Kepada Janji itu
Karangan bunga memenuhi ruangan, bersama dengan orang-orang yang semua berpakaian hitam. Pandanganku tak pernah lepas seditik pun dari perempuan yang sejak pagi tadi tidak beranjak dari duduknya. Ia dengan setia duduk di hadapan foto mendiang kekasihnya. Walaupun air mata sudah tidak keluar dari kedua kelopak matanya, namun matanya begitu sembab. Perempuan itu, Kojima Haruna, jelas ia menangis seharian tadi. Wajahnya yang putih terlihat begitu letih. Ia tertunduk tak banyak bicara, wajahnya terangkat hanya ketika para rekan, sahabat serta keluarga mengucapkan bela sungkawa.
Di pojok ruangan aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Aku tak berani mengganggunya. Karena aku tahu saat ini ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Shinoda Mariko. Dan tentu aku tak ingin mengganggu kemesraan di antara mereka.
---
“Hei Yuko.”
“hmm?” jawabku tanpa mengalihkan pandangan pada majalah di hadapanku.
“Apa kau tidak kesepian, hidup sendiri terus-menerus? Carilah kekasih”
“Kesepian? Aku sudah punya begitu banyak teman pria.” Jawabku bingung “Ahh atau jangan-jangan kau mau aku meberikan salah satu dari mereka padamu Mari-chan?” sekarang majalah di depannya sudah tak begitu menarik lagi.
“hei-hei. Aku tak butuh para priamu sama sekali Yuko. Karena ada seorang perempuan sempurna di sampingku. Benarkan Nyaro?”
Perempuan di sebelah Mariko hanya tersenyum simpul menanggapainya. Pipinya menyembulkan rona merah. Mereka berpandangan dan tertawa bersama. Sepasang kekasih ini. Dengusku dalam hati. Aku hanya tersenyum melihat tingkah pola mereka. Kedua orang di hadapanku adalah sahabat terbaikku. Haruna merupakan sahabatku sejak dari bangku SMA, sedangkan Mariko, kami beretemu padaa saat di bangku kuliah. Sampai saat ini aku tak tahu bagaimana Haruna dan Mariko bertemu, mereka selalu menjawab bahwa pertemuan antara keduanya merupakan takdir dari Tuhan. Dan aku hanya bisa tesenyum kecut saat mendengarnya. Dan sepertinya mereka selalu puas melihat aku seperti itu.
“Tapi Yuu-chan, apa yang dikatakan Mari-chan ada benarnya. Kau tak bisa bermain-main terus menerus. Pilihlah salah satu dari mereka untuk menjadi kekasihmu” sekarang NyanNyan ikut mengomentari masalah asmaraku.
“Tapi Nyaro, mungkin sebaiknya Yuko tidak usah punya kekasih.” Ia menatap lekat ke arahku. “Nanti kalau aku pergi siapa yang menjagamu?”
“Mari-chan!! Bercandamu tidak lucu sama sekali”
“Aku sedang tidak bercanda Nyaro, aku serius.” Ia menatap kekasihnya dan beralih padaku. “Benarkan Yuko?”
“NyanNyan tidak akan menyukai orang sepertiku” jawabku sekenanya
“Ehh.. Siapa bilang. Nyaro selalu mengatakapan padaku bahwa kau adalah orang paling baik yang pernah ia temui di dunia ini” liriknya pada kekasihnya yang sepertinya mulai tak suka arah pembicaraan ini.
“Hei, Mari-chan aku tak sebaik itu” Kubuang pandanganku ke luar jendela. Melihat aktifitas para pejalan kaki di luar tempat kami sekarang.
“Yuko?”
“Hmm?”
“Maukah kau menjaga Nyaro jika aku tidak ada?” terdengar nada serius pada kalimat Mariko.
“Kau ini bicara apa?” Akhirnya aku menatapnya.
“Aku serius” ia memandangku dengan tajam. Sungguh aku tidak pernah melihat Mariko seserius saat ini. Dan itu membuatku takut. Dan kembali ia mengulangi permintannya. Tapi kali ini terdengar begitu lirih.
“Berjanjilah padaku Yuko.”
