izzudinfarras
Izzudin Al Farras
93 posts
Undergraduate Student of Islamic Economics, Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia
Don't wanna be here? Send us removal request.
izzudinfarras · 4 years ago
Text
Cerita LPDP 2019 - Tahap 1
(lanjutan Tahap 0)
Setelah masa pendaftaran LPDP 2019 dibuka sekitar pertengahan Juli, saya secara bertahap mengumpulkan berbagai berkas yang dibutuhkan untuk pemenuhan syarat administrasi. Berkas-berkas seperti Scan Ijazah, Transkrip, dan IELTS tentu sudah saya miliki karena berkas-berkas tersebut merupakan berkas mendasar yang harus diunggah pada setiap pendaftaran beasiswa dan kampus. Jadi, tinggal melengkapi berkas lainnya yang dibutuhkan.
Berkas pertama yang saya siapkan adalah surat keterangan sehat, surat bebas narkoba, dan surat bebas TBC karena prosesnya bisa memakan waktu berhari-hari. Ketiga surat tersebut bisa didapatkan di Puskesmas/Rumah Sakit yang menyediakan fasilitas pemeriksaan untuk tiap tes tersebut. Berhubung tes narkoba dan tes TBC tidak ada di semua rumah sakit, jadi kita harus mencari tahu dahulu di rumah sakit mana saja yang menyediakan fasilitas tersebut dan, tentunya, mengenakan biaya yang lebih terjangkau. 
Saya survei mandiri beberapa rumah sakit yang menyediakan tes-tes tersebut. Salah satunya adalah Rumah Sakit Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan. Namun, karena biaya ketiga tes tersebut hampir mencapai 700 ribu rupiah, saya tidak jadi melakukan tes dan batal mengisi form pendaftaran. Kemudian, saya mendapati RSUD Jatipadang di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menjadi salah satu rumah sakit yang menyediakan tes narkoba relatif lebih murah dibandingkan kebanyakan rumah sakit lainnya. Bersama dengan tes kesehatan, kedua tes ini hanya dikenakan biaya tidak sampai 200 ribu rupiah. Masa tunggu mendapatkan kedua surat tersebut, berdasarkan pengalaman saya, adalah selama sekitar 4 jam. Tetapi, berhubung saya masih membutuhkan satu tes lagi, yakni tes TBC, maka saya harus mencari rumah sakit lainnya. Akhirnya, melakukan tes TBC di Rumah Sakit Budi Asih, Cawang, Jakarta Timur. Biaya yang dikenakan untuk tes TBC dan tes kesehatan berkisar 400 ribu rupiah. Jeda antara tes dengan hasil, kalau tidak salah, adalah 2-3 hari kerja. Jadi secara total kocek yang keluar dari kantong pribadi untuk melakukan tes tidak sampai 600 ribu rupiah.
Selanjutnya, memikirkan narasi yang ingin dibawa dalam proses pendaftaran LPDP. Narasi, menurut saya, merupakan hal yang sangat penting dipikirkan untuk mengisi CV dan mengerjakan esai Motivation Letter/Statement of Purpose serta Study Plan. Gini, narasi yang dibawa harus merupakan hasil kontemplasi atas kejadian di masa lalu, rencana studi, dan rencana setelah pulang studi. Ketiga titik tersebut harus menjadi cerita utuh yang unik dan harmonis sehingga mampu meyakinkan pemberi beasiswa bahwa saya memang layak mendapatkan beasiswa LPDP ini. Penentuan narasi bisa juga dikatikan dengan tema besar hidup kita sehingga pemberi beasiswa mengenal kita dengan tema unik tersebut.
Pijakan utama dalam memikirkan narasi ini, bagi saya, adalah profil diri yang ingin kita tampilkan  serta profil jurusan-kampus yang dituju. Pada dasarnya, saya sebagai manusia yang telah hidup lebih dari 20 tahun, telah melalui berbagai pengalaman dalam hidup. Saya harus mengingat kembali berbagai kepingan mozaik tersebut dan mencari kepingan mana yang relevan dan penting untuk diangkat ke dalam narasi yang dibawa. Kontemplasi juga diperlukan untuk menetapkan titik akhir tujuan perjalanan hidup sehingga titik awal dan titik akhir sudah ditemukan. Dalam konteks LPDP, kedua titik ini harus berhubungan dengan misi LPDP soal berkontribusi untuk bangsa dan negara Indonesia. Artinya, pastikan semua narasi yang dipikirkan juga relevan dengan pembangunan negara ini kedepan.
Kemudian, dengan profil jurusan-kampus pilihan yang pastinya unik dibandingkan jurusan-kampus serupa lainnya, saya harus memastikan bahwa saya memahami mahasiwa  seperti apa yang diharapkan masuk dan keluar dari jurusan-kampus tersebut. Setelah lulus dari jurusan-kampus tersebut, sangat wajib menentukan kemana penantian hidup serta tahap demi tahap yang akan dituju demi mencapai titik akhir. Tahap ini merupakan jembatan yang menhubungkan titik awal dan titik akhir yang telah disampaikan pada paragraf sebelumnya. Dengan demikian, kisah hidup menjadi utuh dan pemberi beasiswa mendapatkan keyakinan bahwa calon penerima beasiswa ini merupakan seorang yang sesuai dengan visi dan misi LPDP.
Pengerjaan CV dan esai membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sebab, khusunya bagi pengerjaan esai, bisa membutuhkan waktu hitungan pekan bahkan bulan karena juga membutuhkan koreksi dari senior atau kawan yang lebih berpengalaman dalam pembuatan esai sejenis. Oleh karena itu, pengerjaan esai tidak boleh dilakukan dalam tempo yang singkat karena hasilnya dipastikan tidak akan maksimal. 
Video ini sangat bagus untuk penulisan esai personal statement!
https://www.youtube.com/watch?time_continue=315&v=YCuaq-a7dKc&feature=emb_logo
Dalam hal pengerjaan CV, saya juga tidak memasukkan semua jenis prestasi, aktivitas, pengalaman, dll. Saya hanya memasukkan konten isian yang relevan dengan narasi yang sudah saya tentukan di awal sehingga pemberi beasiswa melihat bahwa saya memang sudah fokus sejak lama dalam meniti impian yang telah ditetapkan dalam narasi awal.
Saya mengerjakan ketiga berkas tersebut sejak awal Agustus dan meminta pendapat kepada beberapa orang yang saya percaya bisa menilai dan memberikan masukan untuk esai yang lebih baik. Pada akhirnya, sekitar setengah jam sebelum deadline, akhirnya saya klik SUBMIT!
Bismillah!
(bersambung ke tahap 2)
2 notes · View notes
izzudinfarras · 4 years ago
Text
Cerita LPDP 2019-Tahap 0
Saya mendaftar LPDP 2019 dengan bekal gagal lolos LPDP 2018. Dengan bekal tersebut, saya merasa bahwa saya harus bekerja dan berlatih lebih keras daripada sebelumnya, khususnya pada tahap wawancara (tahap ketiga/terakhir) ketika saya tidak lolos pada tahun sebelumnya. 
Tahap 0: 
Sebelum mulai proses pengumpulan berkas untuk pemenuhan administrasi tahap pertama, sangat penting untuk memiliki motivasi yang kuat disertai pemilihan jurusan-kampus yang tepat. Soal motivasi, harus dipastikan bahwa kita tahu alasan paling mendasar mengapa saya harus lanjut studi. Kalo kata Zizek, tanya sampai 5 kali alasannya. 
Misal, kenapa mau lanjut S2? Karena A. Kenapa A? Karena B. Dst sampai minimal 5x kenapa dan kenapa. Soal ini sangat amat penting banget karena motivasi adalah api kala gundah gulana maupun kunci kala senang tiada tara.
Lanjut, soal penentuan jurusan dan kampus. Saat LPDP mengumumkan pembukaan pendaftaran pada pekan kedua Mei 2019, saya telah memiliki LoA Conditional dari Development Economics and Policy, University of Manchester. Masih Conditional karena jurusan tsb memberi syarat bagian Writing pada IELTS harus skor 6,5 sementara Writing pada IELTS saya ketika itu hanya 6. Oleh karena itu, saya berpikir untuk mencari alternatif jurusan dan kampus lainnya yang syarat-syaratnya mampu saya penuhi, agar bisa dapat LoA Unconditional, dan tentunya masih dalam bidang ekonomi/pembangunan.
Pada masa ini, hal yang saya lakukan pertama adalah melihat list kampus dan bidang studi yang tersedia pada LPDP jalur reguler karena pilihan jurusan dan kampus pada jalur ini lebih terbatas dibandingkan jalur afirmasi (Bidikmisi, ASN, TNI/Polri, Santri, 3T, Difabel, dll). 
Pengerucutan pertama adalah dari lokasi kampus. Prioritas saya adalah saya bisa berkuliah di antara negara USA, UK, Australia, atau Jerman. Kemudian, saya lanjut mengerucutkan kembali pada bidang studi tertentu yg saya tuju, yakni Development Studies, Social/Public Policy and Administration, atau Economics. 
Dari kedua filter tersebut, saya mulai membuka satu per satu kampus yang ada di dalam list LPDP Reguler dari kampus paling top (paling atas). Saya search dan saya baca jurusan terkait bidang studi yang saya sebut di atas di website tiap kampus. Saya sesuaikan ketertarikan studi saya dengan persyaratan yang dibutuhkan oleh jurusan tersebut. Ketika sampai pada kampus University College London (UCL) dan jurusan Urban Economic Development, saya menemukan satu pilihan yang saya kira sangat pas. Cocok aja gitu. Hehe.
Berhubung disediakan tiga pilihan jurusan-kampus oleh LPDP, pencarian beranjak ke kampus dan jurusan lainnya. Pilihan nomor dua hinggap pada kampus Australian National University jurusan International and Development Economics. Pilihan ketiga, tidak merasa menemukan kecocokan pada jurusan dan kampus lainnya. Jadi, saya pilih aja lagi University of Manchester jurusan Development Economics and Policy hehe. 
Keputusan telah diambil. Selanjutnya, saya mendaftar di UCL dan memenuhi semua persyaratan yang dibutuhkan untuk diunggah ke portal pendaftaran.  Selama masa pemenuhan berkas, saya baca semua hal penting dalam website Kampus UCL, Bartlett School (Nama fakultas tempat bernaungnya calon jurusan saya), Development Planning Unit (Nama departemen tempat bernaungnya calon jurusan saya), dan tentunya website jurusan Urban Economic Development. Hal ini saya lakukan agar berkas saya, khususnya berkas esai, mampu memikat pihak admisi dan merelakan salah satu kursi di jurusan tsb untuk saya hehe. Setelah semua berkas lengkap: Submit!
