Di Sini Aku slalu berusaha tuk membuat anda tertawa,kalaupun tdk bisa,setidaknya anda tersenyum,tp kalau tersenyumpun masih g' bisa, setidaknya berpikir.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Photo
🍂♡ Cinta adalah kesempatan. Mencintai adalah merawat ingatan, agar tak luka, agar tak lupa. Pada hati kau akan tetap setia. Belajar mencari kata se-iya. Belajar mengerti bahwa ingin kita tak selalu sama, dan selalu belajar bagaimana kita mencari keputusan berdua. 💐
0 notes
Text
Hidupnya di penuhi tragedi sekaligus komedi.
Di sini saya selalu berusaha untuk membuat pembaca tertawa, kalaupun tidak bisa, setidaknya pembaca tersenyum, tapi kalau tersenyum pun masih tak bisa, setidaknya pembaca berpikir. Nah, Ini salah satu artikel tak akan membuat sampeyan tersenyum apalagi tertawa. Sebab artikel ini penuh dengan cerita penderitaan dan tragedi...ya tragedi silam yang kelam. #pulau BURU. Enam belas tahun lamanya, ia dibuang ke Pulau Buru di Maluku. Sebuah pulau di tengah Laut Banda, yang luasnya lebih besar dari Pulau Bali, yang berjarak ribuan kilometer dari Pulau Nusakambangan. Nama yang disebut terakhir adalah pulau yang selama empat tahun menjadi tempat penampungan sementara sebelum dia dan para tahanan lainnya diangkut dengan kapal ADRI XV ke pulau buru. Itulah kapal yang haluannya penuh kotoran manusia, dan mereka diperintahkan membersihkannya. Di haluan kapal itulah,ia selama sekian hari pelayaran dari Pelabuhan Sodong menunju pulau Buru, dia dan para tahanan lainnya tinggal dan di ombang-ambing ombak yang ganas. Di antara para tahanan, ia termasuk yang termuda usianya. Umurnya belum genap 20 tahun, belum lulus SMA. Dia diciduk aparat hanya karena aktivitasnya di sebuah organisasi pelajar yang disebut-sebut berafiliasi pada PKI. Dia tak punya pilihan. Bapak dan kakeknya yang kiai di kampung juga tak mampu menolongnya dari malapetaka yang tidak pernah dimimpikannya. Tapi dia tidak meratap. Ketika di Nusakambangan dia mulai belajar bahwa manusia memang pemakan sesamanya dan di pulau Buru ini dia merelakan menjadi mangsa mereka yang konon mengajarkan adab dan perilaku, meskipun tentu saja dia tidak menyerah. Tidak pernah. Setiap hari dari sejak subuh hingga petang, dia bersama tahanan yang lain diwajibkan membuka hutan dan padang rumput dengan alat seadanya. Kadang dengan tangan kosong. Berhektar-hektar sawah yang ditanami padi dan ladang yang ditanami jagung dan singkong kemudian menjelma meskipun hasilnya tidak sekalipun mereka nikmati. Mereka sebaliknya hanya disodori jagung yang busuk, nasi penuh kerikil kutu,daging kadal dan tikus. Tapi sekali lagi, dia tidak meratap. Tidak pernah. Banyak rekan-rekannya yang usianya sedikit lebih tua memilih bunuh diri karena merana mengingat orang tua, sanak saudara dan kampung halaman, tapi dia justru “melupakan” semuanya. Dia menghapus keindahan dan kegembiraan hidup yang sebentar dirasakannya sampai masa SMA. Orang tua dan kerabatnya di Jawa malah menganggapnya mati sebab kapal ADRI XV yang bobrok yang mengangkutnya tepat pada 17 Agustus dari Sodong ke pulau Buru, diberitakan terbakar entah di laut apa dan seluruh penumpangnya tewas. Baginya, tragedi hanyalah sebuah lelucon. Dia berusaha menertawakan hidup dan dia bisa menetawakannya terutama menertawakan hidup para tentara yang siang dan malam menjaga para tahanan di pulau Buru.
