▸ Learner — Reader — Writer — Listener — @novenadelweis ◂
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
3/10
Sebuah perjalanan seringkali bermula dari, "Iya, mau. Boleh yuk!" Sendiri atau bersama, kita memasuki sebuah musim yang menuntut respons tepat setiap saat. Nggak bisa, ya sama dengan menolak diproses. Nggak bertumbuh. Gue yakini ini selama gue masih dipercayakan sebuah pelayanan. Berkat seorang teman, bidang pelayanan gue meluas. Kali ini, untuk sesuatu yang benar-benar gue sukai. Ya mengapa tidak? Nothing against it! Menemukan ide rasanya tidak sesulit yang gue bayangin. Terbilang mudah malah. Penulisannya pun. Direvisi juga ... tidak terelakkan, kan? Yang penting visi dari cerita sampai ke penonton. Untuk itu, gue rela meluangkan waktu buat menemani teman gue saat pembuatan video. Keyakinan gue perlahan menyentuh titik terendah saat si teman bilang, "Duh, nggak sempat. Harus syuting (yang lain - video yang mau gue buat nggak butuh syuting). Mana mau volunteer lain disuruh syuting?" disambung dengan, "Gue rasa mantan lo ...." Iya, mantan gue yang udah putus sejak September 2018 itu. Ini berlangsung terus-menerus setiap kali gue mengingatkan soal video. Sekali dicolek soal tanggung jawabnya, dia akan mengulurkan tangannya buat menunjuk bekas luka gue yang sudah pudar. Padahal dia pernah meminta, 30 hari sebelum tayang, skrip sudah harus dia terima. 7 hari sebelum tayang, dia akan memperlihatkan preview video agar bisa direvisi. Sudah gue kabulkan dan yang gue terima hanyalah alasan dan gatal-gatal diingatkan soal mantan. Mendekati tanggal tayang, gue semakin insecure! Duh, sungguhlah! Apakah videonya akan sesuai dengan harapan? Kira-kira penonton bereaksi apa ya, ketika melihat pertanyaan di akhir video? Kian ditunda, hati kian nggak tenang. Akhirnya, gue tonton video yang dipasang di awal ibadah. Video selesai, layar gue tutup. Tanpa sedikit pun niat untuk melanjutkan ibadah di gereja gue. Gue ibadah di gereja sebelah, tentu saja. 3/10. Nilai yang dia berikan sendiri kepada hasil karyanya. Mana bisa bagus wong bikinnya H-2? Merasa sayang dengan naskah yang sudah dibuat, gue minta waktu untuk belajar bikin storyboard agar dia bisa membuat videonya jadi lebih baik. Dengan format baru yang lebih nyaman ditonton, sehingga pesannya lebih tersampaikan dan mudah dipajang sebagai portfolio. Dia terdiam, atau sengaja mendiamkan gue. Kembali hanya untuk 'menagih' token GoTrade, bicara investasi, dan ... membahas kesulitannya dalam pekerjaan karena ulah mantan gue. Sangking sering dan semakin buruk ucapannya, gue pun terpikir, "Elo kan juga mantan dari seseorang. Apakah elo mau temen pria sang mantan menjelek-jelekkan elo? Bertanya kenapa dia mau sama elo? Mengejek hal-hal yang kalian lakukan berdua, physically and sexually? ... Sebentar, sebentar, emang pantes hal kayak gitu ditanyain?" Pertanyaan gue terkait storyboard artist di lingkungan kami, kebiasaan leader kami untuk memberikan feedback, hanya menghasilkan alasan-alasan lain. "Bikin storyboard nggak harus bisa gambar. Pake aja gambar dari Google." "Dia mah kalo nggak ada yang komplain ya diem weh. Dia juga sibuk. Klien diem ya nggak usah dibahas." Ditambah dengan keluhan lain soal mantan gue. Iya, masih mantan yang sama kok. Mantan gue dia diagnosis mengidap penyakit menular dan spektrum autisme, padahal dia bukan dokter, psikolog, apalagi Tuhan. Gue dan mantan gue baik-baik saja, walaupun gue masih malas berurusan langsung. Rasanya pengen cepet-cepet pergi kalo berada di satu ruangan yang sama. Segala perlakuan kurang baik si mantan di masa lalu nggak membuat gue benci, lantas menjelekkan secara tidak pantas. Lha, ini temen gue kenapa jadi bad-mouthing about him? Toh dia bekerja sebagai satu tim juga bukan kehendak gue kan? Sebagai teman, gue meredam rasa frustasi gue. Campuran dari marah, sedih, kecewa yang tidak bisa diungkapkan karena gue masih memberi ruang untuk mengerti kesibukan teman gue. Secara implisit, gue semacam menerima pesan, “Lo kan temen gue, ngertiin lah gue susah bla bla bla. Lo nuntut bener deh.” Bukan cuma respek yang hilang, semangat gue susut ketika tahu video itu tak lagi tayang. Entah apa alasannya, gue hanya menemukan
khotbah ibadah Paskah tanpa video dan Praise & Worship. Sebuah kebiasaan yang baru saja dimulai dalam gereja. Tahu mengapa keputusan ini perlu dibuat nggak bikin kekesalan gue berkurang. Wayahna (=maklum, mau gimana lagi), jawabnya. Muncul tekad bahwa gue akan menggunakan kata ini untuk meladeni apapun obrolan dia, termasuk ketika menolak permintaan tolong untuk membuat karya lagi. Mengiyakan kesempatan ini berarti membuka kesempatan tuk' diproses jadi lebih dewasa melalui lingkar gereja. Bareng-bareng kita mengerjakan bagian masing-masing demi terwujudnya sesuatu. Hasil akhirnya, baik atau buruk, tergantung bagaimana persepsi kita. Persepsi yang terbentuk sepanjang proses berlangsung. Jadi ya walaupun gue sangat-amat-nggak-suka-banget dengan hasil jadi video itu, gue kecewa kali pun sama teman gue karena dipaksa menerima hasil seadanya saat gue pol-polan bikin konsep dan skrip (while E stands for Excellent), gue bersyukur perjalanan ini malah membawa gue menemukan ragam cerita lain yang siap digarap. It might be not a good experience as I expected before, but I accept it as a good starts.
0 notes
Text
Ke Balik Orang Baik
When one thing leads to another. Kalimat yang menggambarkan hubungan gue dengan Abang. Perkenalan tanpa sengaja ketika salah satu influencer yang baru terpilih menjadi Brand Ambassador Uniqlo reshare tentang sejarah orang Tionghoa di Indonesia. Penulisnya adalah bagian dari organisasi medis yang 'wow banget'. Begitu juga si Abang. Sama-sama bagian dari organisasi tersebut, maksudnya.
Singkat cerita, gue mengambil kesempatan untuk turut serta dalam pelayanan medis ke Pulau Sumba bersama yayasan yang didirikan oleh Abang. Berangkat bareng tim dari Jakarta, bisa dibilang kami sudah mulai mengenal satu sama lain. Biasanya juga begini kok. Kita akan lebih akrab dengan teman seperjalanan sedari awal.
Sebagai anak yang kadang sensitif kadang cuek dengan kebutuhan orang lain, kesan pertama gue tentang Abang betul-betul positif. Dalam artian, sisi perhatian dia terhadap orang asing justru ditunjukkan melalui aksi tanpa malu-malu.
Barangkali, ini yang bikin banyak perempuan mengidolakan Abang. Perpaduan antara profesi yang diidentikkan dengan kecerdasan, berjiwa sosial, kecukupan dalam hal materi (#cuan), dibungkus tampilan menarik dan kepercayaan diri tinggi yang tak segan dia pampang di media sosial.
Sepulang dari Sumba, gue dan Abang sempat bertemu dua kali. Iya. Kepribadian dan pencitraan di laman Instagramnya sama. Aslinya baik, dia membanggakan kalau dirinya memang baik. Apa yang salah dengan itu, bukan? Kalo jahat mah dipenjara.
But, things are getting weird. . . . Sangking anehnya, ku sampai bingung mau memulai dari mana lagi. . Oke. Bagian anehnya akan gue mulai dari kejadian yang bikin gue memutuskan buat menulis ini. . I've lost my job. Kontrak gue nggak diperpanjang. Sampai saat ini ditulis, gue masih struggling buat nyari kerjaan baru. Kondisi pandemi yang entah kapan baru beres cukup menambah tekanan tersendiri.
Gue tahu Abang sedang berproses menyelesaikan buku autobiografi tentangnya. Setelah akhir tahun lalu mengalami drama yang bikin dia trauma, dia akhirnya menulis bukunya sendiri. . Tiba-tiba, dia mengirimkan bab pertama bukunya via WhatsApp. Bertanya apa pendapat gue. Sedikit gue sampaikan bagian mana yang bisa dibuat lebih baik, kemudian,
"Elo jadi editor gue ya," pintanya.
Mungkin karena kebanyakan mengonsumsi konten tentang menjadi kreator, jawaban gue sesingkat, "BRB siapin rate card."
Bercanda atau serius, ini hal yang wajar kan, ya? Ditanya sekarang atau nanti, pasti omongan soal rate, fee, komisi, share, atau apapun sebutannya, akan muncul juga. Apalagi jika berhubungan dengan tanggung jawab untuk menghasilkan suatu karya. Masalahnya, faktor pertemanan untuk industri kreatif memang mengabur. Mirip akal sehat Abang dalam merespons jawaban gue.
"Setiap orang yang minta bantuan ke gue, gue selalu bantuin. Gue suka bilang nggak usah mikirin bayaran. Dan memang gue nggak pernah mau nerima duit gitu. Tapi jarang berlaku sebaliknya buat gue. Hahahahaha." "Tapi tiap orang memang beda-beda sik ya." "Kadang bisa jadi itu bikin gue mau nggak mau harus melakukan semaunya sendiri."
DEG! At the exact moment, gue langsung merasa bersalah. Dengan menyebut rate card, gue sudah 'menjahati' orang sebaik Abang! Namun, bukan Gisel namanya kalo langsung mempan kena guilt tripping! Hanya satu kata, lawan!
"Kalo gue sih, kudu jelas di depan. Kalo buat tujuan komersil, sebaiknya sama-sama profesional. Pakai kontrak kalo perlu karena menyangkut uang dan tenggat waktu."
"Kalo buat tujuan lain, misal urunan bikin portofolio, pelayanan, atau charity, ya udah jelasin aja dari awal. Walaupun nggak semua diiyain atau dikurangin standarnya."
Rupanya, kata-kata 'profesional, komersil, pelayanan' yang gue lontarkan perlu dikaji ulang.
Apa sebab? Abang menceritakan kisah traumatis akibat editor sebelumnya. Perempuan ini dikenalkan oleh temannya. Dia meminta bayaran dengan alasan untuk membantu dua temannya yang kehilangan pekerjaan, lalu Abang curiga bahwa tanggung jawab tadi dikerjakan oleh orang yang sama. Ya, perempuan yang sama!
Nominal yang Abang berikan itu sungguh lumayan. Bahkan terlalu besar apabila melihat hasilnya tidak sesuai yang dia inginkan. Ditambah segala drama dan tuntutan agar dijadikan 'lebih'.
"Gue nggak ngerti gue ini polos atau gimana ya? Kok bisa-bisanya gue iba sama orang seperti itu. Itu duit nggak sedikit. Kalo gue pakai buat amal itu ..."
Sh*t. Elo nggak polos, Bang. Elo jahat.
