Text
Sudah jam setengah 2 pagi
Gadis itu masih betah duduk menghadap cermin
Kutatap matanya
Ada lelah terpancar darinya
“Sudah selesaikah menangisnya?” tanyaku padanya
Gadis itu mulai menghapus air di sudut matanya seraya tersenyum kepadaku lewat cermin dan seolah memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja
Gadis itu; aku
0 notes
Text
Tuhan sedang menegapkan bahumu, lalu kau terjatuh. Dia Bangunkanmu, lalu kau terjatuh lagi. Semua berulang begitu beratnya, sampai tiba akhirnya kau sadari kau sudah bisa bangun sendiri.
0 notes
Text
garis senyum yang kau lihat membekas di pipinya
tak lantas menandakan bahwa dia selalu baik-baik saja
0 notes
Text
Bandung, 28 September 2020.
Semuanya terjadi tiba-tiba.
Sesak.
Tak menyangka akan seperti ini...
0 notes
Text
Dia menangis sejadi-jadinya di bangku taman itu, seorang lelaki yang tidak ia kenal berjalan menghampirinya dan bertanya apa yang telah terjadi kepada gadis itu sehingga ia menangis.
Sang gadis mulai bercerita di sela isak tangisnya. Selesai bercerita, tanpa disangka, lelaki itu merespon dengan tawa yang terbahak-bahak.
“Jangan mengejekku seperti itu” sang gadis terus mendelik ke arahnya. Tapi ia terus tertawa, bahkan suaranya kian lantang. Melihat sang gadis mengernyitkan dahi, akhirnya tawa si lelaki mulai mereda.
“Sorry, sorry. Aku gak ngejek, cuma geli aja. Kita diciptakan Tuhan lengkap dengan organ yang bernama otak untuk berpikir, tapi perempuan tetap saja bodoh. Apa yang kamu harapkan dari lelaki yang berjuang keras untukmu di awal, lalu pergi meninggalkanmu tanpa alasan yang jelas? Come on, dunia tak hanya dan tak harus selalu tentangnya. Satu-satunya cara yang harus kamu lakukan adalah berhenti untuk ingin tahu tentangnya. “
“Sebelum kau mengenalnya, selama bertahun-tahun hidupmu berjalan baik-baik saja. Lantas, mengapa kau pasrah ketika dia membuat hidupmu berantakan hanya dalam hitungan bulan? Jangan menjadi lemah karena orang lain mematahkan sayapmu. “
“Mungkin saat ini kamu nggak bisa terbang karena sayapmu terluka, tapi kamu masih punya kaki untuk berjalan. Sedikit demi sedikit, keluar lah dari tempat yang membuatmu sakit. Tapi percayalah, semesta yang akan bekerja sama dengan waktu untuk menyembuhkan sayapmu yang patah. Tidak harus selalu dengan mendatangkan orang yang baru, mungkin waktu akan menempamu terus menerus hingga kau ingin menyerah, tapi ia juga tak sejahat itu untuk tak memulihkan sayapmu. Hingga saatnya tiba, kau akan menjadi kuat karena dirimu sendiri dan sayapmu telah siap kembali membawamu terbang. Semua hanya butuh proses.”
Laki-laki itu kemudian menepuk bahunya dua kali sebelum pergi meninggalkannya, bahkan ia belum sempat memberitahukan namanya.
“Aku bodoh? Kau pikir, siapa yang lebih bodoh, menceramahi wanita seakan kau paling benar, tapi apa bedanya kau dengan lelaki itu? Kau sama-sama meninggalkanku begitu saja. Kau yang bodoh” gerutunya sambil menghapus sisa air mata di pelupuk matanya.
Sedetik kemudian nafasnya tercekat, dan ia terjebak dalam pikirannya sendiri. Tidak, lelaki yang tadi meninggalkannya tidak bodoh. Setiap orang akan datang dan pergi, tanpa permisi, tapi semuanya akan meninggalkan kesan yang berbeda. Ada yang meninggalkan luka, tapi kini ia merasa hatinya begitu hangat, karena lelaki yang baru saja meninggalkannya tak meninggalkan luka; melainkan pelajaran berharga.
Bandung, 31 Juli 2020.