Di matanya, hidup para serdadu itu sungguh serius karena selalu menenteng senapan berbayonet menjaga orang-orang tak berdaya tanpa senjata, meskipun para tahanan yang diharuskan kerja paksa kadang dengan siksaan, hidup menerima kenyataan. Menerima takdir mereka yang getir dengan mengolah pikir dan batin. Mereka menerima dibuang ke p. Buru, pulau yang tidak mereka kenal dan nyaris tanpa penghuni. Kadang, dia dan para tahanan lain memakan daging kadal, tikus, buaya dan biawak. Kadang memangsa kodok dan serangga termasuk kutu yang mati di nasi dan jagung yang disodorkan para penjaga kepada mereka. Untuk merokok, mereka melintingnya dengan daun jagung atau dari kertas Bibel yang memang tipis milik teman mereka yang beragama Nasrani sebagai papir. Hidup memang hanya soal bertahan, menerima keadaan dan sedikit kreativitas. Dan sementara para penjaga mewajibkan mereka yang beragama Islam beribadah tepat waktu setelah mereka membabat hutan dan padang rumput, kreativitas mereka yang agak ekstrem muncul. Sebagian besar, sekitar 80 persen para tahanan beragama Islam lalu mengaku “beragama” Nasrani karena jadwal beribadahnya yang hanya sekali sepekan.bahkan diangkat sebagai pendeta. Maka pada suatu peribadatan Minggu, dia memerintahkan jemaah untuk membuka lembaran Kitab Matius. Dia pun segera membuka lembaran itu tapi Matius di Injilnya sudah tidak ada lagi kecuali menyisakan sebuah robekan. Dia lupa, beberapa hari sebelumnya, lembaran Matius di Injilnya telah dirobeknya untuk digunakan sebagai papir rokok.
“Segera ia meminta jemaah membuka Kitab Lukas,” katanya. Bertahun-tahun mereka “menjadi” Nasrani hingga pada suatu hari para tentara mulai curiga dan mengabsen mereka satu satu. Maka ketahuanlah berdasarkan daftar tahanan yang disimpan seperti kitab suci di laci meja para penjaga bahwa mereka sebetulnya beragama Islam. Mereka mengaku Nasrani karena terpaksa, karena kelelahan untuk salat lima waktu tepat waktu seperti yang “diwajibkan” para tentara sebab seharian bekerja paksa. Para tentara murka.
Mereka memerintahkan tahanan tiarap sembari menodongkan bayonet dan memaksa mereka kembali “bersyahadat”. Pernah pada suatu hari, para tentara memerintahkan para tahanan menebang pohon di pinggir pantai yang penuh hutan bakau. Seorang tahanan yang renta tak sanggup memikul balog kayu dan laki-laki itu bersedia menggantikannya. Tapi malang, saat berjalan di hutan bakau yang penuh lumpur dia tergelincir. Sebatang bakau muda yang ujungnya lancip menancap di sekitar selangkangannya hingga tembus ke perutnya. Dia tidak mengadu meskipun darah mengucur. Dicabutnya batang itu tapi satu buku bakau tertinggal di perutnya. Kembali ke kamp, seorang penjaga membawanya ke sebuah pos kesehatan. Di sanalah seorang dokter tentara mengoperasi perutnya. Tanpa prokain [anestesi] atau dengan anestesi tapi sangat sedkit sehingga dia masih merasakan sakit ketika perutnya mulai disayat. Bukan disayat vertikal seperti seharusnya sebuah operasi dilakukan melainkan disayat horisontal sehingga urat jalur spermanya ikut terpotong. Dalam keadaan setengah sadar dia lamat-lamat mendengar percakapan si dokter dengan para mantrinya:biarkan saja terpotong, toh kalau dia punya anak akan menjadi komunis. “Saya tersenyum sembari meringis menahan sakit. Dokter itu telah menjadi Tuhan tapi saya tetap berterimakasih padanya karena telah mengoperasi perut saya.” Pada suatu hari yang lain, sejumlah tahanan dari kamp tertentu memberontak. Mereka menyerang pos tentara tapi pemberontakan yang niscaya tak berdaya itu tentu mudah dilumpuhkan. Sebagian dari yang memberontak kemudian dieksekusi, sebagian yang lain dipaksa bekerja siang dan malam. Tapi pemberontakan itu berimbas pada tahanan lainnya termasuk dia. Malam hari dia dipanggil ke pos tentara tapi dia sudah siap dan tahu yang bakal menimpanya. Dia datang dengan pakaian terjelek dari semua pakaian yang memang semuanya jelek. Para tentara bertanya tentang ini dan itu, tentang pemberontakan tahanana, tapi dia tak mengerti apa-apa soal pemberontakan dari tahanan yang putus asa itu. Berpuluh kali, kepala, dada, punggung dan anggota tubuhnya yang lain dihantam dengan senapan hingga tentara yang menyiksanya kelelahan. Dia