immanormies
Crap saccharine
36 posts
nyampah disini nyampah disana, nyampah dimana-mana
Don't wanna be here? Send us removal request.
immanormies · 2 years ago
Text
[Saat Tuhan Sedang Jatuh Cinta]
"Tuhan menciptakanmu saat tengah kasmaran."
0 notes
immanormies · 2 years ago
Text
[Mansur dan Ati]
Halo,
Apa yang akan kita bicarakan hari ini tentang Ati? Makanan kesukaannya? Atau cara tertawanya? Cara bicara? Atau lesung pipinya? Ah, aku pusing. Terlalu banyak hal yang aku suka dari Ati, aku tak bisa pilih satu. Atiku selalu menawan, dan aku sendiri selalu tertawan.
Mungkin akan kuceritakan saja sesuatu yang ringan berhubung ini masih awal, jadi dulunya Ati pernah punya seekor kucing abu-abu jelek yang selalu mengusik dia kala makan, tak jarang tangan pitak dari kucing itu sukses mengail ikan dari piring Ati.
"Mansur bangsat."
Itu yang selalu Ati katakan tiap kali kucing dengan pitak merah jambu itu berhasil mengambil lauknya. Pernah juga sekali waktu Mansur dengan pedenya memasukan tangannya dan mengobok-obok satu panci yang penuh dengan opor ayam.
Tapi biar begitu Ati tak pernah menyimpan dendam buat begundal berbulu yang satu itu, dan Mansur selayaknya bajingan sejati selalu memanfaatkan kelembutan Ati.
Ah dasar, para bajingan lucu favorit kita semua.
Pernah satu kali Ati menunjuk foto kucing di Majalah Gadis miliknya, kucing cantik dengan bulu keperakan yang menjuntai sampai lantai.
"Mirip Mansur."
"Kamu rabun Ati."
Kita berdebat sekitar 10 menit tentang betapa Ati berkeras bahwa Mansur sama tampannya dengan kucing itu.
Sedang si empunya nama menatap tak tertarik pada perdebatan kami, lanjut menjilat bulu (atau kulitnya mengingat si jelek ini separuh botak). Ati tetap berkeras, menyandingkan foto ningrat itu dengan Mansur yang tampak gembel.
Akhirnya Mansur menjadi bagian dari kehidupan kami selama kurang lebih 3 bulan. Hanya tiga bulan. Karena makhluk itu tak bertahan lama. Hari-hari aku melihat Ati yang terus menangisi Mansur yang makin lemas dan pucat, hanya berbaring dan makan (itupun jika dia ada daya lebih)
Pada akhirnya Mansur pergi dari kehidupan kami, duka tak hanya milik kami berdua melainkan dari segenap masyarakat fakultas yang mengenal Mansur. Aku tak pernah mengira kepergian satu buntel bulu dapat menjadi sesedih ini, dan dihari itu aku ikut menangis.
Ada beberapa hal yang berubah semenjak Mansur pergi, bahwa sekretariat UKM kami kini bebas bulu, fakta bahwa Mansur ternyata betina (kami baru tahu fakta ini setelah Mansur tiada) dan bahwa sudah tidak ada lagi mafia tahu tempe yang berkeliaran untuk merebut makanan kami.
Tak dipungkiri, kala itu kami semua sangat merindukan bajingan kecil yang kami beri nama Mansur. Bahwa ketiadaan satu hal kecil dapat mengubah banyak hal tentang suatu tempat. Bahwa ketiadaan itu membuat tempat itu tak lagi sama.
Ati mengunyah ayam opornya dengan khidmat, tidak ada pertukaran kata diantara kami.
"Ati..."
Aku tertegun, terkejut melihat dara didepanku ini makan satu paha ayam dengan air mata yang deras mengalir dari pipinya. Tapi ia tetap diam tanpa suara.
Ah Mansur, andai kau tahu bahwa kau bisa menumbuhkan rindu yang begitu rindangnya.
"Telan dulu Ati, baru sambung menangisnya."
Aku menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguknya dengan cepat, membantu ayam itu melorot masuk ke perutnya. Ati mulai menangis.
"Aku ndak tega, ini ayam kesukaan Mansur kenapa Mansur ndak bisa ikut makan bareng kita lagi Cal."
Anak ini nangis mirip seperti bocah, dengan mulut terbuka memperlihatkan beberapa bulir nasi yang belum sempurna dikunyah. Aku hanya bisa diam.
