idolaanakkecil
Mochammad Badru Zaman
5 posts
HEHE-in aja
Don't wanna be here? Send us removal request.
idolaanakkecil · 8 years ago
Text
Abstraknya Asbak
Siapa yang menjadi tempat bertumpuknya puntung-puntung rokok? Siapa yang rela dibuat dari apa saja, dibentuk sedemikian rupa dipindah kemana mana untuk kepentingan merokok? Siapa yang rela jadi tempat sampah dadakan untuk menemani orang yang merokok?
Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah asbak, sebuah benda yang mungkin karena tidak pernah dikongreskan dan tidak masuk undang-undang, maka bentuknya beraneka ragam ada yang berbentuk seperti patung, ada yang berbentuk seperti lepek kecil yang meleng lengkung lengkung disetiap sudutnya, adapula yang berbentuk seperti ember. Tidak hanya bentuknya yang abatrak Bagaimana dibuatnya asbak pun sama, ada asbak yang dibikin dipabrik dengan kaidah-kaidah pembuatan asbak, dan ada asbak yang dibuat oleh perokok sendiri dengan penuh improvisasi. Tapi terlepas dari abstarksinya itu asbak seperti gambaran eksistensialisme keseharian yang selama dirinya “ada” ataupun “meng-ada”(mengacu pada asbak yang dibuat dadakan) mau itu bentuknya seperti apa, dibuatnya bagaimana, digunakan untuk apa, asal esensi asbak yang bisa dipakai untuk tempat pembuangan puntung rokok tetap saja bakal disebut asbak kan?
Tapi.. Mungkin kita bisa mengata mengata kalau asbak itu abstrak, walaubegitu kalau perokok berkata rokok adalah teman sejatinya, maka rokok tidaklah berpikiran demikian karena setalah batang rokok habis dibuanglah rokok tersebut keasbak, dari situ sudah jelas Rokok bakal memilih asbak sebagai teman sejatinya.
Khususon ila asbak yang sebentar lagi punah dengan kehadiran vape AL-FATIHAH
Nb: untuk mengingat jasa asbak untuk perokok tulisan sengaja dibuat sedemikian rupa supaya seasbak eh seabstrak mungkin. Hehe…
1 note · View note
idolaanakkecil · 8 years ago
Quote
Selama sang Pemimpin suatu wilayah tidak pernah merasakan tidur di dalam tenda yang kondisinya sama dengan yang ditinggali para rakyat miskin dan tertindas; selama orang-orang berapologi bahwa sang pemimpin suatu wilayah tidak layak dan tidak perlu melakukan yang seperti itu; selama itu pula sang Pemimpin suatu wilayah akan merasa cukup dengan berkata-kata. Bangsat!
0 notes
idolaanakkecil · 8 years ago
Quote
Alkisah ada seekor ikan hiu merasa sesak hidup di darat. dia putus asa dan bunuh diri terjun ke laut. Tapi ga mati. Heran deh. Dasar ikan hiu yg bodoh! *dasar idoala anak kecil yg genius!
0 notes
idolaanakkecil · 8 years ago
Text
Propaganda di Rabes Mikroptik
Baru baru ini aku mengikuti rapat besar suatu himpunan mahasiswa prodi yang pernah aku ikutin, aku sedikit merasa kesal karena diawal rapat besar ini cenderung asal asalan dan iya iya doang, mungkin karena aku ini merasa tua dan seorang alumni jadi aku sosoan sering mencoba berargumen dan merusak suasana. tentu saja enggak semua argumen ku diterima oleh forum tapi disinilah indahnya musyawarah mereka yang reaktif menanggapi argumen sangat menghidupkan suasana dan aku sangat menikmati hal itu, ditambah ada anak anak baru yang ikut berargumen dan bertanya apa yang sedang dibahas, rabes pun semakin larut, dan aku yakin pimpinan sidang & beberapa orang cukup kesal terhadap ulahku dan teman teman kontrakan yang sudah berpropaganda dengan ini semua(tolong maafkan kami :D), tapi tak apalah bukankah kebenaran itu memang pahit hehe.
