Text
Barangkali doa-doa kita sedang bertaburan dilangit. Menunggu waktu. Terkabul sesuai harap atau lebih baik dari harap.
Barangkali doa-doa kita sedang saling. Hingga waktunya tiba. Membuahkan rasa syukur.
26 Dzulhijjah 1445 H
0 notes
Text
Terima kasih
Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Terimakasih telah hadir dan mengambil peran sebagai pembelajaran.
Terimakasih sudah hadir dengan jalan yang Allaah suka, menjaga.
Dalam beberapa waktu aku terkungkung dengan perasaan bersalah. Hendak memberi jeda namun semesta sepertinya ingin mengajarkanku berani.
Hingga suatu hari ada pertanyaan juga pernyataan dari temanku.
"akan menghindar sampai kapan?"
"Kak, sembuhnya dia bukan tanggungjawab lu. Biarin waktu yang mengobati. Berhenti ngerasa bersalah"
Padahal tak ada sepatah kata yang ku ucap. Namun, mereka bisa menilai ada rasa bersalah yang hinggap.
Sempat terngiang "berapa lama kamu mengumpulkan keberanian untuk datang?"
Juga perasaan bersalah karena jawabanku mungkin menyakitkan.
Aku doakan didepan sana yang terbaik untukmu. Terima kasih sudah menjadi pembelajaran berharga.
Aku cuma mau bilang proses menerima dan menolak juga bukan hal mudah. Ditolak pun bukan berarti kurang baik. Hanya saja mungkin ini jawaban dari doa-doa yang melangit.
Ada kata mungkin, karena aku pun menerka rencana-Nya hingga kelak jawaban akhirnya ku dapat.
10 notes
·
View notes
Text
"Terjebak pada Kriteria Sendiri"
Obrolan malam itu bersama teman-teman yang 1/3 harinya dilalui bersama mengalir begitu saja. Hingga tiba pada kalimat seorang kakak "aku kayak yang terjebak dengan kriteria sendiri" ada sesak yang menyelinap, ada anggukan kepala, dan hati yang bilang "kalimat tepat yang mendefinisikan sesuatu yang aku rasakan juga nih kayaknya" -kayaknya- Kadang suka latah deh wkwk.
Seusai cerita malam itu kalimat "terjebak dengan kriteria sendiri" ini terus terngiang dikepala. Hingga akhirnya aku memutuskan mempertanyakannya pada diriku sendiri. Benarkah terjebak? Kriteria sendiri, kriteria yang mana? Hoo kriteria yang bertambah saat kehadirannya? Haha iya sih, kayak jadi naik standar kriterianya. Pun seolah banyak ceklis pada kriteria yang ada. Tapi sebentar, memangnya diri butuh orang yang akan membersamai itu seperti apa? Jangan-jangan belum mengidentifikasi kriteria apa yang prinsip dan apa yang tidak. Lalu memangnya apa yang tak dipenuhi dari kriteria itu? sadarilah. Nah yang tidak ia penuhi itu hal-hal prinsip atau hal yang masih bisa di nego? Maka kamu akan tau jawabannya. Bukan terjebak pada kriteria sendiri. Karena terjebak berarti engga sengaja. Sedangkan kamu sengaja membuat kriteria itu. Meski kamu berdalih seolah "tak sengaja" karena kriteria itu bertambah saat kehadirannya, tapi kamu kan yang mengizinkan dirimu memiliki standar kriteria baru itu? Jadi aku mau bilang, bukan terjebak pada kriteria sendiri, kriterianya sudah tepat, hanya saja belum bertemu orang yang tepat.
Terimalah kenyataan bahwa bukan orang tersebut yang menjadi akhir. Sebab sebanyak apapun kriteria yang sesuai jika ada 1 saja kriteria prinsip yang dilanggar maka cerita selesai, tak bisa di negosiasi. Memegang prinsip kadang memang menyakitkan tapi sungguh menyelamatkan.
Bukankah diri telah sepakat menjadikan standar tertentu sebagai alat seleksi? Lalu mengapa seolah sedang berdrama menjadi korban atas keputusan sendiri?
Itulah cuplikan tanyaku. Rasanya berkecamuk sekali saat memikirkannya.
Setelah paragraf ini berakhir, tak ada lagi kalimat "terjebak pada kriteria sendiri" yang ada hanyalah diri belum menemukan yang tepat. Yang tepat sesuai kriteria prinsip. Yang seiman, yang sejalan hidup, dan yang se-lainnya yang menurutmu penting. Yaa, hanya belum menemukan yang tepat untuk bisa diterima kurang dan lebihnya. Yang tepat untuk membersamai sampai akhir bertemu dengan-Nya untuk LPJ hidup di dunia.