0 notes
Text
“Aku ingin membuat hidupnya tak tenang. Aku ingin ia merasakan sakit, sama seperti yang kurasakan”
“Beri tahu aku, berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk merelakannya pergi?
“Aku tidak tahu”
“Apakah Tuhan menghentikan rezekimu saat kau melupakan-Nya karena kau terlalu sibuk dengannya?”
“Tidak”
“Apakah Tuhan marah kepadamu saat kau meninggalkan-Nya?”
“Hmm.. kurasa tidak”
“Lantas mengapa kau marah saat kekasihmu meningalkanmu, padahal Tuhan yang Menciptakanmu tetap berlapang hati menunggumu kembali mengingat-Nya”
Bandung, 31 Juli 2020.
Untuk jiwa-jiwa yang baru saja ditinggalkan.
0 notes
Text
Medan, 22 November 2019. Pukul 18.06 WIB. Aku baru saja tiba di Kualanamu, berencana pulang ke Bandung setelah mengikuti pelatihan.
Baru saja aku akan duduk, seorang lelaki seumur ayahku berjalan dari arah counter mendekati kursi di sebelahku sambil sedikit menggerutu, “Aduh, delay. Kacau.” Sementara aku masih sibuk menurunkan koper dan tas dari trolley. Aku sedikit kerepotan karena pulang dengan membawa beberapa oleh-oleh untuk keluarga dan teman-teman di Bandung.
“Bisa, Teh?” tanya bapak itu. Aku menoleh ke arahnya, memastikan bahwa beliau memang berbicara kepadaku. Memang benar, beliau melihat ke arahku yang sibuk merapikan barang bawaanku. “Bisa, Pak.” Aku tersenyum kepadanya.
Aku duduk dengan tenang sambil mendengarkan lagu favoritku melalui earphone. Ternyata, bukan hanya jadwal keberangkatan bapak tadi yang terhambat. Pesawatku juga delay selama 2 jam. Bapak yang sedari tadi duduk di sebelahku mulai gelisah, akhirnya beliau mencolek bahuku dan memulai pembicaraan. Aku segera mematikan lagu yang diputar dari HPku.
“Kenapa, Pak?”
“Teteh dari mana?” tanyanya.
“Oh, saya dari Bandung, Pak. Habis ikut pelatihan di Santika, ini mau pulang lagi ke Bandung.”
“Wah, sama dong. Tapi saya pulang ke Jakarta”
Aku terkejut, “Bapak Ahli Gizi juga?”
“Iya, nih, saya punya tas pelatihan yang sama kan” beliau meyakinkanku.
Pelatihan ini diikuti oleh Ahli Gizi di berbagai kota, dan setelah aku bertanya kelas apa yang diikuti oleh beliau, ternyata kami mengikuti kelas pelatihan yang berbeda.
Kemudian beliau bertanya, “Teteh siapa namanya?”
“Isti, Pak. Bapak?”
“Saya Yudi”
Tak terasa sudah satu setengah jam kami mengobrol. Pak Yudi tampaknya senang sekali bercerita. Selama satu jam beliau menceritakan pengalamannya menjadi Ahli Gizi bertahun-tahun dan sempat menjadi penasihat bagi beberapa pejabat di Jakarta. “Keren,” batinku.
Setengah jam berikutnya, beliau bertanya padaku, “apa tantangan terberatmu selama menjadi Ahli Gizi?”
“Menyamakan persepsi. Saya baru sadar, akan ada beberapa kasus dimana tingkat pendidikan pasien dan keluarga menjadi faktor penting dalam menyerap informasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, mereka akan semakin berpikir kritis dan tidak mudah menerima informasi dari luar secara mentah-mentah. Sedangkan yang pendidikannya rendah, begitu saya edukasi, mereka hanya mengangguk tanpa ingin menyanggah dan bertanya. Saya justru takut, Pak, takut mereka ternyata tidak paham karena malu atau minder, sehingga komunikasinya hanya menjadi satu arah.”
“Benar, Isti. Tapi, yang lebih menyedihkan adalah ketika kita melihat mereka masuk rumah sakit dengan kondisi hasil laboratorium yang berantakan. Padahal kita sudah sering koar-koar untuk menjaga pola makan dan gaya hidup sehat. Di posyandu, di puskesmas, di social media. Kita udah gencar, tapi semua balik lagi sama individunya. Begitu masuk rumah sakit, PR kita tetep berat, padahal informasi udah lebih gampang diakses.” beliau tertawa sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya.
