkan lah makanya harus jaga diri agar tidak disakiti lagi. Oma menyesal sekarang karena di detik-detik terakhir oma masih membenci, beda denganku yang bukan membenci tapi pasang strategi jaga diri, jaga hati.
Oma pake ngancam-ngancam pula, nanti rasain aja kalo pas berkeluarga dan punya anak. Pertama, aku ga berencana melahirkan anak. Jadi, ancaman oma itu case closed ya. Aku akan habiskan sisa waktu hidup ini untuk terus melatih diri memaafkan, tanpa membentuk karma baru dan keterikatan baru. Sehingga ketika mati nanti sudah tidak ada lagi penyesalan, tidak ada lagi tanggungan rasa. Aku juga ga berniat untuk melanjutkan legacy. Target di sisa umur ini malah ingin memutus legacy, sudah selesai tidak perlu ada hal yang harus diwariskan, apalagi karma.
Kedua, kalau aku sok ramah sama dia, nanti malah aku disetan-setanin sama istrinya. Karena istrinya itu jeles betul kalau dia dekat lagi sama anak-anaknya. Jadi, daripada perang mulut perang batin mending jaga jarak aja. Dia kalau mau bangun relasi baik lagi sama anaknya simple aja, tinggal rutin hubungin tanya kabar, ga usah pake tanya kondisi finansial toh sudah mandiri. Tapi faktanya itu juga ga dia lakukan, kenapa? Ya itu tadi, istrinya ga suka. So, let him be happy with his new life, aku ga akan ganggu-ganggu. Nanti jika ada masanya dia butuh bantuan anak-anaknya, ya tinggal bilang aja. Toh nomornya ga aku block kok oma. Intinya gini, kalau dia mau bangun lagi relasi baik sama anaknya, tinggal datang baik-baik, kami terima kok. Tapi kalau datang cuma buat bikin jengkel, ya mohon maaf, siapa lagi yang harus menjaga hati ini jika bukan diri sendiri. Lagian kalau aku sedang terpuruk terluka aku juga ga dipukpuk oma. Semua jungkir balik rasa ini kutanggung sendiri.
Jadi oma, ga usah imposing pengalaman oma dengan tendensi perintah aku harus begini begitu. Aku sadar posisiku, dan tau apa yang perlu kulakukan. Aku tidak membenci, aku juga tidak bicara kasar dengan dia. Aku hanya berdiam diri, mengamati, dan menunggu, sampai semua akan indah pada waktunya.
Maaf ya oma kalau kesannya aku ga suka diceramahi. Bukan ga suka, tapi mungkin cara oma kurang pas aja. Pertimbangan tentang timing untuk bicara terutama. Aku butuh waktu untuk healing, mohon maaf kalau lama, karena masa-masa disakitinnya juga lama, traumanya sudah menumpuk tinggi, dan aku tidak ingin menjadi gila hanya karena satu sosok itu saja. Aku sedang berlatih memaafkan kok oma, percayalah.
0 notes
Text
Menjadi Ibu
Barusan ibu poni ke kamarku, mengeong-ngeong ngenes mencari anaknya di kolong kasurku. Mencium-cium setiap pojokan sembari menatap tajam berharap akan ada sautan ngeong dari anaknya.
Kubalas dengan iba, “Anakmu sudah mati ibu poni, udah ga ada. Makanya kemarin anaknya pas masih hidup diurus, jangan ditelantarin.”
Kurang tepat sebenarnya aku mengeluarkan ungkapan menyalahkan seperti itu. Karena dari suara halunya, ibu poni sebenarnya mengidap trauma besar kehilangan anak-anaknya.
Sejak hamil besar, entah ke berapa puluh kalinya, ibu poni kerap mampir ke rumah, selain minta makan juga sekalian netekin dua kucing bayi yang bukan anaknya, mungkin susunya sakit kalau ga dikenyot-kenyot saat perut sudah bunting raksasa begitu.
Nah, namun dua minggu sebelum lahiran ia malah jarang ke rumah, mungkin keluyuran mencari tempat untuk lahiran. Tapi sepertinya ia tidak menemukan ruang yang pas, yang aman untuk dia bersalin sembari tetap mencari makan tidak jauh dari anak-anaknya.
