Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Raison D’être: Ekonomi Madura dan Bujâ
“a soldier’s salary was cut if he was ‘not worth his salt’”
Dari sekian banyak bumbu yang dihasilkan bumi Nusantara, petis merupakan salah satunya. Tidak banyak literatur menjelaskan bagaimana bumbu satu ini mula-mula diciptakan. Yang pasti, tiap daerah memiliki cara unik meliputi bahan dasar apa saja yang digunakan serta bagaimana proses pembuatannya.
Di Kota Udang, Cirebon, misalnya. Petis dibuat dengan berbahan dasar udang rebon yang mudah sekali ditemukan sepanjang muara sungai Kota Cirebon. Diketahui, tradisi menangkap udang rebon ini sudah ada sejak dahulu kala, dipelopori oleh Cakrabuana, seorang pangeran dari Kerajaan Padjajaran, yang kemudian menjadi mata pencaharian masyarakat kala itu. Tidak hanya berhenti sampai di situ, potensi udang rebon yang kian besar membuat Cakrabuana menginisiasi industri pengolahan udang rebon termasuk di antaranya Petis dan Terasi yang dikemudian hari menyebabkan perekonomian dan jumlah penduduk Cirebon semakin tumbuh dan berkembang pesat. Melalui hikayat singkat ini, tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut udang rebon, terasi, dan petis merupakan Raison D’être kota Cirebon yang kita kenal dewasa ini1. Makanan khas daerah seperti petis terkadang dapat menggambarkan bagaimana perekonomian daerah tersebut terbentuk pada saat ini.
Bicara racikan, penggunaan udang rebon menjadikan Petis Cirebon memiliki warna pekat dan cita rasa yang kuat dan tajam. Berbeda dengan petis yang populer di Madura yang umumnya memiliki tekstur kenyal, liat, dan padat serta identik dengan rasa asin2. Orang-orang Madura biasa menyebutnya Pettès Accèn (Petis Asin), alih-alih Petis Madura sebagaimana warga Surabaya dan sekitarnya acap menyebutnya. Petis Madura banyak sekali macamnya, dan Pettès Accèn merupakan avant-garde dari industri Petis Madura secara keseluruhan. Salah satu sentra produksi terbesarnya bertempat di Desa Konang, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, yang secara kebetulan juga merupakan daerah penghasil bujâ (garam). Cita rasa asin yang menjadi ciri khasnya pun disebabkan hal tersebut sehingga proporsi garam yang digunakan selama proses pemindangan lebih banyak dibanding petis pada umumnya.
Garam akan selamanya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Madura. Jika kita mau melihat lebih jauh, Madura merupakan pulau yang mendapat julukan sebagai Pulau Garam. Julukan ini dibuktikan dengan tingkat produksi garam Madura yang bahkan mampu mencapai 35% dari total produksi garam nasional. Banyaknya tingkat produksi garam Madura sebetulnya merupakan hikmah dari tanah Madura yang relatif gersang, memiliki kemarau yang lebih panjang, serta kondisi tanah yang mengandung sedimentasi batuan kapur dan minim lapisan vulkanis, yang secara otomatis, membuat tanahnya tidak begitu subur.
Sektor Pertanian Madura kurang bisa memberikan hasil optimal, sebab hanya tumbuh di tanah aluvial dengan mengandalkan aliran sungai sebagai irigasi alamiah (Kuntowijoyo, 2002:27). Tentu hal ini merupakan trade off, mengingat kondisi geografis tersebut merupakan salah satu faktor terkuat yang menjadikan sebagian besar masyarakat Madura enggan tinggal dan memilih bermigrasi bahkan sejak awal abad 19. Mula-mula sekitaran Jawa Timur. Belakangan, seiring dengan semakin mudah dan meratanya sarana transportasi publik, peta sebaran migrasi masyarakat Madura bisa mencapai ujung pelosok Indonesia hingga luar negeri. Kendati demikian, mayoritas masyarakat Madura yang tinggal masih memilih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dengan menggunakan pola Pertanian Subsisten. Yang artinya, sebagian besar hasil pertanian cukup sebatas konsumsi keluarga saja (History of Madura, 2019).
Selain disebabkan oleh kondisi tanah yang tandus, budaya merantau masyarakat Madura ini juga cukup dipengaruhi minimnya aneka komoditas menggiurkan yang tereksplorasi secara optimal. Konservatisme juga turut memperburuk keadaan sosial masyarakat. Ini didukung oleh rendahnya tingkat partisipasi pendidikan masyarakat Madura dibanding kabupaten lain di Jawa Timur khususnya pada tingkat pendidikan menengah atas. Akibatnya, pengolahan komoditas cenderung menggunakan cara-cara lama dan minim inovasi sehingga tidak memberikan timbal balik yang signifikan bagi perbaikan kehidupan masyarakat sekitar, khususnya pada produksi garam sebagai komoditas mayor.
Melihat fakta di atas, tidak salah jika kita menyebut beberapa poin tersebut sebagai The inconvenient truth yang menjadikan kabupaten-kabupaten di Madura beberapa kali menempati posisi pucuk dalam rasio penduduk miskin Jawa Timur berdasarkan data BPS beberapa tahun belakangan, setidaknya s.d. 2023.
Gagalnya peran garam sebagai komoditas strategis dalam mempersempit jurang ketimpangan sosial masyarakat Madura merupakan hal yang paradoksal. Berhubung berabad-abad silam, garam sebetulnya sempat menjadi primadona dunia yang sangat berharga. Dahulu, dalam skala rumahan saja garam tidak hanya dijadikan sebagai bumbu penyedap dan pengawet makanan, tetapi juga untuk antiseptik, mumifikasi dan ritual keagamaan. Bahkan dalam cakupan lebih luas, garam sempat dijadikan sebagai mata uang dan memiliki nilai tukar. Sifatnya yang langka dan tingkat permintaannya yang tinggi menjadikan garam sebagai komoditas paling dicari serta diperebutkan pada masa lalu. Tak jarang sengketa atas nama garam sampai menimbulkan perang hingga mencetuskan revolusi.
Ada banyak sekali cerita tentang betapa utamanya industri garam pada masa lalu. Kejayaan Venesia yang kerap diatribusikan dengan rempah-rempah eksotis, memiliki fakta unik di baliknya, dimana mereka sebetulnya mendapatkan rempah-rempah Asia itu dengan cara menukarkannya dengan garam yang mereka miliki. Di sisi lain daratan Italia pada lini masa yang lebih lama, para Pasukan Romawi kerap mengawal iring-iringan pedagang yang membawa garam dari Ostia menuju Sungai Tiber melintasi Via Salaria, rute yang terkenal sebagai jalur perdagangan garam paling sibuk pada masanya. Upah pasukan itu sebagiannya dibayarkan menggunakan garam yang kemudian dikenal dengan istilah “Salarium Argentum” (Time, 1982). Banyak yang meyakini bahwa kata Salary yang kita kenal berasal dari Bahasa Latin Salarium dan memiliki morfem kata Sal yang berarti garam. Konklusi menarik seperti ini, sayangnya, tidak memiliki historical evidence yang cukup dan perlu kajian lebih lanjut untuk membuktikan kesahihannya.