Jaga prasangka baik atas tiap takdir-Nya ya! Allaah Maha Adil, meski dunia seolah tidak. Allaah engga pernah sekalipun dzalim, apalagi menunda apa-apa yang memang rejeki hamba-Nya. Jaga prasangka baik terus ya! Jadikan Allah prioritas diatas prioritas. Sadari bahwa tugas utama hidup di dunia adalah menjadi hamba maka berlakulah sebagai hamba :)
Mari tahu diri ✨️
Tidak memerintah Tuhannya, namun mengais tulus pertolongan-Nya agar mendapat sebaik-baik akhir cerita. Husnul khotimah.
32 notes
·
View notes
Text
Dear Kak Monic,
Makasih sudaaaah hadir bersama banyaaak keceriaan, orang yang tiap ketawa selalu "ngajak-ngajak" karena ketawanya renyah, semogaaa apa-apa yang sedang diperjuangkan Allah ridho atasnya.
Kita pernah punya mimpi yang sama. Sama-sama ingin jadi pengajar muda di Indonesia Mengajar. Tapi takdir punya cara lain mewujudkan tujuan, mungkin bukan lewat IM, tapi Ka Monic masih memegang kuat mimpi itu. Mencerdaskan anak bangsa. Dan aku Allah kasih izin lewat cara lain juga ✨️
Satu hal yang ga akan pernah salah, ia bernama "skenario Allah". Engga mungkin Allah bercanda mempertemukan kita. Pasti ada maksud baik-Nya.
Dengan bertambahnya usia sekaligus berkurang sisa waktu tunggu pulang ke kampung halaman yang sebenarnya -surga- semogaaa menjadikan tiap detik engga ada yang bertambah selain taat dan manfaat. Semogaa tiap hela nafas ada jejak-jejak kebaikan yang ditinggalkan sepanjang perjalanan.
Mohon maaf atas banyaak momen yang udah dirancang tapi engga jadi dilalui bersama. Pasti "skenario-Nya" yang terbaik. Mungkin belum waktunya di 2023 , hanya sedikit momen barengnya, tapi semoga 2024 dan seterusnya Ia mengizinkan kita mencipta lebih banyak momen bareng-bareng ✨️
Makasih udah jadi salah satu "sosok kakak" yang seruu, yang selalu menyediakan telinga, dan mau terus menebar manfaat. Makasih sudah berjuang untuk apa-apa yang layak diperjuangkan salah satunya melahirkan buku "Tumbuh Meski Tak Utuh". Makasih sudah merawat mimpi dan menjalaninya sebaik-baiknya. Besok lagi ya! Hehe
Semoga Allah berikan keberkahan dalam usianya. Bertambah kebaikan yang mengalirkan kebaikan berikutnya ♡
With love,
Icha
8 notes
·
View notes
Text
Kejadian hari ini memanggil memori 12 tahun silam. Saat nenek sakit. Saat itu tak ada satupun anggota keluarga yang memiliki latar belakang pendidikan kesehatan, hanya mengandalkan tenaga medis sekitar. Hingga akhirnya nenek wafat, qadarullaah tentunya.
Sebuah titik balik yang menjadi sebuah alasan yang ku genggam erat untuk menghantarkanku pada perubahan mimpi dari seorang pengajar menjadi seorang yang terlibat dalam dunia kesehatan.
Kejadian hari ini seolah memanggil "icha usia 14 tahun" itu. Namun hari ini ku katakan pada diriku "terima kasih ya, terima kasih sudah menepati ucapan, terima kasih sudah berjuang, terima kasih sudah bertahan. Hari ini kamu jadi garda terdepan membersamai beliau. Kamu berhasil menjadi yang dua belas tahun lalu kamu harapkan ada. Setidaknya kamu benar-benar menepatinya. Tenang. Beliau akan baik-baik saja atas izin-Nya. Tenang ya, tapi kamu boleh kok menangis, menangislah, tak ada orang yang lihat. Esok kamu harus tegar kembali, menguatkan sekitar dengan tenang."
9 notes
·
View notes
Text
IGD - rumah - IGD - rumah
Sat set ngurus a, b, c, sebab tentang nyawa. Sungguh hari yang penuh hikmah, semakin merasa amat sangat engga berdaya kalo bukan Allah yang menguatkan.
Ada rasa takut kehilangan, ada tangis yang tertahan karena harus menguatkan tiga laki-laki yang menangis dihadapan, bersama dengan keyakinan bahwa pasti Allah tolong.
Dengan secuil keberanian mewakili keluarga besar bertemu dokter, bernegosiasi tindakan, memperjelas obat yang diberikan.