Saya kira, pengumuman LoA akan disampaikan sekitar 2 pekan setelah saya klik submit pada pertengahan Mei, yakni akhir Mei, sehingga saya bisa mendaftar pada tahap pertama masa pendaftaran LPDP 2019. Perkiraan saya tersebut berdasarkan pengalaman saya pada tahun 2018 lalu saat mendapatkan LoA dari University of Queensland, Aussie, dan University of Manchester, UK, hanya dalam waktu sekitar 2 pekan setelah memenuhi semua berkas pendaftaran. Ternyata, pengumuman LoA dari UCL memakan waktu 6-8 pekan setelah mendaftar, berdasarkan balasan email pihak admisi kampus. Dampaknya, saya mesti merelakan kesempatan mendaftar tahap pertama dan harus berjuang pada tahap kedua pendaftaran LPDP pada bulan Juli-September 2019. 
Long story short, sekitar pekan kedua Juli, saya mendapatkan email dari UCL yang meminta saya untuk mengecek akun saya di portal pendaftaran UCL, yakni Portico. Alhamdulillah, saya dinyatakan mendapatkan LoA Unconditional, yang artinya: Diterima!
(bersambung Tahap 1)
2 notes · View notes
izzudinfarras · 6 years ago
Text
Cerita ikut tes LPDP LN 2018
Persiapan untuk mendaftar LPDP sudah saya lakukan sejak awal tahun 2018. Persiapan tersebut dimulai dari melegalisir, mem-foto copy, dan men-scan beberapa dokumen seperti ijazah, transkrip nilai, KTP, Paspor, dan hasil tes IELTS (salah satu tes bahasa inggris yang menjadi syarat, pilihan lainnya bisa mengikuti tes TOEIC). Dokumen-dokumen tersebut adalah dokumen yang paling mendasar dan harus ada dalam setiap pendaftaran kampus dan beasiswa.
Sambil menunggu pembukaan beasiswa LPDP Luar Negeri (yang pada tahun sebelumnya dibuka sekitar bulan Maret/April), saya mencoba mendaftar ke salah satu kampus terbaik di Australia, University of Queensland untuk studi Economics and Public Policy. Saya mendaftar pada program dan kampus tersebut semata-mata karena persyaratan pendaftaran yang relatif mudah (tidak perlu esai dan surat rekomendasi) dan peringkat kampusnya lumayan oke (peringkat 48 dunia menurut QS WR 2017). Sekitar 2 minggu setelah saya submit semua berkas, keluar pengumuman bahwa saya mendapatkan Letter of Acceptance (LOA) di kampus tersebut. Berbekal LOA (Unconditional) tersebut, saya bertekad mengajukan program dan kampus tersebut untuk mendaftar pada beasiswa LPDP.
Akhirnya LPDP mempublikasikan pembukaan beasiswanya pada 8 Mei 2018, mundur dari ekspektasi saya dan pengalaman tahun sebelumnya. Ternyata, terdapat beberapa perbedaan yang, menurut saya, sangat mencolok seperti pembagian ke jalur reguler dan afirmasi serta pemilihan bidang studi kampus yang sangat terbatas pada jalur reguler.
Untuk pembagian ke jalur reguler dan afirmasi, LPDP 2018 mempunyai kebijakan untuk memprioritaskan para calon penerima beasiswa yang berasal dari penerima bidik misi, berasal dari daerah 3T, dll. Prioritas tersebut dapat dilihat dari lebih banyaknya pilihan kampus dan bidang studi yang dapat dipilih oleh mereka yang termasuk dalam syarat jalur afirmasi ketimbang jalur reguler. Untuk jalur reguler, yakni jalur yang saya tempuh, kami hanya dapat memilih bidang studi tertentu di kampus tertentu sesuai dengan list kampus yang telah ditetapkan LPDP. Adapun kita tetap bisa bebas memilih berbagai bidang studi, hanya pada sekitar 15 kampus terbaik dunia. Jadi kalau kamu tidak cukup pintar (yang setidaknya bisa dilihat dari IPK semasa kuliah sarjana), kamu harus pintar-pintar mencari bidang studi dan kampus yang berhubungan dengan minat dan impian masa depanmu.
Oleh sebab saya ingin kuliah pada program/jurusan ekonomi namun tidak ada kampus di luar 15 besar terbaik dunia yang menyediakannya dalam list bidang studi LPDP, saya memutuskan untuk mendaftar pada program Development Economics and Policy di University of Manchester. Bidang studi yang terdapat dalam list LPDP, program ini termasuk ke dalam bidang Development Studies. Lantas, saya yang percaya bahwa LOA dapat menjadi salah satu poin yang meyakinkan calon pemberi beasiswa untuk memilih kita, langsung memproses semua berkas yang diperlukan untuk mendaftar pada program dan kampus tersebut. Sekitar 2 pekan setelahnya, saya langsung menerima LOA (Conditional) di email saya. LOA tersebut yang saya jadikan bekal untuk mendaftar LPDP.
Usai proses LOA, saya lanjutkan dengan memproses semua berkas yang dibutuhkan dalam seleksi administrasi seperti surat kesehatan, 2 surat rekomendasi, surat pernyataan, surat izin belajar, esai rencana studi, dan esai statement of purpose. Untuk surat kesehatan, ada 3 surat yang harus diurus, yakni surat tanda sehat, surat bebas TBC, dan surat bebas narkoba. Saya mengurus surat-surat tersebut di RS Budhi Asih Cawang (karena dekat dengan kantor) dengan total biaya sekitar 400 ribu rupiah dan prosesnya selama, kalo ga salah, 3 hari. Untuk 2 surat rekomendasi, saya meminta kepada atasan saya di kantor, Direktur Eksekutif INDEF, Bu Enny S.H., dan Mantan Dekan FEB UI yang juga saya menjadi asdos dari 2 matkul yang diampu oleh beliau , Pak Jossy P. Moeis. Untuk surat pernyataan, tinggal tempelin materai 6000 dan tanda tangan pribadi. Untuk surat izin belajar, saya minta Bu Enny lagi untuk menandatanganinya. Nah, yang paling jadi PR dari semua berkas administrasi adalah esai rencana studi dan statement of purpose karena keduanya harus dipikirkan dengan matang dan detail setiap kalimatnya, bahkan pemilihan diksinya. Oleh karena itu, saya mengerjakan keduanya dalam waktu beberapa minggu untuk terus melakukan penyempurnaan tiap kata dan kalimatnya.
Saya mengunggah final semua berkas tersebut pada hari H deadline pengumpulan berkas, setelah shalat maghrib, 21 September 2018. Sisanya adalah menunggu pengumuman tahap pertama yang direncanakan pada awal bulan Oktober. Alhamdulillah, dari total pendaftar sekitar 6000 orang, saya lolos tahap pertama seleksi alias seleksi berkas administrasi. Alhamdulillah.
Lanjut ke tahap kedua adalah Tes Potensi Akademik (TPA), TKPA (Intinya Tes Kepribadian), dan Writing Test. Kebetulan saya dapat tes pada Rabu 17 Oktober 2018 di kantor BKN daerah Ciracas Jakarta Timur. Saya yang ada kerjaan di Bali pada pekan sebelumnya, jadi hanya bisa belajar untuk mempersiapkan tes tahap kedua tersebut hanya sejak hari Ahad atau 3 hari sebelumnya. Semua tes dilakukan di dalam sebuah ruangan yang saya perkirakan berisi 40-60 orang dan semuanya dikerjakan di komputer masing-masing yang sudah disediakan oleh panitia.
Untuk TPA, TPA yang saya kira mudah karena dulu pas tes SBMPTN (tes pas mau masuk S1) saya lumayan ngerjain banyak soal, mesti kelimpungan saat mencoba latihan kembali TPA karena sudah tidak pernah dilatih lagi kemampuan TPA-nya hehe. Saya belajar TPA dari buku TPA untuk tes CPNS yang banyak tersebar di toko buku terdekat. Beberapa contoh soal adalah seputar logika matematika dan deret aritmatika.
Untuk TKPA, saya ga belajar sama sekali karena saya pikir tes kepribadian pada akhirnya bergantung pada nilai dan norma pribadi, atau setidaknya yang disepakati oleh masyarakat sekitar kita. Namun, yang saya baru tahu setelah tes, ternyata TKPA juga ada standarnya yang berarti tidak bergantung kepada perspektif masing-masing. Jadi, kedepan kalau ikut TKPA kembali, pilih jawaban yang paling mungkin menjadi sebuah kebenaran oleh semua orang.
Untuk Writing Test, kita diharuskan untuk menanggapi berupa setuju/tidak setuju atas sebuah artikel yang diajukan. Tidak ada ketentuan spesifik, misalnya mengenai jumlah kata. Namun, sebagai panduan, menulis lah sebagaimana ketika menulis saat bagian Writing Test pada IELTS Test/TOEFL Test. Umumnya, artikel yang harus ditanggapi adalah artikel yang bersumber dari The Jakarta Post dalam kurun waktu 3 bulan sebelum waktu pelaksanaan tes. Saya sendiri diminta menanggapi artikel terkait kebijakan Presiden RI untuk memperpanjang masa tanggap bencana di Sulawesi Tengah yang hal tersebut terjadi dalam kurun waktu sekitar 1 bulan sebelum pelaksanaan tes.
Seusai tes, kita diperbolehkan ke luar ruangan dan bisa langsung melihat nilai TPA dan TKPA. Alhamdulillah, nilai yang saya dapat pada TPA adalah 200 dan pada TKPA adalah 256. Saat melihat nilai tersebut, kita sama sekali tidak mengetahui apakah kita lolos atau tidak ke tahapan selanjutnya. Jadi ya tetep mesti nunggu pengumuman tes tahap kedua di 3 pekan setelah tes tahap kedua tersebut.