Banyaknya pasokan garam yang dikirim dari Pelabuhan Ostia ke Roma dengan tanpa pesaing menjadikan pedagang-pedagang garam di Ostia berani mematok harga dengan begitu tinggi. Hal ini membuat pemerintahan melakukan langkah interventif dengan cara mengambil alih industri garam dan melakukan monopoli (Saltwork Consultants, n.d.). Hal yang sama terjadi di sini. Pemerintah Kolonial Belanda pada masa penjajahan mengeluarkan Staatsblad Nomor 73 Tahun 1882 tentang Bepalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie sebagai salah satu legitimasi bagi Belanda untuk dapat mengukuhkan langkah monopolistis terhadap produksi dan distribusi komoditas khususnya garam di Hindia Belanda (Cholil & Jusmadi, 2023). Meski belum diketahui secara pasti kesinambungannya apa, namun secara kronologis penetapan Staatsblad ini dilakukan setelah Pemerintahan Kolonial Belanda mulai menghapuskan sistem kerajaan di Madura serta mengubah bentuk wilayah dan pemerintahan menjadi karesidenan pada tahun 1857 dengan tujuan memperkuat pengaruhnya secara politis pada wilayah Madura. Tidak lama setelah penetapannya, barulah dibangun trayek kereta Kalianget-Kamal di Kawasan Pantai Selatan Madura secara bertahap yang salah satu tujuan utamanya adalah untuk mengatasi permasalahan logistik komoditas.
Monopoli garam diketahui berakhir sekitar 23 tahun setelah nasionalisasi pengelolaan garam dari Badan Usaha Milik Belanda menjadi milik Indonesia pada tahun 1945. Diawali dengan munculnya tanda-tanda kebangkrutan Perusahaan Garam dan Soda Negeri (PGSN) sebagai Badan Usaha Milik Indonesia (Sanders, 1968:3). Runtuhnya sistem monopoli ini seharusnya menjadi angin segar bagi para Petambak Garam. Yang jadi masalah besarnya adalah, kenapa Petambak Garam khususnya di Madura sebagai penyumbang produksi garam terbesar di Indonesia masih juga jauh dari kategori sejahtera? Untuk menjawab ini, kita perlu melihatnya dari sudut pandang general.
Permintaan garam dewasa ini menjadi semakin tinggi terlebih dengan adanya segmentasi kebutuhan Garam Industri. Di sisi lain, cara produksi tidak mengalami perubahan yang signifikan. Misri Gozan et al. (2018) menyatakan bahwa Petambak Garam masih mengandalkan panas matahari dalam proses evaporasi, sementara perubahan iklim menjadikan intensitas panas matahari tidak lagi sama. Akibatnya, tingkat produksi garam menjadi inkonsisten. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya kelangkaan ekstrem pasokan garam pada kisaran periode 2016-2017 yang disebabkan adanya fenomena La Nina. Kelangkaan pasokan ini disebabkan oleh banyaknya Petambak Garam yang mengalami gagal panen karena gagalnya proses evaporasi yang disebabkan kondisi alam itu sendiri.
Tidak mampunya Petambak Garam mempertahankan tingkat produksi sekaligus memenuhi kebutuhan garam nasional menjadikan pemerintah kerap mengambil keputusan untuk melakukan impor garam. Sementara itu, garam dalam negeri mempunyai isu serius yang harus segera dituntaskan terkait rendahnya daya saing yang dimiliki. Bukan hanya masalah kuantitas, tapi juga dari segi kualitas garam yang berada di bawah standar Garam Industri sebagai penyokong kebutuhan garam terbesar di Indonesia. Kondisi teknologi serta topografi yang tidak semendukung negara lain sesama produsen garam turut memperparah keadaan. Menjadikan produktifitas garam nasional sangat jauh dari kata efisien sehingga harganya pun tidak lebih murah dari garam impor.
Faktor lain yang menyebabkan sulitnya Petambak Garam sejahtera adalah skema pasar yang cenderung Monopsoni/Oligopsoni sehingga tidak berpihak pada Petambak Garam sama sekali. Buruknya Pasar Monopsoni bagi para Petambak Garam dialami juga oleh Petani Tanaman Koka Ilegal pada beberapa negara di Amerika Latin. Sebagaimana kita tahu, bisnis haram seperti narkotika adalah bisnis yang cukup menghasilkan. Namun bukan jaminan seluruh pihak yang terlibat dalam industri tersebut diuntungkan.
Pada beberapa tahun silam, negara-negara seperti Bolivia, Kolombia, dan Peru menerapkan kampanye pemberantasan lahan-lahan Koka ilegal yang salah satu tujuan fundamentalnya adalah menciptakan kelangkaan persediaan Koka, sebagai bahan utama Kokain, dengan harapan membuat harganya meroket di pasaran. Secara otomatis, pemasok ilegal itu dengan segera mengambil langkah restoratif mengingat siklus tanam Tanaman Koka dalam setahun yang relatif singkat. Sayangnya, intensi pemegang otoritas bukan berhenti sampai menciptakan kelangkaan saja, melainkan juga membuat mereka melipatgandakan biaya penanaman ulang atas lahan-lahan liar yang sebelumnya telah dimusnahkan menggunakan weed killer.
Kebijakan ini berbuah manis ketika tingkat konsumsi Kokain di daratan Amerika turun secara drastis. Namun sayangnya terdapat anomali ketika tingkat permintaan pada negara-negara Eropa justru melonjak naik. Hal tersebut menunjukkan bahwa di tengah upaya-upaya yang dilakukan guna mengurangi jumlah persediaan, tingkat permintaan dan harga Kokain secara agregatif masih berada pada kondisi yang relatif stabil. Lantas, bagaimana itu bisa terjadi?
Pada Narconomics (2016) dijelaskan bahwa terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi stabilnya jumlah permintaan dan harga Kokain di pasaran. Yang pertama, adanya fenomena The “cockroach effect”: Sebanyak apapun upaya pemberantasan lahan Koka ilegal itu diterapkan, para Kartel akan selalu punya cara untuk memaksa petani bekerja pada lahan Koka baru yang mereka buka di tempat lain. Seperti halnya Ketika kita mencoba membasmi kecoa dengan semprotan anti serangga pada satu ruangan di rumah kita, sisa koloni mereka tetap akan muncul pada bagian ruangan lain dalam rumah sebagai upaya bertahan hidup. Skema ini menciptakan peluang untuk menerapkan sistem Cross Subsidization atas segmentasi pasar yang ada sehingga pada akhirnya dapat meredam dampak atas ambivalensi pada tingkat konsumsi di Amerika dan Eropa pada saat yang sama.
Yang kedua adalah skema Pasar Monopsoni. Meskipun ada upaya-upaya untuk mempertahankan tingkat produksi pada saat diterapkannya kampanye pemberantasan Tanaman Koka ilegal, supply shock adalah hal yang pasti terjadi dan memiliki dampak nyata bagi para Kartel sebagai entitas hilir dari industri tersebut. Penanaman Kembali menjadikan biaya produksi para Petani meningkat berkali-kali lipat. Untuk mengakali naiknya harga jual Kokain sebagai dampak dari membengkaknya biaya produksi, para Kartel menetapkan harga beli bahan baku pada level yang sangat rendah. Hal ini jelas membuat petani sangat menderita. Namun kududukan Kartel sebagai corong tunggal dalam alur perdagangan Tanaman Koka Ilegal, menjadikannya adikuasa dalam menentukan harga. Petani Koka pun tak bisa apa-apa.