Elo lebih mudah berempati pada orang asing yang nggak elo kenal. Setelah elo merasa dipermainkan, kesalahan dan tanggung jawab itu seolah ditimpakan ke gue. Padahal posisi gue lagi butuh banget pekerjaan yang menghasilkan uang.
"Gue nggak mau lagi mengeluarkan uang sepeser pun buat jasa beginian. Toh selama ini, gue sudah berbuat baik tanpa pamrih. Sudah selayaknya orang lain (elo, Gisel) juga berlaku sama ke gue. Hasil penjualan buku ini kan, juga buat amal. Ya sudahlah, dengan membantu gue, hitung-hitung elo beramal."
Ngobrol lewat telepon hanya membuahkan kesimpulan seperti itu.
Bikin gue discourage. Asli.
Perlawanan gue terasa sia-sia. Manuver guilt-tripping, sedikit victim mentality, dan 'holier than thou' attitude Abang sudah memengaruhi gue. Sedikit.
Sedih.
Mulai merasa bersalah ketika gue 'take a stand'.
Kesal. Elo pakai jasa orang asing, berbayar, mahal, hasilnya begitu. Dengan meminta gue, berarti elo berharap gue bisa menghasilkan tulisan yang lebih baik dong? Oke. Gue siap, tapi mbok ya sama-sama ngerti gue lagi butuh penghasilan, bisa, eh, mau?
Mirip sama cinta. Kalo kita memang peduli sama seseorang, show, don't tell!
Proses penulisan skenario film pun sama. Show, don't tell!
Respek gue terhadap Abang pun lesap seketika. What's he's showing to me as his friend, tell a lot about the real him. .
. Setelah ditelusuri, dua pengalaman sebelumnya atas dasar Abang minta tolong pun tidak berakhir baik. Ada ketidakjelasan yang membuat salah satu pihak disalahkan. Ada ketidaktahuan disertai ekspektasi tinggi tanpa pertukaran yang masuk akal.
Ini yang ketiga kalinya. Cukup sudah.
0 notes
Text
‘Ditampar’ di Armin Only : Embrace, Jakarta 2017
31 Maret 2017
This is what it feels like!
Setelah 13 tahun menikmati karya Armin van Buuren, akhirnya kesampaian juga dong nonton Armin Only Embrace di Jakarta. Ya. Gue beruntung musisi kesukaan gue masih mau main ke Indonesia. Jadi nggak usah dikejar-kejar ke Singapore, Philippines, atau Bangkok. Hihihihi.
Sebetulnya ini bukan kali pertama gue ngeliat Armin perform live. Djakarta Warehouse Project 2015 menjadi DWP paling berkesan karena akhirnya bisa ngeliat Armin di Garudha Land. Bodo amat lah ya di stage sebelah Major Lazer katanya ‘pecah’. Pokoknya Armin!
Selama tiga setengah jam, gue singing along dan joget-joget bahagia. Terlebih saat satu persatu musisi berbagai genre ngebawain lagu kolaborasi mereka bersama Armin di album Embrace dan karya lainnya di luar album tentu! Another You (YHA!), Freefall, Caught in the Slipstream (of his smile, of course!), Make It Right, Heading Up High, Strong Ones, I Live for the Energy (ASOT alert!), Safe Inside You (ASOT alert!), Great Spirit, This Is What It Feels Like, Dominator, House of God (serius ini lagu seumuran gue!), Ping Pong, Symphony of You (yang baru doi mainin di UMF Miami itu!) sampai Looking for Your Name yang bikin baper. Huhuhu.
Mulai jam 01.00 sd. 02.00, Armin mainin Vinyl Set yang jadi incaran anak Trance Family. Lucu sih. Langka kan moment elo ngeliat DJ ngubek-ngubek vinyl. Kok ribet ya? YA EMANG. Tapi nggak semua akan betah ngedengerin sih. Klasik soalnya!
Karena keterbatasan yang gue sadar dalam menulis event report yang tercampur dengan emosi pribadi, gue akan sudahi ocehan soal konsernya. Pokoknya harus banget lah nonton Armin Only lagi di … Amsterdam! #kodekeras
‘Tamparan’ yang bikin gue ‘belajar’ adalah cerita di balik perjalanan gue nonton konser ini.
2 April 2016, seusai nonton I AM HARDWELL - United We Are Jakarta, gue nyeplos dong ke promotornya, minta Armin Only Embrace Jakarta buat tahun depan. Iya. Tahun ini. Berhubung gue bukan tipe anak doyan spamming, gue sempat dua kali mention ke social media account mereka juga. Tidak berbalas, sampai gue menemukan iklan Armin Only Embrace Jakarta yang diselenggarakan oleh … Euphorics Events! Promotor yang asing, well, seenggaknya nggak sefamiliar Ismaya Live, Marygops (gue ingat kerana konser Westlife yang rusuh), dan Berlian Entertainment (konon punyanya anak mantan Presiden yang selalu pakai baju lengan panjang itu).
2 minggu sebelum konser, gue mengirimkan Direct Message via Instagram ke Euphorics Events. Minta mereka bermitra dengan penyedia jasa transportasi online. Terserah yang mana saja. Yang karya anak bangsa, boleh. Bebas deh! Apa sebab? Lokasi Jakarta International Expo cukup ‘terpencil’ dari pusat kota. Letaknya antara Pasar Baru dan Sunter. Sepi dan jarang dilalui angkutan umum. Serius! Masalah banget buat gue yang kebiasaan nonton konser sendirian dan belom punya kendaraan pribadi. Makanya gue bisa jadi penonton paling rewel urusan safety, apalagi pergi malam pulang subuh yekan.
Memang sih, ada beberapa taksi konvensional mangkal di depan gate. Sayangnya, mereka memanfaatkan kebutuhan pengunjung dengan mematok tarif yang nggak masuk akal. Pas DWP 2014, dua teman gue terpaksa membayar 150 ribu Rupiah untuk pulang dengan taksi abal-abal (sebutan gue untuk taksi di luar grup si Burung Biru) menuju daerah Mangga Dua dan Slipi. Terpaksa karena takut dijahatin sama sopir taksinya. #iniserius
Seminggu sebelum hari H, mereka mengumumkan bahwa mereka bermitra dengan … UBER! HOORAY! Kinerja tim UBER bener-bener layak diapresiasi. Penonton yang lagi nunggu dijemput sopir UBER dibagiin air mineral gratis. Bahkan, mereka nawarin diri buat nelponin sopir (pakai pulsa mereka) sekaligus ngarahin biar penumpang nggak kelimpungan nyariin jemputannya. Lima bintang kuberikan, walaupun langit Jakarta tak berbintang itu subuh dan mereka nggak bisa colongan nonton konser karena booth-nya di luar venue. Berseberangan dengan empat taksi konvensional yang berjejer dan menatap nanar booth UBER yang ramai. #lebaytapinyata
Beres urusan transportasi. Anak murah saran ini minta refund token itu baru dimulai setelah Vinyl Set selesai … via Direct Message Instagram (lagi!). Beda dari DWP (buat yang bosan mengapa dibandinginnya sama DWP ya maklumin, cuma ini konser yang rutin gue tonton sih) yang beli token macam beli koin. Kalo hilang ya ‘badbye’ lah 25 ribu Rupiah per token. PouchNATION bikin token-token itu tersimpan dalam wristband. Pengisian awal minimal 200 ribu Rupiah. Sisanya baru boleh ditukarkan jam 01.00, katanya. LHA?! Apa kabar saldo gue? Apa kabar Vinyl Set? Trus saran gue yang ini pun dikabulkan dong. HAHAHAHAHAHA.
Terlepas dari kebahagiaan gue nonton Armin van Buuren, pengalaman ini ‘menampar’ gue. Personally.
Persoalan bukan terletak kepada siapa gue meminta (karena udah jelas ke siapa lagi larinya manusia kalo mau minta segala macam), tapi kepada siapa gue menaruh harapan gue. Betapa selama ini gue berpikir dan semau-mau gue meletakkan sesuatu, no, seseorang, bahkan suatu tempat sebagai tujuan gue.
Ribet?
Mari gue sederhanakan.
1 Juli 2016. Gue melabel ‘my former office’ sebagai ‘a place that I’ve been dreaming of’. Sepenggal lirik dari lagu The City milik Madeon. Tempat yang gue kira akan sangat baik untuk mengembangkan diri dan berkarya memenuhi tujuan-Nya. Organisasi yang membawa misi mulia, sangat-sangat relijius, bahkan dinilai lebih baik dari organisasi tetangga oleh salah satu dosen gue. Kurangnya justru kurang … #ahsudahlah
Jelas bukan lagi menjadi ‘a place that I’ve been dreaming of’, bukan? EHEHEHEHEHE.
ASLI. MALU GUE NGAKU BEGINI.
TAPI NGGAK APA-APA.
BIAR SAMA-SAMA BELAJAR.
Gue berpikir bahwa seseorang pria dengan kualifikasi tertentu (yang baik-baik pasti) akan cocok dengan gue. Mempertimbangkan beberapa kesamaan yang terlihat dari luar, seperti gelar akademis, tempat ‘baik’ dimana kami bertemu, dan lain-lain. Bisa juga ketika dia terlihat menarik karena bisa melakukan hal yang nggak bisa gue lakukan. Main musik, misalnya. Atau ketika gue melihat orangtuanya sebagai #CalonMertuaIdaman, padahal sumpah aku bukan #CalonMenantuDurhaka. Hal terbeken lain yang suka dijadikan jaminan adalah jabatan di perusahaan bergengsi. CEO di start-up itu nggak termasuk ya, kecuali perusahaan rintisan sudah se-bonafit Go-Jek. Bahwasanya lebih baik jadi Manager di bank ternama daripada CEO di start-up yang masih belum terkenal tapi memberdayakan masyarakat.
Banyak hal yang gue prioritaskan untuk dijadiin patokan. Semacam harapan bahwa bersama si orang ini, gue pasti akan lebih bahagia karena … berbagai hal yang sebenarnya belom tentu bisa menjamin kecocokan gue dengan orang ini.
Memangnya gelar Master di bidang Management itu otomatis bikin dia cerdas mengelola emosi? OYA INI PENTING. Pasangan yang pandai mengelola emosi itu jauh lebih bikin saya bahagia (karena nggak bikin capek) daripada yang bergelar M ‘dadada’ trus dipajang di profil media sosial. M.Ber.
Itu satu.
Rupanya masih banyak lagi hal yang jauh lebih krusial untuk gue lihat dari seorang pria. Perspektif dia akan kesetaraan gender (akan gue tulis di artikel terpisah kenapa ini penting), memaknai spiritualitas, kemauan untuk merangkul perbedaan di antara kami, juga bagaimana kami belajar bekerja sama dalam membangun hubungan. Kompromi, dukungan, bahasa kasih, gaya komunikasi, relasi dengan orang di sekitar kami, pekerjaan, pelayanan (ups, oke, bagaimana kami melakukan sesuatu untuk orang lain), spending habits, juga hobi.
Ketika gue kira keinginan gue akan dipenuhi oleh pihak tertentu, justru gue diperkenalkan oleh pihak lain yang, bukan hanya menggenapi bucket list gue, tapi mau mengusahakan hal-hal penting agar gue, juga orang lain, merasakan kebahagiaan yang HQQ.
YHA.
Gue malu untuk mengakui kekeliruan gue dalam mengenali diri gue sendiri, maupun menilai orang lain.
