indraagusta
"Agustaisme"
173 posts
hanya berisi kata-kata untuk belajar dikala tua, untuk Tuhan dan Dunia yang mencintaiku sepenuhnya...untuk keluarga, teman dan semua orang yang pernah mengisi kehidupanku, dan meninggalkan jejakmu disini,,, i.m nothing.... i'm everything..
Don't wanna be here? Send us removal request.
indraagusta · 4 years ago
Text
Sesuatu,
Jelang tengah malam, udara masih basah, pohon mangga di depan kontrakanmu meneteskan buliran demi buliran air sisa yang tercurah dari langit sore tadi.
Slarak pintu yang berkarat di geser kekiri. Lalu pintu terbu jikka, rambutmu masih basah sehabis keramas, seperti biasanya tak menunggu kering lalu seperti ruang tunggu yang lama senyummu merekah seperti bunga.
Sepeda motor masih terparkir, kamu tetiba membonceng, sambil mendekatkan kedua tanganmu di pinggang, serta dagu yang kurasakan sendernya di bahu sebelah kanan.
"Mau kemana kita?
"Sebentar aku hitung dulu, hari ini tanggal berapa?"
"Tanggal tujuh"
Pandangan matamu menatap jemari satu persatu. Seakan memastikan tidak ada yang terlewat.
"Oke kita ke barat daya"
"Hah, kemana?"
"Ke Jogja yuk.." nadamu lirih sedikit malu.
"Hayuk.."
Memutar gas memulai perjalanan. Sangat menyenangkan bukan menjalani sesuatu tanpa begitu direncanakan matang, lalu menjalaninya begitu saja.
NHidup memang tak melulu soal berhitung, menganalisis dan berefleksi, tapi jua soal menghadapi keadaan yang tak terduga, tiada menerka apa saja peristiwa yang akan hadir, manusia menyebrang begitu saja di sungai-sungai kahanan.
Tak lengkap rasanya perjalanan malam tanpa bau kampas rem dan kepulan asap bus cepat. Bus-bus yang diburu tujuan, yang kadang tuas gas dihajar ugal-ugalan supaya akad antara penumpang dan supir terlaksana. Meraung-raung suara mesin memecahkan keromantisan kami, sepasang lengan yang nekat melawan dingin demi kecintaan pada hati.
Di jalanan kemiskinan juga tampak hadir kontras. Di sebuah lampu merah, pengamen yang terlelap dengan gitar kecil di lapak yang tutup mencuri pandangku. Betapa menariknya hidup dalam buru cepat bis malam, di pinggir arena balapan itu lelaki itu melambatkan waktunya, mengusir lelah dan meredakan segala kebenciannya pada nasib dan cinta. Sementara kami yang dalam momentum sama justru merasai kehadiran cinta yang mendebarkan itu,perasaan yang membersamai sepanjang malam.
Aku dan Nala seperti tak henti membicarakan sesuatu, tak jarang lontaran tanya mengusik batin untuk menjawabnya dengan jawaban terbaik. Atau berdialektika tentang hidup, tentang apa saja yang pernah kita alami. Dekapan tangannya makin rapat. Degup jantung makin rapat ritmenya.
Rintik tipis air menyambut di kali Opak, di sisi selatan candi Siwa mulai kuhirup kembali udara itu, dengan segala romantisme yang hadir di pikiran, segala ketenangan yang pernah datang terundang kembali untuk datang, seperti ada sesuatu memang di kota ini, namun apa?.
Gemericik kali Opak membuyarkan sekelebat lamunan, waktu yang terhenti membawaku pada banyak lipatan masa yang berlalu. Namun kali ini lain, dengan pengalaman yang lain, dengan getar dan nuansa yang lain sama sekali dengan sebelumnya.
Lampu jingga gemerlapan diantara pohon raksasa, penjaga pom masih melayani satu dua pelanggan, sementara itu kami menghirup lagi udara itu, udara basah seperti rumah. Apakah itu engkau? Kasih.
