Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
epos—kisah besar yang mengangkat Sri Paduka Bhattara Rajanatha alias Mau Wolang sebagai tokoh utama, membawa semangat Majapahit Timur ke Laut Selatan dan membentuk akar budaya di tanah Alor, Pantar, Solor, dan Lembata.
EPOS MAU WOLANG: RAJA TANPA MAHKOTA DARI LAUT SELATAN
Judul Alternatif: "Batara di Timur Matahari"
Bagian I: Keruntuhan Tahta
Perang Paregreg mengoyak Majapahit.
Bhre Wirabhumi kalah dan dikabarkan gugur.
Tapi dalam kegelapan malam, prajurit setia Rakryan Jalak menyelamatkannya.
Mereka berlayar membawa dua kapal perang, menuju timur.
Bagian II: Pelarian ke Tanah Matahari
Persinggahan di Lombok, Solor, dan Teluk Lamakera.
Bhre berganti nama menjadi Mau Wolang, menghapus jejak masa lalu.
Mereka tiba di Munaseli, lalu menetap di Pandai, Pantar.
Membangun masyarakat baru, ajarkan ilmu Majapahit.
Bagian III: Pulau Batara dan Ramalan Api
Letusan gunung api muncul di laut antara Lembata dan Pantar.
Mau Wolang menyebutnya Pulau Batara, pulau suci para dewa.
Ia meyakini roh Majapahit berbicara lewat gunung itu.
Sebuah ramalan lahir: "Jika api Batara padam, darah raja terakhir akan bangkit dari timur."
Bagian IV: Pewarisan Darah dan Budaya
Mau Wolang menikah dengan putri kepala suku lokal.
Menciptakan garis keturunan bangsawan baru: Uma Laut Timur.
Anak-anaknya mewarisi darah Majapahit, membawa seni, hukum, dan falsafah ke Tanah Pantar.
Dari sini lahir budaya baru yang menyeimbangkan langit dan bumi: Majapahit Laut Timur.
---
Tema besar:
Identitas dan pengasingan.
Kekuatan roh leluhur dan tanah.
Sinkretisme budaya Hindu-Jawa dan tradisi timur Nusantara.
Pendirian kerajaan baru dari abu yang lama.
Oleh: Jakariah Abdurrahman koli hobol #
1 note
·
View note
Text

"Batara di Laut Timur"
Di ujung Perang Paregreg, ketika darah dan tanah telah menyatu dalam luka sejarah, Sri Paduka Bhattara Rajanatha, sang Bhre Wirabhumi, tidak mati.
Saat istana timur terbakar dan panji-panji Majapahit tumbang oleh pasukan barat, seorang prajurit setia bernama Rakryan Jalak menyelamatkannya dalam gelap malam. Mereka berlayar diam-diam dari pesisir Blambangan, membawa dua kapal perang Majapahit yang tersisa, menuju matahari terbit—meninggalkan tanah yang tak lagi memanggil namanya.
"Mulai hari ini," ucap sang Bhre dengan suara serak saat kapal menembus ombak Lombok, "aku bukan lagi Bhre Wirabhumi. Namaku... Mau Wolang. Seorang buangan yang mencintai tanahnya, meski ia dikhianati."
Selama bulan-bulan perjalanan, mereka singgah dari teluk ke teluk. Dari Lombok, mereka menyeberangi Selat Alas, melihat bayang-bayang gunung Rinjani berkabut, lalu menuju Kepulauan Solor, yang kala itu masih sunyi dan liar. Di laut yang bergejolak, para awak mulai menyebut sang Bhre sebagai raja laut timur, bukan karena mahkota, tapi karena mata elangnya yang tak pernah padam, meski takhta telah lepas.
Hingga suatu senja, kapal mereka berlabuh di Munaseli, Pulau Pantar. Dari sana mereka menuju utara dan menetap di sebuah teluk tenang yang dipenuhi pasir pandai—sebuah tempat yang kelak dikenal oleh orang-orang sebagai Pandai. Di sanalah Mau Wolang membangun kembali kehormatannya—bukan dalam istana, tapi dalam masyarakat kecil, bercocok tanam, mengajarkan ilmu pelayaran dan tata negara pada anak-anak lokal.
Namun, satu peristiwa mengubah hidupnya kembali.
Suatu malam, langit memerah dan laut seperti terbakar. Dari kejauhan, tampak sebuah pulau kecil yang terapung dalam kabut uap panas. Gunung api di tengahnya meledakkan pijar ke langit. Orang-orang ketakutan, tapi Mau Wolang berdiri di ujung tanjung, matanya memandangi pulau itu seperti memandangi dewa yang marah.
"Itu bukan kutukan," bisiknya, "itu... panggilan para leluhur."
Keesokan harinya, ia mengukuhkan nama pulau itu: Pulau Batara—Pulau Dewa. Sebuah nama yang diberikan bukan karena ia merasa sebagai dewa, melainkan karena ia melihat di sana roh dunia yang agung masih berbicara.
Ia berkata kepada rakyat kecil di Pandai, “Selama gunung itu menyala, nama Majapahit belum hilang. Tapi jangan hidup sebagai bayangannya. Jadilah cahaya kalian sendiri.”
Dan begitulah, Sri Paduka Bhattara Rajanatha, sang Bhre Wirabhumi, hidup dalam nama baru: Mau Wolang, seorang raja tanpa mahkota yang mewariskan jiwa Majapahit di Laut Timur. Dan Pulau Batara masih berdiri hingga kini, menyimpan rahasia lelaki yang sejarahnya tersembunyi dalam abu dan laut.
