iqbaltaufiqan
iqbaltaufiqan
Small Notes
217 posts
Postingan yang tercipta ketika pikiran dan hati sedang random
Don't wanna be here? Send us removal request.
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
Yang Dulu
Suatu hari, yang dulu membuat kita luka hanya akan menjadi sebab tawa. Yang dulu kita genggam erat hanya akan menjadi kenangan yang menjerat. Yang dulu begitu ingin kita rengkuh, akan kita sadari hanyalah sebuah ego dan ambisi yang angkuh.
Suatu hari, kita akan mengerti mengapa kita harus banyak kehilangan. Suatu hari, kita akan memahami mengapa kita tidak mendapatkan banyak hal yang begitu kita inginkan.
Akan ada serangkaian kisah seru tentang kehilangan dulu. Akan ada rasa syukur ketika kita menyadari mengapa ada beberapa hal yang harus kita biarkan pergi.
Bagaimana mungkin kita mampu meraih hadiah baru, jika kedua tangan kita sibuk menggenggam erat masa lalu? Bagaimana mungkin hati ini lapang jika masih dipenuhi oleh dendam dan buruknya kenangan?
*selamat kepada seorang adik manis yang telah berusaha melepas kisah lama, kemudian melangkah hebat di depan sana. Semoga segalanya berkah*
Stasiun Solobalapan,  7 Januari 2017
461 notes · View notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
Menjalani Lalu Menikmati
“Kita saksikan burung-burung lintas di udara. Kita saksikan awan-awan kecil di langit utara. Waktu cuaca pun senyap seketika. Sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya.
“Di antara hari buruk dan dunia maya, kita pun kembali mengenalnya. Kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata. Saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia.”
Sapardi Djoko Damono (1967), dalam Hujan Bulan Juni
Terkadang, ada waktu yang ingin saya nikmati sendiri, tanpa orang lain, tanpa interupsi. Seperti sore tadi, ketika saya hendak pergi ke sebuah toko buku. Melihat jalanan yang padat, saya urung menggunakan kendaraan. Lalu saya pun memilih untuk berjalan kaki menelusuri sepanjang Jl. Djuanda sampai Jl. Merdeka. Perjalanan memang cukup panjang, tapi bagi saya itu adalah cara untuk menyaksikan dan menikmati bagaimana waktu berputar perlahan pada setiap orang, lalu merefleksikan banyak hal yang tertangkap rasa agar menjadi pembelajaran yang hadir dari sana, di sepanjangnya.
Berjalan kaki sendirian seperti ini bukanlah yang pertama kali. Dulu saya sering melakukannya, dan pernah juga mencoba mengajak orang lain untuk turut melakukannya bersama saya. Ibu salah satunya. Tapi, rasa-rasanya Ibu bukanlah teman jalan kaki yang pas, mengingat kakinya yang mudah sakit dan juga omelan-omelan lucu di sepanjang perjalanan, “Aduh, adeeeek! Besok-besok Ibu engga mau ah jalan kaki jauh kayak gini. Ini kaki udah sakit. Lama banget ini teh engga sampai-sampai …” dan seterusnya. Maka, sejauh ini, teman jalan paling sabar tanpa protes macam-macam adalah diri saya sendiri.
Saat berjalan, saya suka memerhatikan apa saja yang terlihat: kendaraan, taman-taman, bangunan, awan, pohon, bahkan perilaku dan raut wajah orang-orang yang saya temui di sepanjang jalan. Saya menyebutnya menjadi observer semesta, dan ternyata ini menyenangkan. Saya jadi punya ruang untuk melihat dan menyaksikan sesuatu dengan cara yang tak harus selalu sama. Dari sana, saya mencoba menebak dan memetik hikmah, tentang apa saja.
Tak hanya itu, pemandangan-pemandangan sederhana yang istimewa juga cukup memanjakan mata. Ingin sekali rasanya merogoh ponsel dari dalam tas lalu mulai mengabadikannya dalam gambar-gambar yang mungkin cocok untuk menjadi pelengkap tulisan ini atau untuk menghiasi halaman-halaman sosial media seperti yang dilakukan anak muda pada umumnya. Tapi, kemudian saya ingat bahwa saya perlu belajar untuk menikmati keindahan dengan hanya mengabadikannya dalam ingatan.