Sehari sebelum lahiran, ia ngeong-ngeong minta masuk rumah, mencari pojokan-pojokan. Langsunglah tanteku mencari kardus bekas untuk tempatnya bersalin, sembari mengumpat karena sedang sibuk memasak.
Pojokan dekat wc lantai dua akhirnya jadi spot lahiran ibu poni malam harinya. Sayangnya, pipa air di dek tiba-tiba bermasalah, air rembes, sehingga besoknya harus ada tukang yang datang. Ibu poni pun kehilangan privacy, dan berisiknya tukang membuat ia tidak tenang.
Sore itu hujan deras, ibu poni panik karena rumah sedang berantakan dan suara bising dari mana-mana. Ia gigitlah beberapa anaknya ke luar, mungkin maksudnya mencari tempat yang lebih tenang. Di tengah hujan deras anaknya berceceran di jalan. Kiran sempat melihat gelagat aneh ibu poni ini. Akhirnya buru-buru bayi-bayi itu diselamatkan, badan kakinya sudah pada dingin. Sedangkan ibu poni menghilang di balik derasnya hujan.
Dua diselamatkan, dua masih di kardus. Esok harinya dua yang kedinginan digendong ibu poni keluar kemarin sudah kaku. Lalu tanteku saat keluar rumah melihat satu bayi kucing sudah kering dilindas ban kendaraan, kepalanya gepeng. Kami serumah stress mendengar ulah ibu poni ini.
Bukannya diam menghangatkan dan menyusui anaknya, ibu poni malah pergi-pergi. Sesekali ngeong-ngeong nyari anaknya, yang padahal ada di depan mata. Sepertinya ia mulai pikun anaknya dimana seperti apa, tapi tubuhnya sadar bahwa ia harusnya punya bayi. Sampai akhirnya tinggal satu yang hidup.
Siang hari esoknya ibu poni menggigit bayi satu ini ke kamarku, ia turunkan di kolong kasurku. Panik karena melihat bayi kucing dingin tak berdaya, langsung kucarikan kain sebagai alasnya. Bukannya disusui sama ibu poni, ia malah hanya menjilat lalu melengos pergi lagi. Aku kesal bukan main. Di teras, malah kutemukan Belang dan Lucy sibuk nenenin ibu poni. Anakmu yang sebenarnya di kolong kasur ibu poniiiiii!!!! kenapa malah nyusuin bayi udah gede dan bukan anak sendiri. Ibu poni udah pikun benar.
Tak tega melihat bayi tak berdaya, di antara call dan webinar dan call lagi dan webinar, kujaga bayi kecil yang cukup segenggam tangan kanan. Kuharap dengan mendapat sentuhan makhluk hidup ia meraih kehangatan. Entah reiki ku berfungsi atau tidak, tapi terlihat ia merespon sentuhanku. Bibirnya kering, kuharap ibu poni kembali menyusui bayi ini. Tapi nihil, bayi kucing terlalu lemas untuk membuka mulutnya, meskipun sudah kusodorkan ke pentil ibu poni.
Malamnya saat berbuka, adikku mindahin bayi ini dari kolong kasur beralas kain ke keranjang kasur kucing yang biasanya dijamah Itin. Usai magrib kulihat ia sudah kaku, sedangkan ibu poni ada di depannya netekin Belang dan Lucy. Aku sedih, sejadi-jadinya. Kok ya ada ibu setega itu. Bayi kucing ke lima pun akhirnya sudah dikubur semua. Sedangkan susu ibu poni masih membengkak.
Siang ini ibu poni datang ke kamarku mencari anaknya. Aku masih kesal, kubentak saja dia, “Anakmu sudah mati semua ibu poni, makanya kalau punya anak diurus jangan ditinggalin!!!”
Aku marah, tapi aku tahu ibu poni tidak bermaksud begitu. Ia sedang mengidap trauma. Menjadi single parent dengan banyak anak, tak punya rumah, tak tahu mau makan dari mana. Hanya berharap ada manusia yang mau menolongnya di tengah krisis seperti sekarang ini.
Aku tidak bisa membayangkan jika aku ada di posisi ibu poni. Mungkin aku akan memilih disterilisasi.