Petani Koka Ilegal dan Petambak Garam dalam kasus ini memiliki nasib yang sama. Kondisi mereka tidak memungkinkan mereka memiliki gudang penyimpanan yang memadai yang dapat mereka gunakan guna menimbun kelebihan produksi pada saat harganya jatuh. Di sisi lain, mereka tidak memiliki teknologi yang mumpuni untuk menggenjot jumlah produksi pada saat terjadi sesuatu tak diinginkan yang dapat mempengaruhi tingkat produksi. Ditambah lagi, keduanya tidak memiliki derajat yang sama dengan pemegang industri hilir dalam menetapkan harga. Penerapan kebijakan Harga Pembelian Pokok (HPP) pada industri garam juga dinilai tidak efektif. Akibatnya, kesejahteraan bagi mereka tidak lebih dari sekedar utopia belaka. Lebih malang lagi jika ternyata lahan tempat mereka bekerja adalah hasil mereka sewa, sehingga tuan tanahnya lah yang memiliki akses ke tengkulak atau pedagang yang jenjangnya lebih besar. Bertambahnya supply chain dalam skema Pasar Monopsoni hanya akan semakin mempertipis margin keuntungan.
Untuk dapat keluar dari masalah-masalah pelik di atas, upaya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi harus dilakukan secara serius dan seksama. Revitalisasi menjadi salah satu opsi optimis yang dilakukan pemerintah di tengah pesimisme program Ekstensifikasi guna menggenjot angka produksi. Banyaknya lahan tambak garam yang beralih fungsi bahkan berubah wujud menjadi properti menjadikan program Ekstensifikasi sulit dilakukan. Namun begitu, pengkajian kembali program Ekstensifikasi sepertinya masih dilakukan sehubungan dengan adanya potensi produksi yang cukup besar, khususnya dalam kasus ini, pada bagian utara Pulau Madura yang sebagiannya masih berupa lahan tidur.
Intensifikasi berupa sofistikasi teknologi merupakan fardhu ‘ain untuk ditempuh seluruh pelaku industri, khususnya Petambak Garam itu sendiri. Program Intensifikasi diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan produksi kita yang banyak tergantung pada kondisi alam. Di samping itu, intervensi pemerintah dalam skema permodalan wajib ada dengan juga menerapkan pembinaan pada industri-industri subsektor tanpa menganaktirikan industri rumahan seperti misalnya, industri pembuatan petis asin.
Naiknya tingkat kuantitas dan kualitas produksi yang diharapkan sebagai akibat dari berhasilnya program-program tersebut di atas, harus dirasakan dan memiliki dampak bagi perekonomian masyarakat sekitar, seperti halnya bertumbuhnya industri pengolahan rebon yang diinisiasi Cakrabuana. Dampak dimaksud bisa dalam bentuk keterserapan tenaga kerja lokal atas merebaknya industri-industri rumahan seperti industri pembuatan petis asin yang dapat meningkatkan value dan menyerap kenaikan jumlah produksi garam domestik. Pada industri pembuatan petis asin pun harus pula kita pikirkan kemana produk-produknya kelak akan dipasarkan. Sebab akan percuma jika kita menyiapkan industri tanpa ada pasar yang bisa menampung produksinya.
Di awal tahun 2000an saya sangat ingat ada banyak sekali cuplikan Drama Korea yang menyisipkan tayangan pemerannya tengah menikmati Kimchi atau sekedar semangkuk mie instan pedas yang merupakan produk asli Negeri Ginseng tersebut. Satu atau dua dekade berikutnya, produk-produk mie instan mereka berhasil memberikan warna atas hegemoni produk mie instan dalam negeri dengan terpampangnya produk mereka pada rak-rak makanan minimarket sekitar. Kimchi juga menjadi sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat kita, terlebih dengan mulai merebaknya restoran-restoran bernuansa korea hampir di setiap kota. Kita semua tahu ini bukan hal mudah dan perlu kerja sama pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menuju ke sana. Namun jika berhasil, kita tak perlu lagi pusing-pusing memikirkan kemana produk-produk kita kelak dipasarkan. Terlebih di era teknologi seperti saat ini, bukan zamannya lagi produk mencari pasar, terkadang rasa penasaran pasarlah yang membuat mereka datang sendiri memburu produk.
Indonesia sebagai negara yang memiliki rempah melimpah, kaya akan varian masakan, harus pula banyak belajar dari negara-negara seperti Korea Selatan, Thailand, dan India yang dalam hal ini barangkali tidak lebih kaya dari kita. Kita harus pandai memproyeksi peluang-peluang terlebih atas semakin terbukanya akses digital yang menghilangkan sekat kita dengan dunia luar. Kita harus menyadari keunggulan kita dari sisi demografi serta diversitas budaya merupakan keunikan yang tidak semua negara bisa punya. Kita harus mampu menjadi bangsa yang bisa mendemokratisasi ide dan mafhum atas segala hal yang kita punya sekaligus mampu mengkapitalisasikannya. Thailand dan Korea Selatan telah berhasil mendahului kita mengendus potensi-potensi keuntungan ini lewat apa yang mereka sebut dengan Gastrodiplomasi atau Global Hansik melalui Korean Wave. Sebentar lagi dengan ambisi yang kurang lebih sama mungkin India juga akan menyusulnya, ditandai dengan mulai familiarnya kelakar “apapun masakannya, bumbunya Garam Masala”. Disadari atau tidak, kita telah tertinggal sangat jauh, tapi bukan berarti mustahil mengejar. kita terlalu sering berbusa-busa bicara timah, nikel, batu bara, sawit dan komoditas besar lainnya tanpa sadar bahwa banyak sekali potensi yang belum kita gali. Petis Asin mungkin contoh kecilnya. Jika bumbu rumahan sederhana layaknya petis mampu kita elaborasi bukan tidak mungkin perekonomian Madura yang saat ini tengah mengalami luka menganga, kelak disembuhkan oleh garam. Bukan justru memperperih dan memperparahnya. Pun demikian perekonomian Indonesia.
note:
1) Nama Cirebon terbentuk dari kata Cai yang berarti air dan Rebon yang berarti Udang Rebon. Kedua kata ini merujuk pada air hasil rebusan rebon yang berarti juga petis atau terasi yang merupakan identitas ekonomi masyarakat Cirebon kala itu
2) Di Kecamatan Tanjung Bumi, Kabupaten Bangkalan terdapat petis asin bernama Petis Rujuru yang memiliki tekstur encer, warna pekat, dan rasa asin yang sangat kuat
0 notes
Text
Dilatasi Waktu dan SK Penempatan
"1 tahun di Tahuna, sama dengan 10 tahun di Bumi..."
kira-kira seperti itulah yang kerap diceritakan bapak kepada saya setiap menjelang tidur sejak saya masih kecil. bapak mengutip pesan seorang pemuda kepada adik perempuan semata wayangnya sebelum mereka berpisah.