Ya Allah tolong kami, tolong jaga beliau dengan sebaik-baik penjagaan-Mu, tolong izinkan beliau sehat wal'afiyat kembali, berkumpul bersama kami :"
Sungguh di titik kesadaran yang mulai pudar pun yang diingat tentang shalat, yang diucap lantunan ayat-Mu, tolong tenangkan, juga lapangkan hatinya. Izinkan kami memberikan ikhtiar maksimal membersamainya, membahagiakannya lebih lama lagi dalam kondisi sehat wal'afiyat :""""
Bogor, 28 Desember 2023
14 notes
·
View notes
Text
Mari segera selesai dengan urusan satu ini Cha. Agar diri bisa berpindah menyelesaikan hal lain.
26 Desember 2023
6 notes
·
View notes
Text
Dear Mba,
Kalo engga salah, awal mula kenal 2021 aku ingat pernah di chat via zoom. Mba menyemangati sekaligus menghilangkan ke-ngantuk-an-ku.
Mba aku yakin Allah punya rencana baik atas pertemanan ini. Dari sekian banyak manusia di Bumi, dari sekian banyak teman-teman yang ada, tentu engga semua Allah tautkan hatinya. Tentu engga semua nama Allah izinkan "diingat" di momen tertentu, tapi nama mba Allah pilih jadi salah satu yang aku ingat saat perasaanku tenang maupun gusar.
Mba makasih sudah berjuang sejauh ini. Makasih sudah mau tetap melangkah apapun ujian yang Allah hadirkan.
Mba makasih sudah percaya dan mau belajar bersama menghadapi tiap ladang pahala yang Allah berikan. Semoga sabar dan syukur adalah dua hal yang terus diperjuangkan untuk silih berganti mengisi hidup.
Mba makasih sudah menjadi guru, kakak, sekaligus teman. Terima kasih banyak, memberiku tempat nyaman untuk bercerita. Sebab dari sekian banyak orang yang hadir, aku cukup pemilih dalam bercerita.
Mba semoga berkenan saling mendoakan ya. Saling mengingatkan dan saling berjuang untuk mencapai ridho-Nya.
Mba nanti di Surga kumpul lagi ya mba. Kalo ga ketemu aku, tolong jadi saksi ya mba di hadapan Allah bahwa di Bumi kita pernah bareng-bareng saling mengingatkan untuk taat.
Ibu, makasih sudah melahirkan perempuan shalihah satu ini, dari rahimnya insyaAllah akan tumbuh generasi yg mencintai Al-Qur'an dan berkontribusi atas kemenangan islam.
Aamiin Allaahumma Aamiin
Ditulis di Kota Hujan,
1 Juli 2023
4 notes
·
View notes
Text
"Apa kabar?"
Adalah dua kata yang jawabannya tidak sederhana, bagiku. Sebab saat ditanya, aku perlu memutuskan benar-benar menceritakan kabarku atau menjawab formalitas saja.
Adakalanya kita harus memilah. Apakah sesuatu yang kita ceritakan itu lebih banyak kebaikannya atau lebih baik disimpan sendiri. Adakalanya pula jika dibagi pada orang yang tepat, ada kebaikannya :)
2 notes
·
View notes
Text
Sayap Patah
Ia ingin terbang jauh, sungguh amat jauh. Pandangannya menerabas ruang dan waktu. Lamunannya sampai hingga Negeri Kangguru. Menimba ilmu dan pulang menyelamatkan negerinya yang sedang diujung tanduk. Meski hanya sedikit perannya namun sungguh ia ingin berdampak untuk negerinya.
Saat tengah mempersiapkan diri, meluruskan niat, serta memastikan kembali apa yang jadi tujuannya, ia terhenti cukup lama. Sayapnya patah. Sebelah. Kini tinggal yang kanan. Ia menangis, mengaduh, sakit katanya. Ingin dilepaskannya sayap patah itu. Ingin diletakkannya agar bisa menghentikan rasa sakitnya. Namun, jika itu ia lakukan maka pupus sudah. Akankah lagi ia mendaftarkan diri untuk menyesal? Seperti dahulu, saat dirinya tak memperjuangkan. Bertahun-tahun disesalinya keputusan itu. Bukan, bukan sebab gagal yang membuat dirinya menyesal. Tapi saat dirinya bahkan tak sekalipun memperjuangkan apa yang ingin ia perjuangkan.
Sampai kini, bahkan didetik ini semua menjadi bias. Sebab ia terbiasa tak memperjuangkan apa yang nuraninya mau. Ia terbiasa menjadi lilin. Yap. Menerangi lalu hancur. Akankah kembali pada kesalahan yang sama? Barangkali, sayap patah tadi hanya pertanda. Hanya penguat. Bahwa dirinya mampu sampai pada tujuannya meski sayapnya hanya yang kanan. Ia akan sampai pada tujuannya sebab keyakinannya pada Sang Maha Segala. Ia menjadi tersadar, bahwa bukan sayap utuh yang menghantarkannya pada tujuan.