Aku tatap lekat-lekat matanya. “Baiklah aku berjanjii”
Ia nampak begitu lega, karena pada akhirnya aku menerima permintaanya. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Mariko saaat ini, tetapi sungguh aku pun ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Pembicaraan yang membuatku dan Haruna semakin tidak nyaman. Dan bunyi ponselku serasa menjadi dewa penyelamat di siang itu. Ku lihat layar terpampang nama Takamina di sana. Segera ku angkat, sebelum terlebih dahulu meminta ijin pada dua orang dihadapanku.
“Moshi-mosh?”
“Yuko, kau dimana? Ada pekerjaan yang harus kau urus sekarang.”
“sekarang?” jawabku terkejut. Dan suara di seberang terdengar mulai mengomel tak karuan.
“20 menit lagi aku sampai ke kantor” balasku agar tak semakin lama nedengar ocehan Takamina. Aku berjalan mendekati tempat duduk kami bertiga.
“Maaf seeprtinya aku harus pergi duluan. Ada pekerjaan di kantor.”
“Akhir pekan seperti ini, masih saja disubukkan urusan pekerjaan” Protes Mariko
“Hmm. Apa boleh buat” aku mengemasi barang2ku dan memasukkanya pada tas
“hati-hati Yuuchan”
Aku tersenyum pada pemilik suara itu. “Yep jangan khawatir Nyan. Oh iya Mari-chan jangan lupa bayar punyaku juga” ku kedipkan mata pada Mariko
“Kau selalu saja”
---
Memoriku memutar kembali percakapan kami bertiga siang tadi. Dan itu menjadi pertemuan terakhirku dengan Mariko. Satu persatu para peziarah sudah mulai pulang, sekarang hanya tinggal aku dan Haruna yang berada di ruangan itu. Ia masih dengan posisi yang sama. Duduk di depan foto Mariko dengan wajah tertunduk sedih. Ini adalah kali pertama aku melihat Haruna seperti ini. Ku pejamkan kedua mataku yang mulai terasa berat.
“Mari-chan jangan terlalu berharap padaku. Aku tak sebaik yang kau kira.”
Kurasakan air mulai deras mengaliri pipiku.
-Bersambung-
Karangan bunga memenuhi ruangan, bersama dengan orang-orang yang semua berpakaian hitam. Pandanganku tak pernah lepas seditik pun dari perempuan yang sejak pagi tadi tidak beranjak dari duduknya. Ia dengan setia duduk di hadapan foto mendiang kekasihnya. Walaupun air mata sudah tidak keluar dari kedua kelopak matanya, namun matanya begitu sembab. Perempuan itu, Kojima Haruna, jelas ia menangis seharian tadi. Wajahnya yang putih terlihat begitu letih. Ia tertunduk tak banyak bicara, wajahnya terangkat hanya ketika para rekan, sahabat serta keluarga mengucapkan bela sungkawa.
Di pojok ruangan aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Aku tak berani mengganggunya. Karena aku tahu saat ini ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Shinoda Mariko. Dan tentu aku tak ingin mengganggu kemesraan di antara mereka mereka.
---
“Hei Yuko.”
“hmm?” jawabku tanpa mengalihkan pandangan pada majalah di hadapanku.
“Apa kau tidak kesepian, hidup sendiri terus-menerus? Carilah kekasih”
“Kesepian? Aku sudah punya begitu banyak teman pria.” Jawabku bingung “Ahh atau jangan-jangan kau mau aku meberikan salah satu dari mereka padamu Mari-chan?” sekarang majalah di depannya sudah tak begitu menarik lagi.
“hei-hei. Aku tak butuh para priamu sama sekali Yuko. Karena ada seorang perempuan sempurna di sampingku. Benarkan Nyaro?”
Perempuan di sebelah Mariko hanya tersenyum simpul menanggapainya. Pipinya menyembulkan rona merah. Mereka berpandangan dan tertawa bersama. Sepasang kekasih ini. Dengusku dalam hati. Aku hanya tersenyum melihat tingkah pola mereka. Kedua orang di hadapanku adalah sahabat terbaikku. Haruna merupakan sahabatku sejak dari bangku SMA, sedangkan Mariko, kami beretemu padaa saat di bangku kuliah. Sampai saat ini aku tak tahu bagaimana Haruna dan Mariko bertemu, mereka selalu menjawab bahwa pertemuan antara keduanya merupakan takdir dari Tuhan. Dan aku hanya bisa tesenyum kecut saat mendengarnya. Dan sepertinya mereka selalu puas melihat aku seperti itu.