"Mansur sudah bisa makan ayam opor satu gentong disurga, sudah jangan nangis nanti keselek."
Mirip bocah TK, tangisnya mulai reda dan kini menatapku dengan mata bulat yang berkaca-kaca. "Kamu ndak sedih tah Cal?" Aku harus jawab apa? Mungkin saja aku sedih, tapi tak sampai seperti Ati.
Gamang, apa iya aku benar-benar sedih karena kucing pitak? Aku tak tahu, aku mengedarkan pandang ke seluruh sudut ruangan hingga mataku tertuju pada satu titik.
Di pojok ruangan, ada kain jarik yang ditumpuk jadi alas tidur yang nyaman, lengkap dengan mangkok makanan dan tempat minum.Diatasnya ada tulisan yang tertempel ditembok.
"Kontrakan Mansur."
Masih ada sisa-sisa bulunya yang melekat pada kain jarik, bulu yang sama yang selalu kami keluhkan karena mengotori backdrop yang memang cuma kami tumpuk dibelakang ruangan.
Di pojok itu banyak diletakkan makanan dan juga mainan favorit Mansur, juga beberapa foto yang kami abadikan untuk Mansur si mafia tahu tempe. Tiba-tiba ada sedikit nyeri kala menyadari bahwa makhluk berisik itu tak akan ada lagi disini, bahwa disini mulai terasa kosong.
"Sedih, tentu aku sedih ti."
"Tapi kau ndak tampak seperti itu."
"Kadang kesedihan itu memang sunyi ti."
Aku mengusap air mata dengan tisu, bukan air mata Ati melainkan milikku sendiri. Makhluk sialan, sudah mati masih bikin repot perasaan orang.
Sejak kepergian Mansur kini banyak setan berbulu lain yang datang seenaknya ke sekre kami, sekadar bermanja-manja maupun menjarah makanan.
Sampai tahun terakhir perkuliahan, kami memiliki tiga buntalan bulu untuk berbagi cinta. Tomi Tompel si kucing hitam putih, Gethuk Goreng si jingga nan ramping dan Gendhis si kucing coklat dengan tiga kaki.
Tetap, Mansur tetap meninggalkan bekas bagi kami semua dan bahwa tak ada yang bisa menggantikan Mansur. Dan pun bagi ketiga buntelan itu, mereka bukanlah pengganti, bahwa mereka ingin dicinta dengan cara yang untik dan lain, bahwa mereka adalah diri mereka sendiri.
Cerita hari ini cukup sampai disini saya rasa, ya ini memang lebih kepada Mansur ketimbang Ati. Tapi tak apa, kadang saya masih merindukan begundal botak itu.
Kadang saya berharap suatu saat nanti entah takdir atau kesialan akan mempertemukan saya lagi dengan mansur, saya akan menjabat tangannya layaknya kawan lama sembari makan semangkuk opor ayam yang mengepul hangat.
0 notes
immanormies · 2 years ago
Text
[Aku Ingin Mencumbu Tubuhku]
Tubuhku bukan kuasaku, tubuhku bukan milikku. Kata orang tubuhku ini adalah milik seorang yang belum pernah aku temui, bahwa orang asing akan punya otonomi penuh atasku.
0 notes
immanormies · 2 years ago
Text
[Seonggok Cinta di Etalase]
"Ibu, aku ingin itu!" Ujar anak kecil (tak sampai lima tahun) yang tengah dalam buai ibundanya, mata bulatnya menatap lekat pada apa yang ada di balik etalase, dengan mata yang awas, mata yang ingin.
"Jangan ya sayang, yang itu sudah kumuh dan tua, ibu punya yang baru dan segar untukmu di rumah." Ujar sang ibu lembut sembari menggendong putri kecilnya menjauh dari etalase toko tua itu, semakin menjauh dan hilang.
Begitu pula seterusnya, orang datang dan pergi, melihat dengan takjub pada apa yang ada disebalik kaca bening itu tetapi tiada siapapun yang mau memilikinya "sudah terlalu lama benda itu disana, aku ingin mencari sesuatu yang baru, yang belum terjamah." Sedang disebalik etalase itu, menatap lekat pada keramaian itu.
"Tolong, aku juga ingin dicinta."
0 notes
immanormies · 2 years ago
Text
[Meluruh Bersama Waktu]
Aku ingin meluruh bersama waktu, menjadi bulir detik yang mengalir di tiap gerakmu. Aku ingin meluruh bersama waktu, menyatu denganmu.