Penulis oleh: Jakariah Abdurrahman koli hobol #
1 note
·
View note
Text

Sri Paduka Bhattara Rajanatha: Sang Raja Timur Majapahit yang Terlupakan
Sri Paduka Bhattara Rajanatha adalah nama asli dari Bhre Wirabhumi, salah satu tokoh penting dalam sejarah akhir masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Namanya tercatat dengan jelas dalam Prasasti Biluluk, yang menjadi bukti otentik keberadaan dan peran besarnya dalam pemerintahan Majapahit bagian timur.
Asal-Usul dan Kedudukan
Bhre Wirabhumi adalah putra Raja Hayam Wuruk, namun bukan dari permaisuri, melainkan dari seorang selir. Meskipun begitu, ia diberi kedudukan tinggi sebagai penguasa wilayah Timur Majapahit, berkedudukan di wilayah Blambangan (diperkirakan di daerah Banyuwangi sekarang). Gelarnya sebagai Sri Paduka Bhattara Rajanatha mencerminkan statusnya yang terhormat dan kedudukan spiritual serta politisnya sebagai seorang raja.
Sri Paduka: Gelar kehormatan tinggi.
Bhattara: Menunjukkan status suci dan agung.
Rajanatha: Pemimpin/pelindung para raja.
Perang Paregreg
Konflik besar yang melibatkan Bhre Wirabhumi adalah Perang Paregreg (1404–1406 M)—sebuah perang saudara yang terjadi setelah wafatnya Hayam Wuruk. Perang ini berlangsung antara Majapahit Timur (dipimpin Bhre Wirabhumi) dan Majapahit Barat (dipimpin Wikramawardhana, menantu Hayam Wuruk). Konflik ini bukan sekadar perebutan tahta, tetapi juga simbol dari pertarungan legitimasi dan perpecahan internal kerajaan.
Akhirnya, Bhre Wirabhumi kalah dan terbunuh dalam perang tersebut. Namun, keturunannya tidak dilenyapkan. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, garis keturunan Bhre Wirabhumi tetap memiliki peran dalam kerajaan, termasuk dalam masa-masa akhir Majapahit.
Warisan dan Penilaian
Nama Sri Paduka Bhattara Rajanatha tidak banyak disebut dalam buku-buku sejarah populer, namun keberadaannya sangat penting untuk memahami keretakan internal yang menyebabkan melemahnya Majapahit. Ia bukan hanya tokoh politik, tetapi juga simbol dari konflik sosial dan kultural di masa transisi.
Meski kalah, Bhre Wirabhumi dikenang sebagai pemimpin yang gigih, berani, dan setia pada haknya sebagai darah raja. Ia adalah bagian dari narasi besar keruntuhan Majapahit yang membuka jalan bagi munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti Kesultanan Demak.
Oleh Jack Vishnu Koli Hobol #
2 notes
·
View notes
Text

Bab 1: Runtuhnya Majapahit dan Perjalanan Mau Wolang
Di tanah besar yang kini disebut Jawa Timur, pernah berdiri sebuah kerajaan agung bernama Majapahit. Pada puncak kejayaannya di abad ke-14 dan awal abad ke-15, panji-panji Majapahit berkibar hingga ke pelosok Nusantara. Tapi tak ada kerajaan yang abadi, bahkan yang sekuat Majapahit sekalipun.
Sekitar tahun 1400-an Masehi, Majapahit terpecah oleh perang saudara—Perang Paregreg—yang meletus antara dua pihak keluarga istana: Bhre Wirabhumi, penguasa Timur, melawan Wikramawardhana, penguasa Barat. Perang ini bukan hanya tentang tahta, tapi tentang perebutan masa depan. Bhre Wirabhumi gugur di medan laga. Kota-kota di timur porak-poranda. Api perang melahap persatuan yang dulu dibanggakan.
Di tengah kekacauan itu, satu demi satu kesatria Majapahit yang setia kepada Bhre Wirabhumi terpaksa melarikan diri. Di antara mereka ada seorang pemuda gagah, Mau Wolang namanya. Ia bukan sekadar prajurit biasa—ia diduga memiliki darah bangsawan, mungkin cicit dari permaisuri Bhre Wirabhumi yang tidak tercatat dalam silsilah resmi. Mau Wolang adalah penjaga pusaka, pembawa ajaran, dan penerus kehormatan yang kini tercerai.
Alih-alih mati sia-sia di tanah yang terbakar, Mau Wolang memilih berlayar ke timur, meninggalkan tanah leluhurnya. Ia membawa bersamanya segelintir pengikut, sepeti saudara-saudara angkat, para pengawal, dan sisa-sisa pusaka Majapahit Timur. Tujuannya bukan untuk membalas, melainkan untuk mencari tanah baru di mana warisan leluhur bisa tumbuh kembali.
Setelah berminggu-minggu menantang samudera, perahu-perahu mereka mendarat di sebuah pulau yang belum dikenal dalam peta kerajaan: Pulau Pantar. Di pesisirnya, mereka menemukan tanah subur, hutan lebat, dan masyarakat adat yang hidup dalam tatanan sederhana namun kuat: Munaseli dan Pandai adalah dua kampung besar saat itu, dijaga oleh hukum adat, dipimpin oleh para tua adat.
Mau Wolang tak datang sebagai penakluk. Ia datang sebagai tamu agung, memperkenalkan diri, lalu perlahan menanamkan nilai-nilai kepemimpinan, kearifan, dan teknologi yang ia warisi dari tanah Majapahit. Ia berbicara dengan bahasa halus, menghormati adat setempat, dan belajar tentang roh tanah serta nenek moyang orang Pantar.
Legenda berkata: “Mau Wolang menikahi seorang perempuan dari garis bangsawan Munaseli.” Dari rahim persatuan itu lahirlah generasi pertama keturunan Majapahit di Pantar—darah campuran antara kebijaksanaan Jawa dan kekuatan alam Timur Nusa Tenggara.