Ketika yang gue pikir terbaik, ternyata terbalik. #YAJUGAYA
Saat sadar bahwa gue justru melewatkan hal-hal yang jauh lebih penting untuk ditelusuri daripada sekadar ‘kekerenan yang (di)tampak(kan)’.
Sampai gue macam harus banget ‘disadarkan’ melalui konser begini.
Trus ini disudahi saja ya. Malu banget soalnya.
///_\\\
0 notes
Text
Kenapa Gue ‘Rela Ditawan’ Ruang Berbagi Ilmu (RuBI)?
Skenario 1
“Nop, temen kantor gue nanya tuh ngapain elo ke NTB. Gue jawab aja ngajar. Trus dia nggak bilang apa-apa lagi. Maap yak lingkungan gue emang kayak gitu.”
Skenario 2
“Nov, kamu pergi yang ke Natuna itu dibayar? Itu Natuna di mana lagi? Masih di Indonesia kan?”
“Nggak. Bayar sendiri.”
“Lha? Trus dapet apa dong?”
“Jadi berkat.”
Ini perbincangan dengan suami-istri tetangga di Kost 32. Yang nanya si suami. Yang bilang ‘jadi berkat’ itu istrinya, bukan gue. Aminin aja kali jadi berkat beneran yekan. AMIN!
Kedua skenario di atas adalah alasan mengapa gue tergoda menulis ini. Bukan untuk minta persetujuan orang lain, apalagi ngajuin proposal buat keberangkatan berikutnya. AHEY. Bukan juga buat ngajak semua yang baca ikutan RuBI kok. Postingan ini dibuat semata karena gue tertantang menjawab pertanyaan Teh Rini, eh, Kak Rini Pinasthika di grup WhatsApp. Gue penasaran, apa sih indikator kesuksesan RuBI. Masa dua kali ikut kegiatannya masa nggak tahu indikator sukses apa nggaknya kan? Gimana mau ngejawab pertanyaan orang lain nanti? #elahbet #kayakoranglainpeduliaja
Dari jawaban ngaco Kak May Ichi, Kak Rini malah nanya balik, “Kak Gisel ikut RuBI tujuannya apa? Kenapa bikin pingin daftar lagi?”
Terkaget ditanya begitu, jawaban gue pun macam gini, “Nyalurin kebaikan sambil bersenang-senang. Jumpa dengan orang baik nan kece lainnya.”
Rupanya nggak ada indikator pasti untuk kesuksesan setiap pihak yang terlibat dalam RuBI. Mengingat setiap partisipan punya tujuannya masing-masing, termasuk mereka yang cari jodoh. Berarti kalo nggak dapet jodoh ya gagal gitu apa gimana sih? Tolong jelaskan sini!
Lalu?
Kenapa gue awalnya tertarik ikut RuBI? Simply karena gue merasa insecure. Pernah nggak berada di satu titik dimana elo memulai segalanya bareng-bareng teman elo, trus karena sebab yang nggak elo ketahui, elo tersisih dan ngerasa nggak bakalan bisa kemana-mana jika tanpa mereka? Nah! Gue pernah!
Seolah menjawab keputusasaan gue, muncullah tweet pendaftaran Relawan Narasumber untuk RuBI Bima. Intip-intip materi, ternyata ada materi Outdoor Education. Berbekal pengalaman jadi Fasilitator Pelatihan tanpa pernah presenting materi, gue isi Google Form itu dan … terpilih!
Long story short, gue berangkat ke Bima, Nusa Tenggara Barat, dengan segudang ekspektasi yang harus gue redam karena … ya begitulah. Gue masih harus-harus-harus banget belajar gimana cara jadi Fasilitator yang oke … sambil belajar materi dan cara ngajar Fasilitator lain.
Melalui RuBI Bima, gue belajar ‘boros-namun-bermanfaat’ dari Ibu Retno. Tanggung kali ya ngajar jauh-jauh tanpa ngasih takeaways berupa handout, apalagi materinya banyak dan butuh dibaca-baca ulang agar lebih paham. Berkat beliau, handbook Manajemen Stress di RuBI Natuna itu ada. Secara nggak langsung, Bu Retno-lah yang ngasih gue teladan gimana caranya jadi keren. #cihui
Berinteraksi dengan orang yang belom pernah elo temui, dari latar belakang demografi yang berbeda, tentu akan beda juga pengalamannya. Perbedaan inilah yang akhirnya memunculkan drama. Kesukaan kita bersama. Beberapa drama memang menyenangkan untuk dinikmati, macam cinta lokasi antara Narasumber dengan Panitia Lokal, Pengajar Muda (kalo mereka ada di penempatan), PIC, dan kombinasi persilangan lainnya. Segala hal absurd juga nggak banget. Lucu, ngeselin, dan indah dikenang. Semua perbicangan santai namun mendalam yang somehow bikin gue bukan cuma kenal nama Relawan lain. Walaupun seabrek manusia dari latar belakang berbeda dikumpulin jadi satu di daerah terpencil yang masih bagian dari Indonesia, kami bisa cocok. Pokoknya tahu-tahu ngobrol aja!
Kata Pak Hikmat Hardono saat refleksi akhir semester lalu, ini terjadi karena sekelompok orang yang ‘rela ditawan’ punya tingkat komitmen serta sama-sama mau berinvestasi to make this happen, apapun konsekuensinya. Berhubung Relawan juga modelnya macam-macam, bisa jadi gangguan buat satu Relawan bukan hal yang perlu dipusingin oleh Relawan lain. Yang penting kita jalanin ini bareng-bareng sampai selesai sudah. Kalo ada yang aneh-aneh nggak sesuai ekspektasi macam #watde moments, dibawa ketawa rame-rame. Kapan lagi kan? HAHAHAHA.
Saat salah seorang Relawan yang gue temui di sesi refleksi menyatakan bahwa dia ‘mengenal Indonesia secara lebih dekat’. Gue setuju, tapi akan lebih ngena jika gue mengganti kata ‘dekat’ dengan ‘jujur’. Sebagian drama yang terjadi adalah berkat orang-orang yang jujur dalam berkata-kata maupun bersikap. Ya walaupun ‘kejujuran’ mereka kadang memancing kita mengeluarkan beragam emosi. #ohlala
Jujur nih. Saat ikut RuBI pertama kali, itu bukan pengalaman yang ideal. Kepanasan sampai tangan ombre. Miskomunikasi. Berat badan naik #b*tchplease. Handphone gue dan Tunjung nyaris hilang dicuri. Handphone Pace Fadli malah sempat nginep dua hari pula di rumah si Pengambil. (-.-“)
Lihat kan, nggak semua orang yang gue temui itu baik nan kece?
Cerita Kak Nuri Arunbiarti lebih menggentarkan niat lagi. Memilih jadi Dokumentator #IMPamit Rote Ndao bikin doi pulang-pulang diopname gara-gara dehidrasi. Kebayang nggak, tidur di rumah beratap seng sementara cuaca lagi panas-panasnya ditambah mandi dengan jatah air satu ember per orang? Travelingnya pun nggak afdal karena hanya ada satu pantai yang bisa ditempuh dalam jarak satu jam saja. Tapi entah kenapa Kakak gue satu itu … ketagihan.
Jelas bukan bersenang-senang sih kalo aftereffect-nya begini.
Justru di situlah serunya nge-RuBI. Asli gue nggak ngerti kenapa bisa jadi kata kerja begini. Ya sudahlah ya kita lanjut.
Pengalaman nge-RuBI di satu daerah akan berbeda dengan RuBI lainnya. Kejadian yang nggak ngenakkin di kali pertama belom tentu bakal sama persis terulang di RuBI selanjutnya. Cinta lokasi pun demikian. #uhuk Dan lagi, masa iya sih, ada RuBI yang nggak nyisain satu pun kenangan baik buat Relawannya ah? Ini dia yang bikin gue, anak Sagittarius ini ketagihan! Gue pergi ke satu daerah, entah di Indonesia bagian mana itu sesuai pilihan, buat ngajar guru #eits, tentang materi yang boleh dipilih sendiri sesuai kapasitas dan tingkat kepercayaan diri. Tanpa tahu bakal ngehadapin apa di sana. Sangking minimnya info tentang daerah tujuan, kadang nginep dimana aja belom ketauan lho. HIHIHI.
Gue merasa ada hal yang berubah dalam diri gue setiap kali pulang nge-RuBI. Bukan cuma followers Instagram atau friends di Path yang nambah banyak, tapi … apa ya?
Gue jatuh cinta dengan tenun (sampai terpanggil ngembangin wastra Indonesia) berkat nge-RuBI.
Gue bertekad ingin tetap ‘rela ditawan’ oleh RuBI, walaupun gerakan ini berada di bawah Indonesia Mengajar, yang mana … #ahsudahlah. Pengalaman yang gue, Hanna, dan Pahala alami tanggal 24 Desember 2016 itu bikin gue ‘kaya secara spiritual’. Sesuka sesebapak lah mau bilang apa, buat apa, jadi apa kek. Yang penting nggak usah jadi Gub … #ahtuhkan
Gue mendapati sumber daya yang Dia titipkan ke gue tersalurkan ke tempat yang tepat. Ngulik materi buat dibawain itu seru lho! Entah gimana pokoknya dapet aja bahan buat ‘diramu’. Ya ini #kodekeras untuk yang bersedia jadi tandem gue ngebawain materi di Yapen dan/atau Pegunungan Bintang bulan Oktober nanti. Syaratnya, nggak pakai Power Point. Kalo ke Yapen, main air (o-em-ji gue belom bisa renang!). Kalo ke Pegunungan Bintang, trekking kita. #kanspoilerkan
Bukan hanya soal menjadi #AntiMainstream karena memilih pergi ke tempat yang bahkan orang lain nggak terpikir untuk dikunjungi. Ini soal bagaimana gue diberi kesempatan dengan segala pilihan dengan risiko yang lebih siap gue tanggung, dan gue seolah dibimbing untuk melangkah di jalan ini.
Sebagai penutup, gue akan mengutip ucapan Mas Imam saat makan siang di Bima, tertanggal 27 April 2016, “Kalian akan kesulitan menjelaskan ke orang-orang tentang kebahagiaan yang kalian dapat dari hal-hal seperti ini. Kebahagiaan yang nggak bisa saya dapat jika memakai cara orang kebanyakan. Saya sih, sudah nggak dipertanyakan lagi. Kalian ini nih, yang masih muda-muda.”
Lalu Gisel ngeyel, “Ya sudah kalo gitu nggak usah dijelasin, Mas.”
“Jangan gitu. Nanti ada saatnya kalian perlu ngejelasin ke pasangan kalian lho.”
NAH! Kusadari dengan posting ini berarti gue telah menjelaskan keterlibatan gue dalam Ruang Berbagi Ilmu. Kegiatan baik yang menjadikan gue ‘the best version of myself’. Mengelola ekspektasi, berani mencoba hal-hal baru, serta bersyukur senantiasa.
In case my soon-to-be-life-partner is reading this, now you know why. :*
0 notes
Text
Setipe Is Not My Tipe Is Not Setipe
Gara-gara Kakak semeja gue suka main Tinder, gue jadi tergoda untuk mencoba situs atau aplikasi pencari lawan jenis serupa. Tinder isn’t my thing. Terlalu beresiko. Jadi gue melirik Setipe, kemudian mendaftar. 100 pertanyaan tes kepribadian di awal yang bikin Kakak semeja gue malas, justru malah bikin gue semangat. Secara gue memang suka mengisi kuis demi mengenali diri sendiri kan. The best thing about Setipe adalah mereka punya fitur messages yang bisa dimanfaatkan untuk perkenalan awal sebelum tukeran nomor handphone, pin BBM, atau account Line.