Tumblr media
Menikmati perjalanan, saya jadi punya ruang untuk bisa berdialog dengan diri sendiri sambil mendiskusikan satu dua hal. Sebab benar, berpikir di saat tenang memang lebih menyenangkan. Menikmati pertemuan dengan orang-orang di sepanjang perjalanan, saya juga jadi punya ruang untuk menghantarkan syukur kepada hati, sebab melalui apa yang dilihat itu, ternyata saya menyadari bahwa hidup setiap orang memang tidak sedang baik-bak saja, dan hidup itu sendiri adalah anugerah dan tempat dimana kita bisa mengupayakan syukur atas segalanya.
Allah, terima kasih sudah membuat Bandung sesejuk sore tadi. Sejuk itu, atas seizin-Mu, telah sampai di hati, semoga senantiasa demikian di sehari-hari.
_____
Picture source: Pexel
172 notes · View notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
Kebaikan yang Menggetarkan Langit
Sudah lima kali lelaki itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya sejak sejam lalu ia duduk di perpustakaan universitas. Ia membolak-balik kertas catatannya sambil menunggu seorang profesor yang hendak memberi kabar mengenai penelitian yang sedang dilakukannya. Entah akan menjadi kabar bahagia atau sebaliknya, yang jelas, dada lelaki itu berdegup kencang. Tepat ketika ia hampir melirik jam tangannya untuk yang keenam kalinya, sebuah pesan masuk ke ponselnya, “Sorry, seems like our meeting should be rescheduled.” Begitu saja, titik, tanpa penjelasan apa-apa.
Ia pun melangkah menelusuri lorong-lorong universitas hingga sampai ke tempat dimana ia menyimpan sepedanya. Hatinya masih ketar-ketir hingga kayuhnya menuju pulang begitu pelan, seolah ingin menikmati teduh kota sambil mengenang kota di tanah air yang juga sama teduhnya, bahkan lebih teduh sebab orang-orang berhati teduh disana. Hatinya ingin terbang dan pulang dengan segera, tapi kini ia sedang seperti tahanan kota, tak bebas pergi kemana-mana.
Tumblr media
Sesampainya di flat yang menjadi tempat tinggalnya selama 5 tahun terakhir, ia membantingkan tubuhnya di atas kasur sambil menatap langit-langit. Terbayang olehnya tantangan-tantangan besar yang sedang dipikulnya saat itu: tesis yang entah bagaimana agar profesor bisa setuju pada usulannya, rancangan konsep untuk pekerjaan tambahan, tulisan-tulisan yang tak selesai, dan keinginannya untuk segera pulang dan mengabdi pada tanah kelahiran. Ah, dia hanya bisa menarik napas panjang seraya melangitkan doa, “Allahumma yassir wala tu'assir.”
Entah bagaimana, dalam kusutnya benang-benang hidup pribadi, teman-teman dengan benang kusut yang berbeda justru berdatangan kepadanya sebab menganggap dialah orang yang tepat untuk menumpahkan cerita. Lelaki itu jadi bingung, heran, tapi dalam waktu yang bersamaan altruismenya meninggi. Dilayaninya satu per satu teman-temannya itu, hingga atas seizin-Nya mereka pulang dengan sikap terhadap hidup yang tak lagi seperti sebelumnya. Lelaki itu memang telah memudahkan urusan orang lain, tapi kemudian ia pun teringat kembali pada urusan pribadinya yang belum pasti bagaimana penyelesaiannya. Ia hanya kembali berdoa, sebuah doa yang diucapkan oleh Rasullullah sebagaimana Anas bin Malik menceritakannya,
“Allahumma laa sahla illa maa ja’altahu sahlaa, wa anta taj’alul hazna idza syi’ta sahlaa. Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki pasti akan menjadi mudah.”