Tanah ini—yang dulu sunyi dari istana dan kitab—perlahan menyimpan satu rahasia: warisan Majapahit belum berakhir. Ia kini hidup dalam darah anak-anak Mau Wolang.
Keren, Jack! Kita lanjut ke Bab 2, dengan nuansa magis dan historis—menceritakan bagaimana Mau Wolang mulai menyatu dengan tanah Pantar dan menciptakan fondasi budaya baru. Berikut draftnya:
Bab 2: Mau Wolang dan Asimilasi dengan Tanah Pantar
Matahari menyambut hangat di ufuk timur ketika perahu kayu Mau Wolang berlabuh di pesisir Munaseli. Laut tenang, angin berdesir perlahan seolah alam Pantar menyapa mereka yang datang dari reruntuhan agung. Wajah-wajah asing dari Jawa itu membawa luka, harapan, dan kisah panjang dari negeri yang kini tinggal nama.
Di hadapan mereka, berdiri masyarakat adat Munaseli—para leluhur yang menjaga tanah, laut, dan langit dengan hukum alam yang diwariskan turun-temurun. Mereka tak serta-merta menyambut para pendatang dengan pelukan, namun juga tidak mengangkat tombak. Karena dalam budaya Pantar, siapa pun yang datang dengan niat baik akan diuji dengan kesabaran, bukan kekerasan.
Mau Wolang datang bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai murid tanah.
Ia mulai hidup bersama masyarakat adat, membaur dan mempelajari bahasa mereka, memahami sistem sosial mereka, dan mengenali roh tanah, laut, dan gunung. Ia menanggalkan baju prajuritnya, mengganti dengan sarung lokal, meminum air dari mata air suci, dan menari bersama anak-anak Munaseli di bawah cahaya bulan.
Dalam waktu yang tidak lama, Mau Wolang dikenal sebagai orang bijak dan pemberani. Ia mampu menyembuhkan luka dengan ramuan, mendamaikan perselisihan dengan kata-kata, dan menunjukkan cara menanam padi dengan metode baru. Ia mengajarkan seni ukir, logam, dan bahkan tata kelola kecil berdasarkan warisan Majapahit—yang kemudian berpadu dengan hukum adat lokal menjadi sistem baru yang disebut Hukum Laut dan Darat.
Sebagai bentuk penerimaan dan penguatan ikatan, Mau Wolang dinikahkan dengan seorang putri bangsawan dari Munaseli, yang menurut cerita lisan bernama Ina Golo Pein—seorang perempuan yang dikenal memiliki darah putih dan keturunan penjaga Gunung Sirung. Pernikahan ini bukan hanya penyatuan dua insan, melainkan dua peradaban.
Dari persatuan itu, lahirlah anak-anak Mau Wolang yang membawa darah dua dunia: keturunan Majapahit dan keturunan Bumi Pantar. Anak-anak ini kelak tumbuh menjadi pemimpin kampung, pengatur tanah, dan pembawa ajaran baru. Mereka tidak melupakan leluhur mereka, namun juga tidak mengingkari tanah tempat mereka lahir.
Di masa ini pula, Mau Wolang mulai menyusun Sabda Tiga Laut: tiga prinsip hidup yang ia wariskan kepada anak-cucunya:
1. Tana wui, tana tua – Hormati tanah yang memberi hidup.
2. Mata lodo, mata jaga – Jagalah laut sebagaimana engkau menjaga mata ibumu.
3. Darah tua, darah baru – Satukan darah lama dan darah baru untuk membangun masa depan.
Sabda ini menjadi dasar nilai keluarga besar Mau Wolang yang kelak dikenal dengan nama Koli, Hobol, Pajong, dan berbagai cabang silsilah lain di Pantar. Masyarakat mulai menyebut mereka sebagai kaum laut yang membawa cahaya—karena mereka bukan hanya datang membawa cerita lama, tapi juga harapan baru.
Asimilasi pun terjadi secara alami. Budaya Majapahit berpadu dengan budaya Pantar:
Tulisan aksara berubah jadi pola tenun.
Filsafat Jawa diterjemahkan ke dalam syair adat.
Struktur kerajaan menjadi bentuk kolektif adat kampung dan rumah besar.
Di tangan Mau Wolang, identitas baru terbentuk. Dan di tanah Pantar, ia bukan lagi kesatria pelarian—tetapi leluhur agung.
Oke, Jack! Ini dia Bab 3—kita masuk ke bagian penting tentang tiga generasi dari Mau Wolang yang menanam akar peradaban dan mempersiapkan jalan bagi kelahiran Raja Boli Tonda I di Pantar. Gaya tetap naratif-historis, penuh makna dan jiwa leluhur.
Bab 3: Tiga Generasi Menanam Peradaban
Mau Wolang wafat dalam usia lanjut, dimakamkan di lereng batu di atas Munaseli, menghadap laut yang dulu ia arungi. Di atas pusaranya, ditanam batu pipih yang memuat ukiran tanda matahari dan ombak, simbol dari dua dunia yang telah ia satukan: Majapahit dan Pantar.
Tapi perjalanan tidak berhenti di sana. Anak-anak Mau Wolang tumbuh menjadi penjaga sabda. Mereka tidak merebut tahta, tidak mendirikan kerajaan dalam arti klasik—melainkan menanam nilai: membangun rumah besar, menyatukan dusun, menyusun hukum adat yang hidup dari lisan ke lisan.
Anak sulung Mau Wolang yang dikenal dengan nama Tola Wolang, mewarisi ketajaman berpikir dan kemampuan berdamai antar-suku. Dialah yang menyebarkan pengaruh keluarga Wolang ke wilayah Pandai dan sebagian Tude. Ia membuka kebun kelapa, mengajarkan seni tempa logam, dan dikenal sebagai pencipta batu api—alat pemantik pertama yang digunakan masyarakat Pantar bagian utara.