dibebaskan menjelang subuh dengan darah membasahi pakaian dan kulitnya. “Tapi herannya, saya tidak merasakan sakit. Dan saya menceritakan pada teman-teman satu kamp dengan tertawa.” Sekitar tiga tahun lalu, dia yang sedang menaiki sepeda motor butut menabrak halte di jalur TransJakarta. Dia merasa pikirannya kosong saat itu. Sepeda motornya remuk. Dia pingsan selama sejam. Seorang kerabatnya membawanya ke rumah sakit. Seorang dokter yang berdasarkan rontgen atau MRI atau sejenisnya, lalu menvonisnya terjangkit kanker. Kanker otak atau kanker batang otak atau semacam itu. Si dokter menjelaskan ada trauma di otaknya yang sudah lama. Mungkin itu karena sewaktu di Buru, kepalanya sering dipopor dengan bedil. Dokter menyarankan agar dia menjalani kemoterapi yang ongkosnya untuk sekali kemo bisa mencapai puluhan atau ratusan juta. Laki-laki itu tersenyum mendengar penjelasan si diokter karena mustahil ngkos sebesar itu dipenuhinya, kecuali hasil kerja paksanya selama 16 tahun mendekam di Buru dibayarkan. “Apa pilihannya jika tidak dikemo Dok?” tanya dia. “Umur Anda hanya tinggal tujuh bulan...” “OK Dok, saya memilih yang tujuh bulan.” Kembali ke rumah petaknya, dia segera mendatangi takmir masjid. Dia bertanya biaya ini dan itu tentang pengurusan jenazah: memandikan, mengkafani, menyalati dan menguburkan. "Baiklah Pak. Ini biayanya. Anda datang ke rumah saya tujuh bulan lagi,” dia berpesan kepada takmir masjid yang kebingungan. Semua kisahnya itu diceritakan.
Dia bermaksud memberi semangat sembari menceritakan kisah hidupnya yang getir sembari tertawa,meskipun matanya sedikit berkaca-kaca. Kanker otaknya sudah minggat karena dia meminum ramuan tertentu. Dan di usianya yang sudah renta, dia masih sehat, masih gesit menunggangi sepeda motor. Mendatangi sanak famili dan handai taulan termasuk mengunjungiku. Benar kata orang Yunani kuno, hidup hanyalah tragedi sekaligus komedi. Dan laki-laki itu paham betul tentang tragedi dan komedi hidupnya, Tragedi dan komedi hidup dari mereka yang diperdaya, tragedi dan komedi hidup dari mereka yang dibunuh harapannya.
0 notes
Text
#Menginginkan semua orang mendukung kita adalah sebuah kemustahilan. Jadi hentikanlah berusaha menyenangkan orang seluruhnya. Fokus saja berbuat baik, berbuat manfaat, tanpa harus perlu memikirkan respon orang lain. Sahabat mulia Ali bin Abi Thalib pernah berkata ; "Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu.” Terkadang kita ini aneh. Perhatian sekali akan hal kecil yang tidak menyenangkan diri kita, tapi melupakan begitu banyak kebaikan lain. Kita selalu menghabiskan energi untuk menghadapi 1-2 pembenci kita, namun tak peduli terhadap puluhan orang yang mencintai kita. Pernah dalam sebuah kajian saya ambil kertas HVS putih, lalu saya beri titik hitam di tengah-tengah, saya tanya apa yang jamaah perhatikan? Lalu serentak jamaah menjawab titik hitam. Padahal itu hanya setitik. Kertas putih yang jauh lebih luas diabaikan. Fokus terhadap para pembenci adalah kesia-siaan, menguras energi hingga kita lupa melakukan kebaikan dan menyenangkan orang lain yang mencintai kita. Begitupun poin kedua, tak mungkin kita mencegah orang lain membicarakan kita. Imam Syafi'i Rahimahullah pernah berkata "Siapa yang berpikir dia akan selamat dari omongan manusia, maka sesungguhnya dia telah kehilangan akalnya. Allah Yang Maha Suci saja dikatakan tiga, lalu Rasul mulia dikatai Penyihir yang gila. Lalu baagaimana dengan kita yang tak sebaik keduanya?" Sudah sering kali saya sampaikan bahwa hinaan hakikatnya adalah kebahagiaan, karena pahala akan berdatangan dan dosa kita akan berguguran, tanpa perlu lelah beribadah dan beramal sholih. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali dari omongan dan hinaan orang lain kepada. Kita yang lebih tau apakah diri kita sehina yang diituduhkan, atau malah kita lebih hina, tapi Allah membantu menutup aib kita hingga hanya sedikit saja yang tersingkap dihadapan manusia. So Dear JKH yang kece badai...Jangan bebani hati ini dengan dua hal mustahil diatas. Bahagia itu bagaimana kita merespon sebuah kejadian. Dan selalu bersikap positif adalah kunci meraihnya. Pesan saya...jangan lupa untuk bahagia, kapanpun...dimanapun.