Awal November 2018, pengumuman tahap kedua menghasilkan saya lolos ke tahap ketiga, yakni tahap terakhir yang berisikan konfirmasi berkas administrasi, Leaderless Group Discussion (LGD), dan wawancara. Obrolan sesama peserta, terkait hasil tes tahap kedua, sepertinya pihak LPDP potong sekian persen jumlah peserta tahap kedua untuk bisa melanjutkan ke tahap ketiga berdasarkan ‘tarif’ tertentu. Untuk jalur reguler, apabila kita mendapatkan nilai TPA sebesar 190 atau dibawahnya, otomatis kita tidak dapat lolos ke tahap ketiga. Jadi, semua peserta seleksi jalur reguler yang lolos tahap ketiga, pasti memiliki nilai TPA 195 keatas. Alhamdulillah, nilai TPA saya sedikit diatasnya, 200 :-)
Tes tahap ketiga di Jakarta dilaksanakan paling akhir dibandingkan kota-kota lainnya, yakni pekan pertama dan kedua bulan Desember 2018. Jadi saya punya waktu sekitar 1 bulan untuk mempersiapkan tes tahap ketiga yang berlangsung di kampus STAN Bintaro.
.
.
Cerita tahap ketiga dan hasilnya barangkali di tulisan selanjutnya ya huehue
3 notes · View notes
izzudinfarras · 7 years ago
Text
Digital Indonesia
Pemerintah Inggris sudah membuat peraturan terkait ekonomi digital sejak awal 2017. Pemerintah Australia sudah memulai wacana pembuatan roadmap pengembangan ekonomi digital pada September 2017 dan akan meluncurkan roadmap tersebut ke publik pada paruh pertama tahun 2018.
Bahkan, Thailand sudah mengubah nama Kemenetrian Teknologi, Komunikasi, dan Informasi menjadi Kementrian Masyarakat dan Ekonomi Digital serta memiliki rencana untuk menjadi pemimpin ekonomi digital skala global dalam 20 tahun mendatang. Kemudian, bagaimana dengan ekonomi digital di Indonesia?
Kondisi ekonomi digital di Indonesia sangat memprihatinkan. Dalam IMD World Digital Ranking 2017, Indonesia berada pada peringkat 59 dari 63 negara di seluruh dunia. Ada tiga komponen penilaian dalam peringkat tersebut, yakni pengetahuan, teknologi, dan kesiapan menghadapi masa depan. Dari ketiga komponen tersebut, komponen paling miris adalah komponen kesiapan menghadapi masa depan yang berada di peringkat 62.
Artinya, Indonesia dianggap sebagai negara yang paling tidak siap menghadapi masa depan serba digital.
Kondisi semakin mengkhawatirkan apabila komponen kesiapan menghadapi masa depan tersebut ditelaah lebih lanjut, yakni subkomponen sikap adaptif yang menempati peringkat 63 dunia. Artinya, kemampuan Indonesia untuk beradaptasi dengan perkembangan digital adalah yang terburuk di dunia, termasuk berada di bawah Venezuela yang sedang dilanda krisis.
Dalam Asian Digital Transformation Index yang membahas seputar infrastruktur digital, sumber daya manusia, dan keterhubungan industri, dari 11 negara di benua Asia yang diberikan penilaian, Indonesia berada pada posisi terakhir pada 2016. Selain itu Indonesia mendapat skor 16 dari rata-rata skor sejumlah 45,8. Dengan demikian, Indonesia dinilai tertinggal jauh dari negara lainnya dalam hal transformasi digital.
Dalam ICT Development Index yang dikeluarkan oleh International Telecommunication Union pada 2016, Indonesia hanya menempati peringkat 115 di dunia. Posisi Indonesia dalam kedua indeks tersebut terperosok di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Padahal potensi pengembangan ekonomi digital di Indonesia sangat besar. Pengguna Internet di Tanah Air pada 2016, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, sebesar 132,7 juta orang. Artinya, l dari 2 orang Indonesia sudah terhubung dengan jaringan Internet. Dengan angka sebesar itu, Indonesia termasuk dalam salah satu pengguna Internet terbesar di dunia.
Selain itu, menurut riset We Are Social dan Hootsuite pada 2017, pertumbuhan pengguna Internet di Indonesia adalah yang paling besar di dunia dengan angka capaian 51% dalam satu tahun. Angka pertumbuhan pengguna Internet tersebut jauh diatas rata-rata dunia yang berada pada angka 10%.
Belum lagi bila melihat dari kepemilikan telepon seluler, penggunaan media sosial, pertumbuhan kelas menengah, mayoritas penduduk berusia muda, jumlah penduduk perkotaan, pertumbuhan e-commerce, serta pertumbuhan ekonomi dari sektor jasa informasi dan komunikasi di Indonesia yang sangat besar dan akan terus bertambah jumlahnya.
Dari potensi yang demikian luar biasa ini, setidaknya beberapa hal berikut dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi berbagai permalasahan serta mendukung perkembangan ekonomi digital di Indonesia kedepan.
Pertama, pemerintah harus memiliki visi dan rencana pengembangan ekonomi digital secara strategis. Indonesia dapat belajar dari Australia dimana pemerintahnya memulai dengan membuat rancangan roadmap pengembangan ekonomi digital. Kemudian, pemerintah Australia meminta feedback atas rancangan tersebut dari masyarakat, khususnya pemangku kepentingan terkait, untuk mendukung ekonomi digital melalui beberapa hal, yakni infrastruktur digital, standar, peraturan, kerahasiaan, dan keamanan.
Selain itu, feedback yang konstruktif diharapkan dapat mendorong produktivitas dan meningkatkan kemampuan bisnis digital. Pada akhirnya, pengembangan ekonomi digital di Australia diharapkan dapat memberdayakan masyarakat luas melalui keterampilan dan inklusi digital. Tahapan pembuatan visi dan rencana seperti di Australia tersebut dapat ditiru di Indonesia.
Kedua, setelah Indonesia menyiapkan diri untuk digitalisasi di berbagai sektor, tugas selanjutnya adalah peningkatan infrastruktur dan akses digital. Pada tahap ini, titik tekannya adalah membangun pondasi digital untuk bisa masuk ke level selanjutnya. Peningkatan infrastruktur dan akses digital dapat berupa penyebaran broadband sampai ke desa, melipatgandakan bandwidth untuk menunjang aktivitas perekonomian, penyediaan wifi gratis di banyak titik, dan pembuatan skema pendanaan infrastruktur digital.
Manfaat Menyeluruh
Ketika kesiapan teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) sudah cukup memadai, level selanjutnya yang harus ditempuh adalah terkait dengan intensitas. Intensitas menunjukkan level penggunaan TIK di masyarakat dan hal ini berkaitan erat dengan inklusivitas penggunaan TIK. Artinya, seluruh anggota masyarakat mendapat manfaat dari ekonomi digital.
Di sisi lain, pada level ini, pembangunan sumber daya manusia menjadi penting karena penggunaan TIK yang baik akan ditunjang oleh kecakapan masyarakat dalam menggunakan TIK. Oleh karena itu, tiga hal yang harus dilakukan agar masyarakat mampu menggunakan TIK dengan baik adalah masyarakat memiliki kesadaran pembelajaran seumur hidup, membuat fasilitas kesehatan menjadi inklusif bagi seluruh masyarakat, dan mengadakan program-program peningkatan literasi digital seperti pelatihan kemampuan digital dan penyediaan konten vokasi dalam jaringan.
Ketiga, ketika semua hal diatas sudah terjadi, transformasi digital secara utuh akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam kondisi ini, penggunaan TIK telah mampu menciptakan dampak efektivitas dan efisiensi di berbagai sektor kehidupan.
Tentu hal ini menjadi impian kita bersama dan impian tersebut hanya akan dapat terealisasi dengan kerja kolaborasi dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil, dengan visi bersama Digital Indonesia, yakni menjadikan ekonomi digital sebagai sumber energi baru bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
tulisan ini dimuat di Koran Bisnis Indonesia pada 5 Februari 2018 dan dapat ditemukan di tautan berikut http://koran.bisnis.com/read/20180205/251/734113/pengembangan-ekonomi-digital-digital-indonesia 
3 notes · View notes
izzudinfarras · 7 years ago
Text
Saat Si Miskin Desa Jadi Dagangan
Genderang perang terhadap kemiskinan terus ditabuh untuk memastikan tercapainya angka 9 persen jumlah orang miskin di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2019. Terlebih, menjelang tahun politik 2019, isu-isu kesejahteraan seperti kemiskinan memang seksi menjadi jualan dalam kampanye di pemilu mendatang. Desa menjadi target utama karena hampir 2 dari 3 orang miskin ada di desa . Untuk itu, pemerintah memiliki beberapa senjata dalam perang melawan kemiskinan di perdesaan.
Salah satu senjata yang dimiliki pemerintah adalah dana desa dimana jumlahnya ditingkatkan secara signifikan sejak awal pengucurannya. Pada tahun 2015 hingga 2017, jumlah dana desa yang digelontorkan berturut-turut sejumlah 20,76 triliun, 46,9 triliun, dan 60 triliun sehingga total dana desa yang dianggarkan berjumlah 127,66 triliun. Angka tersebut sangat besar dianggarkan oleh pemerintah sehingga kita harus jeli melihat dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan di desa.
Faktanya, angka presentase kemiskinan di desa pada 2015 yang berjumlah 14 persen hanya berkurang 0,01 persen pada 2017 menjadi 13,9 persen. Penurunan yang sangat rendah ini tidak sebanding dengan kenaikan signifikan dana desa yang digelontorkan oleh pemerintah. Mirisnya fakta diatas semakin bertambah ketika mengetahui data indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan di perdesaan.
Indeks keparahan kemiskinan, mengutip dari laman Badan Pusat Statistik, merupakan indeks yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Dalam waktu singkat, yakni September 2016 ke Maret 2017, indeks ini meningkat signifikan dari 0,59 menuju 0,67 di perdesaan. Artinya, variasi kemiskinan diantara penduduk miskin desa semakin lebar dalam kondisi kenaikan anggaran dana desa 2016 ke 2017 sejumlah 13,1 triliun.
Tidak kalah sedih pula melihat indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan yang mencapai angka 2,49 per Maret 2017, lebih tinggi dari September 2016 dengan angka 2,32. Indeks kedalaman kemiskinan memberikan gambaran tentang rata-rata pengeluaran penduduk miskin yang cenderung menjauhi garis kemiskinan. Bila indeks kedalaman kemiskinan meningkat, jarak antara rata-rata pengeluaran orang miskin dengan garis kemiskinan semakin jauh sehingga upaya mengentaskan penduduk miskin menjadi lebih sulit. Artinya, dalam waktu singkat kedalaman kemiskinan di perdesaan meningkat pesat atau dengan kata lain dana desa belum mampu mengentaskan kemiskinan sesuai dengan harapannya.
Kualitas SDM
Salah satu tantangan berat dalam mengentaskan kemiskinan di perdesaan adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di perdesaan. Pada tahun 2015, sekitar 60 persen kepala desa di seluruh Indonesia adalah lulusan SD dan SMP. Hal ini berakibat pada kecakapan para kepala desa dalam mengelola dana desa. Padahal, adanya dana desa menuntut hadirnya praktik tata kelola yang baik.