Sepekan kemudian, entah bagaimana, Allah bagai sedang mencabut satu demi satu kekhawatirannya. Dengan perjalanan dan logika-logika yang tak terduga, segala amanah dan beban menjadi ringan atas seizin-Nya: penelitian yang usulannya diterima dan bahkan didanai oleh universitas, silaturahmi-silaturahmi yang membuka pintu rezeki lewat pekerjaan-pekerjaan tambahan, kabar bahagia dari Ayah dan Ibu di tanah kelahiran, ide-ide cemerlang perlahan bermunculan, dan banyak hal lainnya yang membuatnya kaget setengah mati sebab tak bisa menebak mengapa semua ini terjadi.
Lelaki itu hanya sedang tidak tahu, bahwa kebaikannya pada seorang teman beberapa waktu lalu, yang bahkan mungkin sudah dilupakannya, telah menggetarkan langit sedemikian rupa hingga tak sulit bagi Allah untuk menurunkan banyak kebaikan untuknya lewat jalan yang tak pernah ia duga.
_____
Picture Source: Pexel
315 notes · View notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
Bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo, bodo
Bodo - 31 Desember 2017
0 notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
Memaknai Berbagi
Janganlah kau maknai berbagi dengan sebatas materi , sebab jika itu yang kau pahami, maka kapan kau akan mulai berbagi?
Berbagilah! Dengan apapun yang bisa kau beri, walaupun kau tak tahu apa yang akan kau dapati nanti.
Berbagilah! Walaupun kau hanya mampu berbagi gagasan, seperti harapan dan gagasan seorang guru terhadap murid-muridnya di suatu zaman, “andai saja ada diantara kalian yang mengumpulkan hadits-hadits yang shahih.”
Siapa yang menyangka dari ungkapan bermuatan gagasan sederhana ini, ada diantara murid-muridnya yang tergerak hatinya untuk merealisasikan harapan sang guru, maka dewasa kini siapa yang tak pernah dengar karya fenomenal, kitab paling shahih setelah Al-Quran, kitab Shahih Bukhari.
Berbagilah! walaupun kau hanya mampu memberikan pujian. “Tulisan tanganmu seperti tulisannya para ahli hadits”, seorang guru suatu hari memuji muridnya. Namun siapa sangka pujian sederhana inilah yang menjadikan pengarang kitab Siyar A'lâm An Nubala’ mulai mencintai untuk mempelajari hadits dan ilmu-ilmunya. Kita mengenalnya di kemudian hari sebagai Imam Adz Dzahabi.
Berbagilah! Walaupun kau hanya mampu menuliskan satu dua kata saja, tak peduli berapa jumlah “like” atau “share” yang ada, karena bisa jadi ada yang terinspirasi oleh tulisanmu tetapi tidak diungkapkan dengan “like” atau “share”, melainkan ia lebih memilih men-share pada dunia nyata dibandingkan di dunia maya.
Karena berbagi tidak hanya sebatas materi , semakin banyak kau memaknai berbagi, semakin banyak hal yang bisa kau bagi.
Berbagilah! Karena yang berbagi yang menginspirasi.
@ismailshodiq
109 notes · View notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
Wanita Itu Membawa Surga
Wanita itu, yang sentuhannya lebih hangat dari mentari pagi. Memecah dingin bersamaan dengan kumandang adzan subuh. Disentuhnya pundakku halus, menggugahku penuh sabar, untuk menghadap Allah.
Wanita itu, yang bahunya mampu menopang seisi dunia, mengerjakan segala urusan rumah. Merapikan kamarku, membenarkan posisi koleksi bukuku, menggantung baju yang berserakan.
Wanita itu, yang batinnya lebih kuat dari sambaran guntur, meski terkena sakit, meski terkena demam. Namun cahayanya selalu setia memancar. Membuat seisi rumah, selalu dalam keadaan sakinah.
Wanita itu, yang suaranya mampu menyulam hati penuh kehangatan. Tak pernah absen memberi nasihat. Nasihat ibadah, kuliah, dan perempuan.
Wanita itu, yang memiliki kasih sayang lebih lebar dari sayapnya, selalu terjaga sepanjang malam ketika aku sakit. Tanpa mengeluh meski harus mondar-mandir ke dapur hanya untuk membawakan air putih. Tetap tersenyum ikhlas dengan tatapannya yang sebening embun.