“Tapi Yuu-chan, apa yang dikatakan Mari-chan ada benarnya. Kau tak bisa bermain-main terus menerus. Pilihlah salah satu dari mereka untuk menjadi kekasihmu” sekarang NyanNyan ikut mengomentari masalah asmaraku.
“Tapi Nyaro, mungkin sebaiknya Yuko tidak usah punya kekasih.” Ia menatap lekat ke arahku. “Nanti kalau aku pergi siapa yang menjagamu?”
“Mari-chan!! Bercandamu tidak lucu sama sekali”
“Aku sedang tidak bercanda Nyaro, aku serius.” Ia menatap kekasihnya dan beralih padaku. “Benarkan Yuko?”
“NyanNyan tidak akan menyukai orang sepertiku” jawabku sekenanya
“Ehh.. Siapa bilang. Nyaro selalu mengatakapan padaku bahwa kau adalah orang paling baik yang pernah ia temui di dunia ini” liriknya pada kekasihnya yang sepertinya mulai tak suka arah pembicaraan ini.
“Hei, Mari-chan aku tak sebaik itu” Kubuang pandanganku ke luar jendela. Melihat aktifitas para pejalan kaki di luar tempat kami sekarang.
“Yuko?”
“Hmm?”
“Maukah kau menjaga Nyaro jika aku tidak ada?” terdengar nada serius pada kalimat Mariko.
“Kau ini bicara apa?” Akhirnya aku menatapnya.
“Aku serius” ia memandangku dengan tajam. Sungguh aku tidak pernah melihat Mariko seserius saat ini. Dan itu membuatku takut. Dan kembali ia mengulangi permintannya. Tapi kali ini terdengar begitu lirih.
“Berjanjilah padaku Yuko.”
Aku tatap lekat-lekat matanya. “Baiklah aku berjanjii”
Ia nampak begitu lega, karena pada akhirnya aku menerima permintaanya. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Mariko saaat ini, tetapi sungguh aku pun ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. Pembicaraan yang membuatku dan Haruna semakin tidak nyaman. Dan bunyi ponselku serasa menjadi dewa penyelamat di siang itu. Ku lihat layar terpampang nama Takamina di sana. Segera ku angkat, sebelum terlebih dahulu meminta ijin pada dua orang dihadapanku.
“Moshi-mosh?”
“Yuko, kau dimana? Ada pekerjaan yang harus kau urus sekarang.”
“sekarang?” jawabku terkejut. Dan suara di seberang terdengar mulai mengomel tak karuan.
“20 menit lagi aku sampai ke kantor” balasku agar tak semakin lama nedengar ocehan Takamina. Aku berjalan mendekati tempat duduk kami bertiga.
“Maaf seeprtinya aku harus pergi duluan. Ada pekerjaan di kantor.”
“Akhir pekan seperti ini, masih saja disubukkan urusan pekerjaan” Protes Mariko
“Hmm. Apa boleh buat” aku mengemasi barang2ku dan memasukkanya pada tas
“hati-hati Yuuchan”
Aku tersenyum pada pemilik suara itu. “Yep jangan khawatir Nyan. Oh iya Mari-chan jangan lupa bayar punyaku juga” ku kedipkan mata pada Mariko
“Kau selalu saja”
---
Memoriku memutar kembali percakapan kami bertiga siang tadi. Dan itu menjadi pertemuan terakhirku dengan Mariko. Satu persatu para peziarah sudah mulai pulang, sekarang hanya tinggal aku dan Haruna yang berada di ruangan itu. Ia masih dengan posisi yang sama. Duduk di depan foto Mariko dengan wajah tertunduk sedih. Ini adalah kali pertama aku melihat Haruna seperti ini. Ku pejamkan kedua mataku yang mulai terasa berat.
“Mari-chan jangan terlalu berharap padaku. Aku tak sebaik yang kau kira.”
Kurasakan air mulai deras mengaliri pipiku.
-Bersambung-
percobaan fanfic pertama saya dan sepertinya sangat klise jalan ceritanya wkwkwkwk ahh ya sudahlah ^^
1 note
·
View note