Gue tidak menaruh ekspektasi muluk-muluk karena toh ini cuma buat cari teman. Karena toh lingkungan gue sudah mencukupi kebutuhan gue akan hubungan interpersonal. Asyiknya, gue nggak merasa terbeban oleh keberadaan mereka. Woles tapi berkembang naturally.
Sehari setelahnya, gue mendapat pesan dari 2 orang ‘balon’ alias ‘bakal calon’ gue. Gue tetap menanggapi, walaupun gue bingung juga ngeliat profil mereka. Sesekali gue mengganti preferensi biar lebih banyak pilihan, walaupun nggak sampai senekat bilang agama nggak penting dalam kehidupan. #ngaku
Iya sih. Bakal calon gue emang nambah banyak. Yang ngirim pesan juga lumayan banyak. Tapi …
Tepat hari Jumat seminggu lalu, gue menemukan wajah familiar kenalan gue di dashboard. Namanya disebut ‘keberuntungan’. FYI, dia pakai nama samaran sesuai saran. Gue yang sembrono pajang nama asli. Lengkap pula. HIH! Profilnya diisi quotes religius. Nggak heran karena gue memang mengenal dia dari gereja. Cuma … is it too much?
Untung refleks gue sigap ya. Gue langsung tutup match tersebut tanpa sempat gue lihat lagi persentase kecocokannya. SHIOK!
Bukan kenapa-napa. Gue tahu betul siapa kenalan gue tersebut. Dia pernah mendaftar kelas pranikah tiga kali dan semuanya gagal total. Jadilah sekarang dia menjomblo dan suka flirting ke jemaat gereja. Untung dia nggak pernah flirting ke gue sih. Kata teman gue, dia keder lihat gue ditemani Nyokap. HAHAHAHA. KACAU. Yang lebih kacau lagi adalah … dia baru putus dari pacarnya dan aggressively ngedeketin staff kampus saat wisuda!
Berarti apa yang berusaha ditampilkan cowok-cowok ini sangat mungkin berbeda dari kepribadian asli mereka, bukan?
Oh iya. Karena gue nggak tahu apa yang harus gue tulis dalam profil, gue menulis nama kantor. Sekarang sudah gue hapus sih. Alasannya mulia (#AHYAKALIKAN), gue takut mencemarkan nama baik kantor dan memperkuat stereotipe orang-orang mediocre tentang pekerja dengan isu serupa. Terbukti pada Sabtu pagi keesokannya. Bakal calon dengan persentase 84% (tertinggi sampai saat ini) bilang, “Kalo ‘kantor gue’ berat nih.”
Sedikit clue. Kantor gue adalah lembaga negara yang didirikan sebagai respons para perempuan terkait upaya Negara dalam menuntaskan kasus Mei 1998. Ring a bell?
Gue terlalu malas untuk mencari tahu maksud perkataannya. Yang berat itu isu yang diusung, nama kantornya, atau apa? Terlebih saat gue tahu latar belakang cowok ini. Gue sempat bertukar pin BBM dan gue block setelah 3 kali tanya-jawab. Kejam ya gue? Habis mau bagaimana lagi? Selain menanyakan hal yang sudah jelas tertulis dalam profil, gue merasa cara dia bertanya betul-betul mencerminkan keraguan gue setelah melihat-lihat profil bakal calon yang dipilihkan oleh mesin algoritma. Satu saja sudah begini, apalagi sisanya. Tuh kan gue jadi menggeneralisasi! HIH!
IMHO, situs ini harus membedakan mana user yang belum lulus S1 karena masih kuliah dan mana yang belum lulus S1 karena berhenti atau tidak kuliah. SERIUS. Soalnya ada beberapa yang usianya kepala tiga tapi belum lulus S1. Sementara ada rekan sekantor yang hampir kepala empat mau melanjutkan kuliah Doktoral. Menurut kalian, mana yang nggak wajar sekarang? This is me being ungrateful or what?
0 notes
Text
Untuk Pengirim Pesan
Hari Selasa tanggal 15 Mei lalu, sebuah pesan masuk ke inbox BEY, sohib gue semasa kuliah. Si pengirim minta maaf ‘kalau’ pernah buat sesuatu kesalahan di waktu lalu dan mengajak reunian, walau sekarang teman kami yang bernama Andreas ‘sudah nggak ada lagi’.
Saat kami semua diberi kesempatan terakhir untuk berjumpa Andreas, dia tidak hadir. Sibuk, katanya.
Hari ini, gue mendapati pesan dari si pengirim yang sama. Cuma menanyakan kabar sih. Dan yang bikin gue kesal, si pengirim kembali membawa-bawa nama Andreas dalam kolom komentar notes Facebook yang pernah dia posting untuk kami bertiga. Iya. Gue, BEY, dan Andreas. Tulisnya, Andreas sudah nggak bisa lagi baca notes ini. Oh, tentu saja. Tapi jangan lupa, dia sudah pernah membaca postingan tersebut.
Tulisan laknat itu kembali terbaca oleh gue.
Masih gue.
Gue di tahun 2009 itu beda dengan gue sekarang.
Tapi hasil pemikiran gue tentang dia tetap sama. Selalu sama.
Begitu juga dengan BEY.
BEY mengakui, bahwa dirinya sekarang tidak mau dikaitkan dengan masa lalu. Masa-masa kami masih berkawan dengan Si Pengirim Pesan. Si Pengirim Pesan menjadikan gue sebagai ‘anak tunggal yang selalu ingin dimengerti’, Andreas sebagai ‘kakak yang terlalu baik hati sehingga sering dimanfaatkan orang lain’, dan BEY sebagai ‘teman kaku nan pendiam tapi asyik dicurhatin’. Dalam dunia Si Pengirim Pesan, BEY menjadi orang yang harus selalu mendengarkan semua keluh-kesahnya, termasuk saat BEY lagi asyik nonton video di Youtube malam-malam.
“Gue nggak mau lagi lah dicurhatin kayak apaan tau begitu. Biar kata ditraktir pun, gue males ikut campur urusan pribadi orang. Orang harus bisa selesaikan urusan pribadi mereka masing-masing.”
Gue setuju dengan BEY, sebagai sohib maupun calon konselor.
Sohib hanya bisa menjadi social support kita. Menjadi tempat curhat, bertanya, berdiskusi, sekaligus pengingat jika kita melakukan kesalahan. Keputusan untuk berbuat tetap berada di tangan kita.
Gue sering sengaja mengepo. Salah satu caranya adalah dengan mancing obrolan tentang status keluhan teman gue. Misalnya, tentang teman janjian yang ingkar janji. Di akhir obrolan via BBM, temen gue berujar, “Gue nggak mau percaya lagi sama cowok.”
Aneh ya? Tapi gue tahu itu jujur. Mungkin di lain kesempatan, gue akan menggali lebih dalam sampai teman gue yang satu ini menyadari needs sejatinya.
Needs.
Semua orang selalu ingin dimengerti, termasuk kamu juga, wahai Pengirim Pesan.
Masalahnya, batasan antara jujur dan membual yang diciptakan oleh Si Pengirim Pesan mengabur. Nggak jelas. Buat kami-kami yang nggak setajir dia, curhatannya layak diberi hashtag #NgeluhTapiPamer. Capek ngejalanin perusahaan warisan Bokap, HEY, bagaimana dengan orangtua kami yang notabene karyawan atau menjalankan bisnis kecil-kecilan? Nggak tidur semalaman gara-gara ngurusin Nenek lagi sakit, HEY, beruntung situ masih punya Nenek! Berbaik hatilah situ sebagai cucu, biar angpao dari beliau cukup untuk membeli rumah layak huni nan mewah yang bisa dibanggain.
Hubungan kami dengan Si Pengirim Pesan sangat melelahkan. Kami tahu bahwa kami harus bersyukur atas apapun yang kami miliki. Tapi kami juga bukan manusia super yang sudah menguasai cara mengucap syukur kepada Semesta sementara pikiran dan emosi kami digempur keluhan dari orang lain yang memiliki segalanya dan … (terindikasi) suka pamer terselubung.
Bagaimana dengan gue? Apakah gue bersedia menemui Si Pengirim Pesan jika ajakan itu muncul di inbox Facebook gue?
Gue tidak mau. Gue tidak akan ‘reunian’ dengan Si Pengirim Pesan sampai gue mau, bisa, dan bersedia mengubah mindset gue tentang dia. Iya. Mindset yang tertanam cantik dalam pikiran gue selama berkawan dengan dia. Entahlah ya.
0 notes
Text
Test Pack
Iya. Test pack yang itu. Alat sebesar thermometer yang dipakai seorang perempuan untuk mengecek apakah dia hamil atau tidak.
Jika muncul dua garis biru, pasangan baru penggunanya yang memang sedang menantikan anak akan dilingkupi kebahagiaan. Tentu saja hal ini tidak berlaku jika pasangan tersebut lagi nggak pingin dikaruniai keturunan. Entah karena belom siap atau … #ahsudahlah
Sebagai perempuan di tahap dewasa awal yang belom pernah sama sekali bermain-main dengan test pack (karena … belom perlu juga sih!), gue membayangkan bagaimana rasanya jika test pack di tangan menunjukkan hasil yang diharapkan atau tidak diharapkan.
Deg-degan, kaget, senang, lalu mendadak jadi orang yang paling rela dikepoin sekaligus murah hati karena mau ngabarin orang-orang sekitar A.S.A.P!
Sebaliknya, rasa excited atau kelegaan bisa buyar seketika untuk digantikan dengan rasa kecewa, serta pikiran berkecamuk, “Kok ini bisa sampai kejadian sih? Apa ya yang salah?”, lalu menolak untuk berbicara tentang ini. Soal bagaimana nanti itu beneran nanti saja deh!
Terkadang, gue merasa kita memperlakukan diri kita seperti test pack. Setidaknya, gue sendiri begitu.
Kita berharap orang lain akan selalu berbaik hati pada kita. Sebaik perlakuan kita ke mereka. Walau terkadang kita memperlakukan mereka semau kita. Kita sangat mungkin lupa bahwa manusia tidak bisa ditebak. Serupa sama kita. Kita mencatatkan cerita berbeda dalam buku kehidupan orang lain. Menjadi hak mereka sepenuhnya mau menuliskan apa saja tentang kita. Mengucapkan ‘terima kasih’ kepada orang lain yang kita anggap bertindak merugikan tidaklah efektif. Alih-alih tulus, kita malah akan terlihat palsu. “Gue jahatin elo. Gue maklum kalo elo marah, jadi silakan marah sono! Kok malah ‘say thank you’ sih? Elo mau nyindir gue ya?” Nggak enak amat.
Kemudian, kita berharap bahwa kita bisa mengenyahkan fakta-fakta pembawa emosi negatif. Apapun emosi yang kita rasakan tetap tidak mengubah fakta. Lalu? Biarkan saja emosi itu ada. Asal jangan sampai mengendap terlalu lama. After effect-nya nggak baik buat kesehatan soalnya.