0 notes
Text
Dan salah satu letak ketidakbahagiaan adalah ketika kita menolak takdir Menolak ketetapan Allah yang tidak sesuai dengan keinginan kita Seseorang mengatakan kepadaku, takdir bagi manusia: serumit keinginan mereka Takdir bagi Allah: sesederhana itu yang terbaik untukmu. Lantas tidak bisakah mulai kini kita menyederhanakan semuanya?
0 notes
Text
Harus di akui di abad ini, mengapa eksploitasi perempuan tetap kemripik bagai gorengan kripik telo sebagaimana tercitra dalam iklan televisi, papan reklame di jalan-jalan, film, majalah, atau samping kiri-kanan beranda akun fesbuk. Kata “cantik” atau “seksi” selalu menjadi identitas kunci berita tentang perempuan baik yang syar’i maupun yang berbikini.
Majalah perempuan
0 notes
Text
Perjumpaan yang tak pernah direncanakan, akan tetapi ia nya menjadi bagian dari sebuah perjalanan kehidupanku... Sosokmu yang sekalipun tak pernah terbesit dalam benakku... Kini selalu ingin kuhadirkan menjadi sosok nyata dalam kehidupanku.. Kau menjadi seorang teristimewa...ya sangat istimewa.
Diary mainfals'76
0 notes
Photo
Ada waktunya kau pamit pulang Saat sinarmu mulai enggan Meski siangmu,kau sombong menantang.. Tapi, Lewat senja ini... Simpul malam segera dibentangkan... #Lak_jati
0 notes
Text
KETIKA SISWA KELAS 1 SD TIDAK NAIK KELAS
Ekspresi “Duuuuh” saja rasanya kurang nendang buat mengomentari fakta terkini terkait jumlah anak SD yang tidak naik kelas. Menurut ikhtisar data pendidikan 2015/2016 yang dikeluarkan oleh Kemdikbud, jumlah siswa yang mengulang alias tidak naik kelas SD mencapai 422.082 anak. Dari angka tersebut, jumlah tertinggi diraih oleh kelas 1, yakni 194.967 anak, disusul kelas 2 sejumlah 89.561 anak, dan kelas 3 sejumlah 65.493 anak (Kompas/10 Oktober 2016)
Jaman dulu, era 90-an, siswa yang tidak naik kelas biasanya memang siswa yang kelewat badung, nggentho, nggak mau belajar, atau memang punya kesulitan belajar khusus. Plus lagi, mereka nggak naik kelas biasanya di tingkat kelas “tinggi”, yakni kelas 3, 4, atau 5.
Nah, di jaman sekarang ini, abad 21, mayoritas siswa yang nggak naik kelas kok ya malah kelas yang “lucu dan imut”, kelas 1 sampai 3. Ada apa ini? Padahal anak saya yang pernah ngicipin PAUD udah ditatar baca ABC dan A Ba Ta setiap sebelum jam masuk sekolah di usia 3-4 tahun. Mantep tho? kurang kecil apa coba? disuruh belajar baca sedari kecil. Disuruh lho ya, bukan maunya si anak sendiri. Trus kok bisa-bisanya angka nggak naik kelas paling tinggi justru di kelas 1 SD. Benar-benar aneh bin nggapleki.
Kelas 1 SD adalah tahun pertama anak anak memasuki gerbang dunia pendidikan. Kesan terhadap belajar akan terbentuk di kelas kelas dasar ini. Apa mereka akan senang dan cinta belajar?
Ditambah lagi, anak kelas 1 sampai 3 SD cara belajarnya berbeda dengan anak anak di usia yang lebih tua. Mereka masih harus belajar dengan cara konkrit, alias mempelajari sesuatu dengan mengoptimalkan seluruh inderanya. Kalau mau belajar matematika, misalnya, ya harus bisa mereka lihat pegang dan hitung bendanya, bukan sekadar simbol angka. Ini sudah disebutkan oleh banyak ahli pendidikan selama lebih dari puluhan tahun dan telah didukung oleh aneka penelitian sampai yang melibatkan scan otak! Saya yakin semua guru pasti sudah tahu teori ini, lawong dipelajari pas kuliah, kalaupun nggak kuliah pendidikan, teori ini banyak diketahui.