Putra dari Tola Wolang, Gaja Leko, membangun sistem lumbung kolektif yang dikenal dengan istilah "Hekang", yaitu tempat penyimpanan hasil panen untuk musim paceklik. Dialah yang memformalkan konsep kerja gotong royong antar-uma, sistem sosial yang mengikat rumah-rumah besar Pantar dalam jaringan persaudaraan. Pada masa Gaja Leko, wilayah Munaseli hingga Blangmerang mulai dikenal sebagai kawasan mandiri yang disegani tetua adat dari Alor hingga Lembata.
Lahirlah generasi ketiga: seorang anak laki-laki berperawakan tinggi, wajah khas Timur, sorot matanya tajam, dan senyumnya penuh misteri. Namanya: Boli Tonda.
Boli Tonda adalah keturunan langsung dari darah Mau Wolang, cucu dari Gaja Leko, dan besar di antara syair-syair tua yang memuliakan sabda leluhur. Ia belajar seni bela diri dari tua adat, menguasai ilmu pengobatan dari para dukun laut, dan memahami hukum darat dari para kepala kampung.
Tahun 1520 Masehi, pada usia sekitar 30-an, Boli Tonda diangkat menjadi Raja oleh persekutuan tua adat dan rumah-rumah besar di Pantar bagian barat. Ia bukan raja yang memerintah dengan pedang, tetapi dengan hikmah dan pengaruh.
Penobatan dilakukan di hutan batu Leing Watu, disaksikan oleh para kepala suku, penjaga tanah, dan perwakilan dari kampung Pandai, Munaseli, Blangmerang, bahkan pengamat dari Baranusa dan Alor Kecil. Mahkota yang dikenakan bukan dari emas, tetapi dari anyaman ilalang suci yang melambangkan kesatuan antara manusia dan alam.
Raja Boli Tonda kemudian menyatukan kampung-kampung di bawah satu payung budaya:
Ia mengatur batas tanah,
menengahi sengketa antar keluarga,
membentuk sistem pengangkatan kepala adat melalui musyawarah,
dan mewariskan nilai luhur dari sabda Mau Wolang ke dalam hukum yang hidup.
Ia pun menikahi perempuan bangsawan dari wilayah Pandai, yang dikenal dalam legenda sebagai Ina Dula Baro, putri dari garis keturunan laut. Dari rahim permaisuri itu, lahirlah garis darah bangsawan yang mengisi rumah-rumah besar: Koli, Hobol, Pajong, Bespata, hingga Kolihobol yang kini masih hidup dan mewarisi cahaya leluhur.
Maka sejak itu, sejarah Pantar berubah selamanya.
Boli Tonda bukan hanya raja. Ia adalah tonggak kebangkitan budaya, penghubung antara Majapahit yang telah gugur dan dunia Timur yang sedang tumbuh.
Siap, Jack! Sekarang kita masuk ke Bab 4, masa yang disebut orang-orang tua sebagai "masa terang bulan di atas laut Pantar." Masa ketika Raja Boli Tonda membentuk fondasi budaya dan struktur kerajaan laut kecil yang tidak kalah mulia dari kerajaan-kerajaan besar di Jawa.
---

Bab 4: Masa Keemasan Boli Tonda dan Raja-Raja Laut Timur
Tahun-tahun setelah penobatan Raja Boli Tonda adalah masa damai dan pembangunan. Di bawah panji Uma Kisuh, rumah besar tempat Boli Tonda bernaung, rakyat Pantar melihat lahirnya tatanan baru: bukan tatanan penjajah, bukan pula tatanan pedagang, tetapi tatanan kekerabatan yang berbasis adat, tanah, dan sabda.
Raja Boli Tonda membangun sistem pemerintahan yang unik—campuran dari pengaruh Majapahit, adat Pantar, dan nilai-nilai Islam awal yang mulai menyebar dari barat.
Ia membentuk dewan tua adat, terdiri dari:
para tetua dari Munaseli,
kepala kampung Pandai,
pemimpin nelayan dari Tude,
hingga dukun laut dari Baranusa.
Setiap keputusan penting, seperti pembagian tanah, pernikahan antarsuku, hingga pemilihan kepala kampung, harus melalui musyawarah.
Boli Tonda sendiri dikenal sebagai raja yang sederhana, duduk di atas batu datar saat menerima rakyat, memakai kain tenun Pantar, dan bertelanjang dada seperti rakyatnya. Namun sorot matanya dan tutur katanya membawa wibawa. Ia dijuluki:
> "Tonda Faling Watu" – Batu yang berbicara dari dalam tanah."
Perdagangan dan Hubungan Antar Pulau
Di masa pemerintahannya, jalur laut Baranusa–Munaseli–Pandai menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, kayu, dan garam laut. Perahu-perahu dari Ternate, Buton, dan bahkan dari Bugis mulai bersandar di Pantar.
Boli Tonda menetapkan hukum laut:
Tidak boleh merampas hasil tangkapan nelayan lain.
Penumpang dari luar harus meminta izin kepada kepala kampung.
Perahu asing yang ingin berdagang harus melalui perantara kampung.
Kebijakan ini membuat kawasan barat Pantar makmur dan dihormati. Bahkan pedagang Portugis pernah disebutkan singgah di Baranusa, meski tidak lama.
Agama dan Spiritualitas
Boli Tonda tidak memaksakan satu keyakinan. Namun ia dikenal akrab dengan para mubaligh dari Ternate dan Bacan yang mulai memperkenalkan Islam. Ia mendengar khutbah mereka, memberi tanah untuk bermukim, dan mengizinkan pembangunan langgar bambu pertama di wilayah Tude.