Kita berharap sesuatu yang berada dalam genggaman kita akan menjadi milik kita selamanya. Iya. Apalagi jika itu adalah sesuatu yang baik. Tapi selalu ada kuasa lebih besar yang berperan di balik kehidupan kita. Seerat apapun pelukan kita terhadap suatu hal, bisa dengan mudah lenyap jika itu memang kehendak Sang Empunya Kuasa tadi.
Apa yang terjadi pada diri kita dilihat sebagai pertanda apakah kita cukup baik sebagai manusia.
Test pack adalah penentu bagaimana kita akan merasa.
*
Oke. Gue ikhlas sekarang.
Untuk melepas harapan yang telah gue tanam dan hidupi selama 5 tahun terakhir.
Gue tahu ini sesuatu yang baik.
Gue merasa bisa memaksimalkan apapun yang Tuhan kasih di sini.
Tapi ya … sesuai dengan apa yang tadi gue tulis. Gue nggak bisa menebak kemana Tuhan akan membimbing langkah gue. Kuasa-Nya bekerja bukan cuma di kehidupan gue, tapi juga dalam kehidupan orang lain.
Mungkin gue nggak akan pernah tahu apa alasannya. Mungkin ada kesalahan gue yang terlalu parah untuk bisa ditolerir. Mungkin ini, mungkin itu, dan gue akan selalu menemukan kemungkinan dari yang paling masuk akal sampai yang paling absurd sekalipun.
Kata Nick Vujicic, terlalu banyak bertanya akan menjadi salah jika itu merusak iman kita, apalagi jika kita tak kunjung mendapat jawaban. Jadi mulai sekarang, gue akan berhenti berandai-andai dan bertanya, baik ke diri gue sendiri, ke rekan gue (apalagi), maupun ke Tuhan.
Apapun yang telah gue lalui selama 5 tahun terakhir, biarlah memperkaya hidup gue.
Yang pasti Tuhan telah memberikan gue banyak bekal untuk dibawa selama beberapa tahun ke depan. Jadi apapun yang kiranya akan gue jalani, gue pasti bisa.
Jika suatu saat nanti, kesempatan ini tiba lagi?
Tentu saja gue akan mengambilnya kembali. Kenapa tidak? Tapi gue akan bergabung karena gue memang ingin berbagi dan bersenang-senang. It’s not all about money anymore. ☺
0 notes
Text
-1
Seharusnya gue nggak mempermasalahkan hal ini.
Seharusnya gue nggak boleh nulis ini.
Seharusnya gue nggak perlu repot-repot.
Toh ini bukan urusan gue.
Tapi …
Sebagai jemaat yang rutin beribadah, duduk di hadapan mimbar, dan sebagai seorang pendengar, gue merasa tergelitik.
Gue bukan siapa-siapa di situ. Cuma seorang eksil yang lebih terpanggil berada di luar daripada berkutat di dalam gedung.
Sebelum jemaat berdoa untuk ucapan syukur, sosok paling berpengaruh di situ berbagi kisah nyata, “Ada seorang anak muda. Pengerja. Cerdas. Imannya teguh. Perhitungan dengan uang sampai ke hal paling detail. Tapi suatu hari, dia lalai menuntaskan kewajibannya sebagai anak Tuhan karena ingin melakukan hal lain. Akhirnya, anak muda ini merugi. Ditipu oleh rekan bisnisnya sampai kasusnya dibawa ke kepolisian.”
Sounds terrible, right?
Asumsi gue, sosok ini kenal betul dengan anak muda yang dia maksud. Lalu, “Saya bilang ke dia, ‘Kamu tahu kenapa kamu bisa mengalami ini semua? Karena kamu SERAKAH!’ Padahal secara manusiawi, kecil banget kemungkinannya dia bisa kena tipu.”
Gue terhenyak di barisan keempat sebelah kiri mimbar.
Apakah seorang pemimpin berhak menegur pengerja dengan keras tanpa melihat beban yang sedang dia alami?
Bagaimana dampaknya terhadap orang ini ketika dibicarakan seperti itu?
Terlepas dari orang yang dia maksud ada atau tidak ada di situ, bagaimana ya rasanya ketika kesalahannya diumbar untuk memperingati jemaat?
Malu?
Sedih?
Kecewa?
Marah?
Atau respeknya berkurang terhadap Sang Pemimpin?
Layakkah seorang pemimpin bersikap seperti itu?
Kalau gue tidak salah ingat, pemimpin memang berkewajiban untuk menegur pengerja (rekan sekerja) maupun jemaat jika mereka melakukan kesalahan. Hal sepele tapi penting yang terlupakan adalah … menegur pun ada caranya. Apalagi ketika orang tersebut -yang gue asumsikan- sudah tahu salahnya dimana. Kerugian yang dia tanggung adalah konsekuensi yang dia terima. Sebagai pemimpin, bukankah akan lebih nentramin hati jika bersikap sebagai sahabat?
Bukan apa-apa. Telinga gue yang kebanyakan terpapar EDM menangkap aroma ‘penghakiman’ dalam ‘teguran’ Sang Pemimpin. Teguran mendewasakan, tapi penghakiman akan membuat orang lain malu. Mana yang kita anggap lebih penting, membuat orang merasa malu atau mendidik agar tidak mengulangi kesalahan yang sama?
Selama kita menjadi manusia, bukankah kita semua sudah pernah bahkan masih sangat berpeluang untuk berdosa? Menyenangkan sekali kan, kalau sesama manusia bisa saling mengingatkan? ☺
0 notes
Text
Komitmen
Saat gue menulis artikel ini, sohib gue sedang berada di negara tetangga. Entah ngapain di mana. Katanya sih, spontaneous trip dalam rangka menghilangkan kegalauan gara-gara sikap pasangan. Semoga doski nggak merokok deh. Di sana rokok mahal soalnya. Denda pula kalo ketahuan merokok di sembarang tempat.
Persoalan doski sebenernya mirip dengan tantangan yang dialami gue dan mantan pacar gue. Dari gambaran besarnya sampai printilan yang bikin berantem terus. Mulai dari perbedaan mendasar sampai masalah pembagian waktu.
Bedanya, gue memutuskan untuk … putus sebelum hubungan bertambah serius setelah mencoba berdamai dengan tantangan itu selama 4 bulan. Sohib gue? Dia dan pasangannya sudah berkomitmen untuk mencoba, tapi enggan jika disebut ‘jadian’.
Satu kata yang dipegang oleh sohib gue, tapi sepertinya dianggap lalu oleh pasangannya menjadi judul artikel ini. Komitmen.
Sama seperti segala pilihan yang tersedia di muka bumi, komitmen juga memiliki konsekuensi. Apalagi jika berkaitan dengan orang lain. Relationship. Pacaran. Pernikahan. Konsekuensi nggak berarti kewajiban tanpa hak. Haknya ada kok, kan sepaket. Hak itu disebut dengan exclusive rights atau privilege.
Sebagai contoh, gue akan lebih rela meluangkan waktu seharian bersama pacar gue daripada orang-orang dari lingkar luar kehidupan gue yang sama-sama ngajak hang out. Bukannya mereka nggak penting, mereka tetap penting. Hanya saja gue menempatkan pacar gue sebagai prioritas setelah keluarga dan sahabat.
Dengan siapapun kita berkomitmen, tuntutan untuk diprioritaskan akan mengikuti. Jangan sampai deh ya, pacar nyanyiin lagu Maroon 5 yang Little of Your Time. “I just need a little of your time // A little of your time // To say the words I never said // Just need a little of your time // A little of your time// To show you that I am not dead.”
Prioritas bukan cuma soal faktor kedekatan, tapi juga tanggung jawab. Peran yang harus kita jalankan sebagai pelajar atau karyawan, misalnya. Boleh-boleh saja sih, seseorang ogah ngumpul dengan teman kuliah atau rekan kerja karena nggak cocok, tapi itu bukan alasan untuk kabur jika ada acara wajib dari kampus atau kantor kan?
Kenapa sih, contohnya berkaitan dengan waktu? Karena bahasa kasih gue sendiri adalah waktu berkualitas. Gue jadikan penggunaan waktu sebagai salah satu privilege pacar yang paling jelas. Terlepas dari bahasa kasih yang kita punya, waktu sendiri diakui orang sebagai salah satu hal paling berharga. Makanya ada istilah ‘time is money’.
Bagaimana kalo ada yang bilang komitmen itu tergantung dari umur seseorang? Gue nggak terlalu setuju. Komitmen nggak bisa diukur dari umur seseorang, tapi lebih pada kesiapan pribadi. Kesiapan inilah yang kerap disambungkan dengan umur. Usia muda dirasa lebih layak bermain-main having fun dulu daripada berumah tangga. Pemikiran seperti ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan, tapi coba deh jelaskan, kenapa ada pria yang seharusnya sudah mengalami puber kedua tapi belum mau menikah karena belum siap berkomitmen?
FYI, sohib gue umurnya menginjak kepala tiga. Pasangannya tiga tahun lebih muda dari gue. Secara usia, sohib gue memang sudah ‘siap nikah’, sementara pasangannya masih dalam tahap pencarian identitas diri. Lagi sibuk-sibuknya nyari peluang buat kerja dan lulus kuliah tepat waktu.
Sohib gue yang lain lagi sukses menjalani LDR sampai menikah dan kini dikaruniai seorang anak. Istrinya seumur gue, dan sohib gue berusia tiga tahun di atas gue. Komitmen membuat sohib gue bolak-balik Jakarta – Pekalongan selama masa pacaran. Ngomongin pacarannya aja dulu sebelum nikah dengan tuntutan komitmen yang lebih besar lagi.
Sebelum bilang ‘I do’ ke calon pacar, ada baiknya kita nanya ke diri kita sendiri dulu, “Siap nggak sih, gue berkomitmen sama orang ini? Yakin nggak sih, kalo orang ini mau bekerjasama untuk bikin hubungan jadi lebih menyenangkan dan saling membangun?”
Selain konsekuensi dan prioritas, komitmen juga diikuti oleh kemauan untuk saling menyesuaikan diri. Gue nggak akan bilang ini menjadi suatu keharusan. Nggak. Komitmen itu sifatnya pilihan. Kita bisa kok mengiyakan ajakan seseorang untuk berpacaran, tapi kita maunya diturutin melulu. Menerima tanpa mau memberi. Sangat bisa. Dengan siapapun yang kita pilih untuk berkomitmen, proses penyesuaian dirinya juga bakal lain. Apalagi dalam kasus sohib gue yang beda asal leluhur. Nambah pe-er banget kan?
Terus sekarang, gue jadi mikir, apakah gue siap buat berkomitmen lagi?
Siap. Untuk jangka waktu yang lebih panjang. Bersama orang yang tepat, pastinya.
1 note
·
View note
Text
Wisuda
Esok wisuda. Seharusnya gue diwisuda besok, pinta Mama dan Apo.
Ternyata waktu berkata lain. Gue terpaksa menunda kebahagiaan mereka setahun lagi. Maklum, kampus gue yang ini hanya mengadakan wisuda setahun sekali, bukan setahun dua kali layaknya kampus lain. Kampus tercinta gue yang terletak di ‘segitiga emas’ Jakarta Barat, misalnya. Gue bisa sidang tesis bulan Februari tahun depan, tapi tetap saja wisudanya bahkan menunggu gue selesai bertugas di Komnas Perempuan.
Begitulah.