Ia tersadar untuk hidup sebenar-benar hidup. Berhenti menuhankan ikhtiar diri. Ia tersadar bahwa dirinya memang lemah namun ia tahu Tuhannya Maha Segala. Ternyata sayap patah itu hanya jalan. Jalan yang memang tak mudah, tapi jalan itu menghantarkannya pada tujuannya. Bukankah tak perduli seberapa terjal suatu jalan, asalkan ia benar-benar jalan yang menghantarkan pada tujuan? Tak apa sayap itu patah. Tak apa. Selama ia masih menjaga yakinnya pada Rabbnya. Selama ia masih berhusnudzan atas takdir terbaik dari Rabbnya. Sungguh tak apa. Nikmati saja.
24 notes
·
View notes
Text
Menangis
Setelah berbagai badai hebat itu menerpa. Aku tidak pernah menampakkan tangis didepannya. Meski aku bilang aku menangis. Tapi air mata itu tak pernah sekalipun jatuh didepannya. Tapi malam ini tangis itu benar-benar membuncah. Aku tak kuasa lagi menahannya. Seolah punya kekuatan besar yang terpendam. Tangisku ingin aku usaikan namun tak bisa. Ia terus menerus mengalir, membuat dadaku hingga sesak, suaraku tersenggal-senggal.
Malam itu dengan tangis yang tak kunjung mereda, akhirnya dengan segenap keberanian yang tersisa aku memungkapkannya. Mimpi-mimpi dan jalan yang akan ku tempuh didepan nanti. Aku ceritakan kemungkinan kerikil dan badai yang barangkali akan aku lalui. Aku ceritakan meski sambil terisak bahwa aku butuh ridhoNya. Makasih mah, yah. Makasih sudah mengizinkan sayapku kembali terbang menuju mimpiku. Meski aku tahu ini hanya awal. Makasih sudah mempercayaiku.
#5CC #5CCDays4
14 notes
·
View notes
Text
Bukan Selesai Tapi Baru Mulai
Telah genap tiga puluh hari menulis cerita. Meski lebih tepatnya jika menyesuaikan kondisiku adalah tiga puluh cerita ditulis dalam tiga puluh hari. Rasanya aku enggan usai maka ku anggap ini bukan selesai tapi baru mulai.
Bagiku kata selesai adalah permulaan untuk sesuatu yang baru. Sebagaimana libur adalah perpindahan dari satu amal kebaikan kepada amal kebaikan yang lain, begitupun dengan challange menulis 30 hari ini. Setelah ini akan ada hari-hari penuh dokumentasi cerita.
Meski pada hari-hari kedepan ku tau mungkin tak ada lagi keramaian di grup empire. Tak ada lagi reminder untuk mengirimkan link cerita. Tak ada lagi menengok bank cerita. Tak ada lagi keramaian di grup squad. Semoga nyala semangat untuk menghiasi hidup dengan tulisan akan terus menyala.
Tiga puluh hari ini aku belajar setia pada mimpi. Belajar jujur terhadap tujuan diri. Belajar komitmen terhadap apa yang telah dimulai dengan baik maka artinya perlu diakhir dengan ikhtiar baik. Meski lagi-lagi ku ucap, hasil adalah ranah-Nya.
Terima kasih segenap panitia penyelenggara telah bersabar, telah memberi pemakluman, ruang toleransi dan ruang tumbuh yang nyaman. Terima kasih atas penerimaannya. Ku ucapkan maaf, bukan pada kalian tapi maaf dariku untuk diriku sendiri yang belum maksimal. Meski begitu aku melihat diriku bertumbuh dari diriku sebelum mengikuti 30 DWC.
Terima kasih,
Salam,
Bukan Selesai Tapi Baru Mulai Kembali
7 notes
·
View notes
Text
Satu Buku
Aku masih teringat jelas memori tanggal 31 Oktober 2022 di Wiladatika. Hari itu akhirnya kami berjumpa secara langsung setelah hampir satu tahun menjalani kepengurusan di regional kami masing-masing. Kami menyebutnya agenda "Welcoming Party". Bunda memberi wejangan kepada kami, salah satu intinya bunda berucap, "tulis buku ya nak, minimal satu buku seumur hidupmu. Bukan buku nikah lho yaa". Kalimat Bunda terngiang-ngiang dan menjelma jadi tekad. Namun aku menyadari bahwa tekad saja tidaklah cukup. Tapi butuh aksi nyata.
Disinilah aku kini. Aku tau kelas ini bermula dari informasi di grup whatsapp sebuah kepanitiaan. Maju-mundur akhirnya aku mantap mendaftar. Ada harapan yang muncul bahwa jalan untuk membuat satu buku itu kini kian terarah. Mulai jelas tapak langkah pertamanya.