...
kisah tentang Encep Sutisna dan adik gadisnya, Nirmala Sukaesih, memang begitu terkenal di kalangan masyarakat dimana bapak saya berasal. cerita itu bukanlah cerita fiktif, melainkan realita yang benar-benar nyata adanya. kisah tersebut diceritakan turun temurun oleh orang tua ke anak-anaknya seperti sudah menjadi sebuah tradisi.
sewaktu bapak saya masih kecil, beliau juga kerap mendengarkan kakeknya yang merupakan eyang buyut saya bercerita tentang hal yang sama. di akhir cerita eyang buyut saya acap berucap, "jangan mau jadi pegawai KPPN, Cu. ga ada yg sanggup bertugas di tempat yang sangat jauh"
Pesan eyang buyut kepada bapak itu bukannya tanpa dasar. konon, Encep Sutisna merupakan seorang pegawai KPPN yang ditugaskan di tempat yang sangat jauh dari Bumi, tak lain tak bukan di Tahuna. jaraknya dari Bumi sudah tidak bisa dihitung dengan satuan kilometer lagi. saking jauhnya, perlu satuan Tahun Cahaya bagi kita untuk menyederhanakan penyebutan jarak astronomis antara Bumi dan Tahuna itu sendiri.
KPPN, atau jika dipanjangkan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, adalah instansi vertikal Ditjen Perbendaharaan di bawah naungan kementerian keuangan yg bergerak dalam pengelolaan dana APBN dan memiliki kantor yg tersebar di seluruh pelosok bumi bahkan di luar bumi, seperti diantaranya: Nabire, Saumlaki, Tobelo, Tual dan masih banyak yg lainnya termasuk Tahuna.
Sama-sama menugaskan pegawainya di luar angkasa, KPPN mungkin akan menjadi sepopuler NASA andai ada industri film Hollywood yang mau menjadikan KPPN sebagai latar cerita mengingat besarnya tantangan yang kerap dihadapi oleh pegawai KPPN dalam menjalani setiap misi di tempat tugasnya. sayangnya, sampai saat ini belum ada.
Berdasarkan cerita yang ada, meskipun jauh Encep sangat menikmati tugasnya di KPPN Tahuna. Ia jadi mengenal banyak individu luar biasa, pengalaman yang tentu mahal sekali harganya, juga ilmu yang barangkali tidak akan mungkin didapatkannya jika saja dia bertugas di tempat yang lain. Ya, apalagi kalau bukan ilmu ikhlas. Namun demikian, layaknya KPPN yang juga tersebar di angkasa luar, ada banyak sekali hal liar yang menyelimutinya selama bertugas di Tahuna. Seperti, cuaca yang tidak menentu, hujan yang kerap disertai angin yang sangat kencang, gelombang air laut yang sangat ganas, juga gempa yang bisa saja terjadi setiap saat. Pun begitu, semuanya Encep hadapi tanpa gentar sedikitpun.
Sialnya hal mengerikannya bukan itu saja, Encep juga harus rela berpisah dengan orang yang paling ia sayangi, Nirlama, adiknya. Encep juga paham betul bahwa selepas ia pergi Nirlama tak memiliki siapa-siapa lagi, karena hanya Encep lah satu-satunya yang Nirmala miliki di dunia ini. Encep paham bahwa sekembalinya dari tugasnya di Tahuna, Nirmala mungkin akan menjelma menjadi perempuan yang usianya jauh lebih tua darinya. namun apa boleh dikata, tugas tetap harus ia jalankan.
"pengabdian dan rentenir punya kesamaan, keduanya bisa saja menguras habis apapun yang kamu miliki. bedanya, pengabdian membuatmu menyerahkannya dengan suka cita"
itu salah satu perkataan Encep yang paling saya ingat. Encep memang suka sekali melontarkan kalimat-kalimat jenaka yang kerap membuat adiknya terkekeh. Namun, berbeda dengan saat itu. Saat Encep mengucapkan kalimat itu, Nirmala malah menangis. kata bapak, perkataan itu diucapkan Encep kepada Nirmala tepat sebelum mereka berpisah. sejak pertama kali saya mendengarnya, kalimat itu langsung menghujam kedalam jantung saya.
Dari situlah awal kekaguman saya tumbuh pada Encep. Encep seolah menjadi sosok pahlawan impian bagi kehidupan masa kecil saya, betapapun bapak mencoba menceritakan hal-hal menyedihkan yang menimpa Encep selepas kembalinya ia dari Tahuna karena efek dari dilatasi* waktu. Saya masih ingat, saya menjadi satu-satunya anak yang menjawab ingin menjadi pegawai KPPN di saat anak-anak lain menjawab Dokter, Insinyur, Dosen, Presiden dan lain sebagainya ketika ibu guru menanyakan pada murid-muridnya perihal cita-cita apa yang ingin kami raih ketika dewasa nanti. Encep dan pengabdiannya memang sangatlah luar biasa di mata saya.
Tugas Encep di Tahuna sebenarnya tidaklah lama, hanya enam tahun saja. tapi itu sudah cukup untuk membuat segala hal yang ada di bumi berubah. termasuk Nirmala, adik gadis yang sangat ia sayangi, telah menjelma menjadi nenek-nenek tua renta yang ubun-ubunnya dipenuhi uban dimana usianya tiga kali dari usia Encep pada saat Encep pulang.
Telah banyak yang berubah sekembalinya Encep dari Tahuna. Mobil yang awalnya barang langka, telah memenuhi kota dan membuat macet jalan raya. Teknologi semakin maju. orang-orang bisa bicara tanpa harus bertemu. Tak ada lagi sawah dan kebun. orang-orang lebih suka menanam gedung dibanding menanam pohon. angka obesitas juga naik tinggi sebab orang sudah tidak perlu lagi bergerak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. dan yang paling buruk dari yang terburuk, tak ada lagi orang-orang sebayanya yang masih hidup. Hanya Nirmala satu-satunya orang yang ia kenal. Itupun sudah pikun dan mulai sakit-sakitan. seisi kota tampak asing baginya.
adakah seseorang yang mampu menghabiskan sisa hidupnya bersama orang-orang yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya? saya rasa tidak, termasuk Encep.
Saya tidak tahu bagaimana Encep menghabiskan sisa hidupnya. tak ada kisah yang menceritakan hidup Encep setelah itu. tapi saya lebih suka membayangkan di masa tuanya, Encep hidup menyendiri di sebuah gubuk bambu yang ia dirikan di puncak bukit. ia menghabiskan banyak waktu di sana dengan menulis puisi atau melukis, ya melukis. barangkali Encep menghabiskan sisa hidupnya melukis senyuman anak-anak yang dapat menikmati fasilitas sekolah karena tersalurnya bantuan pendidikan, atau senyuman karyawan-karyawan kantor yang tidak harus mengambil jalan memutar karena telah dibangunnya jalan-jalan baru ataupun jembatan, atau senyuman ibu-ibu rumah tangga yang THR, Gaji 13, dan honor bulanan suaminya cair di saat bersamaan. bukankah hal itu menyenangkan? mungkin hanya Encep dan pegawai KPPN lainnya yang dapat merasakan.
Saya belum tau perasaan bahagia seperti apa yang Encep rasakan. tapi saya ingin suatu saat nanti turut merasakannya juga.