Tapi kenyataan di lapangan seringkali lain. Entah apa mungkin karena guru jaman sekarang terlalu menghargai penemuan kertas dan pensil serta tata krama terhadap kertas dan pensil agar digunakan secara proper. Padahal buat anak kecil, pensil itu enaknya ya buat dideretin, dihitung, atau dibikin bentuk rangka kapal-kapalan. Kertas itu enaknya ya diguntng, disobek, dicoret-coret, dilipat. Toh nantinya, mereka juga akan sampai pada usia di mana mereka menemukan “aha” momen bahwa kertas dan pensil enaknya memang buat nulis.
Guru SD juga sejalan, jaman sekarang banyak guru yang nggak mau repot repot mengajari calistung kepada anak kelas 1 SD. Maunya yang sudah bisa. Dikasih buku dan soal langsung mudeng. Standar siapa? Nggak tahu. Pemerintah saja nggak mensyaratkan bisa calistung sebagai syarat masuk SD. Kadang-kadang kan begitu, tuntutan sosial lebih didengarkan daripada tuntutan ilmu dan logika.
Orangtua juga demikian, memang menggoda sih melihat anak anak balita bisa baca hitung tulis kayak orang gedhe. Pinter gitu. Trus di rumah anak itu sudah belajar apa saja, sehingga siap dan bisa calistung di usia dini. Pokoknya anak kecil bisa baca itu keren dan pinter.
Nah yang dilakukan kemudian adalah menyamakan cara kerja otak anak dengan orang dewasa, digeberlah pakai latihan soal. Bisa? Ya mungkin banyak yang bisa. Lha wong singa laut aja juga bisa diajar ngitung. Perkara si anak seneng atau nggak, merasa terbebani atau nggak, itu perkara nomor enam belas.
Kata salah satu pakar pendidikan kita, faktor utama hal ini adalah kualitas guru kelas 1 yang kapabilitasnya semakin hari semakin menurun. Saya setuju dengan beliau. Dulu, yang namanya guru kelas 1 biasanya adalah guru yang sudah baya, yang senior dan berumur, sehingga ketlatenannya teruji, kesabarannya mantap, juga paham benar terhadap pemahaman tumbuh kembang anak. Berbeda dengan guru kelas 1 jaman sekarang yang rata-rata masih muda dan junior, mungkin kencang dan langsing juga agar lincah mengejar anak anak yang masih senang berlarian atau agar pitch-nya masih tinggi buat neriakin anak anak yang ribut.
Sebagaimana para orangtua junior, guru-guru junior juga masih kurang jam terbangnya dalam “membaca” gaya belajar anak, perkembangan kognitif mereka, dan yang terpenting, trik trik agar mereka termotivasi untuk terus belajar. Terus termotivasi untuk sekolah dan jadi orang berpengetahuan.
Motivasi ini super penting, apalagi untuk anak-anak yang sekolah di pelosok dan pinggiran yang infrastrukturnya tampak sengaja dibiarkan “jejaka” oleh pemerintah. Mungkin agar citra eksotis Indonesia tetap terjaga. Bersekolah pun harus jalan berkilometer, melewati sungai dan jurang. Kalau bukan gurunya yang memotivasi, lantas siapa lagi? Dora the Explorer?
Anak kecil itu cerdas, tapi lugu, karenanya sangat mudah dibentuk otak dan hatinya. Ke sekolah, mereka sedari awal sudah siap dan ingin belajar. Demi apa? demi disayang orangtua pastinya. Anak anak memang sesederhana itu.
Lha kalau masih piyik, baru mulai belajar sudah “digampar” dengan label tidak naik kelas, yang bukan disebabkan karena ketidaksiapan mereka untuk belajar di SD, melainkan lebih karena faktor sistem pendidikannya yang terlalu maksa, lantas bagaimana mereka bisa tetap tetap positif memandang diri mereka dan sekolah? Bagaimana mereka akan terus semangat? Bagaimana mereka akan cinta dengan ilmu pengetahuan? Bagaimana berharap Iptek Indonesia maju di masa depan? Dan bagaimana membuat mereka seperti pak Habibie? padahal setahu saya, pak Habibie tidak pernah tidak naik kelas, apalagi kelas 1 SD.
Haduuuuh, Pucing Pala Mendikbud…
0 notes