Meski dalam perjalanan hampir 30 hari ini tentu ada kurang-kurangku. Tapi nyala harapan itu masih terus ku rawat. Aku belajar konsisten dan teguh pendirian. Aku belajar setia pada mimpiku sendiri. Aku belajar bahwa apa yang telah dimulai dengan baik-baik maka harus diakhir dengan ikhtiar yang baik. Urusan hasil maka biarlah tetap menjadi ranah-Nya.
Beberapa kali aku akhirnya mengalah pada diriku. Mengalah untuk memberi jeda menyelesaikan yang harus selesai secepatnya. Sampai akhirnya aku berhutang cerita. Tapi aku tanamkan pada diri bahwa aku akan menyelesaikannya. Lalu ku susun strategi, ku cicil hutang-hutang tulisanku.
Saat diperjalanan melunasi hutang masuk beberapa chat dari teman seperjalanaku di kelas ini. Dua orang yang menjadi penguat untuk mendaftar kelas ini menyemangati dengan ciri khas masing-masing. Rasanya bahagia karena mereka peduli. Mereka ingin kami mulai bersama dan mengakhirinya bersama secara baik-baik.
Telah ku sadari beberapa hal dalam diriku memang masih butuh perbaikan. Beberapa kali aku memilih mendahulukan urusan lain daripada urusanku. Beberapa kali aku memilih dengan sadar hal yang tak ingin aku pilih. Tapi setidaknya aku sudah bersiap atas risiko apapun yang muncul akibat keputusanku.
Akhirnya aku membuat batas-batas yang perlu diberi ruang kompromi. Ruang yang lapang untuk menerima dan memaklumi diri. Ruang yang menjadi saksi rekapitulasi hal-hal yang akan aku selesaikan segera. Ruang yang ku syukuri kehadirannya.
Kembali ke topik utama cerita. Ya, telah bulat tekadku. Kelak akan lahir sebuah buku atas nama Rizka Dwi Cahyani. Rencananya tak akan ku jual, hanya akan ku cetak dan bagikan ke orang-orang terdekat. Saat ku bercerita hal ini, mereka heran. Disaat banyak orang membuat buku untuk menghasilkan uang, aku memilih unpopuler opinion.
Sebab salah satu tujuanku menulis adalah merawat kewarasan akal. Sedangkan tujuanku menulis buku dan mencetak buku karyaku semata-mata untuk bercerita versi lengkap kepada anak-anakku, cucu-cucuku, dan keluarga besarku. Agar mereka tak kehilangan jejakku, agar mereka tau bahwa di Bumi aku pernah ada.
Entah kapan buku ini akan benar-benar lahir. Tapi akan terus ku perjuangkan kehadirannya di Bumi. Mungkin tahun ini atau tahun depan. Harapannya maksimal buku ini lahir tiga tahun sejak tulisan ini ditulis.
Buku yang ku tulis akan bercerita dengan jujur tentang sebuah kisah. Didalamnya akan bertabur pembelajaran hidup yang mungkin tak perlu dialami pembaca untuk tau rasanya, maknanya, dan hikmahnya. Biar pembaca larut merasakan tiap huruf yang mengajaknya seolah berada dalam cerita, menjadi seorang saksi hidup dalam cerita itu. Namun tetap tidak dapat mengubah alur dan inti cerita.
Buku yang ku tulis akan aju persembahkan utamanya tentu untuk diriku sendiri Didalamnya akan ku sebutkan mereka berjasa dalam hidupku. Mereka yang menyaksikan merangkak, berjalan, hingga akhirnya aku bisa berlari. Buku itu berisi ungkapan syukur kepada Sang Maha Segala atas segala skenario terbaik-Nya.
Aku akan menulis buku itu, cepat atau lambat. Aku akan sampai melihatnya lahir. Jika Sang Maha Segala mengizinkan, tentunya.
6 notes
·
View notes
Text
Rumah Mimpi
Setahun sebelum rencana CC Farmasi Jalan-jalan dilaksanakan kami sudah berencana akan staycation di Bogor. Tapi hari berlalu dan rencana berubah. Setelah mempertimbangkan beberapa hal akhirnya kami staycation di Bandung. Di sebuah rumah, rumah impian bagiku.
Rumah itu dua lantai. Lantai dua berisi tiga kamar dan ruang ibadah. Lantai pertama berisi ruang keluarga. Ada meja makan panjang dengan pemandangan rak buku berjejer sekitar 4 meter. Rak buku itu berisi berbagai buku yang tersusun rapi sesuai kategori buku yang dikehendaki pemilik rumah. Ada beberapa buku yang menarik karena aku tahu persis buku-buku ini hanya akan dibeli oleh mereka yang ingin memperdalam pemahaman tentang agama. Tentang bagaimana keagungan-Nya. Tentang bagaimana perjalanan pembawa risalah itu.