— bersambung
Tumblr media
0 notes
indraagusta · 4 years ago
Text
Tatap
Dua mangkuk mie ayam tersaji di depan kita. Bakso dan pangsitnya menyenangkan dimata.
Hujan deras menggelar pestanya di pematang sawah di candi Tuhan. Tanganmu sekali lagi menyentuh lenganku, ketika ragu menyelinap apakah harus berjubah air hujan atau memilih mengenakan jas hujan.
Lentera yang remang, lilin-lilin harapan di candi Tuhan menawarkan banyak sekali obrolan. lalu sekali lagi kuusap buliran air hujan dipipimu.
Dingin mulai mencekat, dan putaran roda mengantar kita pada meja dimana kata sirna. Dan tatapanmu, tatapanku bertemu. Seperti cawan dan anggur jamuan Tuhan.
Penghujan menawarkan banyak sekali genang kenang, dan jalan jalan sunyi sinuhun Banguntapa adalah jalan pulang mu, sekaligus penutup rindu.
Lalu hujan deras, Nala. Namun ditengah jalan aku tersenyum, hei apa yang mengganggu hati? Apakah dia? Benarkah dia Tuhan?
Semilir angin merapi menabur banyak sekali kegelapan masa depan yg tak pernah sekalipun manusia mengerti, tapi kedamaiannya bertumbuh seperti bunga Padma.
Dan aku ingin seperti bunga itu, yg mekar dari lumpur dan segala kekotoran. Apakah ini nasib? Momentum?
Nala, nala, terimakasih.
Terima dan kasih.
— bersambung
0 notes
indraagusta · 4 years ago
Text
CANDI TUHAN
Hujannya enggan berhenti Nala, kataku. Jalanan cukup gelap memaksa kami menyibak hamparan kabut pekat. Lembah ilalang, pinus tua dan rumput kala-anjana nampak kemilau putih memantulkan bening buliran cinta Tuhan.
Sangat dingin malam ini, dan hujan mengucur semakin deras. Tanganmu yang kedinginan kemudian menyelipkannya di jas hujan, ada rasa berdebar ketika kepalamu tetiba bersandar pada bahu. Mencoba meluaskan pandangan, lalu obrolan seperti tak bisa berhenti.
Gelombang kedekatan-kedekatan yang rapat, seperti menyimpul rasa yang sangat mencekat. Yang kuingat hanya senyummu, sesekali dalam kendara aku menoleh ke belakang hanya untuk memastikan bahwa tiada sesal menggelar sebuah perjalanan.
Menuju ke selatan, melintas jantung kota Jogja, kota yang sama-sama kita cintai menuju tempat para pandhita berkelana. Dimana dulu sebuah sendang mengalir di sisinya, ketika musim berkebun tiba Candi itu dimulai mengisahkan tresna bayi ajaib pada dunia. 'Sang Prabhu' tulisan terpahat di ruang tapa.
Jelang tengah malam, ketika semua manusia terlelap oleh waktu dan dingin hujan, justru dalam mantra-mantra gelap yang sunyi ini kami seperti menjadi biara yang mengejar jubah Sang Raja. Sekali lagi lengan itu bersentuhan karena terburu, sebelum lonceng berbunyi ruang Candi Tuhan harus segera sepi.
Didepannya kita duduk-duduk dibawah tetesan jari-jari Merkusi. Seperangkat gamelan ditutupi kain putih dibelakang kita juga tak kalah bisunya. Entah apa yang terucap dalam doamu, sepintas ketika panjatku usai, kutengok lagi wajahmu yang sedang kusyuk, lantas kuumbulkan doaku lagi. Kali ini rakaat yang kedua.
Syukur tak terkira kepada langit, atas segenap cinta, perjumpaan, dekat juga tentu yang utama adalah ruang terima. Seperti bayi ajaib yang bersabda "marilah kepadaku datanglah kalian yang letih lesu dan berbeban berat, maka minumlah air kelegaan ini, kuberikan cuma-cuma kepadamu".