Bahwa aku tak suka ditunggui waktu, kungkungan hakiki. Kaupun begitu, selalu kau kejar waktu yang terselip jatuh dari tanganmu, tak teraih. Aku ingin meluruh bersama waktu, tak bertuan sesiapapun.
Ini bukan tentangmu, ini tentang waktu, andai waktu telah letih apakah dia akan rehat sejenak? Aku ingin meluruh bersama waktu, berserakan dalam kesunyian.
0 notes
immanormies · 2 years ago
Text
[Menghindari Luka]
Aku selalu berangan mengenai menghindari luka, berjalan memutarinya atau mengabaikannya. Luka itu tetap ada disana, menganga dan tidak tersentuh.
Mungkin di suatu masa akan tiba, seorang yang kiranya bisa kuajak berbagi luka biar sakit ini bukan hanya aku yang terima.
Aku ingin ingkar akan hidup ini, harap-harap itu akan ikut membawa luka ini pergi. Mungkin nanti, belum waktunya, bila saatnya tiba nanti aku pastikan kalian yang akan pertama tahu, bagaimana sang aku melepas luka mengingkari hidup.
0 notes
immanormies · 2 years ago
Text
[Ibu Perca]
"Yo opo neh mbak, wong sek masih sama ibuk ini kan yo tinggal baju-baju ini." (Ya apa lagi mbak, yang masih tinggal sama ibu ini kan ya cuma baju-baju ini). Kira-kira itu yang aku dengar dari wanita tua yang duduk manis disampingku sambil meminum seikat es teh manis yang sudah tidak dingin lagi.
"Mbiyen ibuk kuwi iku nduwe anak telu, ayu-ayu kabeh" (dulu ibu ini punya anak tiga, cantik-cantik semua)
Tatapannya nanar, sedikit menerawang jauh ke depan mungkin berusaha menyibak kabut-kabut pikirannya untuk menemukan apa yang hendak diceritakannya. Di 'bedel' nya buntalan yang sedari tadi dibawanya, tangannya mengais seperti mencari sesuatu di lautan baju yang tumpah ruah saat buntalan itu terbuka tadi.
"Iki klambi pertama sing tak tuku nganggo gaji pertama, ono iki karo boneka tapi boneka e wis bredel." (Ini baju pertama yang ibu beli pakai gaji pertama, ada ini sama boneka tapi bonekanya sudah rusak)
Di tangan ibu itu terlihat daster batik yang ukurannya tak lebih besar dari ukuran anak lima tahun, ibu itu menyambung lagi ceritanya.
"Mbiyen Mbak Asih ngagem niki sampe umur 9 njuk dilungsurne ning adhine tapi adhine moh ora gelem klambine Mbak Asih amoh jare." (Dulu Mbak Asih pakai ini sampai umur 9 lalu mau dihibahkan ke adiknya tapi adiknya ngga mau katanya baju Mbak Asih sudah tua).
Aku tidak mengenal siapa Asih ataupun adiknya, tapi untuk mempersingkat waktu percakapan ini aku hanya menganggukan kepalaku dengan sopan, sekaligus sinyal untuk ibu itu melanjutkan ceritanya.
"Akhire klambine ratau dinggo meneh mbak, eman-eman." (Akhirnya bajunya ngga pernah dipake lagi mbak, sayang).
"Kenapa ngga dilungsur ke anak yang paling kecil bu?"
Ibu itu terdiam sebentar, sebelum membedah lagi baju-baju yang lainnya dan menceritakan kisahnya, akupun yang memang ingin ada peneman malam ini tak begitu keberatan mendengar kisah-kisah ibu ini. Hampir semua baju telah diceritakan kisahnya.
"Mbak e liat ndak, ada sek beda ndak karo kalmbine ibuk?" Saat kuperhatikan lagi ibu itu mengenakan baju perca, potongan potongannya tak sama satu dengan yang lainnya, beberapa ada yang terlihat seperti selimut bayi, batik, dan aku akan mengabaikan ada sepotong wajah upin ipin didekat bokong ibu itu.
"Nek gak gini gimana maneh carane ibuk bisa deket sama anak-anak e ibuk, cuma ini tinggalan anake ibuk." (Kalo ngga begini gimana lagi caranya ibu bisa dekat dengan anak-anak ibu, cuma ini peninggalan anak-anak ibu). Pantulan lampu kota malam ini terlihat jelas di mata gelap yang tergenang itu, kemudian diusapnya dengan punggung tangan.