Sudut lain aku melihat sisi akademisi dari pemilik buku-buku itu. Ada beberapa yang pernah ku baca. Namun lebih banyak yang belum ku baca. Aku punya keinginan kuat untuk mempunyai rumah buku, minimal dirumahku sendiri.
Aku ingin membangun rumah buku. Awal mula terinspirasi memiliki rumah buku ketika aku sedang kuliah kerja nyata di Desa Sangiang, Bima, Nusa Tenggara Barat. Sumringah dan bahagia anak-anak itu masih tergambar dalam ingatanku. Mereka hanya bisa membaca sepekan sekali di hari Minggu. Taman membaca itu dibuat di pinggir Pantai Sangiang. Pembuatnya adalah seorang pemuda sangiang yang merantau ke Kota Pelajar, Yogyakarta.
Semangat pemuda ini membuatku terpantik mengingat kalimat "buku adalah jendela dunia". Rasanya bahagia melihat anak-anak membaca buku daripada sibuk bermain game online atau menonton youtube. Rasanya ingin berkontribusi mengembalikan masa kecil anak-anak yang jauh dari kecanduan gawai.
Sepulang kuliah kerja nyata, keinginan memiliki rumah buku semakin menguat. Akhirnya aku dan keluarga membeli rak buku yang lebih besar. Harapannya bisa diisi beragam kategori buku. Bukan hanya buku yang ku butuhkan namun juga buku anak-anak. Ingin rasanya mengadakan open house taman baca untuk anak-anak disekitar rumahku. Tapi sebelum hal itu dilakukan, aku harus memiliki buku anak-anak lebih banyak, entah dengan membeli atau menerima kiriman buku dari kawanku.
Hal lain yang ku suka adalah tiap membeli buku baru. Saat-saat buka buku baru itu selalu jadi momen yang ku tunggu. Selain aku menyukai wanginya, aku lebih suka rasa penasaran yang muncul atas banyaknya hikmah yang akan aku pelajari dari buku itu.
Buku memang bukan satu-satunya sumber ilmu, tapi buku adalah salah satunya. Rumah buku masih akan tetap ada dalam wishlistku. Aku yakin dapat mewujudkan rumah buku itu didaerahku dalam 5-10 tahun kedepan. Beberapa strategi akan ku susun untuk langkah nyata komitmen diri mewujudkannya.
Salah satu inspirasiku adalah Negeri Buku. Sebuah yayasan milik seorang yang ku kenal karena keluasan ilmunya dan kegigihannya meningkatkan literasi anak Indonesia. Negeri Buku mengirimkan buku-buku ke pelosok secara sukarela. Buku yang diperoleh berasal dari teman-teman yang punya value sejalan atau berasal dari donasi teman-teman yang ingin berkontribusi.
Beberapa pekan lalu aku melihat informasi negeri buku mengirimkan berkilo-kilo buku ke pelosok negeri. Sumbangsihnya dalam meningkatkan literasi anak-anak sungguh sangat menginspirasi.
Mimpiku selain membuat rumah buku adalah membuat rumah tumbuh. Di dalam rumah itu tentu ada perpustakaan. Tempat yang nyaman untuk mengerjakan tugas, membaca, atau sekedar beristirahat dari bising. Rumah yang didalamnya akan diisi mahasiswi berbagai daerah yang memiliki semangat juang tinggi. Rumah yang didalamnya ramai lantunan ayat-Nya. Rumah yang akan melahirkan kebermanfaatan yang deras alirannya. Rumah yang akan menumbuhkan seisi penghuninya. Rumah yang kelak akan menjadi saksi bahwa di bumi kami pernah berjuang menegakkan hal yang Allah suka, saling menguatkan, dan terus menghasilkan karya untuk kemajuan peradaban. Rumah mimpiku adalah rumah buku dan rumah tumbuh.
10 notes
·
View notes
Text
Kisah Abu-abu Tutup Buku
Kisah ini boleh kamu anggap kisah nyata. Boleh juga kamu anggap omong kosong belaka :)
Persahabatan itu berlangsung sekitar 10 tahun. Bersahabat dengannya sangat menyenangkan. Aku bisa ngobrol panjang kali lebar. Selalu saja ada topik pembicaraan yang berlanjut. Sampai ku kira aku adalah orang yang banyak omong dan pandai mencari topik obrolan. Ternyata aku keliru, setelah kepergiannya aku menyadari bahwa selama ini yang membuka topik obrolan dan berusaha memperpanjang percakapan selalu ia, bukan aku.
Hari ini tepat dua tahun setelah kisah abu-abu tutup buku. Aku pernah berdoa untuk tak pernah lagi bertemu dengannya sebab ku tau aku akan mudah menangis dan bercerita seluruh badai-badai ini. Padahal itu tak boleh lagi ku lakukan.