Apakah kamu adalah air itu? , setelah lama aku mencari, bersikap dan ragu akan hidup yang juga semakin kabur. Disaat banyak kawan memilih pergi, menolak bahkan hanya menagih, kamu dan beberapa kawan lain datang. Memberi kelegaan, sejenak untuk melanjutkan harapan akan hidup supaya tidak hilang arah.
Di Candi Tuhan ini aku duduk terpaku, terpukau akan banyak hal hingga ke titik ini, entah apakah engkau merasakan risau yang sama, atau malah tidak, karena ruang temu ini memberi kebahagiaan, aku kira salah satu tubuhmu terbuat dari adonan itu. Yang kemudian bergegas menuju jalan pulang, sementara hujan semakin deras menjulurkan lidahnya.
Dan, ini yang masih kuingat, Malam ini pertama kali kau membenarkan letak jas hujanku, juga kait ransel di pundak yang selalu bergeser karena perjalanan. Lalu kuberanikan diri untuk mengusap pipimu, sebelum akhirnya saling menahan rahsa dingin, ya dingin seperti hujan.
Namun hadirmu cukup memberikan apa arti makna hangat dalam sikap dingin yang berhembus malu-malu.
- bersambung
0 notes
indraagusta · 4 years ago
Text
Jas Hujan dan Penghujan
Mata-mata kita menatap di sela rak buku kesukaan. Rambutmu tersibak disela daun telinga, dan kita mulai memilah adakah kata yang mencuri bilah batin kita. Aib dan nasib menjadi incaran terbaik setiap insan.
Rintik-rintik cinta Tuhan mulai turun membasuh hati yang kering anak manusia. Melintas malam gelap, sunyi, nun jauh dibawah merapi kaki kita rapat duduk bersama.
Segelas kopi hangat, mendoan membersamai. Sepanjang jalan ada rasa terluap namun terus tertahan. Entah, mungkin belum waktunya.
Hujan tak pernah kunjung reda, melangkah kecil menuju kedai yang rapat, sepasang kekasih terbit didepan mata kami. Kau hanya sesekali menatapku kemudian melempar pandangan jauh ke rimba raya di utara.
Dan pembicaraan semakin dalam, selamat mengenalku lebih jauh Nala, ada perasaan takut karena membuka lagi luka, namun biarlah, jikalau memang dia harus hadir mendengar kabar dari diri adalah terbaik.
Sehingga jika sesal dan penilaian terjadi maka biarlah langit hening menjadi penonton betapa kontras hidup dan memanggul hidup tak mudah.
Ya demikianlah diri, Nala. Sebenarnya memang sudah hampir kehilangan segalanya, dipuncak riuhnya penat akupun tak mau kau masuk ke dalamnya. Namun pengenalan seluruhnya mengharuskanku membukanya.
Jika memang aku tiada, kutitipkan cerita ini ditulis direlung batinmu. Jika memang sebaliknya, mari kita melangkah, mengisi dan menumbuhkan benih-benih, suara yang berpendar, juga senyum yang benar menebar.
Langit reda, kulihat embun bersarang di rambutmu. Ah, kamu terlalu malu untuk menyukai hujan, lagipula dingin datang.
Jas hujan dan hujan, mengantar perjalanan menuju Candi Tuhan.
— bersambung
0 notes
indraagusta · 4 years ago
Text
SOJIWAN
Suatu hari Jalma di masa kalutnya menyusuri lereng pegunungan penuh dengan tumbuhan dan bebatuan vulkanik ini sendirian. Segala duka serasa tak pernah selesai, segalanya nampak semu.
Masih ingat betul masa dimana sesak datang, tanya-tanya tak terjawab, mengunci pintu-pintu harap. Jalan tiada ujung ini kemudian jadi pelampiasan sekaligus sesal akan banyak hal. Akan sebuah kesadaran bahwa terlahir sebagai anak manusia harus memanggul persoalannya sendiri, memecahkannya sendiri.
Sesudah berbulan-bulan sejak malam gelap itu datang. Malam ini aku menyusuri jalan ini, lagi, namun tak sendiri.