Bagaimana perasaan gue? Sekarang sih, biasa saja. Puncak segala macam emosi negatif itu sudah gue lewati. Gue sempat kesal, kecewa, jengkel, sedih, dan nggak rela. Nggak ada sedikit pun motivasi yang membuat gue semakin bersemangat dan terinspirasi (blah!) seperti yang dituliskan dalam photo tag Facebook oleh Kaprodi gue. Maaf ya Bu kalo fotonya saya un-tag.
Apa sebab?
Gue merasakan ada sesuatu yang nggak berjalan sebagaimana harusnya. No. Gue nggak menyalahkan keadaan. Janggal saja. Bukan cuma gue yang ngerasa. Beberapa teman gue juga.
Kejanggalan terbukti saat oknum bersangkutan mencak-mencak memaki staf kampus di grup BBM beberapa hari setelah sidang tesis dan nilai sudah diumumkan. Stok respek kami semakin menipis saat si Bapak menulis, “Selama saya hidup di dunia ini, tidak ada seorang pun yang berani melecehkan saya!” Duile. Gagal superior.
Gue semakin mangkel pada diri gue sendiri saat salah satu rekan menceritakan kronologis sidang tesis si Bapak. Kurang ajar! Berbekal tesis yang asal selesai maka tidak layak (judul, teori, dan isi nggak nyambung), waktu presentasi molor, dan petuah staf lain yang bilang kalo ‘siapapun yang maju sidang pasti dilulusin’, plus ngerepotin staf yang ujungnya dipecat ‘berkat’ koaran si Bapak, dia lulus dengan nilai 76.
Itupun masih ditambah dengan kelakuan yang nggak bakal gue temui dimanapun, kecuali di kampus ini. Si Bapak menelepon Ibu Kaprodi buat protes perkara nilainya yang ‘cuma’ 76! Ngapain nyogok kalo marah-marah saja bisa bikin wisuda tepat waktu sesuai keinginan?
Kami menolak berasumsi -karena konselor memang nggak boleh berasumsi- saat si Bapak berkoar kalo dia bakalan wisuda tahun ini. Ternyata ya … walaupun dikata di bawah standar kelulusan, toh beliau tetap diwisuda besok. Jangan ditanya lagi deh soal praktek konseling dan tugas-tugas kuliahnya. Persetan! Yang penting wisuda!
Selama ini gue ngapain saja?
Gue mengambil beberapa pekerjaan freelance, berlibur bareng keluarga yang datang dari LN, mengerjakan tugas kuliah yang masih tersisa, praktek konseling anak dan dewasa sambil mencari peluang di tempat lain. Sudah diterima di tempat lain, gue masih harus nrimo karena dokumen atau transkripsi dilarang keras beredar di luar kantor. Masuk akal. Bisa gue terima. Berarti gue harus ngeluangin waktu lagi buat konseling dewasa lagi di tempat lain.
Gue kesulitan mencari buku referensi untuk tesis gue. Sekalinya dapat yang sesuai, gue masih harus menerjemahkan isi buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia. 16 gejala Trauma Exposure Response dan 19 tindak kejahatan yang dialami pembela HAM, termasuk di dalamnya pendamping korban kekerasan seksual seperti yang gue bahas dalam tesis. Belum lagi responden yang kadang masih tertukar fungsinya dengan konselor. Iya. Pendamping dan konselor dalam penanganan korban kekerasan seksual berbeda.
Gue nggak peduli jika orang lain bilang itu alasan yang gue buat-buat agar menghindar dari tanggung jawab. Gue hanya ingin agar apa yang gue hasilkan bener-bener berkualitas.
“Kamu kuliah mau ngincer gelar doang atau mau dapet ilmunya?” tantang RAJ. Jawabannya jelas dan membuat gue sedikiiiit legowo.
Saat seorang Ibu rekan kuliah gue membuat pengakuan eksklusif, “Aku nyesel banget kenapa aku nggak serius waktu kuliah S1 dulu. Makanya sekarang aku mau nebus dengan serius kuliah. Soalnya aku nggak minat ngelanjutin S3,” gue jadi bertanya pada diri gue sendiri, “Kenapa ya gue mau kuliah S2?”
Selain karena alasan ‘psikologi tak kesampaian’, gue pingin total ngejalanin bidang ini karena disinyalir inilah panggilan hidup gue. Total dalam artian sesuai aturan dan standar kualitas yang berlaku. Praktek 70 jam ya minimal segitu. Kalo tesis perlu minimal 20 buku bakal daftar pustaka ya penuhi aja. Total dengan melibatkan aspek utama: HATI.
Sekian REBT dan terapi menulis gue. Gue doakan si Bapak yang akan diwisuda esok supaya nggak keberatan toga. Sekalian mau ngingetin juga, karma does exist. Hahahahaha. *lalu menghilang ditelan kabut*
1 note
·
View note
Text
(re)visiting Memories
1.
Jadi hari Rabu, tanggal 23 April lalu, gue kembali ke kampus tercinta. Menunggu rekan-rekan yang berangkat bareng ke Pancawati, seperti biasa. Gue, Ario, dan Gabon nongkrong selama setengah jam di depan Gedung M. Ngomongin berbagai fakta terbaru tentang rekan kuliah dan dosen FTI yang besoknya mau dilantik jadi Dekan dan nambah gelar Profesor. Selamat ya Ibu Dyah Erni!
Kecuali Ario dan Kak Olla, gue, Arwin, Gabon dan Pak Kurnia pernah kerja bareng pas LKMM 32-33. Oktober 2010 tuh. Plus Ricky yang dulu kami kenal sebagai peserta LKMM, sekarang jadi fotografer. Dan tempat dimana kami duduk-duduk santai sore itu adalah tempat yang sama dengan lokasi LKMM dulu! Sayang, fasilitas high rope sudah nggak terawat. Pijakan kayunya keropos.
Ricky sempat protes ke gue, “Dulu pas gue jadi peserta kan elo mentornya. Elo lupa ya?”
Inget sih, karena kemarin dikasih tau sama Gabon. Hahahahahaha.
2.
“Elo kenapa kemaren nggak dateng?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut teman sekolah minggu gue cum senior gue semasa SMA.
Jawaban gue pendek. “Gue ke luar kota.” Ini serius. Nggak bohong. Dosanya berganda tau kalo bohong di dalam gereja.
Dan teman gue yang katanya mau jadi Pendeta pun cerita panjang lebar soal pengalaman khotbahnya di sekolah. Kalian tau kan, those sparks yang terlihat saat seseorang cerita tentang hobi, impian, passion-nya? Nah. Itu kentara banget dari body language teman gue.
Sesampai di rumah, Nyokap protes, “Elo gimana sih? Tadi teman elo udah semangat cerita, elonya malah kayak gitu.”
“Kayak gitu gimana?”
“Nggak ada ekspresi apa kek. Ikutan senang. Nanya-nanya guru ini masih ada nggak. Gitu.”
“Gue senang kok, tapi …”
Okay. Gue akan jujur. Gue, Gabon, dan Ricky merasakan kesenangan yang sama selama mengikuti LKMM-nya UNTAR. Iya. Walaupun kami bertiga berasal dari fakultas berbeda, angkatan berbeda, dan jobdesc saat itu juga beda. Tapi kami senang! Tahu kan, kalo orang suka banget ngulang-ngulang cerita bahagia? Nah!
Sementara, hal sebaliknya justru nggak gue rasakan selama bersekolah. Sebagai mantan korban bullying ditambah kepercayaan diri gue yang bubar jalan berkat para guru membuat gue benci dengan pengalaman wajib belajar 12 tahun itu. Seandainya ada jin botol muncul di hadapan gue dan menawarkan tiga permintaan, gue akan minta dia hapus ingatan gue tentang masa-masa menyebalkan di sekolah. Sekalipun syarat yang diajukan jin botol itu adalah gue harus nyanyi lagu Lumpuhkan Ingatanku punya Geisha. Bring it on!
Baiklah. Sekarang gue akan coba menempatkan diri gue di posisi orang lain. Posisi teman slash senior gue. Pengalaman dia di sekolah bisa jadi sama membahagiakannya dengan pengalaman gue di kampus. Dikenal banyak orang, dibanggain guru atau dosen, dan punya ‘pencapaian’. Dan dia akan bersuka hati menceritakan semua hal yang dia rasakan selama bersekolah sebaik gue mengingat highlights keseruan yang diberikan oleh kampus gue.
Ricky Arfiliando si fotografer bisa jadi happy banget kuliah di kampus ini. Tapi belum tentu Ricky teman gue yang lain merasakan hal yang sama. Kalo Ricky anak Fakultas Hukum malah ketemu jodoh lintas fakultas, Ricky anak fakultas lain bisa jadi punya kepahitan gara-gara ditolak melulu sama cewek gebetannya. #inijugaserius
“Tapi kan, teman elo nggak tau kalo elo nggak suka ngomongin sekolah?”
Iya sih. Semoga teman gue yang satu itu bisa membaca bahasa tubuh gue semahir gue membaca bahasa tubuh orang lain deh ya.
0 notes
Text
'Nubuat' Sang Dosen
Jadi … Gue kesal banget (lagi).
Selama gue berkuliah matrikulasi di sini (maksudnya di kampus Kelapa Gading), gue hanya akan berurusan dengan dua dosen. Salah satunya adalah dosen yang mengajar di hari Senin. Beliau juga bertugas rangkap sebagai Kepala Program Studi S1. Dosen ini senang banget ngajak kami berempat ngobrol. Iya. Walaupun peserta program Magister Konseling totalnya 13 orang, tapi hanya empat yang kuliah matrikulasi.
Awalnya, gue ngangguk-ngangguk aja kalo diajak ngobrol. Merasa nggak perlu menanggapi. Persis hiasan boneka di dashboard mobil.
Gue nggak tahu kenapa dan ada apa, belakangan ini dosen tersebut suka menekankan betapa pentingnya belajar mata kuliah dia. Apalagi jika dikaitkan dengan bidang konseling.
“Kan ada ya, Pak, konseling pastoral. Jadi konseling sambil berkhotbah.”
Bla-bla-bla.
Kalimat favoritnya untuk menghadapi cengiran tengil gue, “Ibu jangan begitu. Ibu kan nggak tahu lho, rencana Tuhan.”
Gue tetep cengengesan maksa pas beliau bilang begitu. Terkekeh-kekeh kayak nenek sihir.
Sampai hari Kamis malam lalu, gue udah nggak bisa ketawa lagi.
Kami berempat disamperin seusai kelas, dan, “Saya udah bilang sama Pak RJ, nanti anak M.A. Konseling dapet jatah khotbah di ibadah Chapel ya tiap Kamis.” Cara beliau ngomong mengesankan kalau idenya brilian. Sangat.
Ini ngaco banget! Sumpah!
Respon kami berempat tuh, “Dih. Hadir ibadah aja cuma sekali. Ya kali disuruh khotbah.”
Latar belakang kami berempat sama sekali nggak ada hubungannya dengan dunia teologia. Ilmu komunikasi (iya sih, tapi nggak lantas bikin gue paham materi Alkitab kan?), pendidikan bahasa Inggris, ekonomi yang dilanjutkan ke teologia, dan … teknik elektro!
Malam semakin larut, lalu dosen ini mengucapkan kembali kalimat favoritnya, seolah-olah gue anak domba hilang yang berhasil ditemukan, tapi menolak masuk kandang. Maunya berkeliaran melulu.
Saking kesalnya, gue cuma bisa membalas dengan, “Whatever.”