Wanita itu, yang paling khawatir ketika jam pada dinding ruang tamu telah menunjukkan pukul sepuluh dan aku dengan tanpa kabar entah kemana. Tetap tersenyum, menungguku di ruang tamu.
Wanita itu, yang mampu membawakan angin penuh kerinduan. Membuat jarak tak lagi berarti, meski jarak memisahkanku dengannya. Pun tak pernah luput menghubungiku, ketika langit penuh bintang yang menghempaskan cahayanya, ketika bulan melepas rindu kepada bumi. Bercerita sepanjang malam suntuk, penuh warna dan tawa. Meski setelah itu, terkadang isak tangis menghiasi ingatanku padanya.
Wanita itu, yang selalu kudo'akan dalam tangis sepertiga malam, dirinya aku sisipkan dalam tahajud. Agar panjang umurnya, agar diterima ibadahnya, agar Allah mengampuni dosanya, sebagaimana ia mendidikku dan memaklumi kenakalanku sewaktu kecil.
Dan…
Wanita itu, yang telapak kakinya lebih berharga dari dunia dan seisinya.
Bogor, 12 Juni 2015 | Seto Wibowo
519 notes · View notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Video
Banda Neira - Di Beranda
Satu lagu yang dari dulu sampai sekarang bisa bikin melankolisnya iqbal muncak nih
1 note · View note
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
Kita Perlu Belajar
Kita perlu belajar,
Untuk menerima nasihat dan meredam rasa ingin terlihat tinggi dalam diri kita. Supaya kita tak melulu merasa direndahkan ketika ada yang menginginkan perbaikan dalam diri kita.
Untuk menerima bahwa kita masih perlu banyak belajar. Sehingga sebelum menulis kita mesti banyak membaca. Sebelum berbicara kita mesti banyak merenung.
Untuk belajar diam meski kita tahu. Saat berbicara justru memperkeruh keadaan. Untuk belajar diam meski kita yakin benar. Saat bersuara justru menjatuhkan harga diri seseorang.
Untuk belajar menerima bila dianggap bodoh, bukan siapa siapa. Agar mengajari riya tak tumbuh subur mengakar ketika ilmu telah kita miliki. Sebab pengetahuan tak memiliki arti tanpa pemahaman dan kebijaksanaan. :)
©Alizeti
706 notes · View notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
MEREMEHKAN WAKTU
Seringkali orang-orang di zaman sekarang, meremehkan serta tidak menghargai waktu. Seperti menunda-nunda datang ke sebuah pertemuan, membuat keadaan yang sesungguhnya genting menjadi seolah santai, membuat hal-hal yang harus dikerjakan dengan cepat justru dibuat lambat.
Ada orang, yang mau jam berapapun ia memiliki janji, ia selalu terlambat. Entah itu pagi, siang, sore ataupun malam.
Ada orang, yang mau kapanpun ia memiliki deadline, ia selalu terlewat. Entah itu nanti malam, besok, minggu depan, atau bulan depan sekalipun.
Tak peduli jam berapa janji dibuat, selalu saja ia tak pernah menepati apa yang ia bilang ia bisa tepati.
Adakah dari kita disini yang masih seperti ini? Maka ada baiknya, kita mulai menghargai waktu. Mengapa?
Ketika kita tidak menghargai waktu, maka sesungguhnya bukan hanya kita sedang tidak menghargai diri sendiri, tapi kita juga sedang tidak menghargai orang lain.
Orang-orang yang meremehkan dan tidak menghargai waktu, dengan sendirinya ia akan diremehkan dan tidak dihargai oleh orang lain.
Bukankah kita sering bilang “Ah, dia mah, pasti telat” Atau sekedar “Pasti ngaret dia, majuin aja jam janjiannya”, bukankah kalimat semaca itu sering kita lontarkan  pada seseorang yang sering terlambat? Sadarkah, bahwa karena perilaku kita meremehkan waktu, maka kita sedang membuat diri kita remeh di hadapan orang lain.
Berhati-hatilah, ketika kita mulai diremehkan orang, mulai tidak dihargai orang, maka sesungguhnya kita mulai menutup pintu rezeki kita. Mari kita pikirkan bersama, siapa orang yang mau memberi pekerjaan kepada mereka yang tak pernah tepat waktu?