Masalah kualitas SDM yang rendah dapat dilihat dari banyaknya desa yang terlambat mengumpulkan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana desa. Salah satu alasan keterlambatan adalah kurang cakapnya SDM desa dalam menyusun laporan pertanggungjawaban. Selain itu, ketakutan kepala desa untuk menggunakan dana desa karena khawatir akan dikenakan pidana penjara karena penyalahgunaan dana desa yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, perlu asistensi pendamping desa secara intens dan pemberian pelatihan kepada aparat desa oleh pemerintah agar tidak terjadi lagi keterlambatan seperti demikian yang dapat merugikan, baik pihak perdesaan maupun pemerintah.
Namun, pemerintah selama ini tampaknya hanya cukup bangga memamerkan terbangunnya banyak sekali infrastruktur fisik di perdesaan. Memang benar bahwa perdesaan membutuhkan infrastruktur yang baik. Di sisi lain, perlu juga meningkatkan kualitas SDM yang mumpuni untuk membangun desanya lebih baik lagi karena pada hakikatnya segala daya dan upaya pembangunan ditujukan untuk peningkatan kualitas hidup manusia, dalam hal ini adalah SDM di perdesaan. Seperti diketahui, sampai saat ini belum ada upaya sistematis dari pemerintah untuk mendorong hadirnya SDM perdesaan yang produktif dan inovatif.
Meningkatkan kualitas SDM tidaklah cukup dengan mengalokasikan 30 persen dana desa untuk upah dalam program cash for work. Dampak dari program intervensi tersebut hanya berlaku jangka pendek ketika pembangunan infrastruktur berlangsung. Masyarakat desa yang kebanyakannya kurang mampu memang dapat terangkat daya belinya karena upah diberikan per hari. Namun, ketika program pembangunan infrastruktur sudah usai, tidak ada lagi pemasukan yang didapat oleh masyarakat desa untuk meningkatkan hajat hidupnya seperti saat program berlangsung. Oleh karena itu, pendekatan programatik yang sangat terkait pada aspek politis seperti ini perlu dipadupadankan dengan program yang bersifat komersial sehingga kedepannya masyarakat desa dapat memberdayakan dirinya sendiri secara berkelanjutan. Misalnya, optimalisasi BUMDes dengan penentuan komoditas unggulan desa dan memperluas akses pasarnya sehingga kesejahteraan masyarakat dapat meningkat terus-menerus.
Pemerintah juga perlu mendorong peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan di perdesaan untuk meningkatkan kualitas SDM. Tidak ada gunanya APBN sebesar 20% untuk pendidikan dan 5% untuk kesehatan bila tidak dirasakan manfaat terbesarnya oleh masyarakat kurang mampu. Benar bahwa manfaat dari hal ini hanya dapat dirasakan dalam jangka panjang. Justru karena hal tersebut lah komitmen pemerintah dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur, khususnya bagi kaum miskin desa, diuji. Kalau tidak, kita cukup tahu bahwa ini semua hanya akan jadi dagangan di tahun 2019.
dimuat di koran Bisnis Indonesia pada 28 Desember 2017 dan dapat ditemukan di tautan berikut http://koran.bisnis.com/read/20171228/251/721610/kemiskinan-saat-si-miskin-desa-jadi-dagangan 
0 notes
izzudinfarras · 7 years ago
Text
Keuangan Syariah di Persimpangan
Tahun 2016 menjadi salah satu tahun istimewa bagi keuangan syariah di Indonesia, khususnya perbankan syariah, karena pada tahun ini market share dari perbankan syariah sudah melebihi angka 5%. Hal ini menjadi istimewa karena selama ini angka tersebut seakan sangat berat tercapai. Kini, 2017, setahun berlalu setelah pencapaian tersebut, para ekonom syariah meningkatkan target yang telah tercapai tersebut ke angka 7%. Angka ini menjadi tantangan baru bagi para pegiat ekonomi syariah karena akan mengekspansi pasar perbankan syariah di Indonesia.
Namun, dibalik capaian angka tersebut beserta capaian-capaian lainnya, pertanyaan yang menyeruak ke permukaan adalah apakah lembaga keuangan syariah sudah mampu berkontribusi besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Faktanya, keuangan syariah saat ini masih berkutat pada memfasilitasi orang yang memiliki uang. Di sisi lain, keuangan syariah belum mampu menaikkan taraf hidup masyarakat miskin secara signifikan dan membuka lapangan pekerjaan yang luas.
Dalam hal ini lah keuangan syariah harus dikembalikan lagi kepada khittah-nya dengan menawarkan maksud sosial dari keuangan syariah kepada masyarakat banyak. Tentu perlu diingat bahwa saat perbankan syariah dimulai di Mesir pada 1963, model pertama yang dipakai perbankan syariah ketika itu adalah sosial. Pun apabila mau merujuk kepada model perbankan pada hari ini, contoh baik ada pada perbankan di Jerman dimana motivasi perbankan disana adalah sosial. Dampaknya bisa kita lihat bahwa Jerman adalah negara terdampak paling kecil skala krisisnya.
Maksud dari hal ini adalah bahwa ekonomi syariah itu mendefinisikan bank dengan peran sosial yang terintegrasi dengan ekonomi syariah secara keseluruhan. Misi dari keuangan syariah adalah menguntungkan stakeholder dengan menekan pengangguran, mengentaskan kemiskinan, dan harga-harga menjadi terkendali serta terjangkau. Tidak hanya menguntungkan shareholder atau pemegang saham perbankan tersebut saja seperti yang selama ini telah terjadi. Dengan demikian, para pegiat ekonomi syariah harus inovatif dalam mengubah status quo dan mengarahkan keuangan syariah kepada konsep idealnya dalam Islam.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia memiliki potensi besar dalam memajukan ekonomi dan keuangan syariah. Salah satu hal yang sudah masyarakat muslim Indonesia lakukan adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dimana partisipasi masyarakat untuk misi sosial sangat didorong.
Peran aktif masyarakat dalam pengorganisasian BMT patut menjadi model dalam pengembangan lembaga keuangan syariah yang beraktivitas dengan landasan komersial sekaligus sosial. Motivasi seperti ini harus didorong oleh seluruh pemangku kepentingan terkait karena sesungguhnya tantangan terbesar dalam hal ini adalah mengubah paradigma masyarakat sehingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Harapannya kita mampu bergerak ke arah yang benar di persimpangan jalan ini.
Tulisan ini dimuat di Koran Harian Neraca pada Jumat 22 Desember 2017 http://www.neraca.co.id/article/94684/keuangan-syariah-di-persimpangan
0 notes
izzudinfarras · 7 years ago
Text
Meneropong Arah Pembangunan Desa
Pada tahun 1950, kota Tokyo dan New York menjadi megacity atau kota besar di dunia, kota yang didiami lebih dari 10 juta orang. Pada tahun 1980, jumlah kota yang termasuk kota besar bertambah jadi lima kota dengan hadirnya Sau Paulo, Mexico City dan Osaka. Tahun 2010, lebih dari 20 kota di dunia termasuk dalam kategori kota besar. Tahuh ini, ada 32 kota di dunia yang termasuk ke dalam kota besar dan salah satunya adalah Jakarta yang telah dihuni 10,2 juta penduduk (BPS, 2015). Dan pada 2030, diprediksi hampir 9% penduduk dunia akan tinggal di 41 kota besar di seluruh dunia.
Adanya megacity merupakan salah satu ciri bahwa Indonesia telah memasuki tahap keempat transisi mobilitas. Menurut Chotib dan Wongkaren (1996), tahapan tersebut terjadi dengan ciri lainnya berupa adanya kota besar yang menjadi daerah tujuan utama migrasi. Tahap kelima transisi mobilitas adalah terjadinya suburbanisasi dan dekonsentrasi penduduk perkotaan di mana penduduk tinggal di sekitar kota besar namun bekerja di kota besar tersebut (Skeldon, 1990).
Proses tahap kelima ini sedang dan akan terus berlangsung di Indonesia yang dapat dilihat dari proyeksi Bappenas atas kota Depok, kota satelit di selatan Jakarta, yang akan menjadi kota terpadat kedua di Indonesia tahun 2045, mengalahkan Surabaya dan Medan. Artinya, fenomena perkembangan kota tersebut diperkirakan akan terus berlangsung hingga puluhan tahun mendatang dan arus urbanisasi akan semakin deras ke depannya memenuhi kota besar dan kota satelit sekitar.
Setidaknya, menurut Bappenas, diprediksi sebanyak 70% penduduk Indonesia akan tinggal di kota pada tahun 2030. Hal ini dipertegas dari data rata-rata pertumbuhan penduduk kota tahun 2000 hingga 2010 di Indonesia mencapai 3,08%. Hal ini justru berbanding terbalik dengan pertumbuhan penduduk di desa yang berkurang sejumlah 0,049% pada waktu yang sama. Dengan demikian, permasalahan kota di masa depan akan semakin kompleks karena akan melibatkan banyak sekali manusia dengan berbagai latar belakang, kebutuhan, dan kepentingan yang melingkupinya. Dampaknya adalah perhatian kita kedepan akan semakin tersorot pada bagaimana pemerintah kota bersama elemen masyarakat terkait lainnya mampu mengatasi persoalan yang kian rumit.
Namun, ketika semua mata tertuju kepada kota, satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah tentang pembangunan desa. Sebagaimana menurut proklamator Mohammad Hatta, Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, tetapi Indonesia baru akan bercahaya karena lilin-lilin di desa. Kutipan yang disampaikan wakil presiden pertama Indonesia tersebut masih relevan karena saat ini terdapat hampir 75.000 desa di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, cahaya tersebut baru akan muncul saat pembangunan desa dilakukan dengan masif dan desa ditempatkan bukan sekedar penyokong pembangunan kota.
Mirisnya, nyaris dua dari tiga orang miskin di Indonesia bertempat tinggal di desa, yaitu 17,098 juta orang miskin tinggal di desa dari total 27,77 juta orang miskin di Indonesia per Maret 2017. Semakin miris apabila melihat Indeks Kedalaman Kemiskinan di perdesaan yang mencapai angka 2,49 per Maret 2017, lebih tinggi dari September 2016 sejumlah 2,32. Angka ini dua kali lipat diatas kota sebesar 1,24 pada Maret 2017. Artinya, persoalan kemiskinan di perdesaan jauh lebih bermasalah ketimbang di perkotaan mengingat Indeks Kedalaman Kemiskinan mengindikasikan rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung menjauhi garis kemiskinan. Bila indeks kedalaman kemiskinan meningkat, jarak antara rata-rata pengeluaran orang miskin dengan garis kemiskinan semakin jauh sehingga upaya mengentaskan penduduk miskin menjadi lebih sulit.