"Kalau berharga, kenapa semua bajunya dijual bu?"
"Kenangan ngono iku tok iku gaiso dinggo mangan mbak." (Hanya kenangan-kenangan saja itu ngga bisa buat makan mbak).
Di malam yang biasa saja ini, duduk disampingku adalah ibu perca, dia yang terjahit dan terjalin dari fragmen, potongan dari duka dan nestapa.
0 notes
immanormies · 2 years ago
Text
[Si Miskin Mengais Duka]
Syahdan, di sebuah tempat yang masam tanahnya, dimana tiada makhluk hidup mampu lahir dan tumbuh, tersebutlah kisah seorang miskin yang paling miskin di muka bumi.
Dia yang hanya makan dari debu tanah dan minum dari lara, melankoli jadi makanan mewahnya terkadang itupun tak bisa ia telan dengan benar.
Dia yang pahit hidupnya, dia yang tak mau makan atau minum dari fitrah bumi, bahwa bahagia terasa terlampau getir di lidahnya.
Si Miskin merangkak di tanah, mengais apa yang kiranya bisa dia telan malam ini, dan lagi-lagi duka jadi teman segelas lara yang mewah pada malam hari ini.
0 notes
immanormies · 2 years ago
Text
"Dan baru aku ingat, bahwa aku yang memberimu kuasa untuk menyakitiku."
Kemudian, dendang sunyi berganti pelatuk yang nyaring penuh dalam gendangku.
0 notes
immanormies · 3 years ago
Text
[Puisi Cinta]
Malam masih muda, bermandi cahaya dari bohlam yang mulai remang. Aku menatap bayang wanita muda memantul dari segelas kopi yang masih mengepul hangat.
Kasihan
Kusentuh wajah wanita muda itu, kulihat wajah yang menanti kasih sayang, mendamba sentuhan.
Di malam yang mulai tua, duduk dihadapan kopi yang belum terminum setengahnya. Wajah sedih yang masih terbayang, akan kucoba menulis puisi cinta buat wanita kesepian didalam gelas kopiku.
0 notes
immanormies · 3 years ago
Text
Pulang
Aku melepasmu, aku melepasmu karena aku yakin bahwa kau akan pulang, entah seberapa lama, entah seberapa jauh. Namun, imanku tentang dirimu dan hal itu runtuh seketika. Tepat saat kau memulangkan lagi apa yang kau bilang adalah milikku.
"Ini, kukembalikan lagi tulang rusukmu."
0 notes
immanormies · 3 years ago
Text
Cinta
"Tolong cintai saya dengan sengaja."
0 notes
immanormies · 3 years ago
Text
[Gerbong terakhir]
Aku masih, dan selalu, gemar melihat gerbong kereta yang melesat cepat dengan suara yang begitu bisingnya. Kadang, diantara riuh berisik itu aku berusaha dan berharap setengah penuh untuk menangkap barang sesikit suara yang kurindukan.
Diantara lautan suara itu aku berusaha mencari satu yang terlembut, satu yang selalu kudamba. Aku selalu mencari suaramu disela seribu seratus suara yang lain. Sekali kau pernah berkata bahwa kau akan pulang dengan kereta terakhir, bahwa kau akan keluar dari gerbong terakhir dimalam itu dan memberiku peluk terhangat yang kau punyai.
Sampai hari inipun, kadang aku masih berkhayal melihat dirimu diantara gerbong-gerbong yang telah dan terus berlalu.
0 notes
immanormies · 3 years ago
Text
[Pergi]
Pada jam sepuluh malam itu, tepat saat aku memasukan suapan terakhir mie ayam ke mulutku, seorang kawan mengirim kabar tentang dirimu dan aku ingat saat itu seketika rasanya suapan terakhir tadi akan kembali ke mangkuk didepanku.
Kukira kau akan berumur panjang seperti yang selalu kau inginkan, menjadi tua yang duduk nyaman diatas kursi malasnya. Nyatanya izrail kalah cepat dari truk gandeng itu dalam menjemputmu pulang.
Kau pulang terlalu cepat menurutku, terlalu egois. Karena kau meninggalkan begitu banyak hal disini, tercecer berantakan. Di jam sebelas hari ini, aku meneguk dukaku sebagai penutup mie ayamku.