...
malam ini, saya tak henti-hentinya menatap selembar kertas bertuliskan nama saya dan kota Tahuna di tangan, juga wajah istri saya yang tengah sibuk melipat baju dan meletakkannya kedalam koper sementara anak-anak telah tertidur lelap.
sambil mengecup keningnya saya berucap, "1 tahun di Tahuna, sama dengan 10 tahun di bumi... titip anak-anak ya selama aku pergi".
-Jalan Malahasa, Tahuna, Oktober 2018
0 notes
Text
tidak percaya pada diri sendiri adalah kesalahan terbesar kita
0 notes
Text
banyak yang bilang Ayesha mirip Ayah, secara fisik dan sebagian sifat, mungkin iya. mulai dari bentuk hidung, warna kulit, tipe rambut dan sebagainya semuanya copyan Ayah. Ayesha yg bawel, suka ngomel, maunya menang sendiri, itu juga dari ayah. namun selebihnya, Ayesha adalah Jejak Bunda.
Jika Ayesha pandai mengaji, membaca doa-doa, mencintai buku dan bercerita bahkan sejak sebelum menginjak usia 2 tahun, itu berkat Bunda yang senantiasa mengajak Ayesha mengaji dan bercerita tentang banyak hal. Pun dengan keceriaan Ayesha, itu ditiru dari keceriaan Bunda dalam mendidik Ayesha. termasuk jika ada banyak orang yang senang berinteraksi dengan Ayesha, itupun karena teladan dari Bunda.
Ayah berharap kelak Ayesha tumbuh menjadi perempuan yg setangguh Bunda dan sehebat Bunda. Ayah ingin sekali bisa menua bersama Bunda dan melihat Ayesha tumbuh dewasa menjadi sosok perempuan mandiri yang sukses dunia akhirat.
Ayah cinta sekali sama Ayesha, Bunda, dan Adek yg saat ini lagi ada di perut Bunda dan ntah belum kepikiran mau Ayah kasi nama siapa...
Ayah pengen bisa ngajak kalian semua jalan-jalan kapan-kapan. hanya kita berempat. semoga sempat...
0 notes
Text
1. Diam
diam adalah pilihan terindah ketika kamu paham seisi dunia berkhianat padamu. ia adalah naluri paling suci ketika bintang-bintang tak pahami kegundahanmu. ia adalah air wudhu ketika hujan tak mau menyatu dan ‘nyembunyikan air matamu
larilah, carilah pangkuan ibumu bangunlah, hamparkan sajadahmu ada yang diam mendengarkan keluh kesahmu.
1 note
·
View note
Quote
cita-cita terbesar saya adalah hidup tanpa kekhawatiran akan beban absen pagi. tak terjebak oleh sesuatu yg dinamakan rutinitas. tak terpasung oleh segala macam cicilan bulanan. memiliki banyak waktu untuk lebih banyak lagi membaca buku, mengkaji hadits dan mengulang hafalan2 al quran. lebih sering lagi berbincang dengan orang-orang di balairung kota atau gardu-gardu yg dibangun di setiap perempatan jalan pedesaan. berkelakar dengan istri di rumah, dan mengantar anak pergi ke sekolah. membantu nenek-nenek menyeberang jalan, dan setiap saat menyambangi orang tua di kampung halaman. dengan begitu, mungkin hidup akan lebih menyenangkan. tapi, bukan kah manusia tak pernah puas, Tuan?
0 notes
Text
Hal-Hal Yang Ada Di Benak Saya Setelah Satu Tahun di Tahuna
1)
“om saya mau ngelamar anak om”
“penempatan mana mas?”
“4 jam dari surabaya kok om”
2)
kota yg sangat kecil, di pulau yg sangat kecil, ditengah2 samudra yg sangat luas… kayaknya bikin pondok pesantren disini bakal keren, bisa buat nakut2in anak kecil yg ga mau belajar.
3)
kalau nanti kamu kangen aku, dik, cemplungkan saja dirimu ke lautan. sekiranya kamu tak mahir berenang, tenang.
siapa tahu kamu tenggelam dan terdampar di Tahuna. .
.
bukankah Tuhan kita pandai menciptakan kebetulan-kebetulan haha
4)
kalau kamu pengen tau tempat dimana adagium semacam Homo Homini Lupus yang pernah dikemukakan oleh Plautus tidak begitu berlaku, datanglah ke pulau ini. ibarat kata, di sini adalah tempat paling realistis dari Simba The Lion King, animasi impian yang pernah diceritakan Marthin Luther King Jr, dimana seekor kelinci dapat mengisi hidup seekor serigala tanpa harus mengisi perutnya.
5)
Anuhat…
terkadang signal lebih penting ketimbang kasih sayang…
6)
suatu tempat dimana kau akan bahagia sepenuhnya… tak ada omongan2 basi tetangga dan tak ada konsumerisme.
kalau malam sudah tiba, gunungnya bisa jadi menyala-nyala seperti kembang api. itu bisa jadi hiburan alternatif kalau kau sudah bosan memandang bintang2.
tak ada polusi, restoran cepat saji, mall atau bioskop.
kamu bisa berlatih kesabaran disini sebab sinyal merupakan suatu yg lebih berharga ketimbang kepiting kenari.
7)
buat adek2 STAN yg belum penempatan, nanti kalau ada waktu penantian TKD setahun yg seperti angkatan saya alami saya sarankan untuk tidak magang di kantor baik pemerintah maupun swasta.. saya lebih menyarankan adik2 magang di kedai2 tenda kaki lima yg jualan tahu campur, tahu tek tek, lontong balap, nasi krawu dan yang lainnya.. karena skill membuat makanan seperti yg saya sebutkan tadi bakal sangat bermanfaat kalau kalian di tempatkan di Tahuna. saya insyaallah jadi pelanggan tetap
8)
00.01 wita
01 Januari 2017
selamat tahun baru!
barangkali di Jakarta belum, tapi percayalah, di Tahuna sudah.
aku mencintaimu sejam lebih awal dari siapapun, termasuk suamimu…
2 notes
·
View notes
Text
Marche
Rhoma Irama & Latta Mangeskar - Musim Cinta. Warung Soto Madura kawasan pelabuhan Kota Tahuna. 27 Maret 2017 ditingkahi rintik gerimis.
saya selalu suka suara Latta Mangeskhar yang melantunkan senandung Musim Cinta, lagu yang kerap populer di tahun 90an itu. tiap mendengar lagu ini pikiran saya mendadak melayang ketika saya dan keluarga saya mengontrak rumah di daerah pesisir bangkalan bagian selatan, tepatnya kecamatan Kwanyar. dalam ingatan saya, kampung halaman masa kecil saya begitu identik dengan suara Latta Mangeskhar. hal ini mungkin dikarenakan sebagian besar warga di sana sering memutarkan album-album Rhoma Irama terlebih ketika berkolaborasi dengan penyanyi lawas asal negeri india itu. kalau saya tidak salah ingat, lagu tersebut masuk dalam daftar lagu pada album Gulali yang rilis tahun 95, saat itu saya berusia 5 tahun. yah, saya sedang merindukan suasana kampung halaman masa kecil saya ceritanya haha…
di bagian belakang rumah kontrakan saya terdapat kebun bambu yang cukup luas. di tengah-tengah kebun itu mengalir sebuah sungai dan sumber mata air. kalau sudah waktunya pulang sekolah, anak-anak kecil bergerombol dengan kawan-kawan sebayanya mandi di mata air itu sampai masuk waktu shalat dzuhur. di sumber mata air itu dibangun sebuah pembatas berupa tembok, sehingga para perempuan yang datang untuk sekedar mandi dan mencuci pakaian tak perlu risih atau malu akan ada mata jahil yang mengintip mereka. nyaris seluruh penduduk desa sangat bergantung pada sumber mata air itu. bahkan tidak hanya sekedar untuk kebutuhan mandi dan mencuci pakaian saja, kalau sudah masuk musim paceklik warga dari Desa Gunung Morombuh yang letaknya sekitar 5km dari desa kami akan berbondong-bondong barang mengisi jeriken yang dibawa dengan sebanyak mungkin air yang dapat ditampung guna kebutuhan makan dan minum. kebetulan saat itu, agen air isi ulang atau air mineral galonan belum ada, atau kalaupun ada belum sebanyak sekarang.