Akhirnya boarding time tiba. Aku dan Pak Yudi berpisah. Beliau sempat memintaku menyimpan kontaknya bila sewaktu-waktu aku memerlukannya.
Sambil berjalan memasuki pesawat, aku bersyukur. Selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Aku adalah orang yang tidak betah duduk menunggu selama lebih dari setengah jam, tapi Tuhan mendatangkan orang lain sebagai pengalih perhatianku sehingga aku tidak cemas menunggu.
Tapi terlepas dari itu semua, aku lebih bersyukur karena aku mendapatkan ilmu baru dari Pak Yudi. Semoga beliau selalu diberikan kesehatan. Aamiin...
0 notes
Text
Bandung, 30 Juli 2020.
Suara takbir menggema di langit malam. Esok, seluruh umat muslim akan menyambut Hari Raya Idul Adha.
Malam ini, 2 jam yang lalu, jariku membawaku menyelami sebuah akun Instagram yang seluruh postingannya sangat menghangatkan hati.
Beliau sosok ibu yang kucari selama ini, mengetahui sedikit sosoknya lewat cerita sang anak bungsu yang kini telah menjadi musisi sukses berkat segala dukungan dan doanya.
Ternyata beliau memang seorang ibu yang hangat, senang berbagi tulisan yang menginspirasi terutama tentang parenting. Aku berhasil membaca semua tulisannya hingga postingan pertamanya. Kemudian jariku tergerak untuk menyapanya.
Tak sampai 30 menit, beliau membalas komentarku dengan ramah. Ah, senangnya. Tangan Tuhan membimbingku menemukan ibu Hanny dan merubah pola pikirku tentang pernikahan dan ilmu parenting hanya dalam waktu 2 jam saja.
Terima kasih, ibu Hanny. Ibu adalah ibu yang hebat. Semoga Allah senantiasa melindungi ibu dan keluarga 💙
0 notes
Text
Ia merapikan tali ransel yang tersandar di kedua bahunya, menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan cepat. Ia kini mengerti, bahwa tak semua hal harus ia perjuangkan. Setiap sudut di kota Bandung telah berhasil mematri semua kenangan indah saat ia masih bersama gadis itu. Bandung sempat membuatnya merasa jatuh cinta berkali-kali, tapi kini rasa itu tak lagi sama. Mungkin suatu saat nanti ia akan merasakan rindu dan sakit yang bersamaan pada kota ini. Bandung yang telah berhasil membuatnya mencintai seorang gadis penyuka senja, dan Bandung juga yang telah membuatnya patah hati, karena gadis itu tak lantas memilihnya.
0 notes
Text
Karena pada akhirnya, tak semua hal bisa kau sampaikan pada siapapun.
Karena pada akhirnya, semua kata yang telah kau rangkai serapi mungkin hanya akan tertahan pada bibirmu yang kelu.
Karena pada akhirnya, tangisanmu hanya akan didengar oleh dirimu sendiri.
Dan pada akhirnya, kepahitan harus tetap kau terima, bak meminum pil yang harus kau telan sendirian.
— NI
0 notes
Text
Tak apa jika kau lelah
Menepilah
Hanya karna kau terbiasa melakukan segalanya sendirian
Bukan berarti kau tak pantas mengeluh
Lepaskanlah laramu
Kan kupastikan tak akan ada satupun yang akan menghakimimu atas rasa lelahmu
0 notes
Text
Suatu hari, saat visite pasien baru di ruang rawat inap...
👧🏻 Ibu biasanya di rumah makannya gimana?
👵🏻 Ah ibu mah di rumah tara makan neng, suka lupa. Da tinggal sendiri
👧🏻 Ihh kenapa atuh? Emg di rumah ga ada yg masakin?
👵🏻 Bukan, ga ada yg ngajak makan. Masak mah ibu juga bisa sendiri
Berikut sarapan paginya yg dikasi dari RS masi ada di bed, belum dimakan.
Ternyata orangtua kita cuma pengen ditemenin makan di rumah :’)
0 notes