Nala, dari perjumpaan sepasang lengan yang menjadi pertemuan, akhirnya tiba dimana tabir demi tabir terbuka. Kedekatan dan tatap kemudian memunculkan rasa percaya. Benih-benih pendar rasa itu semakin kuat.
Lamunan dan ruang tunggu dari pertemuan di Candi Sojiwan, mengantarkan keberanianku melintasi langit Gerjitawati. Mengetuk pintu kediaman Nala. Sudah berapa lama aku tak lagi mengetuk pintu rumah perempuan yang kepadanya hati berdebar.
Kali ini tentu lebih mendebarkan lagi, meski segera kututupi. Jalma hari ini adalah jalma yang berada pada fase ketiadaan, selain kala yang berpaut, juga muncul rasa takut ditanyai banyak hal yang akan tersengal jika tak mendapat jawaban.
Namun, ketakutan itu tak pernah terjadi. Teh Manis dan manggga tersaji, dalam senyum sederhana.
Sudah lama bukan, tak merasakan penerimaan, bahkan dirumah Jalma sendiri. Rambutmu kini tak panjang lagi, apakah itu tanda bahagiamu? Ah, mungkin perasaanku saja.
Langit mulai mendung, lalu perjalanan ke lereng Merapi dimulai. Mengangguk, mencium tangan ibu Nala, rasa yang berdebar itu sirna.
Malam ini ingin rasanya aku bercerita kepada Nala, mungkin sudah waktunya aku mengenalkan diri lebih dalam. Supaya segala sesuatu dibersamai dengan baik.
— bersambung
Yogyakarta, November 2020
0 notes
indraagusta · 4 years ago
Text
Ketukan jari
Meskipun kali ini berbeda, karena tak berdua. Hingga ucap-ucap intim berganti dengan bicara yang sederhana, bicara sebagai teman yang harus saling jaga satu sama lain.
Sementara mata sesekali saling tatap, dan apakah hati juga demikian dekat? Aku yang lebih suka mencuri mata dari bola bening cokelat itu, ketika pandangan bertemu, senyummu merekah.
Ketukan jari menjadi seperti gelisah namun harus menahan, seperti ruang tunggu sepasang lengan berjumpa kembali.
Senang rasanya, :)
Dalam kantuk dan sepiring nasi telur.
Surakarta, 6 November 2020
0 notes
indraagusta · 4 years ago
Text
Pagi
Entah apa yang kemudian membius, rasanya waktu berlalu begitu cepat, mulai dibuka lagi tabir hidup Jalma, supaya Nala lebih paham lagi jalan hidup.
Mungkin tiada berguna, tapi kenangan akan getir itu kini terwariskan dalam kisah entah apakah teringat atau berlalu. Namun jalma sangat senang malam ini, apakah demikian pula dengan Nala?
Jelang pagi jalan semakin sepi, sebentar saja dagu Padma diletakkan dibahu Jalma, sembari jemari yang terus membenarkan letak sling ransel yang terus saja bergeser diombangambingkan kendara. Namun sebenarnya jalmal-ah yang mengetuk pintu rumah Nala, beristirahat sejenak dari perjalanan hidup yang getir berkepanjangan. Masih saja bertanya, bisa bertahan sampai sejauh ini, betapa Tuhan menyediakan banyak jawaban yang tidak terduga.
Semburat pagi datang, mata terpejam, tangankami tergenggam, satu tarikan nafas menyimpan banyak makna.
Ujung jalan ini diam-diam menggerakkan hati untuk menari, tapi malu. Semoga kamupun menikmati kebahagiaan yang sama. :)
Surakarta, 5 november 2020
0 notes
indraagusta · 4 years ago
Text
Genggam
Jalanan sunyi mengantarkan anak manusia pada kata. Sebuah perhelatan kecil diujung gang. Dua pasang mata dan genggam tangan.
Hembusan nafas dibawah rembulan, hening, serta tarian-tarian kebahagiaan yang membuncah seperti cahaya rembulan yang dingin nan menawan.