0 notes
immanormies · 3 years ago
Text
[Selamat Ulang Tahun, Lagi]
Harusnya pada hari ini umurmu genap seperempat abad, harusnya pada hari ini kita berkutat pada perayaan, lilin, dan kue. Seperti yang kau selalu suka.
Jika ada masanya nanti, akan kuceritakan padamu tentang kabar dipermukaan bumi, tentang musisi kesukaanmu yang baru saja menghasilkan patah hati yang baru, ataupun mengenai anak kucingmu yang kini sudah beranjak tua dengan delapan pasukan bola bulunya. Akan kukirim semua kabar yang ingin kau dengar, akan kubawakan pula padamu satu kotak penuh rindu dengan simpul merah jambu yang selalu kau suka.
Selamat ulang tahun kuucapkan untukmu, peluk cium pula dari kami yang masih berusaha merayakan kehilanganmu.
1 note · View note
immanormies · 3 years ago
Text
[Kembali]
Akhirnya aku kembali kemari setelah beberapa lama tidak menulis apapun disini, maaf maaf, memang salahku. Aku menulis seakan-akan ada orang lain yang akan membaca tulisanku walau kenyataannya tak ada yang mengetahui apapun mengenai ini, dan bahwa disini adalah satu-satunya ruang amanku, eskapisme, tempat pelarianku.
Aku menulis disini seakan-akan hal itu akan menyelesaikan masalahku didunia nyata, ataupun membuat perasaanku tersampaikan pada orang yang kutuju, tapi setidaknya itu melegakan yang mana aku tidak perlu menumpahkan seember penuh perasaanku pada orang lain sampai mereka basah kuyup.
Aku positif bahwa tidak akan ada orang yang menemukan ruang amanku ini, dan jika memang mereka menemukannya aku justru berterimakasih pada mereka karena mau repot-repot mencari tempat terpencil dan antah berantah ini.
Tulisanku makin membosankan tiap harinya dan aku sadar betul tentang hal ini, entah kenapa semua hal pun terasa tak menarik lagi belakangan ini. Tapi ya, biar bagaimanapun aku akan tetap selalu berlari kemari, karena inilah bait perlindunganku, tempatku untuk pulang.
0 notes
immanormies · 3 years ago
Text
[Kasmaran]
Aku merasa bahwa orang yang tengah kasmaran merupakan orang paling kuat didunia ini, mereka bisa melakukan hal apapun hanya dengan landasan cinta yang mereka punya. Banyak cerita menakjubkan didunia inipun berasal dari orang yang tengah kasmaran maupun yang hatinya telah patah, yang cintanya telah habis tepakai tak bersisa.
Aku malu, aku malu untuk mengakui bahwa aku tengah kasmaran karena aku tahu aku tak bisa menyamai mereka, para pecinta yang hebat. Aku hanya bisa diam, tapi rasanya dada inipun mau meledak kalau cintaku tak segera kumuntahkan.
Munculnya cinta sama dengan datangnya penyakit, ia selalu memberikan sebuah tanda, atau gejala jika aku boleh katakan. Gejala-gejala yang membuat seluruh tubuhmu terasa aneh, seakan kau baru saja mabuk ganja 14 linting, seakan cinta itu jadi candu paling kuat didunia ini.
Rasanya murahan sekali ketika aku menulis saat tengah jatuh cinta. Ribuan, jutaan bahkan miliaran orang didunia ini kemungkinan melakukan hal yang sama ketika hati mereka tengah mendamba (dan toh hanya hal ini yang bisa mereka lakukan) jadi aku sama seperti miliaran orang diluar sana ketika aku mulai menuliskan ini untukmu.
Kawanku pernah berkata bahwa aku dan dirimu bagaikan tokoh Sukab dan Alina milik Seno Gumira.
"Sukab yang romantis dan Alina yang realistis."
Begitu kiranya dia menggambarkan kisah setengah tragis ini, dengan gamblang dia mengatakan bahwa aku hanyalah sekadar Sukab yang selamanya tak akan bisa mengejar Alina yang dikasihinya.
"Kasih dan kasihan."
Hal yang pas mewakilkan antara diriku dan engkau kekasihku. Aku yakin bila kau temukan catatan ini maka kudukmu akan meremang saat memikirkan betapa aku mendambamu, betapa aku yang najis ini dengan berani dan kurang ajarnya menaruh hati padamu.
Alinaku yang manis, paling manis dan akan selalu manis.
Sukab yang malang, paling malang dan akan tetap malang.
1 note · View note