"Ya, ibarat tutup buku kisah ini mari kita anggap selesai. Meski sebenarnya entah kapan kisah ini dimulai. Jadi kamu bisa kan? Nanti aku ajak Rumaysha, temanku," ucapku via whatsapp.
"Iya, aku bisa 20.00 WIB ya", ujarnya.
"Oke, siap!", percakapan itu ku tutup.
Ini percakalan dua tahun lalu. Pertemuan terakhir hari itu masih ku ingat baik-baik. Aku memaksanya berhenti. Berhenti menunggu diriku yang memang enggan ditunggu. Berhenti memperjuangkan sesuatu yang sejak awal tidak mau diperjuangkan. Sikap ini ku ambil setelah merenung panjang. Lima tahun lalu saat aku hendak merantau sudah ku peringatkan pada dirinya bahwa aku enggan ditunggu. Saat itu aku hanya mengatakan apa yang aku pikirkan. Jikalau ingin menunggu ya tak perlu bilang-bilang. Sama halnya jikalau ingin pergi. Ya pergi saja. Tapi dirinya enggan mengerti.
Aku ingin ia mendapatkan yang memang juga memperjuangkannya. Aku ingin dia mendapatkan yang memang juga mau bahagia bersamanya. Aku tahu persis orang itu bukan aku. Jadi aku memilih memaksanya berhenti, mengajaknya untuk sadar bahwa kisah ini harus ditutup.
Keputusan hari itu berdampak besar. Akhirnya ia mendengarkanku, akhirnya ia benar-benar berhenti. Sebelum itu ibunya menelponku untuk pertama dan terakhir kali. Ibunya hendak memastikan keputusanku. Sayangnya aku memang benar-benar sayang dengan ibunya, keluarganya. Tapi bukan untuk menjadi keluarga. Hanya sebatas persahabatan. Namun keputusanku hari itu berdampak hingga kini. Ibunya juga menjauh.
Sampai hari ini aku tak pernah tau kabarnya, aku tak pernah berpapasan dijalan dengannya, bahkan aku tak pernah lagi mengingatnya. Sampai tiba beberapa pekan lalu ibuku berkata bahwa rumah tangganya sedang diterpa isu miring.
Oh iya, aku lupa bercerita di awal, jadi ia akhirnya memutuskan menikah dengan orang lain, tentu setelah tutup buku. Aku kenal siapa perempuan baik itu. Sebelumnya ia menepati janji terakhirnya. Informasi tentang hari melamar dan hari pernikahan pertama kali ia sampaikan padaku tujuannya sesederhana ia menepati janjinya dan menghormati persahabatan ini. Ia tak ingin aku tau informasi ini dari orang selain dirinya.
Doa-doa dariku mengalir deras. Pun ada harapan bahwa persahabatan ini akan baik-baik saja. Aku bisa menjalin pertemanan dengan istrinya, ku pikir. Tapi akhirnya kami memutuskan berhenti dalam pertemanan. Banyak hati yang harus dijaga. Banyak kebaikan yang ada jika pertemanan ini pun tutup buku.
Hari ini aku mengingatnya, mendoakan kebaikan untuknya. Bagaimanapun ia tetaplah seseorang yang pernah menjadi begitu berarti di titik perjuanganku kala itu.
Hari ini aku mengingatnya tapi aku masih tetap berdoa untuk tak pernah bertemu dengannya. Aku memutuskan tutup telinga untuk semua kisah tentangnya. Aku memilih mendoakannya dalam diamku.
Aku pernah merasa bersalah jikalau ia salah memilih pasangan. Tapi siapalah diriku. Siapalah aku yang seolah ingin mengatur takdir. Aku memilih menyadari bahwa bahagianya adalah tanggung jawabnya, bukan tanggung jawabku. Aku memilih menjalankan peran yang masih bisa ku lakukan. Mendoakannya dari jauh. Aku memilih berprasangka baik atas semua takdir-Nya untuk dirinya.
Suatu hari aku mau bilang terima kasih padanya. Terima kasih telah bersepakat untuk tutup buku itu! Setelah buku itu ditutup aku telah membuka buku baru. Bertemu kesempatan baru, berteman dengan teman-teman baru.
Keputusan tutup buku adalah hal yang paling ku syukuri hingga kini. Melepas yang layak dilepas. Menghilangkan beban yang memang tak seharusnya ku pikul. Pun memberi pelajaran berarti bagiku, bahwa bahagia adalah tanggung jawab masing-masing.
10 notes
·
View notes
Text
RITME
Beberapa hari lalu aku membaca sebuah postingan instagram story teman. Ia hanya menulis satu kalimat. Tapi kalimat itu membuat diriku merenung hingga hari ini.
Ia bilang "maksimal dalam segala urusan". Aku rasa-rasanya pernah memiliki tekad itu. Aku rasa-rasanya pernah memegang erat prinsip itu. Tapi setelah ku telisik, aku keliru.