Indeks Keparahan Kemiskinan juga menunjukkan tren meningkat di perdesaan, yakni mencapai angka 0,67, lebih tinggi dari September 2016 sejumlah 0,59. Mengutip BPS, indeks ini memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Artinya, variasi kemiskinan diantara penduduk miskin semakin lebar.
Memenangkan desa
Selain itu, adanya dana desa yang digencarkan oleh pemerintah beberapa tahun belakangan justru hanya dinikmati oleh segelintir elite karena angka ketimpangan di desa justru meningkat dari 0,316 ke 0,32 per Maret 2017. Hal ini terkonfirmasi dari banyaknya penyimpangan dana desa dari oknum aparat desa. Dana desa yang demikian besarnya, Rp 60 triliun rupiah di tahun 2017, belum benar-benar sampai seutuhnya kepada yang membutuhkan, yaitu masyarakat desa yang kebanyakan miskin. Jangan sampai program padat karya yang akan dilakukan pemerintah tahun depan justru mengulang kejadian serupa seperti dana desa tersebut.
Terlebih, pembangunan desa kedepan harus diletakkan dalam program yang lebih bersifat strategis dan dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini mesti dilakukan mengingat pembangunan desa yang kini dilakukan jangan sampai membuat tiap desa berkembang masing-masing dan justru membuat desa mereka terisolasi dengan pembangunan di kawasan sekitarnya. Pembangunan desa berbasis kawasan mutlak diperlukan agar terjadi sinkronisasi pembangunan antardesa dan sinergi pembangunan antara desa dan kota sehingga baik kota maupun desa dapat berkembang secara bersama-sama.
Ditambah pula bagi sebagian perdesaan yang sudah cukup baik infrastruktur fisiknya, seperti jalan, jembatan, maupun saluran irigasi, pembangunan perdesaan harus mulai diarahkan kepada pembangunan manusia. Masyarakat desa harus terus dibangun kesadarannya melalui peningkatan aspek pendidikan dan kesehatan. Perbaikan ruang kelas, ruang guru, ruang puskesmas, disertai dengan peningkatan kapasitas guru dan tenaga kesehatan harus terus didorong mengingat hal-hal tersebut masih banyak berada di bawah standar nasional yang ditetapkan pemerintah.
Bahkan, temuan BPK tahun 2016 menyebutkan ada 24 provinsi masih punya kualitas guru di bawah standar. Di sisi lain, bagi sebagian lainnya yang masih memiliki infrastruktur fisik yang kurang memadai, pembangunan infrastrukur tersebut harus diakselerasi agar mampu mengejar ketertinggalan dari desa lainnya.
Dalam hal ini, dibutuhkan kepemimpinan yang visioner disertai dengan sikap membuka ruang partisipasi yang sebesar-besarnya agar rakyat di suatu desa maupun antardesa mampu turut serta merancang pembangunan yang dikehendaki. Pemberdayaan berbasis komunitas juga perlu digalakkan karena tidak semua persoalan mampu diatasi oleh pemerintah. Dalam konteks ini BUMDes dapat menjadi sarana memanfaatkan potensi keunggulan di tiap desa. Artinya, masyarakat juga harus dioptimalkan potensinya agar mereka mampu membangun secara mandiri dan penuh inovasi. Bila hal ini dapat berjalan, niscaya Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa.
Tulisan ini dimuat di Koran Kontan pada Selasa, 19 Desember 2017 dan dapat ditemukan ditautan berikut http://m.kontan.co.id/news_analisis/meneropong-arah-pembangunan-desa?page=1 
0 notes
izzudinfarras · 7 years ago
Text
25 Tahun Perbankan Syariah
Sejak pertama kali didirikan pada tahun 1992, Bank Muammalat menandai terbukanya geliat dakwah ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah, di Indonesia. Tidak sedikit pencapaian ditorehkan dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia. Misalnya, saat ini Indonesia memiliki 13 bank syariah. 22 unit usaha syariah, dan lebih dari 160 bank perkreditan rakyat syariah di seluruh wilayah di Indonesia. Selain itu, sejak 2016 lalu, perbankan syariah telah mampu menembus level psikologis 5% pangsa pasar dibandingkan dengan bank konvensional.
Bank Indonesia sebagai induk dari semua bank di Indonesia juga telah mendukung bank syariah sejak 15 tahun lalu melalui pembuatan cetak biru pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Bahkan, setahun kemudian, yaitu pada tahun 2003, Bank Indonesia membuka sebuah direktorat baru yang bernama Direktorat Perbankan Syariah yang berarti bank sentral mendukung penuh hadirnya perbankan syariah di Indonesia. Saat ini juga sudah terdapat regulasi setinggi Undang-Undang (UU) untuk mengatur perbankan syariah, yaitu UU nomor 21 Tahun 2008. Namun, dibalik semua pencapaian diatas, serta berbagai pencapaian lainnya, terdapat sejumlah tantangan yang tidak mudah dihadapi kedepan. Lembaga terkait, seperti OJK, maupun sejumlah pengamat telah banyak mengemukakan tantangan tersebut. Dalam hal ini, diperlukan berbagai terobosan untuk memperluas manfaat perbankan syariah.
Pertama, perbankan syariah membutuhkan kebijakan dan regulasi pemerintah yang kondusif serta afirmatif terhadap ekonomi dan keuangan syariah. Sebabnya ialah selama ini perbankan syariah dibebaskan bersaing dengan perbankan konvensional dalam banyak hal, padahal dari berbagai sisi, misalnya kemampuan pendanaan, perbankan syariah masih jauh dibawah perbankan konvensional. Artinya, diperlukan political will dari pemerintah untuk turut serta mengembangkan perbankan syariah lebih jauh lagi.
Kedua, saat ini Indonesia telah memiliki sebuah institusi untuk menangani keuangan syariah secara lintas kementrian/lembaga, yaitu Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS). Tidak tanggung-tanggung, pimpinan KNKS dipegang langsung oleh Presiden Joko Widodo. Namun, KNKS saat ini perlu diberdayakan lebih jauh karena belum terlihat gebrakan yang mampu mendobrak persoalan perbankan syariah selama ini. Selain itu, kehadiran Presiden Jokowi sebagai nahkoda sesungguhnya juga sangat dibutuhkan agar terdapat keselarasan visi dan koordinasi antar kementrian/lembaga yang berada dalam naungan KNKS. Dengan begitu, impian Presiden Jokowi agar Indonesia mampu menjadi pusat keuangan syariah dunia dapat tercapai secepatnya.
Ketiga, orientasi pragmatis semata dalam bisnisnya harus diubah dalam model bisnis perbankan syariah. Sebabnya ialah terdapat persepsi yang berkembang bahwa perbankan syariah hanya mengejar keuntungan saja. Kejadian yang menggambarkan ini adalah, misalnya, kejadian pemberian pinjaman kepada PT Rockit Aldeway oleh Bank Muamalat sebesar Rp 100 Miliar pada November 2015 dan seketika macet di bulan selanjutnya, Desember 2015. Selain itu, pemberian fasilitas pembiayaan oleh sindikasi perbankan syariah kepada PT BIJB juga dapat dianggap bermasalah karena pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, itu menggusur ribuan warga secara paksa dan mencerabut masyarakat dari penghidupannya sebagai petani. Dalam hal ini, perbankan syariah perlu pula mengejar kemaslahatan umat yang dapat diukur melalui Maqashid Sharia Index (MSI). Tidak lupa juga untuk terus menjaga perbankan syariah dalam kerangka sharia compliance sehingga tidak keluar dari koridor-koridor syariah yang telah ditetapkan.
Keempat, perbankan syariah perlu menggagas untuk mendirikan sebuah sekolah atau institut yang mampu menjadi penyedia Sumber Daya Insani (SDI) bagi perbankan syariah. Selayaknya Perbanas yang memiliki Perbanas Institute, aliansi bank-bank syariah juga bisa membuat hal serupa. Pendirian institusi pendidikan sangat perlu untuk dilaksanakan sesegera mungkin mengingat perbankan syariah selalu kekurangan stok SDI sehingga perbankan syariah selama ini banyak yang mengambil jalan pintas defisit SDI dengan membajak bankir di bank konvensional ke bank syariah. Dengan seperti itu pula, perbankan syariah dapat membuat tata kelola dan mitigasi risiko yang mampu mencegah fraud dan moral hazard karena dengan kemandirian institusi pendidikan yang didirikan oleh perbankan syariah, institusi tersebut dapat membuat standardisasi lulusan yang sesuai dengan kebutuhan kompetensi di industri perbankan syariah. Pada akhirnya, bahaya laten defisit SDI yang tiap tahunnya mencapai ribuan dapat teratasi secara perlahan kedepannya.
Kelima, tidak lupa juga bahwa perbankan syariah harus menginvestasikan dana yang cukup untuk bidang penelitian dan pengembangan serta teknologi dan informasi. Tujuan dari investasi tersebut adalah untuk lebih meningkatkan efisiensi dan skala industri, variasi dari produk-produk yang dikeluarkan, dan tentu saja memenuhi harapan dan ekspektasi masyarakat luas. Hal ini sangat penting dilakukan agar dapat tergal sisi unik dari perbankan syariah dibandingkan institusi keuangan lainnya. Dengan ditemukannya sisi unik tersebut, perbankan syariah dapat menciptakan inovasi dan diferensiasi produk-produk syariah dan berimplikasi pada positioning perbankan syariah yang bukan lagi market follower, tetapi market leader.
Keenam, last but not least, adalah sosialiasi secara terus-menerus oleh perbankan syariah. Sosialiasi penting untuk terus dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia sehingga masyarakat semakin paham tentang perbankan syariah dan apa yang dibawa olehnya. Selain itu, akad-akad syariah yang ada di perbankan syariah justru dapat dilihat dari sudut pandang peluang, bukan hambatan, apabila sosialiasi dilakukan dengan strategi yang matang.