Pejam matamu, dan rengkuh genggamku menjamu banyak sekali getar dimana cinta Tuhan merengkuh nadir anak manusia.
Ah, terimakasih untuk sederet energi, tawa dan lamunan dari secangkir teh panas yang menjadi dingin. Tetapi tidak dengan genggam yang kemudian begitu dekat, begitu hangat, atau dingin yang pepat kemudian melumat.
Nala, nala, kepadamu ditakdirkannya waktu untukku bertemu. Lantas tak mau semua segera berlalu, tapi siapa aku?
Edar jinantra alam bukan dalam genggamku, pun juga genggammu. Ada api abadi yang terus menyemai laku-laku manusia.
Dua insan berpegang dan menggenggam gema-gema akan harap dari nasib yang tak pernah seekor jangkrikpun tahu.
Seperti pertemuan, juga sepanjang jalan hidup yang bergerak seperti senandung alang-alang. Semoga abadi, Nala.
Surakarta, 3 November 2020
0 notes
indraagusta · 4 years ago
Text
Sepasang lengan dan pertemuan
Angin dingin menyusup dari tembok dan gang sempit di tanah raja. Bebauan air terasa seperti obat penenang di hati risau. Beberapa langkah dari tempat pemujaan bunga-bunga angsana berguguran nyaris seperti hamparan permadani nampak pula menawarkan keindahan bersama setiap dekap bayu. Awannya berpindah ke sisi utara, pantulan cahaya remang kota kemudian menjadi arum manis raksasa berwarna putih bersibak jingga. Menyenangkan sekali malam tenang.
Bersama kesendiriannya anak manusia melangkah, tapak telapak kakinya mendekap satu demi satu  debu yang abadi di jalanan kotaraja. Setiap jejak yang dibawa dari pertapaannya membuncahkan beragam kegelisahan, menyimpan ribuan pertanyaan namun coba disimpannya rapat-rapat. Perantau pulang dengan wajah lelah di depan terminal, anak-anak pengemis berlarian di emperan toko besar yang ikut tutup pula ketika senja menjelang.
Akhir minggu, sebuah perhelatan ingin kudatangi. Sebuah pertunjukkan teater sederhana di pinggiran kampus ternama. Entah, apa yang menggerakkan hatiku untuk kemudian datang ke pentas tersebut. Sedikit terlambat ketika sampai di teras sebuah kedai kecil yang disulap menjadi latar panggung, motor berjajar terparkir rapi, dan para pelihat sudah duduk kusyuk dalam diam mendengar percakapan pembuka.
Lampu padam, pentas segera dimulai.
Sejenak mataku memandangi sekeliling, lalu asal mengambil tempat duduk yang masih kosong. Sebuah kursi sederhana berbahan kayu jati yang juga satu-satunya kursi yang tersisa malam itu. Tanpa banyak berfikir, langsung saja aku duduk disitu. Sementara puluhan mata tertuju pada sinar terang didepan sana, sinar yang juga magnet besar pentas malam ini, puluhan orang juga terbius pada kata-kata dan pada nuansa. Sebuah alunan gending Jawa mengalun lirih sebagai nada pembuka, tenang rasanya.
Sajian seni peran berlalu dari detik ke detik, namun terasa ada yang janggal. Ada perasaan aneh menjalar di sekujur tubuh, rasanya seperti sesak rindu tapi tertahan oleh kekang ragu. Sangat intim namun bersekat oleh waktu. Lalu kupaksa lagi untuk menikmati lakon yang dipentaskan, tetapi rasa aneh ini terus saja mendebarkan hati. Terus saja mencuri batinku untuk menoleh kearahnya. Ya, sesosok perempuan yang duduk disampingku inilah muara dari segala resah dan membiaskan segalanya.
Kilauan sinar yang menembus dari hamparann penonton menyibak wajah ayu itu sekilas, sebersit ingin kutatap lagi dengan jelas namun hati tak kuasa untuk melakukannya. Yang kulihat kini hanya tangannya yang terlipat menyilang diatas totebag hitam yang ditaruh diatas pahanya.