Mari, mulailah menghargai diri sendiri dengan cara menghargai waktu. Pergi lebih awal, lakukan lebih cepat, jauhkan pemikiran “Nyantai kok”. Semakin cepat kita selesai, semakin cepat kita bisa melakukan hal lain.
Dan terakhir, jika hari ini kita masih belum bisa menepati waktu, setidaknya jadilah orang yang berani mengakui kesalahan sendiri. Janganlah membiasakan diri untuk selalu mengkambinghitamkan hal lain untuk menunjukkan diri kita tidak  bersalah.
Jangan salahkan proyek yang menumpuk sehingga membuat kita begadang dan bangun kesiangan, salahkan diri kita yang tidak mampu mengatur waktu. Jangan salahkan jalanan yang macet, salahkan kita yang tidak pergi lebih awal. Jangan salahkan hujan, salahkan kita yang tak menyiapkan jas hujan. Semakin kita menyalahkan hal lain, semakin menunjukkan bahwa kita ini bukanlah orang yang bertanggung jawab atas kesalahan kita. Namun jika memang kita sudah mempersiapkan diri dan ternyata memang ada hal diluar dugaan yang membuat kita tidak bisa menepati waktu, maka jujurlah. Karena jujur, adalah bentuk kita menghargai diri kita dan juga menghargai orang lain yang sudah menunggu.
Mari, mulai menghargai waktu.
MEREMEHKAN WAKTU Bandung, 22 November 2017
631 notes · View notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
Merdeka
Hari ini aku belajar arti kemerdekaan pribadiku. Sudah pula kuusahakan, sudah kulepaskan. Aku ingin sekali belajar memaafkan. Lebih kronis lagi, penyakitku adalah tak mampu melupakan. Kesalahan yang telah diperbuat manusia lain kepadaku. Kata demi kata. Gerak tubuh demi gerak tubuh.
Hari ini aku melepaskan semuanya. Biar tenggelam, ditelan lautan. Biar sobek, biar hilang. Selamanya.
Seni yang butuh seumur hidup untuk dipelajari mungkin adalah seni mengikhlaskan.
22 November 2017 Aku, yang bebas merdeka, dan sedang belajar, mengikhlaskan.
2 notes · View notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
Pendangkalan Massal
Apakah kita ini sadar bahwa sebenarnya kita ini didangkalkan pikiran kritisnya, sensitivitas terhadap permasalahan sosialnya, dan kemampuan menalar peradabannya dengan hal-hal remeh seperti kasus tiang listrik dan Setya Novanto? Persekusi ormas, plagiator yang disanjung, isu toleransi dan kebhinekaan, dsb? Padahal isu-isu sensitif di bidang ekonomi, pembangunan, pendidikan, dan lain-lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak tak ada yang memperhatikan. Nyaris tak ada perdebatan yang konstruktif. 
Tahu-tahu ribuan pekerja asing masuk; tahu-tahu pulau reklamasi sudah jadi; tahu-tahu BUMN sudah dijual; tahu-tahu kontrak Freeport diperpanjang; tahu-tahu para koruptor raib; tahu-tahu penyakit masyarakat membuncah.
Masyarakat dibuat sibuk dengan akrobat politik murahan. Mahasiswa dibuat mandul dengan janji-janji kemudahan bekerja dan beasiswa. Para pemikir dibuat sibuk berceloteh di sosial media. Media-media tak lagi mendidik, dan sialnya pasti berpihak. Menyebarkan berita memuakkan demi framing si empunya yang berambisi mendapatkan kuasa. Bahkan mereka menjadi provokator ulung yang berbalut jurnalisme dan kebebasan berekspresi. Akhirnya kita saling hujat dan berkelahi sana-sini.
Kita semua dibuat dangkal. Kemampuan kritis kita memudar tak lagi peka terhadap hal-hal esensial. Tak lagi sensitif. Seolah teori-teori dan materi-materi perkuliahan hanya jadi hias-hiasan. Dangkal, benar-benar dangkal.