Hal-hal diatas dapat terlaksana apabila terdapat sinergi dari berbagai pemangku kepentingan terkait, seperti pemerintah, swasta, masyarakat, dan akademisi sehingga mampu tercipta harmoni dalam mendukung upaya pelebaran manfaat perbankan syariah terhadap masyarakat luas. Apabila sinergi tersebut terjadi, kedepan perbankan syariah tidak lagi dianggap sebelah mata dan bukan sekedar menjadi alternatif, tetapi menjadi solusi bagi masyarakat Indonesia.
dimuat di Koran Republika pada Sabtu, 21 Oktober 2017 dan dapat ditemukan di tautan berikut http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/10/22/oy6olc440-25-tahun-perbankan-syariah 
1 note · View note
izzudinfarras · 7 years ago
Text
Komoditas Kemiskinan dan Kesenjangan
Menjelang tahun politik, isu kesejahteraan menjadi semakin seksi. Dengan hal tersebut, pemerintah bisa menjual jargon-jargon keberpihakan kepada rakyat kelas menengah ke bawah hingga pada akhirnya berharap bisa mendulang suara dalam pemilu mendatang. Tanda-tanda tersebut bisa terlihat dari rumusan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 yang diajukan pemerintah ke DPR pertengahan Agustus lalu.
Dalam RAPBN 2018 tersebut, salah satu fokus prioritas kerja pemerintah tahun depan adalah penurunan tingkat kemiskinan dan kesenjangan. Angka kemiskinan dipatok berkisar pada angka 9,5-10% dan angka kesenjangan ditargetkan mampu mencapai angka 0,38.
Merujuk pada kondisi saat ini, angka kemiskinan dan kesenjangan menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2017 berada pada angka 10,64% dan 0,393. Angka kemiskinan dan kesenjangan tersebut hanya turun tipis 0,006% dan 0,001 dibandingkan dengan Susenas sebelumnya pada September 2016. Pun misalnya bila kita lihat lebih jauh sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, rata-rata penurunan kemiskinan hanya ada pada angka 0,26%. Artinya, target capaian yang diinginkan pemerintah pada tahun 2018 mendatang sangat berat bila melihat kondisi penurunan angka kemiskinan dan kesenjangan tersebut.
Namun, hal tersebut tampaknya tidak ditindaklanjuti oleh para anggota DPR yang saat ini maraton membahas RAPBN 2018 bersama pemerintah. Seharusnya, para wakil rakyat tersebut mengkritisi asumsi dan target yang diharapkan pemerintah, khususnya yang terkait kemiskinan dan kesenjangan, di dalam RAPBN. Bahkan, melihat pembahasan RAPBN yang dilaksanakan oleh DPR bersama pemerintah lebih dari sebulan terakhir, kecenderungannya adalah miskin perdebatan dan nyaris berlangsung mulus. Tidak terdengar opini maupun pernyataan para politisi tersebut untuk mendebat, bahkan mengkritisi RAPBN yang diajukan oleh pemerintah. Mereka hanya bisa nyinyir terkait kenaikan subsidi jelang tahun politik 2019, namun tidak banyak membahas substansi arah kebijakan pembangunan nasional ke depan.
Kebijakan pemerintah dalam bidang kemiskinan dan kesenjangan sudah seharusnya dapat dikritisi oleh para wakil rakyat. Misalnya adalah terkait penambahan jumlah penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH). DPR seharusnya mempertanyakan penambahan angka 6 juta menjadi 10 juta penerima manfaat tersebut apakah sudah sesuai dengan data kemiskinan yang akurat dan akan tepat sasaran pemberian serta pemanfaatannya.
Sebab, kebijakan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah seringkali tidak tepat sasaran karena belum ada data kemiskinan yang mampu sampai ke unit terkecil administrasi pemerintahan, yaitu desa/kelurahan, di seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini bukan berarti menolak penambahan penerima manfaat PKH begitu saja, namun yang lebih utama adalah mengangkat derajat ekonomi bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan bantuan pemerintah.
Belum lagi bila berbicara mengenai formulasi perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan yang selama ini hanya berdasarkan perhitungan garis kemiskinan. Diambil dari laman Badan Pusat Statistik (BPS), Garis Kemiskinan (GK) didefinisikan sebagai penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Padahal selama ini kita juga mengenal dua indeks kemiskinan lainnya, yaitu Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan. Indeks Kedalaman Kemiskinan ialah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Artinya, semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan merupakan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Apabila dalam formulasi kebijakan ditambahkan dengan dua indikator indeks kemiskinan lainnya tersebut, maka kebijakan pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan akan semakin tepat sasaran kepada yang benar-benar membutuhkannya, termasuk pula kebijakan pemberian PKH di atas.
Selain itu, perbaikan formulasi kebijakan seperti yang disebutkan di atas juga mampu membuat pengurangan kesenjangan semakin berkualitas. Sebab, angka kesenjangan turun bukan karena kalangan menengah ke atas yang berkurang pengeluarannya, seperti yang selama ini terjadi, melainkan karena adanya peningkatan pengeluaran masyarakat berpenghasilan rendah. Begitu pula dengan kenaikan pengeluaran kelompok penduduk 40% terbawah yang dapat lebih cepat dibandingkan dengan yang dirasakan oleh kelompok penduduk 20% teratas. Artinya, kalangan menengah ke bawah semakin merasakan hidup yang lebih sejahtera dibandingkan dengan sebelumnya.
Evaluasi-evaluasi di atas sudah seharusnya menjadi perhatian DPR bersama pemerintah dalam merumuskan strategi pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan selama masa pembahasan RAPBN ini. Namun, apabila pada sisa masa pembahasan RAPBN 2018 mereka masih bergeming seperti yang telah terjadi beberapa waktu ke belakang, maka wajar saja kita menyimpulkan bahwa target kemiskinan dan kesenjangan pada tahun 2018 mendatang hanyalah komoditas pencitraan politik jelang tahun politik 2019 saja.
dimuat di Koran Investor Daily pada 16 Oktober 2017 dan dapat dilihat di tautan berikut http://id.beritasatu.com/opini/komoditas-kemiskinan-dan-kesenjangan/166632
0 notes
izzudinfarras · 7 years ago
Text
Menyoal Kebijakan Umrah
Beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan dengan mencuatnya kasus PT First Anugerah Karya Wisata atau lebih dikenal dengan First Travel ke permukaan. Persoalan ini membuat masyarakat menjadi was-was untuk menaruh dananya di biro umrah. Padahal, antusiasme masyarakat untuk menjalankan ibadah umrah sedang meningkat. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya visa umrah yang dikeluarkan Kerajaan Saudi Arabia sebanyak 6%, dari 6, 39 juta visa pada tahun 2016 menjadi 6,75 juta visa pada tahun 2017. Data lainnya menunjukkan bahwa sebanyak 717.000 orang Indonesia pada tahun 2015 menunaikan ibadah umrah. Sedangkan pada tahun 2016, jumlahnya meningkat signifikan hingga mencapai 818.000 orang.
Dengan angka sebesar itu, Indonesia merupakan negara dengan pengirim jamaah umrah terbesar kedua di dunia setelah negara Pakistan. Artinya, potensi ekonomi dari adanya bisnis travel umrah di masa mendatang semakin cerah meski di sisi lainnya potensi penyimpangan dana umrah seperti kasus First Travel semakin besar pula. Oleh karena itu, perlu regulasi yang lebih ketat untuk melindungi para calon jamaah umrah agar mereka tetap bisa berangkat ke tanah suci dengan perasaan aman dan nyaman.
Saat ini, pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama, bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedang menggodok Rancangan UU Pengelolaan Ibadah Haji dan Umrah. Mereka menargetkan UU bisa selesai pada akhir tahun ini. Namun, sepertinya pemerintah belum belajar banyak dari kasus First Travel diatas.
Salah satu persoalan yang terkait dengan pengelolaan ibadah umrah adalah minimnya aturan terkait umrah di dalam UU Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dalam UU tersebut, pasal yang membahas tentang umrah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan haji. Padahal, umrah juga perlu diatur lebih jauh agar mampu mengurangi kemungkinan biro umrah nakal hadir kembali. Artinya, perlu dipisahkan regulasi haji dengan umrah sehingga masing-masing regulasi dapat mengatur lebih jauh dan pada akhirnya mampu memberikan rasa aman kepada masyarakat luas.
Selain itu, pemerintah dapat pula membuat kebijakan untuk menetapkan harga referensi biaya umrah sehingga masyarakat dapat menentukan harga yang wajar menurut acuan pemerintah. Harga yang ditetapkan pemerintah tersebut dapat diperbaharui secara berkala, misalnya setiap tahun, untuk menyesuaikan dengan nilai tukar, inflasi, pertumbuhan ekonomi, atau indikator ekonomi lainnya. Dalam formulasi harga referensi tersebut bisa juga dimasukkan variabel harga layanan yang ditetapkan pemerintah Saudi Arabia. Seperti diketahui, ada kecenderungan kenaikan harga layanan umrah, misalnya, adalah kenaikan biaya pengurusan visa yang selama ini naik dan terindikasi akan terus naik kedepannya. Dengan adanya hal-hal diatas, diharapkan masyarakat dapat memilih biro travel dengan rasional dan tidak mudah tergiur iming-iming menyesatkan dari biro travel umrah bodong.
dimuat di Harian Neraca pada Senin, 16 Oktober 2017 http://www.neraca.co.id/article/91555/menyoal-kebijakan-umrah 
0 notes
izzudinfarras · 7 years ago
Text
Kemiskinan dan Perberasan
Salah satu target ekonomi pemerintahan Joko Widodo pada tahun 2018 mendatang adalah penurunan angka kemiskinan hingga mencapai 9,5 persen. Target tersebut bisa dibilang cukup berani mengingat angka kemiskinan pada Maret 2017 berada pada posisi 10,64 persen. Jarak lebih dari 1 persen tersebut merupakan pekerjaan sangat berat di saat tren penurunan angka kemiskinan selama pemerintahan Joko Widodo hanya berkisar di angka 0,26 persen. Artinya, bila tren tersebut berlanjut di tahun mendatang, target angka kemiskinan tidak akan mampu tercapai.
Lantas pemerintah tetap berusaha mencapai target tersebut dengan mengeluarkan beberapa kebijakan, salah satunya adalah kebijakan terkait beras. Beras merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia karena beras adalah komoditas yang berkontribusi paling besar terhadap garis kemiskinan. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2017, kontribusi beras berjumlah lebih dari 26 persen di pedesaan dan lebih dari 20 persen di perkotaan. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait beras berdampak besar terhadap target capaian angka kemiskinan.