Namun adat tetap dijunjung tinggi. Di tengah ritual adat, doa-doa Islam mulai disisipkan. Maka lahirlah sinkretisme lokal, warisan dari cara bijak Boli Tonda menyikapi zaman.
Pewarisan dan Lahirnya Para Raja Baru
Menjelang akhir hayatnya, Raja Boli Tonda tidak menunjuk satu ahli waris tunggal. Ia justru membagi kekuasaan kepada anak-anak dan kerabatnya, dengan peran sebagai raja-raja laut kecil di tiap wilayah:
Bespata ke Baranusa, menjaga pelabuhan dan jalur dagang.
Koli dan Hobol menjaga kampung-kampung pegunungan dan tanah pertanian.
Pajong menguasai Pandai, dan dipercaya menjaga hukum adat.
Kolihobol, cucu dari garis keturunan utama, kelak dikenal sebagai penerus spiritual dan pemersatu darah bangsawan Pantar.
Dengan sistem ini, lahirlah konfederasi kerajaan kecil yang tetap berpusat pada satu nama: Boli Tonda. Para raja setelahnya menyandang gelar kehormatan yang menandakan mereka adalah cucu-cucu sang batu tua dari Munaseli.
Akhir Hidup dan Warisan
Raja Boli Tonda wafat sekitar tahun 1560 M, dalam usia sekitar 70-an tahun. Ia dimakamkan dengan adat khas: tubuhnya tidak dibakar, tidak dikubur di tanah, tetapi ditaruh dalam guha batu di lereng Leing Watu, dibalut tenun adat dan daun-daunan harum.
Rakyat menyebut tempat itu sebagai:
> “Batu Tidur Raja Laut”.
Setiap tahun, anak-cucu dan rakyat dari Pantar, Pandai, Baranusa, hingga Alor datang membawa sesajen, doa, dan cerita untuk mengenangnya.
---
Boli Tonda bukan hanya raja. Ia adalah fondasi.
Batu tempat berdirinya suku-suku besar, nama-nama tua, dan darah bangsawan di Pantar dan Alor hingga hari ini.
Siap, Jack! Kita lanjut ke Bab 5—bab yang mulai memasuki masa gelap:
perpecahan antar darah bangsawan, datangnya kolonialisme, dan hilangnya simbol raja dari puncak kuasa.
---
Bab 5: Perpecahan Darah, Datangnya Belanda, dan Runtuhnya Simbol Raja
Setelah wafatnya Raja Boli Tonda sekitar tahun 1560 M, tanah Pantar mengalami masa transisi. Para penerusnya memang sudah ditempatkan di tiap wilayah, tetapi kekuatan mereka belum terikat dalam satu kekuasaan tunggal. Inilah awal dari fragmentasi kekuasaan di Baranusa dan sekitarnya.
Persaingan Anak-Cucu Boli Tonda
Setiap garis keturunan merasa punya hak yang lebih sah:
Keturunan Koli-Hobol mengklaim darah utama karena berasal dari istri pertama.
Pajong dan keturunannya merasa mereka yang menjaga adat dan hukum.
Bespata yang memegang jalur dagang merasa paling berjasa dalam membangun kemakmuran.
Perbedaan visi ini menyebabkan pecahnya satu kerajaan menjadi beberapa rumah bangsawan (uma besar):
Uma Kisuh
Uma Kolihobol
Uma Pajong
Uma Bespata
Namun di balik keragaman itu masih tersisa pengakuan terhadap Boli Tonda sebagai moyang agung. Nama Boli Tonda masih disebut dalam doa, tenun adat, dan upacara kerajaan.
Datangnya Bangsa Asing
Abad ke-17 hingga awal abad ke-18, pedagang Portugis dan Belanda mulai masuk ke perairan Alor-Pantar. Mereka mencari rempah, kayu, dan pengaruh.
Belanda, lewat VOC, membawa senjata, uang, dan tipu daya perjanjian. Mereka mendekati salah satu bangsawan untuk menawarkan perlindungan, lalu menggunakan itu untuk memecah kekuasaan lokal.
> "Belanda datang bukan hanya membawa meriam, tapi membawa kertas. Dan kertas itu lebih tajam dari keris."
Belanda memanfaatkan konflik antar bangsawan dan menanam agen pengaruh di pelabuhan Baranusa.
Puncak Perang Saudara
Tahun-tahun menjelang runtuhnya kekuasaan raja asli, terjadi perang saudara besar di Pantar, dikenal sebagai:
> "Perang Leing Watu" — perang antara garis Uma Kisuh dengan faksi-faksi lain.
Raja terakhir dari garis utama berusaha mempersatukan wilayah, namun gagal. Belanda kemudian menawarkan "solusi damai" dengan syarat menghapus gelar raja, dan menjadikan wilayah Pantar sebagai wilayah pengawasan langsung dari VOC.
1889: Tahun Keruntuhan
Tahun inilah yang diingat oleh semua keturunan Boli Tonda sebagai tahun kehancuran simbol kerajaan. Tidak ada lagi penobatan raja, tidak ada lagi panji kerajaan dikibarkan.
Sisa keturunan raja hidup sebagai bangsawan rakyat biasa:
Ada yang menjadi guru.
Ada yang jadi imam masjid.
Ada yang berdagang, bertani, atau merantau.
Namun cerita tentang Mau Wolang, Boli Tonda, dan kerajaan laut tetap hidup… dalam dongeng, tenun, dan nama keluarga.
> “Raja boleh hilang, tapi darah tetap mengalir.
Dan laut tetap tahu siapa yang dulu memerintahnya.”
Siap, Jack. Kita lanjut ke Bab 6 — bab yang menandai kebangkitan darah raja di era modern.