0 notes
Text
Tentang Mimpi
Tahun lalu ada mimpi yang sangat vivid aku alami. Aku mengajak orang-orang yang aku peduli terhadapnya untuk evakuasi ke Bumi Langit. Di sana tanahnya tinggi dan katanya akan dibangun semacam tembok bendungan. Setelah tiba di sana, benar ternyata, banjir bandang menenggelamkan Jogja, dan karena tembok itu, Bumi Langit aman, kebun-kebun dan hewan ternak masih dapat bertahan, utamanya manusia yang berhasil evakuasi di sana. Sedangkan yang terkena banjir, sudah mati hanyut terbawa arus.
Awal tahun ini aku mimpi mati. Kuburanku gelap dan sepi, tapi lucunya ada Kunto Aji menemani. Di mimpi itu juga ada alm Mas Richard, dan alm Mama. Mama masak enak buat menyambut mas R. Di mimpi itu ceritanya aku sudah mati. Pesan dari mimpi itu sederhana, perbanyak karma baik kalau mau kuburannya terang.
Lalu awal Maret tahun ini aku mimpi kembali yang serupa dengan kisah pertama. Bedanya settingannya kurang jelas di mana. Intinya aku mengajak orang-orang untuk segera evakuasi ke tempat yang lebih tinggi. Setibanya di rumah pengungsian sementara, banjir bandang kembali melanda. Teman-temanku yang abai dengan pesanku kelimpungan harus berenang di kedalaman arus banjir tersebut untuk menyelamatkan diri. Kondisi sangat kacau, semua basah dan lembab. Bahkan cuma ada satu mangkuk indomie goreng untuk dimakan bersama-sama. Ada yang selamat, banyaknya ya wafat.
Awal bulan puasa ini intens mimpiku tentang rumah dan mama, tentang pulang. Kata tanteku biasanya itu representasi dari kondisi keimanan. Mungkin percampuran antara tarot dan alquran membuat batinku kebingungan. Tapi keduanya bagian dari diriku, mengaji iya, baca kartu tetap.
Semalam aku mimpi mati lagi. Aku melihat mayatku sendiri. Dan lucunya, selalu ada mama yang menemani prosesku mati ini. Tanpa rasa sakit, yang ada hanya panik, karena merasa perlu menyelesaikan beberapa urusan dulu sebelum mati. Urusan yang paling kuingat adalah aku haid, mandi di kamarnya ayu yang berantakan di kosan Jogja untuk membersihkan sisa darah, lalu mengenakan baju putih. Setelah itu aku melihat tubuhku sendiri sudah ada di barisan jenazah di pendopo, siap dikuburkan.
Aku terlalu malas untuk mencari interpretasi dari mimpi-mimpi itu. Pesan apa yang dimaksud, dan sebagainya. Kemungkinan terkuat adalah ini projecting my biggest desire at the moment, yaitu disappear from this world. Di mimpi mati terasa seperti proses biologis yang sangat alamiah, namun kenapa di dunia ini banyak sekali dramanya jika ada yang mati.
Hal lainnya, mungkin konstelasi jagad raya ini memang sedang membawa frekuensi yang sangat dekat antara alam ruh dan alam kesadaran. Sehingga pemisahnya tipis sekali, jiwa bisa melayang di kedua alam ini secara simultan. Dan malam menjadi arena untuk keluyuran menyicip alam tersebut. Atau aku hanya butuh pelarian karena sudah terlalu lama mendekam di kamar yang statusnya pun cuma menumpang. Oh, desire untuk memiliki ini itu menjadi lenyap seketika. Boro-boro berambisi, makan saja sudah kurang selera. Strategi bertahan aja sampai titik darah penghabisan. Seperti di mimpi, ketika mati, tidak ada yang lain, hanya jasad dan baju putih.
0 notes
Text
Membaca tanda
Barusan habis reading sama salah satu teman sinau klenik / adem atie yaitu Valdi, menggunakan kartu lenormand. Jarang banget ni orang open reading makanya langsung request buat booking sesi.
Dari segenap jawaban atas pertanyaan yang menggelisahkanku (mostly tentang relasi), komen dia yang paling menohok adalah,
“Kalaupun misalnya dapat jodoh dalam waktu dekat-dekat ini, yakin bukannya jadi pendamping hidup tapi malah jadi beban baru dalam hidup.”