Dua kebijakan terkait perberasan dalam dua bulan terakhir ditanggapi pro kontra oleh masyarakat. Pertama adalah penggerebekan PT IBU yang dianggap bermasalah oleh Satuan Tugas (Satgas) Pangan . Penggerebekan tersebut merupakan sejarah kelam intervensi secara buruk oleh para penegak hukum di pasar perberasan. Salah satu dampak dari adanya hal tersebut adalah para pengusaha dan pedagang menjadi was-was dalam memperdagangkan beras di pasar.
Pengusaha dan pedagang was-was, petani pun ikut khawatir. Petani dalam rantai pasok perberasan selalu menjadi pihak yang paling termarginalkan karena posisi tawarnya yang sangat lemah, termasuk dalam kasus ini. Artinya, kebijakan maupun intervensi pemerintah yang membuat gaduh tidak perlu lagi dikeluarkan agar petani tidak tertekan kesejahteraannya. Padahal kita ketahui bersama bahwa kemiskinan di pedesaan, tempat para petani memasok beras, merupakan kantung kemiskinan dengan angka lebih dari 13 persen, jauh dibawah kemiskinan yang ada di perkotaan yang berkisar di angka 7 persen.
Kebijakan kedua yang kontradiktif dengan usaha pemerintah menekan angka kemiskinan, terkait dengan beras, adalah dikeluarkannya kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras pada akhir Agustus lalu. Dikeluarkannya beleid ini oleh Kementrian Perdagangan merupakan contoh buruk intervensi pemerintah yang diulangi kembali. Intervensi pemerintah di pasar perberasan melalui penerapan HET lagi-lagi membuat was-was para pedagang yang diancam sanksi pencabutan izin usaha bila menjual beras diatas HET yang ditetapkan pemerintah. Padahal harga beras saat ini sudah tinggi, bahkan melebihi HET di beberapa wilayah di Indonesia. Artinya, pemerintah tidak belajar dari kesalahan sebelumnya dengan intervensi yang tidak perlu di pasar perberasan dan justru merugikan petani sebagai kantung kemiskinan yang besar di Indonesia.
dimuat di harian Neraca pada 27 September 2017 http://www.neraca.co.id/article/90637/kemiskinan-dan-perberasan
1 note · View note
izzudinfarras · 7 years ago
Text
Atas Nama Investasi
Hitam legam tubuh petani tanda ia dibakar matahari
Sejak sunyi pergi membawa cangkul untuk anak serta istri
Setiap hari dilakukannya tanpa kenal henti
Karena kalau ia berhenti, berhenti pula kebul dapur esok pagi
Berlelah-lelah sepanjang hari
Selama masa menanam tiada henti
Senandung irama menemani hari
Ketika panen raya segera menghampiri
Tapi kini semua perlahan berubah
Korporasi datang memberangus sawah
Orang-orang tersebut datang seperti bedebah
Membawa sesuatu yang bernama serakah
Katanya, ini harus dijalankan
Untuk kesejahteraan
Demi kemakmuran
Yang semua itu membawa kemajuan
Tapi kita heran bukan kepalang
Banyak protes ketika ia datang
Pantas saja kita bertanya
Kesemua ini untuk siapa?
Protes dibilang komunis
Demo dibilang tanda kemunduran
Aksi dibilang telah dibayar
Kalau sudah seperti itu, tak ada kata mundur.
Dalam masa perjuangan kemerdekaan, istilahnya, merdeka atau mati!
Dalam perjuangan agama islam, istilahnya, hidup mulia atau mati syahid!
untuk para petani di Rembang, Majalengka, Tulang Bawang, Merauke, dan daerah-daerah lainnya yang berada dalam pusaran konflik agraria 
0 notes
izzudinfarras · 7 years ago
Text
Evaluasi Kebijakan HET Beras
Pemerintah melalui Kementrian Perdagangan pada 24 Agustus 2017 lalu mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57/M-DAG/PER/8/2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Beras untuk mengatur harga beras di tingkat konsumen. Kebijakan tersebut mulai berlaku per tanggal 1 September 2017 di seluruh Indonesia. Beleid ini membedakan Harga Eceran Tertinggi (HET) di 8 wilayah serta jenis beras yang dibagi kedalam medium dan premium. Namun, Permendag ini bermasalah dalam beberapa hal.
Pertama, adanya penetapan HET memiliki konsekuensi hukum yang tidak sederhana. HET mewajibkan para pedagang untuk menjual dibawah HET sehingga apabila melanggar hal tersebut akan diberikan sanksi oleh pihak yang berwenang. Menurut Permendag ini, sanksi yang akan didapatkan oleh para pedagang apabila tidak mengikuti ketentuan HET sebagaimana yang telah digariskan oleh pemerintah adalah pencabutan izin usaha setelah datangnya dua kali surat peringatan dari pemberi izin usaha.
Konsekuensi hukum ini justru dapat membuat kontraproduktif bagi pasar beras karena para pedagang akan ketakutan untuk menjual beras sebagaimana biasanya melalui mekanisme pasar. Oleh karena tidak diperbolehkan untuk menjual beras diatas HET yang telah ditetapkan, maka akan ada potensi hadirnya pasar gelap untuk mensiasati peraturan HET beras tersebut. Justru, pasar gelap beras ini akan dapat menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi konsumen.
Kedua, kebijakan ini merupakan kebijakan taktis pemerintah untuk menekan angka kemiskinan dan inflasi. Namun, saking taktisnya, jeda waktu antara ditetapkannya Permendag dengan masa mulai berlakunya sangat pendek, hanya sekitar 1 pekan. Padahal kebijakan ini mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Dampaknya adalah banyak pedagang yang bingung dengan kebijakan ini.
Dalam hal ini, pemerintah perlu memberikan masa sosialisasi, setidaknya, 3 bulan untuk memberikan pemahaman kepada pedagang terkait aturan baru ini. Pemahaman yang komprehensif dari pedagang akan membuat pasar masuk ke dalam kondisi normal baru seperti yang diharapkan oleh pemerintah. Dengan begitu, penerapan kebijakan secara terburu-buru oleh pemerintah harus disudahi karena justru dapat merusak pasar yang selama ini telah berjalan sebagaimana mestinya. Harapan intervensi pasar dapat memberikan kesejahteraan bagi agen ekonomi dalam pasar perberasan malah menjadikan pemerintah aktor yang mengganggu kondisi pasar dan membuat gaduh di dalamnya.
Oleh karena itu, pemerintah harus merevisi Permendag tentang HET Beras dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Pemerintah perlu duduk bersama dengan seluruh pemangku kepentingan terkait di pasar perberasan, mulai dari petani hingga pedagang dan konsumen dalam merumuskan kebijakan yang mampu mengakomodasi semua kepentingan. Kebijakan partisipatif seperti hal tersebut dibutuhkan dalam menuntaskan masalah perberasan sehingga akan hadir titik temu antara agen ekonomi satu dengan lainnya dan pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan umum.
dimuat di Koran Neraca pada Jumat, 15 September 2017 dan dapat ditemukan di tautan berikut http://www.neraca.co.id/article/90185/evaluasi-kebijakan-het-beras 
0 notes
izzudinfarras · 7 years ago
Text
Zakat Untuk Pembangunan
Dalam pembukaan 2nd Annual Islamic Finance Conference (AIFC) 2017 di Yogyakarta, Rabu (23/8), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) menyampaikan bahwa ekonomi berbasis islami dan keuangan syariah, telah dan akan terus berkontribusi terhadap pembangunan nasional. Dalam hal itu, menurutnya, zakat telah banyak digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan status ekonomi masyarakat miskin.
Dari berbagai pernyataan Menkeu tersebut, satu hal yang menarik adalah terkait keinginan beliau agar zakat dapat dikelola seperti pajak yang sama-sama adanya pembayaran dan tidak mengharapkan itu kembali dalam rangka pembangunan nasional. Hal tersebut menjadi menarik karena pada bulan Juni lalu, Direktorat Jenderal (Dirjend) Pajak Kementrian Keuangan (Kemenkeu) baru saja mengeluarkan Peraturan Dirjend Pajak Nomor Per-11/PJ/2017. Peraturan tersebut terkait dengan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak selama zakat tersebut dibayarkan ke Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Dengan adanya peraturan turunan dari UU No 23/2011 Tentang Zakat tersebut, diharapkan masyarakat yang seharusnya wajib mengeluarkan zakat (muzakki) dapat mengeluarkan zakatnya tanpa ada rasa takut semakin berkurang pendapatannya setelah dipotong pajak. Kedepan, dengan semakin transparan, akuntabel, dan partisipatif pengelolaan zakat di Indonesia, maka zakat akan memiliki peran yang semakin besar dalam pembangunan nasional. Tentu hal ini merupakan suatu kemajuan pula bagi perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia.
Selain itu, dalam konferensi tersebut, keuangan syariah, termasuk zakat, diharapkan mampu berperan dalam mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan pendapatan. Hal ini juga sangat menarik untuk dibahas mengingat penelitian Beik (2009) menyebutkan bahwa zakat mampu mengurangi jumlah dan persentase keluarga miskin, serta mengurangi kedalaman dan keparahan kemiskinan. Artinya, secara empiris, zakat sudah mampu mengatasi kemiskinan di Indonesia sebagaimana yang diharapkan oleh SMI.
Terkait dengan ketimpangan, Jehle (1994) dalam penelitiannya di Pakistan menyebutkan bahwa zakat telah mampu mengurangi angka ketimpangan pendapatan serta ketimpangan intraprovinsi dan antarprovinsi sangat menurun. Beik (2013) dalam studi kasus di DKI Jakarta menyebutkan bahwa zakat berperan dalam menurunkan ketimpangan pendapatan sebesar 0,57%.
Meskipun sudah ada dukungan dari pemerintah berupa peraturan yang mengakomodasi peran zakat serta dukungan dari akademisi terkait bukti empiris peran zakat dalam pengentasan kemiskinan dan ketimpangan, masyarakat Indonesia masih membutuhkan sosialisasi yang lebih masif terkait zakat. Edukasi mutlak diperlukan dalam mencerdaskan pengetahuan masyarakat tentang peran zakat disekitar mereka.
Tidak dapat dilupakan juga bahwa masyarakat perlu didorong agar membayar zakat melalui lembaga-lembaga formal yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Tujuannya adalah agar pengelolaan zakat dapat berjalan optimal dan dana zakat dapat digunakan dengan tepat sasaran kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya.
tulisan ini dimuat di Koran Neraca, 25 Agustus 2017
http://www.neraca.co.id/article/89271/zakat-untuk-pembangunan
0 notes
izzudinfarras · 7 years ago
Text
Mengawasi Travel Umrah
Kasus PT First Anugerah Karya Wisata atau lebih dikenal dengan First Travel mencuat ke permukaan setelah jasa travel tersebut tidak mampu memberangkatkan puluhan ribu calon jamaah umrah ke tanah suci. Berbagai spekulasi mengenai gagal berangkat tersebut menyeruak, namun sampai saat ini informasi tersebut masih didalami oleh aparat yang berwenang.