kebun bambu tersebut akan sangat sepi kalau sudah masuk waktu shalat maghrib. anak-anak akan secepat mungkin pulang kerumah mengingat para orang tua suka sekali menakut-nakuti mereka dengan “Baong”. Baong adalah istilah yang cukup ampuh untuk dijadikan momok bagi anak kecil seumuran saya pada saat itu. dalam Bahasa Indonesia kita mengenalnya dengan hantu. berbeda dengan anak-anak, selepas waktu isha biasanya remaja dan para lelaki dewasa malah beramai-ramai menyeberangi kebun dengan menggunakan senter atau obor untuk menonton pementasan ludruk yang terkadang diadakan di desa tetangga sebab kalau malam suasa di kebun bisa gelap sekali.
sebentar, sebelum melanjutkan saya ingin memesan kopi dahulu supaya kita bisa berbincang lebih lama. juga tahu isi 5000 tiga, lumayan bukan? hehe
ohya, nyaris saja saya lupa. pada setiap malam menjelang lebaran, seluruh warga desa akan menyalakan suluh dan beramai-ramai berjalan kaki mengelilingi desa sambil melantunkan takbir, melintasi kebun bambu, dan munyusuri jalanan hingga berakhir di halaman Masjid Jami’ yang letaknya di muka pasar seberang jalan. seingat saya, saya sudah dua kali mengikuti takbir keliling semacam itu sebelum akhirnya pindah karena orang tua saya membeli rumah di komplek perumahan yang letaknya cukup jauh dari desa kami saat itu. mengenang waktu-waktu itu selalu sukses membuat saya terharu, sebab mungkin saat ini takbir keliling yang dahulu dilakukan dengan berjalan kaki sambil membawa obor sudah tidak ada lagi dan digantikan oleh takbir keliling dengan truk yang diiringi lagu-lagu koplo atau pantura, obor yang dahulu cuma digenggam sekarang dijadikan bagian dari pertunjukan Fire Breathing sambil melakukan tarian-tarian pogo.
kampung halaman masa kecil saya adalah sebuah tempat yang rajin sekali bangun pagi. aktivitas masyarakat di sini bahkan sudah dimulai sekitaran waktu subuh, entah itu para lelaki yang berangkat ke masjid atau perempuan yang berniaga di pasar. pasar disini menyediakan beranekaragam kebutuhan. letaknya diapit oleh lahan pemakaman di sebelah kanan dan sebuah lapangan dengan luas yang tidak terlalu di sisi kiri. di hari minggu lapangan itu akan dipenuhi oleh orang-orang yang berasal dari berbagai penjuru kota Bangkalan yang khusus hendak menjual hewan-hewan ternaknya seperti kambing, ayam, atau yang paling banyak, sapi. mungkin karena hal itulah penduduk kampung menyebutnya dengan pasar sapi. sebenarnya saya tidak pernah tau pasti.
hujan sepertinya sudah reda. beberapa teman kantor barusan memutuskan pulang duluan. kita lanjut dulu ceritanya, kopi masih setengah gelas lagi. lagu kedua di putar, lagi-lagi Rhoma Irama & Latta Mangeskhar - Di Tepi Pantai. redup lampu jalanan berpendar, genangan air hujan membiaskan cahaya keemasannya. malam semakin larut saja.
Ada satu hal menarik lagi yang masih ingin saya tulis. dulu pernah ada kompetisi sepak bola yang di adakan oleh kecamatan di lapangan yang letaknya di daerah pesisir Kwanyar timur. pertandingan biasanya di mulai saat jam 2 siang. kalau saya tidak salah ingat waktu itu saya berumur 11 tahun, kelas 5 SD. saya dan kawan dekat saya, Jakfar, menyusuri pematang sawah setiap hari demi menjagokan salah satu tim yang bertanding di hari itu. ada semacam dinding yang terbuat dari seng mengelilingi lapangan dengan hanya satu pintu masuk. di pintu masuk itu terdapat loket pembelian karcis. dengan kata lain, siapapun yang hendak menyaksikan pertandingan pada hari itu harus membayar uang sebesar tiga ribu rupiah untuk mendapatkan tiket masuk. itu nominal yang cukup banyak bagi saya kala itu. alih-alih membeli tiket, kami berdua malah memegang bagian bawah kemeja bapak-bapak-entah-siapa yang antri di loket dengan harapan agar kami dikira anak bapak itu. cara itu terbukti ampuh, meskipun pernah sekali si Jakfar justru malah didorong sampai terjatuh ke tanah karena dikira mau mencopet. bagi kami tak masalah, itu kami anggap salah satu bentuk jihad kami agar bisa menonton pertandingan tim jagoan kami.
tentu orang tua saya, terkhusus ibu, tidak pernah tau. sebab kalau sampai tau bisa-bisa saya dimarahi habis-habisan. kalau lagi marah, ibu saya bisa jadi perempuan yang jauh lebih menyeramkan dari kupu-kupu yang sedang datang bulan. konon setiap makhluk yang sedang datang bulan pikirannya tak akan bisa ditebak, seperti itulah ibu saya adanya kalau sedang marah. tapi ya, tetap cantik seperti kupu-kupu. #peacebu!
ok, dilanjut. sehabis menonton pertandingan bola, kami akan langsung pulang melintasi setapak jalan persawahan dilatari cahaya senja yang berkarat. bagi saya senja di Kwanyar ketika saya masih kecil indahnya bisa jauh melampaui senja di teluk Tahuna atau Kaimana yang terkenal itu meskipun saya belum pernah kesana. beberapa saat lagi mungkin saya akan pulang kampung ke madura, rasa-rasanya ingin sekali menapaktilasi tempat-tempat yang semasa kecil dulu pernah saya hampiri. tempat-tempat usang yang barangkali saat ini telah banyak berubah dan menjadi asing. satu hal yang menjadi keberuntungan kita diciptakan Tuhan sebagai manusia adalah, kita memiliki kenangan sehingga kita bisa belajar tentang apa saja yang berharga bagi kita dan tak boleh lepas dari genggaman. maka, beruntunglah orang-orang yang mengenang..
“…di tepi pantai cinta bersemi, ombak putih menari menjadi saksi.”
sudah larut malam, mari pulang!
1 note
·
View note
Quote
Pemuda Menggugat!