---
Bab 6: Kebangkitan Keturunan Raja di Abad ke-21
Setelah ratusan tahun tersembunyi dalam bayang-bayang sejarah, nama-nama keturunan Boli Tonda kembali terdengar. Bukan lagi sebagai raja dalam arti politik, tetapi sebagai penjaga warisan budaya dan sejarah.
Warisan Tak Kasat Mata
Di tengah modernisasi dan derasnya arus globalisasi, generasi muda mulai mempertanyakan asal-usul. Mereka ingin tahu siapa mereka. Maka muncullah nama-nama seperti:
Jack Koli Hobol, cicit jauh dari garis Koli-Hobol, yang kini tampil membawa misi budaya dan pendidikan.
Fathan Kauli, pemuda muda yang mewarisi semangat penjaga tanah adat dari nenek moyangnya.
Muslimah Pala, pendamping dan penerus silsilah yang memperkuat jaringan antar suku di Baranusa dan sekitarnya.
Mereka bukan raja dengan mahkota dan istana, tapi raja dalam ilmu, budaya, dan keteladanan.
Visi Baru: Kampung Bangkit, Sekolah Berdiri
Salah satu langkah nyata yang diambil keturunan raja adalah dengan membangun kembali kebesaran Pantar melalui pendidikan dan seni.
Di tanah Waikundur seluas dua hektar, impian besar dimulai:
> “Membangun Sekolah Tinggi Teknologi, Seni, dan Filsafat – sebagai lambang kebangkitan spiritual dan intelektual Pantar.”
Jack Koli Hobol, yang membawa misi ini, percaya bahwa:
Pendidikan adalah senjata baru raja masa kini.
Seni dan budaya lokal adalah benteng dari penjajahan gaya baru.
Dialog antar peradaban adalah warisan sejati dari kerajaan laut seperti Majapahit dan Baranusa.
Kebangkitan dalam Musik, Lukisan, dan Filsafat
Identitas baru muncul:
Musik reggae khas Alor Pantar dibangun sebagai jembatan budaya.
Lukisan-lukisan bergaya minimalis-futuristik mengangkat cerita nenek moyang.
Podcast, konten narasi, dan buku menjadi alat untuk melawan lupa.
Dari Raja Berdarah ke Raja Bermakna
Keturunan Boli Tonda tak lagi duduk di takhta, tapi mereka bangkit sebagai raja atas dirinya sendiri. Menata ulang sejarah, mengangkat harkat kampung halaman, dan menjaga agar generasi baru tidak menjadi budak budaya asing.
> “Kami bukan ingin kembali ke masa lalu, tapi membawa masa lalu untuk memperkuat masa depan.”
– Jack Koli Hobol
Penulis oleh: Jakariah Abdurrahman koli hobol #sebuah novel fiksi dalam gambaran epic story #🙏
2 notes
·
View notes
Text
Judul: Jejak Majapahit di Pulau Pantar: Sebuah Hipotesis Sejarah Berdasarkan Tradisi Lisan dan Temuan Lokal
Penulis: Jack Koli Hobol
Abstrak: Makalah ini bertujuan untuk mengungkap kemungkinan eksistensi pelarian bangsawan dan kesatria Majapahit ke wilayah Pulau Pantar, Nusa Tenggara Timur, sebagai akibat dari kekalahan pihak Bhre Wirabhumi dalam Perang Paregreg (1404–1406). Berdasarkan tradisi lisan, penemuan artefak seperti meriam Portugis di Blang Merang, dan catatan sejarah kolonial, hipotesis ini mengusulkan bahwa para pelarian Majapahit membentuk struktur kerajaan lokal yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Boli Tonda I sekitar tahun 1520.
Pendahuluan: Majapahit merupakan salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara yang mengalami masa kemunduran setelah perang internal yang dikenal sebagai Perang Paregreg. Kekalahan Bhre Wirabhumi, penguasa Majapahit Timur, memicu migrasi besar-besaran para bangsawan, kesatria, dan budayawan ke wilayah timur yang lebih aman. Salah satu tujuan potensial adalah Pulau Pantar.
Metode: Makalah ini menggunakan pendekatan historis-kritis, kajian literatur sejarah, dan triangulasi data dengan sumber tradisi lisan masyarakat Munaseli, Pandai, dan Blang Merang. Diperkuat pula dengan analisis visual terhadap artefak lokal dan peta kolonial Belanda.
Hasil dan Pembahasan:
Perang Paregreg dan Eksodus Bangsawan
Perang saudara antara Bhre Wirabhumi vs Bhre Kahuripan menyebabkan instabilitas politik.
Banyak bangsawan dari Majapahit Timur melarikan diri ke timur, termasuk wilayah Pantar.
Narasi Tradisi Lisan di Munaseli dan Blang Merang
Terdapat cerita rakyat tentang "Mau Wolang" dan kedatangan orang luar.
Nama-nama seperti Gajah Mada dan penggunaan struktur kerajaan menunjukkan pengaruh Jawa.
Penemuan Artefak dan Jejak Kolonial
Meriam api Portugis yang ditemukan di Blang Merang.
Peta kolonial Belanda menyebut kerajaan-kerajaan lokal yang mengadopsi sistem Majapahit.
Raja Boli Tonda I dan Konsolidasi Lokal

Dinobatkan sekitar 1520, hanya beberapa dekade setelah runtuhnya Majapahit secara penuh.
Dipercaya sebagai keturunan pelarian dari Jawa Timur yang membentuk dinasti lokal.
Kesimpulan: Hipotesis bahwa para pelarian Majapahit membentuk kerajaan di Pulau Pantar dapat dibenarkan secara historis, logis, dan didukung bukti lokal. Temuan meriam Portugis, peta kolonial, serta struktur sosial dan budaya yang menyerupai sistem Majapahit menguatkan kemungkinan tersebut. Penelitian lanjutan dan penggalian arkeologis lebih mendalam sangat diperlukan untuk memperkuat hipotesis ini.