Inti pesannya adalah membuat skala prioritas atas urusan apa yang harus aku tuntaskan sebelum berfokus pada perkara pasangan. Ia bilang, “Sejauh ini belum ada sosok yang mampu ngemong kamu, Vel.” Sebenarnya ia menangkap kondisi alam bawah sadarku. Pikiranku memang masih occupied dengan karmaku pada adik dan ayahku yang belum tuntas, rasa bersalahku pada almarhumah ibuku, tanggung jawab ku di pekerjaan, tanggung jawab untuk membereskan beberapa perkara diri sendiri, hingga fully self-sufficient dari segi pangan, sandang, papan.
Valdi benar, aku sebaiknya jangan dulu mencampuradukkan semua urusan itu di waktu yang bersamaan, entah akan berpotensi membentuk chaos atau hanya menumpuk masalah yang takkan kuselesaikan karena terasa terlalu berat.
Pertanyaan-pertanyaanku juga berfokus pada relasi, khususnya keluarga. Bagaimana aku dan almarhumah ibuku, aku dan adikku, aku dan potensi pasanganku. Kegelisahan ini muncul setelah membaca ulang natal chartku yang planetnya banyak berputar di house 4 (family) - 5 (romance) - 7 (marriage & partnership), serta 8 (sex). Ini akan menjadi isu utama dalam perjalanan hidupku sampai mati nanti.
Lagipula, Valdi menangkap cara pandangku yang masih melihat kekacauan adalah sumber konflik yang harus dihindari. Latar belakangnya karena aku tidak punya cukup energi untuk dealing dengan itu semua, karena jelas saja akan menghandle semua urusan itu sendirian, secara fisik, mental, emosional, intelektual, finansial, hingga spiritual. Aku tipikal yang butuh rehat sejenak sebelum kembali ke medan perang. Memasukkan variabel dari luar yang sulit untuk ditentukan potensi antitesis yang akan diciptakannya hanya akan membuatku meledak suatu hari nanti.
Valdi juga berhasil melihat bahwa aku terbiasa mengerjakan dan menuntaskan hal berat terus-terusan. Alasanku adalah karena itu strategi survival hidup di ibukota. Ia mengingatkan untuk tidak meninggalkan hal ringan nan sepele, yang kalau tidak diperhatikan ia akan menjadi tumpukan bersama beban berat lainnya. Bikin skala prioritas untuk menyelesaikan hal termudah dahulu sebelum memegang urusan berat. Mungkin ini adalah peringatannya untukku agar lebih sering memegang sapu dan panci daripada laptop dan gadget lainnya.
Bekerja dari rumah juga membuatku banyak punya waktu kontemplasi, meskipun secara kesibukan rasanya malah lebih overload. Dalam bayanganku, kita manusia ini punya kecenderungan untuk ingin dekat dengan sesuatu yang berbeda dari kita, sesuatu yang kualitasnya belum kita miliki. Entah didekati untuk jadi idola atau diincar menjadi pasangan hidup. Tapi aku tidak ingin terjebak dengan ‘finding your half to complete your life’. Menurutku itu retorika klise yang membuat kita selalu merasa tidak bisa memenuhi kebahagiaan secara mandiri. Ketergantungan dan keterikatan adalah musuh besar dari kasih yang tulus.
Btw kemarin habis menuntaskan serial ‘Freud’ di Netflix, dan bagaimana ia menarasikan kembali realitas ‘alam bawah sadar’ yang mempengaruhi kehidupan di ‘alam sadar’. Itu benar-benar terjadi dalam waktu belakangan ini. Manifestasi yang bisa disaksikan adalah melalui mimpi. Makanya Freud menulis ‘Interpretation of Dream’. Mimpi-mipiku sangat random dan benar-benar bisa berhubungan dengan apa yang kualami di siang harinya. Entah penerjemahan terhadap relasi, imajinasi, hingga kondisi spiritualitas yang sedang diperguncangkan. Psikoanalisa akan selalu jadi subject matter yang akan mendampingi perjalananku memaknai hari-hari. Dan pembacaan kartu sebenarnya bukan ditujukan untuk menyelesaikan masalah kita, namun memberikan perspektif yang berbeda dari cara konvensional yang sudah embedded dalam gaya berpikir sehari-hari. Faktor ikhtiar atau usaha tetap akan kembali ke masing-masing pemilik karma, mau ia gunakan perspektif baru itu menjadi langkah aksi nyata atau tidak.