Duhai para pemuda sekalian, berlindunglah kalian dari wanita yg suka melakukan hal-hal paling omongkosong di dunia. wanita yg membatasi garis tangannya sendiri dengan cara-cara konyol seperti menulis icon gembok dan hati diikuti nama pacar pada bio Instagramnya padahal masih terbuka banyak kemungkinan penikungan serta kesempatan invasi oleh lelaki lain. itu salah satu bentuk kejahatan asmara, pemasungan otoritas individu, serta pengkebirian Hak Asmara Manusia (HAM) yang harus kita perangi bersama! sebab yang demikian itu tak jauh bedanya dengan memaksa pemuda-pemuda jomblois untuk melakukan gencatan senjata bahkan sebelum mereka memperjuangkan hak-hak kemanusiaannya. Tahuna, 22 Maret 2017
0 notes
Quote
Ali Shariati mensyaratkan Raushan Fikr (Free Thinkers) sebagai manusia ideal yg dapat membangunkan masyarakat yang terjebak dalam stagnasi, alih-alih dekadensi. seorang Raushan Fikr adalah manusia yang menjadikan idealita sebagai prinsip fundamental pergerakannya, bukannya realita. dengan kata lain, pemikirannya bukan terpusat pada bagaimana sebenarnya suatu keadaan itu ada, melainkan bagaimana seharusnya. ia bukan lahir dari kalangan kerajaan, aristokrat, atau semacamnya. ia bisa lahir dari kalangan manapun, bahkan dari rakyat jelata sekalipun.
0 notes
Quote
percuma kita sekolah, belajar, membaca banyak buku... kalau cuma pinter. pinter sendiri sementara masyarakat ngga bisa mengambil manfaat dari ilmu kita. serendah-rendahnya, senyum atau nyapa kalau lewat depan rumah orang. itu salah satu terapan dari ilmu Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan yang dulu kita pelajari kelas 1 SD. masa lupa?
1 note
·
View note
Text
Surat Buat Pak Tukang Dongeng Keliling
kapankah kita bisa berjumpa lagi, sedang keriput kulitmu telah membelah sisi. sementara belantara hitam diubun-ubunmu yang dulu suka kujelajahi sudah menjelma uban-uban putih yg lapuk. matamu tak seampuh dulu ketika aku masih suka mendengarmu membacakan cerita pengantar tidur. cerita tentang penyerangan Abrahah dengan pasukan gajah ke kota mekah. atau gerilyawan agung, Jenderal besar Sudirman. kau tau, aku sangat suka mendengarnya karena semasa kecil aku pikir nama sang jenderal sedikit mirip dengan namamu. itu hal yang lucu buatku.
lantas saat berjumpa (lagi) nanti, pembicaraan macam apa lagi yang bisa kita perbincangkan. sementara sedari kecil kau telah menceritakan padaku segala hal: kau pernah menunjuk gemintang paling terang -pada suatu malam- yang katamu telah mati berjuta-juta tahun yang lalu. kau pernah memberitahuku bahwa di dunia ini terdapat binatang yg tak perlu bicara untuk saling mengerti satu sama lain.
aku hanya ingin memastikan, suatu hari nanti aku ingin sekali tumbuh sebagai lelaki yang bisa mengerti banyak hal. kelak kita akan jalan-jalan lagi menyusuri jalanan malam yang lengang, seperti yang pernah kita lakukan dua puluh satu tahun yang lalu saat aku masih suka-sukanya mendaki pundak dan bahumu sambil mendengarkan dongeng-dongengmu. di sepanjang jalan itu, aku akan memberitahumu hal-hal yang aku dapat dari sekolah dan kampusku atau dari buku-buku yg telah aku baca. sebagai imbalannya aku ingin kau bercerita (sekali lagi) tentang bagaimana dahulu kau memilih ibu, sehingga kelak aku mafhum bagaimana agar aku bisa memilih bagian dari diriku.
3 notes
·
View notes
Text
-
bagi saya, mungkin segalanya akan lebih indah dan sakral jika pesta pernikahan dilakukan di halaman rumah tanpa wedding organizer, tanpa organ tunggal, tanpa perlu dekorasi yg serba mewah. semuanya diurus oleh keluarga besar dengan bantuan tetangga sekitar. kesibukan-kesibukan di rumah, hiruk pikuk di dapur, dan segala macam hal yg mungkin akan membuat bapak ibu kita kembali mengenang suasana bagaimana dahulu mereka menikah.
orang-orang yg datang bisa memberikan hadiah berupa apapun. bisa berupa hasil kebun, gula, beras atau bahkan doa, sebaik-baik hadiah pernikahan bagi kita. kita bisa mengajak pemuda-pemuda masjid sekitar untuk menabuh rebana demi meramaikan suasana, biasanya anak-anak kecil akan sangat suka dan antusias melihatnya.
dahulu sewaktu masih bocah dan mengontrak rumah di daerah pesisir pulau Madura, tuan tanah kami menampilkan pementasan pencak silat saat pernikahan puterinya untuk menghibur undangan yg hadir. ada beberapa pemuda-pemudi dari desa tetangga yg datang jauh-jauh untuk menyaksikan. mereka datang beramai-ramai. biasanya ada juga yg datang dengan harapan bisa berjumpa dan melihat pujaan hatinya di tengah-tengah keramaian. rasa suka antar pemuda-pemudi saat itu begitu puitis dan perawan. rasa suka yg penuh malu-malu.
kalau malam sudah tiba, biasanya orang-orang tua lengkap dengan sarung dan kopiahnya berkumpul dan berbincang tentang banyak hal sampai larut, di temani secangkir kopi hitam dan langit malam yg gelap dengan ribuan gemintang bertaburan sementara sang pengantin berada di tempat dan saat-saat paling indah dalam hidupnya. tapi, tentu semuanya akan begitu merepotkan. kita tumbuh dewasa di tengah-tengah era yg serba buru-buru dan serba di kejar waktu. kita ingin semuanya mudah. dan tentu saja, tentu kita akan menikah dengan wedding organizer, dengan organ tunggal, dan dekorasi gedung serta pelaminan yang menawan. kita akan menjamu tamu dengan berbagai macam santapan dan kudapan. kita tentu tak akan tega memberikan pekerjaan yg melelahkan bagi kedua orang tua kita hanya untuk pesta pernikahan yg mungkin tak sampai sehari sudah dilupakan orang-orang.
namun, seumpama kelak saat kita tambah menua sementara anak-anak kita tumbuh dewasa mereka hendak mengadakan pesta pernikahan di pekarangan rumah selayaknya kakek nenek mereka dahulu, barangkali saya akan menjadi seorang bapak yg dengan sangat senang hati mewujudkan keinginannya.
Tahuna, 1 Maret 2017. sehabis dengerin kisah-kisah pernikahan teman-teman pangkas rambut madura.. ntah ini tulisan saya peruntukan buat siapa. lol
0 notes
Quote
manusia dengan segala masalah sosialnya, seperti upah, utang, penderitaan, kemiskinan, dan segala macam sanak familinya yang lain menurut saya sangat cocok mencari sosok teman curhat seperti Prouvaire. tipe orang yg banyak merenung, paling sering tersenyum namun paling mampu berperang, paling bisa mencipta puisi di tengah meledaknya revolusi, yg menyiram bunga di pagi hari dan menghitung bintang di malam hari. Prouvaire memiliki karakter yg cukup berbeda dari Enjolras, tapi punya satu kesamaan: tak bisa melihat ketidakadilan. kesamaan visi itulah yg menyatukan mereka. kalau tidak bisa menemukan orang -orang seperti itu, kata ust salim orang-orang seperti kita lah yg harus berbenah.