Momentum temu ini kemudian semakin terasa ketika dalam satu adegan, tanpa sengaja lengan kami bersentuhan. Meledak rasanya, tentu sudah ribuan kali lenganku bersentuhan dengan banyak teman, tetapi kali ini lain, benar-benar lain. Dadaku lebih berdebar-debar, seperti tersengat listrik dengan daya kejut yang membuat jantung lebih cepat berdenyut.
Waktu berlalu dan membiarkan diriku lebur dalam lamunan resah. Resah seperti bermimpi namun segera terbangun dan masih menyisakan banyak tanya. Ah, hati terus saja ragu, apakah berani aku menatap wajahnya? Bagaimana jika nanti justru dia menoleh dan segera pergi? Atau bagaimana jika justru malah membuatnya tidak berkenan.
Lampu Nyala,
Pentas kini usai, tepuk tangan riuh mengapresiasi semua jerih payah latian. Dan aku masih saja terduduk kaku,   malu dan ragu. Pada lengan yang beberapa kali bersentuhan ini akhirnya aku beranikan melihat wajahnya. Perempuan yang putih nan ayu itu. Tak disangka dia menoleh kepadaku, aku seperti tak percaya kepada pandanganku sendiri.
Ya, mata kami bertemu, cukup lama, dan aku memahaminya sebagai sebuah penerimaan. Ini sebuah momentum pertemuan. Perempuan ini kemudian membuka masker hitam bergaris warna cerah yang dia kenakan, mengangguk dan tersenyum kepadaku.
Kujulurkan tanganku padanya.
“Hai, aku Jalma..”
Tangan kami tergenggam, sepersekian detik namun sangat mencuri degub nadi.
“Hey Jalma, namaku Nala, senang bertemu denganmu..”
Kemudian kami berjalan ke parkiran bersama, tak banyak kata yang terucap selain kami yang saling menoleh diantara motor yang terparkir rapi. Lalu segera Nala berlalu, dan menjadi misteri. Putaran waktu mencumbuku, diam-diam aku merinduinya, segera sesudah merebah pada kamar tapa.
0 notes
indraagusta · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Kalau Tuhan mau memberi sinar kehidupannya tulus kepada umat-Nya, semesta-Nya. Kenapa jalma justru sangat sulit untuk merepresentasikan kasih-Nya, bahkan kepada orang-orang yang katanya dikasihinya. #agustaisme
0 notes
indraagusta · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Di lorong-lorong malam bergelayut pekat, pepat, entah apa yang sedang hilang di ruang-ruang bersekat. Sajak-sajak nyanyian tentang sinar.. #cermin #agustaisme
0 notes
indraagusta · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Mungkin matahari sedang sendu? #pelukislangit (at Gerbang Tol Manyaran Semarang)
0 notes
indraagusta · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Manusia modern adalah manusia yang paling sedikit peluangnya menjadi Manusia. Ia harus kiai, ulama, pejabat, seniman, intelektual dan macam kategori-kategori tolol. Kalau seseorang tidak sedia diikat oleh satu Identitas maka ketidakterikatannya itu diklaim sebagai suatu Jenis Identitas. Kalau ada kubu A dan B, dan anda menolak bergabung di salah satunya, Anda diancam oleh dua kemungkinan. 1. Anda akan dianggap kubu C atau kubu ketiga. 2. Kalau anda makan siang dengan seseorang dari kubu A, maka kubu B akan mencari anda. Psikologi dan Ketololan Ideologis perkubuan ini terjadi dalam pergaulan, Peta Ormas, Orsospol, Dunia Kesenian, Konstelasi Militer, dan kekuasaan melainkan bisa terjadi pada soal sembahyang Tarawih dan urusan Nawaitu Sholat. - Titik Nadir Demokrasi, Emha Ainun Najib, hlmn 91. – View on Path.