Anyway, selamat beristirahat semuanya. Semoga bayang-bayang mimpimu bukanlah hal yang mengancam hari-harimu. Pahami maknanya. Terima realitasnya. Ambil penuh kesadaran sehingga mereka tidak perlu berseberangan jalan.
Oh, dan satu hal lagi. Sindiran Valdi malam ini : bahwa menabung berkat juga rezeki. Artinya : jangan pelit berbagi, kita tidak tahu rezeki akan kembali dalam bentuk apa dari arah yang tak diduga-duga. Pay the kindness forward.
On another note : kesimpulanku adalah, bahwa jawaban untuk seluruh masalah di muka bumi ini cuma satu : EMPATI.
0 notes
Text
Being a woman in this modern era
It is a really big responsibility womanhood has to bear today.
Being correlated to the domestic area; We have to be able to wake up early, clean the house, cook some meals (main course or cake and other fancy beverages), wash the dishes, feed the cats / dogs, clean their shit, make a bed, do the laundry, ironing the shirts, survive during monthly periods and its PMS, clean the toilet, do the groceries, watering the plants and some other tasks. (You’ll be considered less woman if not able to do so).
At the same time, some women are handling big responsibilities at their jobs, whether at the office or working from home. Name it, handling the clients, big projects, organizing events, meetings, workshops, field works, all demanding. Working both substantially and technically.
Being a mother? It is even more difficult. Being pregnant, giving birth. Preparing meals or pumping the milks, play with them, clean their poops, shower them, putting some clothes, calm them down when they’re having tantrums, buy them toys, driving them to school and pick them up later, help them with the homeworks, be patient and sleepless all the time. (Deciding not to be a mother? once again, considered less woman).
To be a workaholic mother? all those above tasks should be done perfectly, including pay the house bills, the monthly fees from kid’s school, managing the strict daily schedule, good looking, able to provide the family needs, entertain them, seek for some refreshment.
In order to fill those responsibilities, We have to maintain the health physically, meaning still go to the gym, jogging, swimming, learn martial arts, clean eating, stay in shape, stay fit, stay fashionable, stay sexy. Put a make up or doing 10 step regular skincare is a must (put it into mandatory budget), at least you look good on selfie #ootd, or during conference call, and especially for sex (you have to be super open mind for any fetishes and being skillful). Don’t forget to have regular facial treatment and body spa. Meanwhile to maintain mental health; practicing yoga and meditate regularly, praying, fasting, contemplating, and so on.
Intellectually, women who like reading books are considered sexier (especially for sapiosexual), literature junkies, always on for substantial discussion, active in some movements, initiate contributive projects, have a volunteering job, understand how technology works, producing papers or journals or articles in media would be necessary.
Socially, we are also expected to behave properly, walk like a model, speak like a princess, act like a lady. Assertive attitude and altruistic mind are the main requirements. Not to complain a lot. All problems should be solved creatively. Stay in positive vibe. Always be grateful. Being sociable, good listener, fun, caring, empathic, and helpful are absolutely needed. Well updated with the movie, music, arts, games, trends, gossips, life styles, brands is a must. Loves traveling, hangout, karaoke, concerts, have blog or youtube channel, thus the next goal is becoming social media selebrity. Therefore, financial management is a mandatory capacity to be mastered here.
Dear Patriach, your expectation is just too much.
Let us live at ease.
0 notes
Quote
Bagi seorang Sag, sebatas ide untuk settle down saja sama mengerikannya dengan memilih bertanggung jawab menanggung apa-apa sendiri. Semua memiliki tipikal penjaranya masing-masing, baik penjara keterikatan maupun penjara kebebasan. Keterikatan dengan insan lain seringkali membuat sebal karena merenggut jatah keintiman dengan diri sendiri, yang akhirnya membentuk relasi ketergantungan, lalu tiba-tiba hilang jati diri jika insan ini seketika pergi. Sedangkan kebebasan seringkali membuahkan kekosongan dan kehampaan yang mengiris-iris jiwa saat dunia berisik sekali dengan segenap keramaiannya.
V
0 notes