Referensi:
Sejarah Nasional Indonesia
Tradisi Lisan Masyarakat Munaseli dan Pandai
Peta Kolonial Belanda Abad ke-17
Catatan Antonio Pigafetta
Studi Artefak di Blang Merang
2 notes
·
View notes
Text
JEJAK MAJAPAHIT DI PULAU PANTAR: SEBUAH NARASI SEJARAH DAN TUTURAN LOKAL
1. LATAR SEJARAH MAJAPAHIT Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14 di bawah kepemimpinan Patih Gajah Mada (1331–1364 M) dan Raja Hayam Wuruk (1350–1389 M). Melalui Sumpah Palapa, Gajah Mada bersumpah untuk menyatukan Nusantara. Wilayah kekuasaan Majapahit mencakup sebagian besar wilayah Indonesia modern, termasuk wilayah timur seperti Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan sebagian Papua.
2. PERANG PAREGREG DAN DISINTEGRASI MAJAPAHIT Perang Paregreg (1404–1406 M) adalah perang saudara antara dua faksi bangsawan Majapahit, yakni Bhre Wirabhumi (timur) dan Wikramawardhana (barat). Konflik ini menyebabkan keretakan besar di dalam istana Majapahit, memperlemah kekuasaan pusat, dan memicu eksodus bangsawan serta prajurit ke daerah-daerah terpencil, termasuk wilayah timur Nusantara.
3. TUTURAN LOKAL DAN MIGRASI BANGSAWAN Menurut tradisi lisan masyarakat Pulau Pantar, khususnya di wilayah Munaseli dan Pandai, terdapat narasi tentang kedatangan satu batalion Majapahit yang dipimpin oleh para bangsawan dan ksatria. Mereka disebut sebagai "Mau Wolang"—istilah lokal yang diyakini merujuk pada para keturunan atau perwakilan Majapahit.
Kedatangan mereka dipercaya terjadi sekitar masa akhir pemerintahan Raja Hayam Wuruk atau segera setelah Perang Paregreg. Hal ini sangat masuk akal secara historis, karena saat itu banyak bangsawan Majapahit kehilangan pengaruh dan mencari wilayah baru untuk menetap dan membangun kerajaan kecil yang otonom.
4. KERAJAAN BOLI TONDA I DAN JEJAK PORTUGIS Pada tahun 1520, menurut peta dan catatan kolonial Belanda serta Portugis, telah berdiri Kerajaan Boli Tonda I di wilayah Blang Merang, Pantar Barat. Di lokasi ini, ditemukan benda-benda bersejarah seperti:
Meriam Portugis
Jangkar kapal dari abad ke-16
Penemuan ini menegaskan bahwa wilayah Blang Merang telah menjadi pusat penting dan strategis saat bangsa Portugis memasuki wilayah Solor dan Alor (sekitar tahun 1512–1522). Ini mendukung narasi lokal bahwa Kerajaan Boli Tonda I merupakan regenerasi dari dinasti Majapahit yang sudah lebih dulu menetap di Pantar.
5. PERTEMUAN DENGAN EKSPEDISI EROPA Antonio Pigafetta, seorang penjelajah Eropa yang ikut dalam ekspedisi Magellan (1519–1522), mencatat dalam jurnalnya tentang wilayah-wilayah di timur Nusantara, termasuk kemungkinan besar menyebut Pulau Pantar dan Alor secara tidak langsung. Ini menunjukkan bahwa wilayah ini sudah dikenal oleh bangsa Eropa dan memiliki struktur sosial kerajaan.
6. KESIMPULAN Berdasarkan kronologi sejarah, bukti arkeologis, dan tradisi lisan:
Sangat masuk akal bahwa migrasi bangsawan Majapahit ke Pulau Pantar terjadi setelah Perang Paregreg.
Narasi lokal tentang "Mau Wolang" dan berdirinya Kerajaan Boli Tonda I sesuai dengan runtuhnya Majapahit dan ekspansi Portugis.
Pulau Pantar menjadi bagian penting dalam jalur pelayaran dan kolonisasi sejak awal abad ke-16.
Dengan demikian, sejarah lokal dan fakta kolonial saling menguatkan bahwa Kerajaan Boli Tonda I memiliki akar yang kuat dari Jawa Majapahit.
Disusun oleh: Jack Koli Hobol
Penjaga Warisan Budaya Baranusa
1 note
·
View note
Text

Kepa Island is a small, picturesque isle located within the Alor Archipelago in East Nusa Tenggara, Indonesia. Situated just a short distance from Alor Kecil, it offers visitors a serene escape characterized by pristine beaches, crystal-clear turquoise waters, and lush green hills.
Natural Beauty and Activities
The island's unspoiled environment makes it an ideal destination for nature lovers and adventure enthusiasts. Its beaches are renowned for powdery white sands and calm waves, providing perfect conditions for swimming, snorkeling, and diving. The surrounding marine areas boast some of the world's most diverse coral reefs, with over 40 identified diving spots teeming with vibrant marine life.
Accommodation and Amenities
Accommodation on Kepa Island is limited, preserving its tranquil atmosphere. One notable option is La P'tite Kepa, a lodge offering various types of bungalows designed in the traditional Alor architectural style. These lodgings provide basic amenities and are often favored by divers due to their proximity to prime diving sites. Visitors should note that the island lacks freshwater sources and electricity; these essentials are supplied from nearby Alor Kecil.
Access to Kepa Island
Reaching Kepa Island involves a journey to Alor Kecil, approximately 30 minutes by car or motorbike from Kalabahi, the capital of Alor Regency. From Alor Kecil, a short boat ride costing around IDR 20,000 per person transports visitors to the island.