Kami berempat spontan rembukan. Nggak setuju kalau diminta khotbah. Datang ibadahnya aja enggan. Jadi kami baru masuk kelas itu setelah mereka bubaran ibadah. Hihihihi. #ngaku
Daripada kami mendengar informasi yang simpang-siur, gue memberanikan diri untuk bertanya langsung ke Wakil Rektor .Mumpung dia lagi berada di gereja cabang gue ibadah.
Jawabannya cukup membuat gue menarik napas lega.
Kami hanya ‘dihimbau’ untuk mengikuti ibadah Chapel. Bukan diwajibkan seperti anak Strata 1. Dan … Ternyata dia sendiri nggak setuju tuh. "Kalo mau dan siap ya nggak apa-apa. Silakan. Tapi kalo nggak ya janganlah." Nah!
Menurut hasil psikotest, tingkat kesadaran diri gue berada di level superior. Jadi gue tahu bahwa hal yang paling mengusik gue sebenarnya bukan soal kapabilitas berkhotbah, tapi gue merasa dipaksa untuk mematahkan prinsip gue sendiri.
Begini. Mengapa gue ingin jadi konselor?
Karena gue mau bidang pelayanan gue lebih luas dan bisa menjangkau orang-orang lain di luar agama gue. Bukan buat mengkristenkan, tapi buat membantu mereka hidup lebih sehat secara kejiwaan. Lebih bahagia, walaupun kadang kita nggak bisa mengubah keadaan yang ‘sudah dari sananya.’
Dan gue harus mengaku, kalau sosok yang mengubah pandangan gue tentang kasih adalah teman Muslim gue. Bukankah semua agama berujung pada kasih? Kenapa harus mengotak-ngotakkan sih? Minum Teh Kotak kebanyakan kan nggak bagus ya. Kalo keseringan pakai kemeja kotak-kotak nanti disangka pendukung Jokowi for RI-1 lagi. Padahal belum tentu kan doi yang maju? #salahfokus
Kalo gue memang ditempatkan Tuhan untuk pelayanan di dalam gereja, kenapa rasanya nggak senikmat duduk manis, menyimak cerita orang lain yang nggak gue kenal, terus ngobrol tentang hal-hal berbau sosial, sejarah, dan seni? Bukannya seharusnya gue akan betah kalo memang gue ditempatkan di tempat yang benar? Aneh ya?
Percayalah. Gue pun pernah mencoba, walaupun dengan motivasi yang salah. Sangat duniawi. Sekuler, kalo kata mereka. #jujur
0 notes
Text
I Feel You, Jane Quimby!
Asli! Nggak ada yang lebih mengecewakan saat tahu kalo serial Jane by Design season 2 berhenti diproduksi oleh ABC Family. #Katanya sih, lagi-lagi karena rating. Errr.
Semisal endingnya ‘diperhalus’ sedikit kayak GLEE, mungkin gue nggak akan protes. GLEE selalu berakhir dengan hasil kompetisi Sectionals atau Nationals. Nggak menyisakan penasaran berlebih buat orang kepo macam gue.
Ini?
Kenapa Billy malah tetap jadian sama Zoe, di saat Jane mulai sadar kalau sebenarnya dia suka sama Billy?
Oke. Gue merasakan hal yang sama dengan Jane.
#iniserius
Persahabatan gue dengan teman gue ini memang nggak sedekat Jane dan Billy. Jangankan nyelonong masuk kamar, rumah dia pun gue nggak pernah tahu di mana letaknya.
Tapi …
Di saat sohib gue mempertanyakan tindakan gue dan mengambil jarak, dia yang selalu ada buat gue curhatin, bahkan mendukung gue. Membela gue, kalo perlu.
Karena dia mengerti.
Karena kita berada dalam lingkungan yang sama waktu itu.
Lingkungan yang membuat gue terpaksa harus menuruti permainan senior gue.
Entahlah.
Tanpa dia, gue nggak mungkin bertahan di situ sampai selesai 2 (dua) periode.
Tanpa dia, mungkin gue masih seculun dulu. Pasif dan rela ditindas. #halah
Sebaliknya,
Tanpa gue, dia masih bisa jadi apapun yang dia mau.
Beberapa hal yang gue ketahui belakangan malah semakin melebarkan jarak antara gue dan dia.
Gue dan dia memiliki visi yang berbeda. Ada sih, beberapa kesamaan. Itu tetap nggak sebanding dengan perbedaan prinsip gue dan dia. Apalagi pemikiran tersebut membuat gue dan dia memilih jalan hidup ke arah berlawanan.
Nggak ada yang salah dengan visinya. Bagus banget malah. Gue pribadi senang kalo menemukan sosok pria seperti teman gue. Future oriented. Kata sohib gue, he’ll be the next HT. Hahahahahaha. #abaikan
Tapi …
Ibarat puzzle, rancangan masa depan gue dan dia tidak sesuai. Bisa disatukan. Dipaksakan pun bisa. Berhubung gue dan dia sama-sama keras kepala, siapa yang mau mengalah?
Wisuda. Terakhir kali gue bertemu dia sebelum sohib gue -yang totally clueless soal feeling gue- ngabarin kalo dia datang ke pernikahan teman seangkatan saat kuliah bersama pacarnya. Kemanakah gue saat itu? Well, gue rasa gue cukup beruntung untuk tidak hadir saat itu. Apalagi kan … #ahsudahlah.
BTW, gue rela serial Jane by Design berakhir. Toh Teen Wolf season 3 seru juga tuh! #BukanPostinganBerbayar
0 notes
Text
Menyalibkan Salib
Setting : Rumah Duka Jelambar, kursi panjang di depan Ruang Cempaka – NIGHT
Setelah gue melihat ALR untuk yang terakhir kalinya terbaring dalam peti, gue nggak langsung pulang. Mumpung ada teman kuliah, mari ngobrol dulu.
Temen gue yang udah duduk manis disitu dari Maghrib adalah mahasiswa yang … hobi bolos, paling rajin nitip absen, bawel, cengengesan, suka nyela omongan orang, dan gila. Jangan tanya gue kenapa mereka yang justru datang melayat duluan. Serius!
Karena semakin malam semakin rame, perbincangan pun melantur kemana-mana. Mulai dari ���dosa kecil’ mereka terhadap ALR yang mereka kenal gara-gara sekelas, sampai soal mahasiswa ‘teladan’ yang sekarang jadi dosen dan mengajar … pacarnya temen gue juga!
Oke. Muncullah topik sensitif,
“Temen elo si ‘nganu’ kemana tuh?”
Iseng digulirkan karena kita penasaran banget kenapa orang yang kita kenal nggak nambah banyak. Macam-macam jawabannya,
“Aduh, dia kan orangnya cuek banget. Paling juga dia bodo amat.”
“Masa temen meninggal, dia kayak gitu?!”
“Tauk. Diemin ajalah.”
Berbicara soal pertemanan dan permusuhan, kita-kita yang seangkatan dan cukup mengenal ALR dan (mantan) temennya, sebut saja 'dia', mulai jahil.
“Dia kemana ya? Kok dateng nggak sih?”
“Masalahnya, dia tahu apa kagak? Gimana mau datang kalo nggak tahu?”
“Dia tahu. Kan SBK sempet BM ke semua kontak. Dan SBK masih nyimpen kontak dia.”
“Mereka sebenernya ribut-ribut kenapa sih, awalnya?”
“…”
Serius. Nggak ada yang inget. Nggak ada yang tahu pastinya kenapa. Cuma yang bersangkutan yang tahu dan bisa menjelaskan. Ya, itu si 'dia'.
Tapi …
Kita semua tahu 'dia' masih punya unfinished business dengan ALR. Saat ALR baru dirawat di rumah sakit karena koma, komentar 'dia' masih sinis dan membawa permasalahan lama yang sudah nggak jelas apaan. Lama? Itu kejadian tahun 2010!
Dan apa yang kita harapkan malam itu cuma,
“Sampai dia berani datang kemari dan minta maaf, ... gila! Itu baru namanya gentleman!” Well said.
NAH!
Setelah hampir semua teman gue kembali ke peraduan, gue pingin kepo. Ngecek Twitter 'dia'. Tuh kan, bener. Dia tahu. Dia melemparkan ajakan #NoMention buat pergi melayat bareng. KRIK!
Kenapa judul tulisan gue begitu? Itu baru terpikir saat gue ngeliat bio Twitter 'dia'. Jesus follower. Pake tanda salib. Serius.
“Kalo emang bener Jesus follower, kenapa dia nggak inisiatif melayat sendirian? Bukannya pengikut Yesus seharusnya menjadi pembeda di lingkungannya?”
“Apa? Takut awkward sendirian? Kalo gue jadi dia dan serius mau minta maaf, lebih baik gue datang sendirian. It’s between me and God anyway. Itu kan, arti integritas yang selama ini tercantum di kolom lowongan kerja?”
Percakapan diatas terjadi dalam pikiran dan hati gue. Mereka memang bawel banget!
“Tunggu! Sebenernya dia paham nggak sih, makna salib itu apaan?”
“…”
Sekali lagi. Cuma 'dia' yang bisa menjawab pertanyaan gue sekaligus tantangan kita sepanjang malam perpisahan itu.
0 notes
Text
Pulang, Hilang, Lalu ...
Udah tepat dua minggu, gue ditinggal sohib semasa kuliah pulang ke kota asalnya. Kota asal sohib gue ini punya varian soto yang enak. Berhubung belom pernah nyobain langsung, gue harus puas menikmati soto itu dalam bentuk Indomie. #kode
Kenapa?
Kakak lelaki tertua sohib gue ini udah menikah. Punya satu istri, dua anak, dan satu kedai Chinese food. Masih tinggal di kota yang sama. Kakak perempuan sohib gue menetap di Surabaya setelah lulus S2. Alhasil, temen gue yang ditarik pulang buat menemani Mama. Mamanya menjadi orangtua tunggal sejak Papa meninggal sejak sohib gue berusia 8 tahun. Kebetulan (entahlah?) sohib gue susah dapet kerjaan yang sesuai. Jadi bener kata orang, tanpa restu orangtua, mau berusaha segigih apapun rasanya nggak dapet jalan.
Mau ngapain sohib gue di kota asalnya?
Kerja di kantor anak perusahaan tempat Mamanya kerja. Kursus. “Mau ngapain aja boleh, yang penting gue pulang dulu,” kata sohib gue.
_
Gue mengakhiri bulan April dengan main ke rumah sakit. Menjenguk seorang teman. Dia udah dipindahin ke kamar perawatan biasa dari ICU. Iya. Dia udah sadar, tapi masih dalam tahap pemulihan. Awkward banget rasanya pas masuk ke kamar. Suara Mamanya terdengar sejak gue sama teman gue menghampiri tempat tidur. Berdoa. Saat pertama kali membesuk, gue bertemu Papa, Mama, dan seorang kakak sepupu. Sekarang? Mamanya yang berjaga di samping teman gue.
“Papa Mama sayang sama Koko. Kita nggak akan marahin Koko kok. Koko pasti sembuh ya.” Bisikan Papa temen gue saat gue berada di ICU kali pertama itu bikin gue speechless. Dalam kondisi koma, temen gue masih bisa merespon bisikan Papanya dengan tarikan pelan. Seolah menahan Papanya biar tetap menemani.
“Mama nggak akan kemana-mana, Ko. Mama jagain Koko terus disini. Koko harus bersyukur sama Tuhan. Koko pasti sembuh, tapi sembuhnya tepat waktu Tuhan. Nggak usah pake deadline ya Ko.”