Jauh jauh hari sebelum rabes sebenernya aku sudah janjian dengan deni dan leo untuk menghidupkan rabes tentu saja rencana ini bukan untuk gaya gayaan tanpa adanya etika dan tujuan, karena tujuan dari propaganda ini sebenernya untuk mengedukasi semua temen temen*hehe, soal isi dari yang dibahas dirabes mulai dari tartib(tata tertib) rabes, anggaran dasar & anggaran rumah tangga, mekanisme kerja, garis besar halauan kerja, dan rekomendasi, selain itu rencana ini murni karena kita semua mencintai organisasi ini, jadi apa yang aku,deni sering kemukakan di forum adalah pandangan pandangan lain, sejarah dan pertimbangan pertimbangan untuk pengurus baru, karena kami ini selanjutnya tidak ikut serta menjadi pengurus tentu saja keputusan kita serahkan kepada aspirasi yang berkembang diforum.
jadi maafkan kita semua yang berpropaganda dirabes ya hehe, kita cuma gak mau kesalahan taun-taun sebelumnya terulang lagi pada kepengurusan berikutnya. selamat berjuang untuk kalian semua! ganebate wkakakakakak
0 notes
idolaanakkecil · 8 years ago
Text
Orang-orang Jogja-Solo dan Falsafah Hidup Jawa
Manusia dilahirkan dengan keberagaman.nya, segala.nya serba beragam dimulai dari tampang, keyakinan dan tentu saja sifat, sifat juga membawa kita menggolong kan manusia dengan sebuah sebutan ada yang baik, ada yang jahat, adapula yang tidak peduli dengan apapun, tentu saja perspektif baik, jahat dan lainnya adalah soal dari mana kita menilai dan mentelaah sifat sifat tersebut, namun perihal perbedaan sudut pandang bukanlah hal yang akan dibahas namun sebalikya, persamaan menilailah yang akan dicoba 
dibicarakan, orang orang indonesia khususnya yang hidup di jawa tentu tahu Jogjakarta dan solo, 2 wilayah yang dengan kedaerahannya mampu unjuk gigi sebagai wilayah wilayah yang dicibir sebagai wilayah yang sangat nyaman untuk bermukim dan juga bertempat tinggal, untuk kebutuhan pangan? jangan tanya karena disana basisnya makanan dan jajanan murah, untuk kebutuhan sandang.nya ada yang tidak pernah mendengar dagadu? Atau membaca tulisan the spirit of java? Dan untuk sifat dari orang orangnya Kita bisa melihat, hampir di semua wilayah di-Indonesa, ada saja orang-orang joga-solo. Sebagian dari mereka sukses, sebagian lain cukup sukses, sebagian lain tentu saja tidak sukses. Pernahkah anda bertanya mengapa begitu banyak orang-orang Jogja ataupun Solo bertebaran diIndonesia, dan sepertinya bisa begitu mudah menyesuaikan diri dengan sistem kehidupan di daerah daerah lain. Pertanyaan lanjutannya adalah, pernahkah juga anda bertanya kenapa orang-orang asal daerah ini tidak pernah terdengar berperilaku layaknya primadona? Ya, Orang-orang Jogja-Solo memang terkenal khas: santun, rendah hati, tekun, dan pekerja keras serta tidak punya kompleks inferior maupun superior. Mengalir. Ada yang menyebut mereka dingin. Saya lebih senang menyebut mereka tenang tanpa gejolak. Tetapi jika diperhatikan bukan hanya dikehidupan bermasyarakat saja mereka memiliki mentalitas serupa tersebut. Dikehidupan elit yang semestinya wajar jika ada sedikit cuatan keangkuhan ego(keaku-an), banyak contoh yang mewujudkan sebaliknya, nama nama tenar seperti Gesang, Didi Kempot, Jokowi, Nunung, Sri-Sultan Hamengkubuwono, dan personil personil Band Letto adalah Gunung Es dari keseharian. Tak hendak cair oleh situasi apapun Jadi dari mana asal mental dan perangai kebersahajaan kolektif khas Orang-orang Jogja-Solo ini? Saya berasumsi awalnya pastilah kearifan lokal untuk menghadapi kehidupan khas kawasan itu yang secara pelan dan turun temurun diwariskan dan kemudian terumuskan menjadi nilai. Tetapi saya baru mengerti perumusannya ketika seorang teman baik asal Solo menceritakan tantang 10 falsafah Hidup Jawa
Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik, tapi sekecil apapun manfaat yang dapat kita berikan, jangan sampai kita menjadi orang yang meresahkan masyarakat).
Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara (Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).
Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti (segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar)
Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha (Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan)
Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan (Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman (Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja).
Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).
Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka (Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah;Jjangan suka berbuat curang agar tidak celaka).
Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo (Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).
Aja Adigang, Adigung, Adiguna (Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti).
Intinya, semua prinsip ini selalu berbenturan dengan prinsip egaliterianisme yang ekstrim untuk menjaga harmoni: jangan pernah berpikir kita ini spesial atau lebih baik dari yang lain; jangan pernah berpikir kita lebih pintar dari orang lain, lebih penting dari orang lain; jangan menggurui orang lain, mentertawakan orang lain. Kota Jogja dan Solo menggariskan bahwa eksistensi keakuan itu tidak ada, sementara harmoni sosial dan konformitas adalah segalanya. Setelah membaca prinsip itu , saya bukan hanya kemudian lebih memahami mengapa ada sikap kebersahajaan kolektif yang kuat dari penduduk Jogja-Solo, tetapi jadi lebih mengerti mengapa semua Orang-orang Jogja dan Solo menganut sistem Kesejahtraan, dan paling sukses menerapkannya di Indonesia. Itu karena kesejahtraat mensyaratkan prinsip sama rasa sama rata, hal itu telah menjadi insting hidup bagi kawasan ini.
Ketika saya berterima kasih kepada teman asal Solo yang memberitahu prinsip hidup tersebut, ia hanya mengatakan, "it's a good princip (prinsip bagus)" tanpa kemudian mengelaborasikan, menanyakan pendapat saya atau (apalagi) menceramahi saya tentang kultur di Jogja maupun di Solo.
Justru ketika kemudian saya bercerita dengan rasa kekaguman dan keirian setelah membaca prinsip itu, ia membalas tanpa mengesankan ironi. "Mungkin benar demikianlah kami orang Solo ini. Tetapi juga membuat kami terpenjara bahwa seolah-olah kami harus bersikap seperti yang terumuskan dalam prinsip itu."
Saya sulit memaknai pernyataan teman saya itu, apakah sebuah kebersahajaan sikap, keluhan atau sekadar memaparkan fakta akan perasaan orang Solo pada umumnya. Karena jawaban serupa juga saya dapatkan dari rekan-rekan saya lainnya yang berasal dari kawasan itu setiap kali mencoba membahas tentang Prinsip Orang Jawa ini. Saya jadi teringat sebuah program dokumenter sebuah televisi swasta yang dibuat oleh seorang juru masak (chef) yang melakukan perjalanan kuliner ke Jogja. Setelah mengunjungi daerah-daerah Jogja, mencoba masakannya, menyelami kehidupan sosial politiknya, memahami kebudayaannya, dan tentu saja membahas tentang prinsip hidup jawa, sang juru masak itu menyampaikan kesimpulannya. Salah satunya: "javanish are famous for not being famous (Orang Jawa terkenal dengan keengganannya untuk menjadi terkenal)." Sebuah pernyataan yang mewakili kekayaan spektrum kebersahajaan. Tak heran kalau Gesang, pencipta maha karaya lagu bengawan solo, tak banyak diingat. Ia enggan dikenang dan dikenal seperti orang Joga maupun Solo pada umumnya.
1 note · View note