jenovlitan
2 posts
Sajak adalah kumpulan rindu. Pun demikian denganmu.
Don't wanna be here? Send us removal request.
jenovlitan · 7 years ago
Text
Monolog Tanah Lapang
Dari kawanku Abraham untukmu, Bintoro.
Aku telah bosan membeli euforia-euforia yang malang
Yang kubayar dengan serupiah nalar
Yang kutemukan tercecer di tanah lapang
Sehabis hujan malam lalu sebelum datang fajar
Kemudian kuingat kau
Malam kemarin, baik malam ini, maupun malam selanjutnya
Namanya tak akan pernah ada dalam list kontak di ponselku
Tidak juga kami berteman di media sosial
Bukan juga teman sepermainan apalagi kawan karib masa kecil
Dia, tentu dengan baju kumal bergaya bohemian mengingatkan aku
Tentang berbagai pelajaran yang kupelajari di sudut kelas pada masa lalu
Yang mana kala itu guru-guruku rutin banget mencekoki aku
Dengan teori-teori moral, sosial, etika, matematika, psikologi,
Dan macam-ragam lainnya
Mereka mengajariku menulis, tapi menulis syair yang menukik perihnya kupelajari sendiri
Mereka mengajariku membaca tapi perihal membaca keadaan, kupelajari sendiri sampai sekarang
Tiada juga aku diajari tentang bagaimana agar aku tetap berpikir waras
Dan kewarasan yang langka pada masa ini,
Yang kucari sendiri sampai hari ini,
Ternyata tak lebih mahal ketimbang sekeping nalar yang sudah kutukar dengan euforia yang naïf lagi malang
Maka sejujurnya aku telah bosan membeli euforia-euforia yang malang
Yang kubayar dengan serupiah nalar
Yang kutemukan tercecer di tanah lapang
Sehabis hujan malam lalu sebelum datang fajar
Kemudian kuingat kau
Masih kuingat kau
Mereka, pesta yang malang itu
Kini telah bertukar cincin dengan gelak tawa yang berhamburan di dalam maupun di luar kedai
Lalu kulihat gelak tawa itu sudah beranak-pinak dan mulai berdesakan
Mereka berebutan tempat di angkasa raya
Maka sesekali aku pun ikut melebur di situ karena kupikir asyik
Sampai aku lupa sudah sedingin apa kopiku?
Setelah masa itu ku berpikir begini:
Aku tak boleh memandangmu tak waras
Hanya karena kau terlampau sering berceracau sendiri di atas tanah lapang yang kau anggap itu rumahmu
Karena akupun sedemikian kerap mengajak diriku berbicara
Sekalipun hanya sekadar mengoreksi hari yang sudah lalu
Aku pun tak boleh memandangmu tak lagi waras
Hanya karena kulihat beberapa temanku yang tak termasuk aku
Tengah berbahagia dengan membagimu beberapa persen dari rezekinya hari itu
Karena mereka pun pernah berbagi denganku
Sungguh, Bintoro
aku telah bosan membeli euforia-euforia yang malang
Yang kubayar dengan serupiah nalar
Yang kutemukan tercecer di tanah lapang
Sehabis hujan malam lalu sebelum datang fajar
Aku pun mulai enggan menilaimu seutuhnya gila
Cuma karena banyak hal dari bicaramu yang kudengar sumbang
Karena aku menyembunyikan decak kagumku
Katika kau bilang kau tahu dari mana Albert Camus berasal
Instrumen apa yang digunakan Vivaldi Antonio, komposer Italia yang mashyur dengan deretan Spring, Summer, Rain, dan Autumn, yang terangkum dalam Four Season, yang tak lain adalah biola
Juga kau jelaskan padaku tentang Franz Joseph Haydn, yang salah satu karyanya menjadi lagu kebangsaan Deutchland, alias Jerman.
Lalu pada pada akhirnya, dari kerutan keningmu lahirlah sebiji pertanyaan
Kau ajukan satu pertanyaan tentang sosok penggubah satu instrumen klasik yang dulu kusuka tapi kulupa
“Symphony no. 5 itu lagunya siapa?” tanyamu
Lalu kau jawab sendiri, “Mozart”
“Wolfgang Amadeus Mozart” jelasmu sekali lagi
Sebelum akhirnya kau ralat menjadi “Beethoven”
“Ludwid Van Beethoven” jelasku
Dan kau katakan “Nah, itu”
Aku cuma melihatmu dalam-dalam. Tanpa suara
Kubiarkan malam menyaksikan heranku
Dan biar embun yang mengeja salutku
Lalu malam itu menjadi pengingat buatku
Selepas aku pulang setelah subuh
Matahari merayap
Orang-orang sudah tak lagi bermimpi
Hari sudah pagi
Di rumah, kubuka laptopku
Lalu mulai kususun daftar lagu harian yang biasa kudengarkan
Kali ini, aku ingin mendengarkan gubahan dari Franz Joseph Haydn, Vivaldi Antonio, Johann Sebastian Bach, van Beethoven, dan Amadeus
Pun buku berjudul “Orang Asing” juga kupajang di meja kerjaku
Aku mulai menulis begini:
“Betapapun kumal bajumu, ketahuilah, Bintoro, Andalah guruku hari itu”
Maka karena aku telah bosan membeli euforia-euforia yang malang
Yang kubayar dengan serupiah nalar
Yang kutemukan tercecer di tanah lapang
Aku ingin kau kuingat dalam syairku
Semoga aku tak berlebih,
Surabaya 24 Februari 2018
3 notes · View notes
jenovlitan · 7 years ago
Text
Tanamlah, kelak kau akan tuai.
Tumblr media
Judul ini sengaja ingin saya bahas pada hari ini. Karena usulan dari teman, yang kemudian saya mengiyakan permintaannya.
Petani adalah orang yang pandai membaca waktu. Dia adalah orang yang tahu kapan akan menanam, kapan akan menuai. Tak jarang kalau padi itu terserang hama. Juga tak jarang petani itu memberi obat agar tak diserang hama. Bagaimanapun juga petani akan tetap menjaga dan memastikan bahwa padi itu berkualitas baik. Hingga menghasilkan beras yang berkualitas pula.
Seperti itulah gambaran kehidupan. Kelak kita akan menuai apa yang sudah kita tanam sebelumnya. Kelak kita akan menerima hasil dari apa yang sudah kita lakukan sebelumnya. Kelak kita akan menghadapi hama, yaitu musibah dan cobaan. Tinggal bagaimana cara kita untuk mengatasi itu semua dengan doa dan ikhtiar. Terlepas dari usaha dan ikhtiar. Sudah seharusnya kita belajar dari seorang petani. Dia mampu menjaga padi tersebut hingga menjadi beras yang berkualitas. Lantas apakah kita juga seperti itu?
Jika dalam kehidupan sehari-hari kita merasa belum seperti itu. Coba cek kembali apa yang sudah kita tanam selama ini, jangan-jangan bukan kebaikan yang kita tanam. Melainkan keburukan yang kita lakukan. Coba cek lagi sudah berapa orang yang kita sakiti sampai kemudian orang itu berbalas buruk kepada kita. Bukankah itu hasil yang kita tanam sendiri?
Gresik, 25 Februari 2018
7 notes · View notes