Saat tulisan ini di-post, temen gue udah berpulang ke Surga sejak tanggal 3 Mei 2013 jam 02.20 WIB. Kemarin subuh. Rupanya Sang Pencipta berkehendak lain. Hari Kamis sore, temen gue terserang panas tinggi dan koma (lagi), lalu dipanggil pulang.
_
Gue menemukan quote ini dari film berjudul I Dreamed of Africa,
"Today, I am here with your friends to bury you. To bury a husband was hard. To bury my son is against nature And a pain which words cannot tell.”
Tokoh utama film yang diangkat dari kisah nyata adalah Kuki Gallman, diperankan oleh Kim Basinger. Dia kehilangan Emanuele, anak kebanggaannya akibat keracunan bisa ular peliharaan, setelah kehilangan Paolo, suaminya, karena kecelakaan dalam keadaan hamil anak kedua.
_
Orangtua pasti telah melewati proses kehilangan. Kehilangan orangtua mereka sendiri yang bisa jadi nggak sempet kenalan sama kita. Beberapa istri kehilangan suami karena perceraian atau meninggal. Begitu juga sebaliknya. Sebagai anak, ada yang pernah kehilangan saudara kandung.
Nggak ada yang menyenangkan dari kehilangan orang terkasih. Dan gue setuju sama Tante Kuki Gallman. Orangtua cukup menguburkan orangtua, pasangan, dan saudara mereka. Tidak perlu ditambah dengan menguburkan anak sendiri. Selain melawan kehendak alam, bisa bayangin rasanya kalau orangtua yang membesarkan dan mendidik kita sampai sekarang harus … #ahsudahlah?
Kehilangan membuat orang yang ditinggalkan menjadi lebih protektif. Sederhananya, mirip seperti kita kehilangan gadget mahal yang kita beli dengan perjuangan. Entah dengan merajuk minta dibelikan orangtua, berhemat seketat mungkin biar uangnya bisa ditabung,atau ‘gali lubang - tutup lubang’ kalau dibeli pakai cicilan kartu kredit. Oke. Yang terakhir itu nggak disarankan.
Kehilangan sesuatu berupa materi bisa diganti dengan barang baru yang lebih mutakhir, bahkan lebih mahal. Kalo orangtua kehilangan anak? Jangankan kehilangan. Setiap orangtua waras pasti berusaha sebisa mungkin menjauhkan anaknya dari hal-hal yang tidak benar alias merusak. Biar anaknya terhindar dari kesulitan yang nggak perlu. Juga biar anak nggak mengulangi kesalahan yang pernah mereka lakukan. Apa sajakah itu? Well. Silakan ngobrol dengan orangtua masing-masing agar lebih jelas. Yuk!
*Tulisan ini murni hasil perenungan gue. Efek tidak langsung dari ngobrol bareng orangtua juga teman-teman yang unik-unik, dan menonton film aneh-aneh. Tidak ketinggalan rasa ingin tahu berlebih, kebiasaan mengamati, dan sifat melankolis. ☺
0 notes
Text
Ánimo*, Andreas!
Minggu sore, tanggal 27 Januari 2013, gue dapat Broadcast Message, isinya “Mohon doa untuk sahabat kita, Andreas, yang saat ini terbaring koma di Rumah Sakit ….”
…
Gue pernah berteman akrab dengannya. Bahkan menurut orang yang mengenal kita berdua, kami terlalu akrab. Yeah.
Mungkin dia orang pertama yang jadi partner in crime gue semasa kuliah. Dia yang memperkenalkan gue dengan dunia organisasi kampus. Dia tahu kalo gue suka sama … #ahsudahlah. Dia percaya somehow gue bisa jadian dengan gebetan gue, walaupun ujungnya gue mundur teratur.
Bersama dia, gue akan selalu menemukan teman yang seru buat diajak seru-seruan dan susah sekaligus.
Sebelum sebuah kalimat yang dia ucapkan tanpa maksud apapun membuat gue mulai membangun benteng, sampai sekarang.
Gue membagi kekesalan gue hanya kepada teman-teman tertentu yang gue percaya. Temen yang memang mengenal gue luar-dalam sejak tahun pertama kuliah. Teman yang mau mendengarkan tanpa menghakimi.
Benteng itu bekerja dengan baik. Tapi tidak demikian halnya dengan teman gue yang lain.
Apalagi dia.
Gue mengambil jurusan Public Relations, sementara dia dan mayoritas teman gue memilih jurusan Advertising.
Setelahnya, fakultas gue mungkin terasa kayak neraka buat dia.
Dia melakukan sebuah kesalahan fatal yang bikin seorang teman gue uring-uringan. Gue tahu dia pasti sadar banget saat melakukan hal itu! Tahu kan, perbuatan yang menurut kita biasa saja, tapi buat orang lain itu ‘nggak banget’? Itulah yang dipermasalahkan sama teman gue.
To make it worst, dia mengulangi kesalahan yang sama. Untuk kedua kalinya. Sasarannya, teman-teman gue yang memang bareng gue juga sejak awal kuliah. Kayak bom. Lama-lama meledak juga. Teman-teman cewek gue perlahan ikutan membangun benteng juga.
Demi apapun di dunia, gue benci banget lihat cowok twitwar. Banci!
Dan salah seorang teman cowok gue mengaku bangga saat berhasil memojokkan dia as a totally stranger.
Malam itu, gue nggak tau apa yang membuat gue masih melek. Tiba-tiba sebuah pesan darinya masuk ke handphone gue.
Panjang. Penuh singkatan. Dua pesan berbeda dikirim secara berurutan.
Isinya? Dia meminta maaf. Sekaligus berterima kasih buat pertemanan yang berlalu. Dia nggak memaksakan gue harus kembali berteman seakrab dulu.
Satu hal yang bikin gue tersentak adalah, “Gue denger elo pingin jadi penulis. Gue yakin elo pasti bisa.”
Gue bingung. Gue suka nulis. Namun saat itu, gue sama sekali belum pernah terpikir untuk jadi penulis. Lagipula, apakah satu artikel gue yang terpajang itu menentukan apakah gue akan jadi seorang penulis yang oke?
Gue aminkan perkataan dia. Gue ingat kalo dia mau kerja di konsultan periklanan atau meneruskan usaha orangtuanya. Apapun yang terbaik buatmu.
Wisuda tanggal 13 Oktober 2012 adalah pertemuan terakhir gue dengannya. Bertukar ucapan selamat. Beruntung dia bisa lulus tepat waktu, mengingat skripsinya yang keteteran.
Yang sudah berlalu, biarkanlah berlalu.
…
Selepas kuliah, gue merasa hidup gue berubah. Gue merasa kalo kerja kantoran itu ‘nggak gue banget’. Mungkin ini sebabnya gue belom dapet pekerjaan sampai sekarang.
Gue ikut kursus penulisan skenario yang gue incar dari dulu. Bertemu dengan banyak orang baru di bidang yang gue minati. Ikut kompetisi yang sampai saat ini belum memberikan kemenangan buat gue.
Gue nggak akan pernah berhenti berusaha. Karena gue tau gue pasti bisa. Karena mantan sahabat gue bilang begitu dan dia percaya.
Lucu. Kenapa orang yang gue anggap mantan sahabat justru lebih peka dengan pencapaian gue, padahal kita udah nggak akrab lagi? Kenapa juga harus dia yang meyakinkan gue?
Some things are better left unsaid.
** Sampai saat tulisan ini di-posting, Andreas baru saja melewatkan Ulang Tahun ke-24 di Rumah Sakit. Lekas pulih ya, Dom. Ngeliat elo terbaring di Ruang ICU itu nggak ngenakkin banget. :(
0 notes
Text
#Ngaku #Jujur Soal Pertemanan
Nggak terasa sudah seminggu lewat Hari Valentine tahun Ular Air,
Malam Valentine gue lalui di Plaza Senayan XXI untuk nonton film Rectoverso bareng seorang teman. Teman sesama moviegoer. Mengemban tugas live report dan nulis review.
Tanpa sepengetahuan orang-orang yang selama ini dikenal sebagai sahabat.
Mereka jadi bagian dari hidup gue sejak awal kuliah. Empat tahun. Kita nggak selalu bersama-sama. Beberapa pilihan dan desakan kerap menjadi pemisah. Namun toh ujungnya kita tetap lulus dan wisuda bareng.
Sesuai rencana, malam itu, mereka akan mengadakan farewell untuk kawan paling bungsu sebelum dia berangkat ke Cina hari Minggu ini. Farewell? Oke. Dinner, dilanjutkan nongkrong di coffee shop.
Tidak ada undangan terbuka dari mereka yang sampai ke gue. Hanya saja, seorang sahabat sempat mengajak ikut serta. Bayar masing-masing. Keuangan gue lagi di ambang sekarat. #iniserius #jujur
Keputusan final. Gue nggak ikut.
Kemudian, datanglah undangan nonton bareng film itu via WhatsApp. #ahsudahlah
***
Keesokan paginya, gue berpikir, “Kalo mereka memang sahabat gue, kenapa gue bisa semalas ini sih, cuma buat ketemuan? Padahal kapan lagi gue bisa meluk si bungsu?”
Refleksi sekian menit itu membimbing gue ke titik dari pertanyaan tersebut.
Kita. Gue. Mereka. Berbeda.
Apa yang penting menurut gue, nggak begitu penting bagi mereka.
Berlaku juga sebaliknya.
Menilik sebentar ke masa kuliah, waktu gue tersita untuk organisasi dan networking.
#IMO Apapun yang gue makan, berapa budget gue buat shopping, itu rahasia dompet dan panca indera gue. Kadang kamera dan Twitter pun sering gue suruh buat kepo. #ngaku #jujur
Sementara,
#BahagiaItuSesederhana Mendengarkan teman berbagi impiannya ke gue. Mau jadi entrepreneur atau CEO, jalan-jalan keliling dunia, ikutan reality show, melanjutkan kuliah, sampai berkolaborasi bikin suatu karya. Apapun!
Satu hal yang penting dan sering jadi topik pembicaraan antar mereka, yaitu keluarga.
…
Gue adalah anak tunggal yang dibesarkan oleh single parent mother. Hubungan keluarga gue … ya begitulah. Banyak hal yang telah terjadi di masa lalu dan gue nggak kuasa buat memperbaikinya. Keadaan kini terlampau canggung. Lucunya, gue merasa nyaman dalam kondisi seperti ini.
Ketidaknyamanan gue muncul saat mereka mulai memamerkan foto keponakan imut-imut lucu lalu bercerita tentang oom super humoris dan tante ini-itu. Sesuatu yang belum bisa gue miliki sampai saat ini. Bukan karena kesalahan gue. Bukan salah siapa-siapa juga.
Gue enggan menimpakan semuanya kepada Semesta. Serius. Takut kena bala. Dikiranya gue nggak bisa bersyukur.
***
Gue sudah terbiasa untuk menikmati kesendirian. Tapi gue sebisa mungkin menghindari kesepian, yang sering muncul saat gue bersama mereka. Aneh? Banget!
Rasanya kurang lebih seperti luka yang sudah sembuh, digelitikin sama temen pake bulu kemoceng. Gatal, tapi nggak boleh digaruk. Kecuali kalo mau luka itu menimbulkan bekas yang susah hilang.
Got it?
***
0 notes