557 notes · View notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
Bandung - Malang
Tumblr media Tumblr media
Bergerak,
Melangkah,
Pada setitik indah masa depan,
Tempatku bertualang
Jengah,
Penat,
Rindu,
Bertualang selalu memekikkan sebuah pilu
Cinta,
Luka,
Tangis,
Tawa,
Semua ada di kepala
Aku tak bisa mengelak
Dan terjebak
Pada gerak
Tanpa jejak
Nostalgia yang memburu
Tawa kecil di waktu lalu
Suap demi suap masakan ibu
Juga rentetan senyum yang membuatku tertunduk malu
Adakalaya kita harus menepi
Dari segala rutinitas diri
Dan hatiku telah sampai pada satu titik
Tuk kembali menemukan diri sendiri
Pada akhirnya kusimpulkan
Aku harus berhenti bertualang
Dan kembali mulai mengenang
Guna meraih makna pulang
Karena jika aku menyebut Malang adalah tempat bertualang, maka kusebut Bandung adalah rumah tempat aku pulang.
2 notes · View notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
Sejauh-jauhnya kamu, selupa-lupanya padaku. Aku. Rindu.
2 notes · View notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Photo
Tumblr media
Bingung tidak, kalau di awal begitu di akhir begini Bingung tidak, Yang benar adalah fitnah Yang nyata adalah stereotip Yang ikhlas adalah pencuri
0 notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
Sepuluh menit....
Mudah sekali berfilsafat
Perut yang masih penuh,
tempat tidur yang masih empuk,
perapian yang masih hangat
Mudah sekali membenci
Ramai yang masih berisik,
diam yang masih nihil,
label yang masih fantastis
Mudah sekali menyerah
Titik yang masih di ujung cakrawala,
dayung yang sudah patah,
kantung yang sudah jadi kusam
Mudah sekali aku menulis
Tidak percaya yang aku sebut
Memegang apa yang dari tinta
Menjadi aktor, meski hanya sepuluh menit
0 notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Text
Lampu Jalan
Aku menemukan Tuhan dalam keramaian kota,
dan kerlap-kerlip lampu jalanan.
3 notes · View notes
iqbaltaufiqan · 7 years ago
Photo
Tumblr media
Ingatan pertamamu tentang kecewa mungkin tertumbuk pada sebuah sepeda roda dua. Saat itu, usiamu masih berbilang satuan, lalu kamu melihat sepeda-sepeda lucu tengah terparkir di setiap halaman rumah milik teman-temanmu. Seketika, tak ada apapun di pikiranmu selain ingin memilikinya juga. Kamu pun pulang ke rumah, berlari menggebu-gebu untuk bertemu dengan ayah dan ibumu, lalu meminta untuk dibelikan sebuah sepeda, agar sama seperti teman-temanmu.
Tanpa diduga, ayah dan ibumu hanya tersenyum. Kamu yang saat itu masih kecil mungkin memang belum paham arti menunggu dan menunda sesuatu. Lalu kamu pun menangis di pangkuan ibu. Ayahmu diam saja, tapi lama-kelamaan beliau menawarkan sebuah cara, “Bagaimana jika kamu ayah belikan sebuah celengan saja dulu agar bisa menabung untuk membeli sepeda nanti di awal tahun depan?” Sebagai anak kecil, kamu begitu kecewa sebab merasa tertolak dan ah entah apa. Ibumu diam saja, meski ia ingin segera menyisihkan banyak uang belanja agar sepedamu segera didapat, tapi kepatuhannya pada ayah membuatnya tidak cukup berani untuk melanggar sebuah kesepakatan.
Tak ada pilihan lain, kamu pun menurut saja: menabung setiap hari meski tak tahu kapan tabungan itu akan cukup. Hingga suatu hari, tibalah pada hari yang dijanjikan untuk membeli sepeda. Kamu kaget, karena ketika celenganmu dipecahkan, isinya tak cukup, jauh sekali dari cukup. Tapi ternyata, ayah tersenyum bangga kepadamu lalu mengajakmu untuk berjalan ke sebuah sudut persembunyian. Tanpa diduga, beliau jauh-jauh hari telah membeli sepeda itu. Kamu pun bahagia, bahkan jauh lebih bahagia karena sepedamu, meski datangnya seolah terlambat, ternyata tak kalah cantik dengan milik teman-temanmu.