Lantas, masyarakat saat ini dibuat was-was mengenai keamanan dana umrah yang mereka titipkan ke biro umrah lainnya. Kekhawatiran yang dirasakan masyarakat tersebut menjadi wajar mengingat korban puluhan ribu dari kasus First Travel menjadi tidak jelas nasib uang dan keberangkatan umrahnya. Terlebih, tren jamaah umroh yang terus menggeliat beberapa waktu ke belakang. Pada tahun 2015, sebanyak 717.000 orang menunaikan ibadah umrah. Sedangkan pada tahun 2016 jumlahnya meningkat signifikan hingga mencapai 818.000 orang. Untuk itu, perlu diadakan evaluasi atas penyelenggaraan ibadah umrah selama ini.
Hal yang pertama-tama perlu dibenahi adalah terkait dengan koordinasi antarinstansi. Kasus First Travel memberikan hikmah bahwa perlu ada koordinasi antara Kementrian Agama (Kemenag), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta instansi lainnya. Untuk itu, keberadaan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi yang baru dibentuk akhir-akhir ini perlu dimaksimalkan untuk melakukan pengawasan penggunaan dana umrah.
Kedua, permasalahan regulasi. Selama ini, payung hukum penyelenggaraan umrah hanya menjadi salah satu bagian dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji. Perlu dimunculkan gagasan agar penyelenggaraan ibadah umrah menjadi Undang-Undang tersendiri sehingga hal-hal mengenai umrah dapat diatur lebih detail, khususnya mengenai sanksi bagi penyelenggara ibadah umrah yang melakukan investasi bodong.
Ketiga, adalah terkait perizinan untuk mendirikan jasa travel umrah. Perlu perizinan yang lebih ketat untuk mendirikan jasa penyelenggara ibadah umrah agar tidak ada lagi jasa umrah yang bisa seenaknya menetapkan harga yang lebih rendah dari harga pasar. Artinya, hal ini harus sinkron juga dengan pengawasan yang dilakukan oleh OJK sehingga bisa dilakukan pencegahan yang lebih baik ke depannya.
Selain itu, keempat, adalah pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Pengawasan oleh DSN-MUI adalah dalam aspek kesyariahan transaksi yang dilaksanakan oleh para biro jasa umrah. Umrah sebagai sarana ibadah umat muslim tentu harus memenuhi pula prinsip-prinsip ekonomi islam sehingga para jamaah umrah mendapatkan berkah atas ibadahnya di tanah suci.
Terakhir, semua pihak terkait perlu melakukan proses preventif lebih dulu ketimbang baru sibuk belakangan setelah adanya kejadian seperti First Travel ini. Upaya-upaya pencegahan harus dikedepankan karena sebetulnya kejadian seperti ini bukan lah kejadian yang pertama. Kelak masyarakat tidak perlu lagi diributkan dengan kasus investasi bodong seperti ini sehingga mereka dapat menunaikan ibadah dengan khusyuk dan penuh keberkahan.
dimuat di Koran Neraca, 18 Agustus 2018 dan di link berikut http://www.neraca.co.id/article/88968/mengawasi-travel-umrah 
0 notes
izzudinfarras · 7 years ago
Text
Hati-Hati Dana Haji
Beberapa waktu terakhir perihal dana haji menjadi polemik di masyarakat. Awal mulanya adalah pernyataan Bapak Presiden Joko Widodo saat melantik dan meresmikan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang menginginkan penggunaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur. Tidak tanggung-tanggung, dana haji mengendap sebesar Rp 90 Triliun diharapkan Bapak Jokowi mampu berkontribusi terhadap rencana pembangunan infrastruktur di Indonesia. Lantas, pernyataan Presiden tersebut menuai kontroversi, pihak pro maupun kontra saling beradu argumentasi di media terkait wacana tersebut.
Pada dasarnya, investasi dana haji oleh pemerintah bukanlah barang baru. Selama ini dana haji mengendap sudah diinvestasikan ke berbagai instrumen keuangan seperti sukuk dan deposito. Pengembangan penggunaan dana haji untuk investasi di sektor infrastruktur tentu merupakan wacana kebijakan yang baik. Hal tersebut mampu menggali potensi keuangan syariah dan memperluas manfaat yang diberikan oleh ekonomi syariah dan umat muslim terhadap kemajuan negara ini.
Namun, wacana tersebut menjadi bermasalah, setidaknya, dalam dua hal. Pertama, sampai saat ini belum ada kajian mengenai penggunaan dana haji untuk investasi di bidang infrastruktur. Memang pada dasarnya hal tersebut dibolehkan selama menguntungkan jamaah haji, akan tetapi, seperti yang dikatakan juga oleh Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Saadi, akan lebih baik bila pemerintah berkonsultasi kepada ormas-ormas islam dan pakar ekonomi serta keuangan. Dengan adanya hal tersebut serta kajian mendalam mengenai hal ini, umat islam menjadi yakin dana yang disetorkannya untuk ibadah haji mampu bermanfaat lebih banyak kedepannya. Kepercayaan masyarakat menjadi salah satu kunci sukses penyelenggaraan ibadah haji dan secara umum mampu meningkatkan kredibilitas pemerintah.
Kedua, sampai saat ini belum ada kajian mengenai berapa besar presentase dana haji yang akan diinvestasikan untuk infrastruktur. Beberapa pakar sudah mengusulkan besaran presentase yang digunakan untuk investasi di bidang infrastrukur. Namun, penentuan besaran presentase tersebut hendaknya menggunakan kajian mendalam, bukan asal mengusulkan semata. Hal ini sangat penting mengingat dana haji adalah dana milik para calon jamaah haji, bukan dana milik pemerintah. Artinya, dana publik seperti ini harus dipertanggungjawabkan pula kepada publik sehingga harus ada transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan haji. Kajian yang dilakukan oleh BPKH atau pihak lainnya yang terkait juga harus diuji publik dalam rangka sosialisasi dan menjaring aspirasi berupa saran serta kritik atas model pengelolaan dana haji dalam kajian tersebut.
Masyarakat luas perlu mendorong agar kedua kajian diatas dapat dilakukan oleh BPKH dan pihak terkait lainnya. Dengan hadirnya kajian tersebut, diharapkan polemik penggunaan dana haji untuk investasi infrastruktur dapat mereda dan dapat menjadi landasan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah atas pengelolaan dana haji yang diberikan oleh para calon jamaah haji.
opini saya di Neraca, 4 Agustus 2017, bisa dicek di tautan berikut http://www.neraca.co.id/article/88337/hati-hati-dana-haji 
0 notes
izzudinfarras · 7 years ago
Text
“Premanisme” Ekonomi
Fenomena perilaku “premanisme” di Indonesia kini tidak hanya berkaitan dengan aspek sosial dan hukum, tetapi juga sudah merambah aspek ekonomi. Kegiatan “premanisme” pada umumnya merupakan suatu tindakan mempertontonkan kegagahan yang menakutkan. Dalam aspek ekonomi disebut dengan istilah “premanisme” ekonomi.
Gaya “premanisme” ekonomi tersebut baru saja terjadi akhir-akhir ini. Kejadian itu bermula ketika tim Satuan Tugas (Satgas) Pangan yang beranggotakan Kementrian Pertanian, Kepolisian RI, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menggerebek sebuah gudang beras di Bekasi milik PT Info Beras Unggul (PT IBU).
Dalam penggerebekan tersebut, PT IBU dituduh melakukan berbagai kecurangan terkait perdagangan dalam pasar perberasan. Namun, tuduhan tersebut segera dibantah oleh PT IBU melalui komisaris utamanya sekaligus mantan Menteri Pertanian era Presiden SBY, Anton Apriyantono. Kemudian isu ini menjadi bola liar karena ternyata tindakan yang dilakukan serta argumentasi yang disampaikan oleh Satgas Pangan banyak cacatnya dalam aspek ekonomi.
Setelah berbagai argumen dibantah oleh para ekonom, narasi yang disampaikan oleh Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, dan Ketua KPPU, Syarkawi Rauf, dalam menanggapi penggerebekan yang mereka lakukan adalah masyarakat diminta menghormati proses hukum. Padahal, landasan penggerebekan yang menghebohkan tersebut sudah cacat sejak awal.
Konsep-konsep ekonomi seperti subsidi input dan output, intervensi harga oleh pemerintah dalam bentuk floor price dan ceiling price, serta perbedaan beras premium dan beras oplosan tidak dipahami secara utuh dalam konteks pasar perberasan. Selain itu, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 47 tahun 2017 tentang penetapan harga acuan pembelian di petani dan harga acuan penjualan di konsumen yang menjadi acuan penggerebekan juga belum selesai diundangkan oleh Kementrian Hukum dan HAM RI. Bisa dilihat hasilnya bahwa sampai hari ini Kepolisian RI belum menetapkan satu pun tersangka atas kejadian penggerebekan gudang beras tersebut.
Kejadian penggerebekan ini membuka tabir bobroknya tata niaga beras di Indonesia. Gagal paham perberasan yang dilakukan oleh para pejabat di lingkungan pemerintahan seperti ini dapat menimbulkan distorsi dalam perekonomian. Koordinasi serta pemahaman yang komprehensif atas persoalan beras mutlak dimiliki oleh para pemangku kepentingan terkait seperti Kementan dan KPPU. Regulasi harus dibentuk dalam rangka menciptakan kebijakan yang efektif untuk menuntaskan permasalahan tata niaga beras di Indonesia. Harapannya tentu dapat meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus memenuhi kebutuhan pokok konsumen secara umum.
Jangan sampai justru pemerintah yang menambah benang kusut dalam usaha mengurai solusi perberasan. Terlebih, penggunaan aparat penegak hukum seperti Kepolisian RI dalam menuntaskan persoalan ekonomi secara tidak tepat dapat menimbulkan “premanisme” ekonomi. Konsumen serta pelaku usaha tidak perlu dibuat dalam suasana ketakutan untuk melakukan aktivitas ekonomi.
dimuat di Koran Neraca pada 28 Juli 2017 dapat juga dilihat di tautan berikut  http://www.neraca.co.id/article/88024/premanisme-ekonomi 
0 notes