0 notes
indraagusta · 8 years ago
Text
At Agusta Home
Menapaki hari terakhir di tahun matahari, pada akhirnya semua perjalanan manusia hanyalah kesunyian. Kita bertegur sapa, berpapasan, keramaian, riuh dan gelak tawa akhirnya manusia hanya akan menyendiri seperti hakikatnya yang dilahirkan sendiri, dan 'pulang' sendiri mempertanggungjawabkan semuanya dihadapan tahta suci. Lalu semua orang berproses menjadi tua dan menjadi anak kecil. Berfikir panjang dan berlipat2 ada pula yang berfikir sempit lalu menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang paling hakiki, padahal ia hanyalah ikan kecil di arus yang sangat besar. hingga ia tak tau mengikuti arus.. Lalu ada yang menuju kemasa depan, sisanya perlahan berjalan menuju kegelapan, matahari terbit setelah terbenam. Tiada yang lebih indah selain menjalani hidup itu sendiri, selamat berakhir tahun, terus menjadi riak-riak yang sebentar datang lalu pergi dan terkadang sesekali hantamlah karang terjal. Karena demikian gandum akan berbuah, kebingungan dan kepicikan manusia dibalut bedak-bedak polesan akan luntur oleh peradaban, dan kerakusan-nya akan mendapatkan balasan total yang tentu sangat mengerikan. Sementara kita mulai mendayung perahu hilir, di buliran padi yang entah kapan menguning, atau "gabuk" hilang tak berbekas.. Kleco Wetan, 31 Desember 2016 ~ Indra Agusta – at Agusta Home – See on Path.
0 notes
indraagusta · 8 years ago
Text
Thought via Path
Emha Ainun Najib, Yogyakarta 8 November 2016 Selama ini saya diberi gambaran bahwa sesudah pemecah-belahan Uni Sovyet, Balkanisasi dan Arab Spring, sekarang ada formasi baru persekongkolan internasional yang bekerja keras dan sangat strategis untuk menghancurkan Islam dan Indonesia. Kemudian agak lebih mengarah: merampok kekayaan Negara Indonesia, dengan cara memecah belah Bangsa Indonesia dan utamanya Ummat Islam (karena memang mayoritas penduduk indonesia beragama Islam). Sekarang tampaknya semakin terlihat penggambaran baru yang lebih spesifik dan akurat. Yakni bahwa NKRI bukan akan dihancurkan, melainkan dimakmurkan, tetapi bukan untuk rakyat Indonesia. Kedaulatan politik, bangunan konstitusi, pasal-pasal hukum, tanah dan modal, alat-alat produksi, serta berbagai perangkat kehidupan dan penghidupan – tidak lagi berada di tangan kedaulatan Bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia tetap dikasih makan dan bisa ikut kecipratan sedikit kemakmuran, asalkan rela menjadi pembantu rumahtangga, karyawan, kuli, khadam dan jongos yang setia dan patuh kepada Penguasa baru NKRI, yang merupakan kongsi dari "Dua Adidaya dunia" (US dan China) Syuraqoh, alias keserakahan, diteknokrasi sedemikian rupa. Sebenarnya selama puluhan tahun terakhir, proses pengikisan hak milik, penjebolan kedaulatan dan penguasaan harta benda Ibu Pertiwi, juga pencurangan cara berpikir tentang mayoritas-minoritas seperti itu sudah berlangsung. Tetapi kemudian, sukar saya elakkan pandangan, bahwa melalui rekayasa penyelenggaraan kepengurusan yang baru atas institusi Negara, dengan tiga tajaman di ujung Trisula politiknya, serta pendayagunaan seluruh perangkat lembaga pengelolaan itu, termasuk kerjasama proaktif dengan media-media informasi tertentu, pun jangan lupa sebagian tokoh dan institusi atau organisasi Islam tertentu yang dipekerjakan: hal itu dipacu maksimal dan total. Sampai Tanah Air Ibu Pertiwi Indonesia bukan lagi milik pribumi asli Indonesia. Dari kursi nomer