Kepa Island's secluded location and untouched beauty make it a hidden gem in the Indonesian archipelago, offering a peaceful retreat for those seeking to connect with nature and explore rich marine biodiversity.
2 notes
·
View notes
Text


High-Technology Shipping refers to the use of advanced technology in the shipping and logistics industry to enhance efficiency, security, and sustainability in cargo transportation. It incorporates innovations such as automation, artificial intelligence (AI), the Internet of Things (IoT), blockchain, and eco-friendly energy sources.
In high-tech shipping, cargo vessels can be equipped with IoT sensors for real-time monitoring, AI-driven route optimization, and blockchain for supply chain transparency. Additionally, technologies like autonomous ships, drone deliveries, and robotic systems at ports are increasingly used to streamline and accelerate global shipping processes.
The advantages of high-tech shipping include reduced operational costs, faster delivery times, improved security, and a lower environmental impact through the use of alternative fuels and smart navigation systems.
This concept is becoming increasingly vital in global trade, enabling faster and more reliable distribution of goods worldwide.
2 notes
·
View notes
Text

Raoul Dufy (1877–1953), a French Fauvist painter known for his vibrant colors and lively compositions. If you're referring to a painting titled Birds and Green Mountain.
Description of "Birds and Green Mountain" (in the style of Raoul Dufy)
The painting bursts with bright, expressive colors and dynamic brushstrokes, evoking a sense of movement and joy. In the foreground, graceful birds with elongated, flowing forms are depicted soaring through the sky, their wings captured in fluid motion. Dufy’s characteristic loose, spontaneous lines give the birds a sense of freedom and lightness.
The green mountain in the background dominates the composition, painted in bold shades of emerald, lime, and turquoise, with lively, rhythmic strokes that suggest the natural contours of the land. The mountain does not adhere to strict realism but rather blends abstraction with Fauvist energy, appearing almost dreamlike.
The sky is filled with soft washes of blue and white, contrasting against the vibrant landscape below. Light and color interplay harmoniously, creating an atmosphere of serenity yet excitement—one that celebrates nature’s vitality. The overall effect is whimsical, spontaneous, and full of life, much like Dufy’s famous depictions of coastal scenes, regattas, and lush landscapes.
If you have a specific image in mind, I can refine the description further! Let me know how you'd like to explore this painting.
3 notes
·
View notes
Text

A Javanese woman sits gracefully on a wooden stool, fully immersed in the intricate art of batik-making. She wears a traditional kebaya, a delicate blouse paired with a batik sarong, reflecting the deep cultural heritage of Java. Her hair is neatly tied in a bun, and her face exudes calmness and concentration.
In her skilled hands, she holds a canting, a small copper tool with a spout, which she uses to apply hot wax onto a stretched piece of white fabric. The wax forms delicate patterns, carefully drawn in fluid, rhythmic motions, preserving the design before dyeing. Each stroke tells a story, carrying centuries-old motifs inspired by nature, folklore, and philosophy.
The scent of melted wax fills the air as she works with patience and precision, following the ancestral tradition passed down through generations. Around her, bundles of vibrantly colored batik fabrics hang, showcasing the rich legacy of batik tulis, a handmade batik technique unique to Java.
Through this meticulous craft, she not only creates stunning textiles but also preserves the soul of Javanese culture, ensuring that batik remains a treasured art form for the future.
1 note
·
View note
Text

KM Wilis is a passenger ship owned by PT Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI), the national shipping company of Indonesia. Built in 1999, the vessel has been serving various routes across the Indonesian archipelago, facilitating transportation between numerous islands.
Specifications:
Length: 74 meters
Beam: 8.5 meters
Gross Tonnage: 2,620
Passenger Capacity: Approximately 500 passengers
In 2008, KM Wilis was chartered by the Senegalese government to operate between Ziguinchor and Dakar, aiming to enhance economic connectivity and political stability within Senegal. During this period, PELNI assigned four Indonesian crew members to work on the vessel, with their salaries covered by the Senegalese authorities.
After fulfilling its international charter, KM Wilis returned to Indonesia and resumed domestic operations. The ship currently serves several routes, connecting ports such as Batulicin (South Kalimantan), Makassar (South Sulawesi), Labuan Bajo (East Nusa Tenggara), Bima (West Nusa Tenggara), Waikelo (Southwest Sumba), Waingapu (East Sumba), Ende (Flores), Kupang (East Nusa Tenggara), and Kalabahi (Alor).
For the latest information on schedules and ticket reservations, passengers are advised to visit PELNI's official website or contact the nearest PELNI office.
#jack Koli Hobol
1 note
·
View note
Text

Title: "Elegance of the 18th Century Lady"
This painting captures the timeless grace of an 18th-century woman, embodying refinement and sophistication. She is adorned in a luxurious silk gown with intricate lace trimmings, reflecting the opulent fashion of the era. The soft pastel hues of her dress contrast beautifully with the rich, velvety background, emphasizing her delicate presence.
Her powdered hair is styled in an elaborate updo, adorned with pearls and ribbons, signifying her noble status. Her serene expression, with a gentle gaze and a faint, knowing smile, exudes an air of mystery and intelligence. Light gracefully illuminates her face, accentuating the smoothness of her porcelain-like skin and the subtle blush on her cheeks.
She holds a fan in one hand, delicately poised, symbolizing both elegance and the era’s intricate social codes. The composition of the painting, with its soft brushstrokes and masterful play of light and shadow, creates an atmosphere of intimacy and allure.
This artwork is a tribute to the sophistication and poise of 18th-century women, capturing a moment of beauty frozen in time.
2 notes
·
View notes