0 notes
Quote
tiba-tiba terbesit ingin tuk menanam angan. menyiraminya biar tumbuh dan bercabang teduh. berdaun rindang, dan pandai meracik angin yang licik. membisik rindu. lalu, menghasutmu pulang ke pangkuanku.
ah, sok puitis 😕
6 notes
·
View notes
Text
TKD dan Kekasih Posesif
cerpen ini saya bikin 3 tahun lalu dengan latar belakang efek moratorium yg berimbas pada penundaan pengangkatan angkatan saya dan angkatan satu tahun di atas saya (STAN lulusan 2012 & 2013). sebagai Perguruan Tinggi Kedinasan, yang harus kami jalani setelah lulus kuliah bukan hanya menunggu panggilan kerja selama satu tahun tanpa kejelasan, tapi juga diwajibkan untuk mengikuti Tes Kompetensi Dasar (TKD). hal-hal yg barangkali sedikit berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya.
selamat membaca!
-
Sepanjang penantian TKD, saya dan sebagian kawan seangkatan saya memiliki sebuah kesamaan. Kami sama-sama memiliki kekasih posesif dengan nama yang berbeda-beda. Beberapa diantara kekasih teman-teman saya itu ada yang bernama Nganggur, ada yang bernama Game Onlenan, lalu ada juga yang bernama Nge-Pes Seharian. Uniknya, kekasih kawan-kawan saya itu sama-sama memiliki sebuah keahlian, mereka lihai sekali merayu kawan saya dengan keindahannya masing-masing yang melenakan sampai-sampai kawan saya lupa segalanya. Mengerikan.
Salah satu misal, kawan saya yang bernama Dodit. Dodit memiliki kekasih posesif dengan nama Nganggur. Pada awalnya Dodit tak begitu mencintainya. Namun karena kegigihan dan kesungguhan hatinya, akhirnya ia bisa meluluhkan hati Dodit yang keras bagai batu pegunungan. Nganggur selalu memberikan apa yang Dodit butuhkan. Hal yang paling Dodit sukai dari kekasihnya tersebut adalah, ia begitu rajin menghadiahi Dodit pagi yang tak tergesa-gesa dan senja indah yang dapat dipandanginya dari teras rumah. Lumayan! Harga yang setimpal yang bisa Dodit dapat dari seorang kekasih posesif. Meskipun pada akhirnya Dodit sadar, bahwa dalam sebuah hubungan bukan Cuma cinta yang dibutuhkan, kadang materi juga. Itu yang tak bisa Dodit dapatkan dari kekasih posesifnya tersebut.
Beda orang beda cerita, nama kekasih saya sendiri pun berbeda dari kekasih kawan-kawan saya. Namanya Insomnia. Dia adalah Gadis yang manis, meski pada dasarnya juga posesif. Dia tinggal di sebuah perkampungan -agak kumuh- yang saya sebut dengan ‘Imajinasi Saya’. Tak perlu GPS bagi saya untuk pergi ke sana. letaknya tak begitu jauh dari tempat saya tinggal. Lebih tepatnya hanya berjarak satu tikungan kontemplasi, atau kira-kira sejauh sekali kedipan mata.
Insomnia, kekasih saya yang manis itu, selalu menuntut saya untuk menjalankan ritual apel rutin tiap malam di rumahnya. Hal yang cukup saya nikmati pada awalnya, namun sangat menyiksa pada akhirnya; Saya hanya mencoba jujur. Bagaimana tidak, ritual apel kami mulai jadi bahan gunjingan para tetangga dan keluarga besar. kira-kira, adakah gadis baik-baik yang dengan terang-terangan meminta diapeli setiap dan sepanjang malam? Lalu, adakah lelaki baik-baik yang mau mengapeli seorang gadis setiap dan sepanjang malam pula? Saya kira tidak ada.
Saya sudah merenung cukup lama dan mulai menyadari, punya kekasih posesif ternyata tak baik juga bagi tumbuh kembang saya. Saya mulai berfikir ulang untuk melanjutkan hubungan tak sehat ini. Saya meminta pertimbangan dan fatwa pada hati saya. saya bertanya, lalu hati saya menjawab bahwa saya tak boleh terus-terusan seperti ini. Meski manis, Insomnia bukanlah gadis yang cukup baik bagi saya. secara praktis, Insomnia sudah menindas kehidupan saya. Hal itulah yang melatari kenapa saya berharap untuk bisa segera balikan dengan mantan saya yang dulu, gadis lugu yang bernama Rutinitas.
Rutinitas adalah gadis belasteran antara Jadwal Harian dan Kedisiplinan. Saya bertemu dan mulai berpacaran dengannya sejak sekitar tiga-nyaris-empat tahun yang lalu, dan putus kira-kira tujuh bulan yang lalu. Sebenarnya dia memiliki seluruh kriteria gadis baik-baik dalam persepsi saya. entah, sayapun bingung kenapa dulu saya lebih memilih putus dengannya. alasannya bisa jadi karena saya sendiri adalah orang yang tak terlalu taat waktu, sementara Rutinitas adalah gadis yang lebih disiplin dari bos kantor manapun. Tapi selebihnya, Rutinitas adalah gadis yang baik dan saya menyukainya.
Gadis baik-baik bagi saya adalah seperti sebuah mata kuliah favorit. Kita datang ke kampus dan duduk begitu saja di dalam kelas, menatap hampa papan tulis, lalu menyimak sekedarnya dosen yang bertutur menjelaskan materi. Tak ada otak yang diputar, tak ada kening yang dikerutkan. Segalanya berjalan sekedarnya tanpa ada gejolak dan dinamika dalam otak dan dada. Tak ada rasa tertarik namun tak jua terlintas sedikitpun untuk meninggalkannya. Sampai pada suatu titik kita memahami bahwa waktu sudah bergulir begitu saja. barulah kita sadar, segalanya berlalu dalam sekejap mata tanpa terasa.
~
Pada saat hendak putus dengan Rutinitas, saya menarik nafas dalam-dalam seolah mereguk udara bebas. Ia bertanya pada saya untuk terakhir kalinya, apakah saya benar-benar sudah tidak lagi mencintainya. Saya hanya tersenyum menatapnya lalu pergi begitu saja. Ia memeluk saya dari belakang tiba-tiba. saya sempat kaget seandainya hujan tak turun kala itu. Saya membalik badan dan mengangkat dagunya yang sempat tertunduk sayu. Ah, dia menangis rupanya. Saya dapat melihat dari matanya yang merah dan wajahnya yang sendu betapapun hujan mencoba meleburkan air matanya.
Saya lantas berkata padanya “tabahlah, segalanya akan menjadi mungkin kalau kelak Tuhan mengizinkan kita bersama lagi”.
Tergugu, ia berkata “kekasih adalah rumah. kalau kelak kau tak tahu harus melangkah kemana lagi, Pulanglah! aku akan selalu menunggumu”.
Ada banyak hal yang tidak bisa kita sangka dalam hidup ini, sepasang diantaranya adalah pe
0 notes