satu di puncak kuasa hingga sejengkal tanah di pelosok desa, akan berangsur-angsur menjadi bukan lagi milik rakyat Indonesia. Logika normalnya, siapa menolak kenyataan itu, akan hanya tersisa tempat untuk menjadi gelandangan di kampung sendiri. Dan kalau memberontak, akan dibunuh dengan berbagai jenis dan kadar pembunuhan. Kalau pemberontakannya sangat merepotkan, maka harus dimusnahkan. Rakyat Indonesia dikelabuhi secara intelektual, dininabobo secara mental, ditipudaya secara politik dan hukum, ditelikung secara ideologi, dikanak-kanakkan melalui tayangan-tayangan, disesatkan pengetahuannya, dikebiri keksatriaannya, serta ditidak-seimbangkan cara pandang kehidupannya. Para ilmuwan, aktivis atau para tradisionalis penghitung sejarah dipersilahkan menjelaskan bebendu sejarah yang sedang deras dilangsungkan itu melalui tema Perang Asia Pasifik, Perang Asimetris, Ku Bilai Khan seri-II, Manifestasi Dajjal yang “mensorgakan neraka dan menerakakan sorga”, kulit dan mata Ya’juj Ma’juj, “wong jowo gari separo cino londo gari sakjodho”, tafsir baru 500 tahun Sabdopalon Noyogenggong, atau apapun. Yang pasti rakyat asli Nusantara Indonesia sedang dikurung oleh perampokan dan penjajahan besar-besaran, di mana mereka belum 10% menyadarinya. Essai yang sangat menarik padat dan mampu dijadikan bahan pemikiran berhari-hari mungkin,. Penting buat Indonesia, khususnya umat Islam tentunya karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam akan dijajah, Apalagi buat saya yang minoritas pasti juga akan terjajah jika suatu saat mereka menguasai negeri ini. Apakah saya harus tunduk dan menjadi jongos mereka? Tentu tidak.. Dan media sekarang mulai menyempitkan medan permasalahan cuman di 4 nov. Namun yang terjadi sebenarnya luput (sengaja diluputkan) dari media tapi permasalahan inti Tentang Penguasaan China dan Amerika-Israel di Indonesia dikaburkan, meski prakteknya sudah sampe desa-desa penguasaan market atau beras atau pasar IT sudah mereka kuasai.. China dan Amerika atau siapa saja yang ikut melanggengkan kekuasaann mereka disini, Ati-atilah kalau mau menjajah lagi, hitung2 lagi lah... Indonesia pasti akan bereaksi yang kalian tidak perhitungkan jika memang kalian serakah terus-menerus... selengkapnya di : https://caknun.com/2016/ummat-islam-indonesia-dijadikan-gelandangan-di-negerinya-sendiri/ – Read on Path.
0 notes
indraagusta · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Rumah adalah sejuta kumpulan buku-buku yang bahkan sampai mati saya tidak akan bisa melahap habis semua sari ilmu-Nya. Segala problema, konflik, dialektika hingga pilihan-pilihan sulit dan kompleks ditawarkannya. Lalu dimana saya akan bergegas, saya lebih memilih mati dari pada rumah ini yang mati. Lalu sebuah pintu ilmu terbuka, menuju pintu-pintu dimensi keilmuan selanjutnya, tentu ilmuku bukan ilmu mu yang kalian makan dan terima dari guru atau dosen. Ilmuku hanyalah lipatan2 yang tak pernah pendarnya disaksikan malam. Lalu bukankah pintu lain terbuka ? Gandok Wetan, 1 September 2016. #cermin #filsuf #agustaisme
0 notes
indraagusta · 8 years ago
Photo
Tumblr media
"Ajining Jiwa ana Ing Busana" Tentu bukan soal pakaian fisik, namun juga soal pakaian psikis, pola pandang, jarak pandang, sudut pandang, akurasi pandang dalam menangkap sesuatu. Hidup tak sesimple membuat pakaian dari uang kertas. #agustaisme -Dari kebosanan pemikiran, berujung pada karya diatas. (di Glenmore Outdoorent)
0 notes