Tanpa terbayangkan sebelumnya, ternyata tak mudah untuk mengayuh sepeda. Tapi ayah dan ibumu jauh lebih bersemangat daripada dirimu sendiri untuk mengajarimu mengemudikan kendaraan kecil itu: dipeganginya kamu dari belakang, didorong sesekali, dan diawasinya agar kamu tidak sampai jatuh ke kubangan. Tak mudah, berkali-kali kamu terjatuh, sepeda itu pun mulai lecet di banyak sisi, lalu kakimu biru-biru tersebab pedal sepeda yang keras membenturmu. Menangis? Tentu saja, tapi ternyata kegigihanmu untuk terus mengayuh sepeda mengalahkan segalanya.
“Sakit sedikit engga apa-apa, ya, Nak? Ibu obati, ya. Ini akan perih, tapi obatnya baik karena akan membuat lukamu cepat kering. Kamu boleh menangis sebentar sambil peluk Ibu kalau memang kesakitan, ya!” dengan lembutnya tanpa berbohong Ibu pun mengobatimu: membersihkan lukamu dan menyiramnya dengan alkohol. Saat itu, kamu menangis hebat. Ah tentu saja, anak kecil mana yang akan tahan jika lukanya disiram alkohol. Kalau saja saat itu kamu sudah besar, mungkin kamu akan berpikir, “Mengapa obat menyakitkan dan bukan menyembuhkan sejak pertama?” Tapi ternyata Ibu benar, keesokan harinya luka itu sudah tidak terasa, hingga kamu pun bermain sepeda lagi, seperti biasa.
***
Bertahun-tahun kemudian, tepat ketika kamu beranjak dewasa, kamu mulai paham mengapa tak mudah bagi ayahmu dulu untuk membelikan sepeda. Ternyata, saat itu ayahmu sedang ingin mengajarkanmu tentang makna berjuang, menunda kepuasan, dan bersabar terhadap apa-apa yang diinginkan. Ah, kalau saja kamu dulu mengetahuinya, pasti hatimu tidak akan memilih untuk marah, bersedih, apalagi kecewa.
Lalu, ketika hari ini ingatan itu menyapamu kembali, tidakkah itu menggerakkanmu untuk kembali berjuang, menunda kepuasan, dan bersabar terhadap apa yang kamu inginkan?
Bertahun-tahun kemudian, ketika sesuatu terjadi pada hatimu, kamu mulai paham mengapa dulu kamu kecil bisa begitu bersemangat mengayuh sepeda. Ternyata, semua itu adalah karena tak ada rasa soal batas-batas ketidakmungkinan, hingga terus belajar dengan gembira membuat hatimu lapang untuk terus mencoba: mengayuh sepedamu hingga jauh ke tepian. 
Lalu, ketika hari ini ingatan itu menyapamu kembali, tidakkah itu menggerakkan jiwamu untuk tahan banting terhadap kegagalan-kegagalan lantas kembali bergerak untuk mengayuh pedal agar roda hidupmu kembali berputar?
Bertahun-tahun kemudian, ketika lukamu menganga dan berdarah, kamu mulai paham mengapa dulu rasanya sesakit itu ketika ibu mengobati luka-lukamu. Ternyata, semua itu adalah karena ibu ingin lukamu selesai. Sama seperti nasehat-nasehat baik yang kamu terima ketika hidup membenturkanmu pada banyak kejadian yang menyisakan luka, mungkin nasehat-nasehat itu membosankan, klise, dan seolah tidak berpihak pada apa yang kamu rasakan. Tapi nyatanya semua benar. 
Lalu, ketika hari ini ingatan itu menyapamu kembali, tidakkah itu menjadi obat bagi luka-lukamu hingga kamu mengerti bahwa setiap ketetapan adalah baik dan menumbuhkan?
Selamat kembali ‘mengayuh sepeda’ dan menyelesaikan setiap lengkung perjalanan. Jangan berhenti, kumohon jangan, sebab di depan sana ada kejutan. Sebentar lagi, atas seizin-Nya, insyaAllah kamu akan segera sampai. Ya, sebentar lagi sampai :”)
_____
Picture: Pinterest
182 notes · View notes