Bukan maksimal dalam segala urusan. Tapi berusaha maksimal dalam segala urusan. Ada kata berusaha disana yang menandakan proses, perjuangan, lelah, jatuh, bangun. Bukan mengartikan sebagai memaksimalkan hasil karena hasil sejatinya bukan ranah kita. Hasil berada diluar kontrol diri.
Aku masih belajar meski dengan tertatih. Mencari ritme yang tepat sebagai strategi mitigasi risiko dari keputusan-keputusan yang telah ku ambil. Setiap hari rasanya sedang trial and error. Aku coba ritme A dengan planning melakukan a, b, c, d lalu ku lihat hasilnya. Malamnya ku evaluasi diri. Keesokan harinya ku mengganti ritme menjadi B ku planning melakukan e, f, g, h. Ku lihat lagi hasilnya dan evaluasi serta merancang perbaikan. Begitu berkali-kali.
Aku sedang mencari ritme yang tepat untuk menerima keadaan ini. Aku telah dan sedang terus menerus berusaha memaksimalkan diri dalam setiap urusan meski hasilnya belum maksimal. Aku sedang menakar kembali batas diriku. Aku sedang belajar menikmati risiko dari keputusan-keputusan yang telah ku ambil. Merasa waktu begitu singkat, merasa beberapa hal yang membahagiakan tak dapat ku lakukan karena waktunya terbatas. Padahal yang membahagiakanku ya sesederhana menghabiskan waktu membaca buku yang ku suka. Itu saja kadang tak bisa. Padahal sebenarnya ya tak mengapa kan! Padahal sebenarnya aku yang memilih mengisi waktu dengan kegiatan-kegiatan itu. Aku hanya perlu belajar bersabar, satu-satu ya diri. Nanti ada waktunya.
Keadaan ini menyadarkan diriku untuk menjadi pribadi yang berani membayar lebih untuk menggapai mimpi. Membayar lebih mahal dengan berbagai daya upaya. Mau lebih lelah, mau lebih berkontribusi.
Rasanya aku ingin berterima kasih sebanyak-banyaknya pada Rabbku, yang tak pernah sedetikpun meninggalkanku. Lalu ku ingin berterima kasih kepada diriku yang telah dengan gagah mengaku lemah tanpa pertolongan-Nya. Berterima kasih pada diriku yang meski tau jalan ini sepi, sukar, lagi mendaki tetap memilih jalan ini. Tetap percaya pertolongan-Nya dekat.
Ritme yang tepat aku akan menemukanmu. Aku hanya perlu bersabar sebentar lagi karena pola itu akan terbentuk. Ritme yang tepat mari kita bersinergi memberi dampak! Ritme yang tepat ayok kita menangkan diri kita hari ini atas diri kita hari kemarin!
Segera bertemu ya kita, ritme!
13 notes
·
View notes
Text
Surat untuk Sahabatku, Nabila
Hai Bil, apa kabar kamu? Aku enggak menerima jawaban singkat ya hahaha. Bil, makasih ya masih ingat hari ulangtahunku. Aku sama sekali engga menyangka.
Bil, jadi temanmu aja aku udah senang. Makasih sudah berani memberikan _unpopular opinion_. Sudut pandangmu membuat cara berpikirku lebih luas. Ada banyak hal-hal yang diam-diam ku pelajari. Satu hal yang pasti Bil, ketulusan hatimu terpancar.
Barangkali satu dua hal kita berbeda pendapat, berbeda cara pandang, namun satu hal yang pasti. Ridho Allah adalah hal yang sama-sama sedang kita perjuangkan. Bil, aku mungkin bukan teman yang selalu ada membersamai. Tapi kapanpun, kamu bisa menghubungiku.
Bil, tetap bahagia dengan jalanmu ya. Syukur dan sabar semoga tumbuh subuh dan membersamai hari-harimu disana. Rumahmu jauh sih Bil, coba dekat, kita bisa sering bertemu. Tapi apalah arti berjauhan jarak saat doa tak memiliki batasan jarak.
Bil, terima kasih telah menjadi teman yang mau menerimaku dengan segala kekeceranku. Bil, aku tuh kan enggak romantis, hahaha. Kamu tau itu. Tadinya aku mau kirim barang, tapi aku bingung apa yang kamu suka. Tuh lihat kan aku ngga romantis Bil, kesukaanmu aja aku enggak tau.
Bil, kita sama-sama tahu pintu surga ada banyak. Aku teringat pintu surga bernama berbakti ke orang tua kalau ingat perjuanganmu. Enggak mudah Bil, merelakan banyak kesempatan, menurunkan ego diri, dan bersabar untuk tetap di kampung halaman dalam rangka membersamai orang tua. Enggak semua orang mau memperjuangkan itu.
Barangkali memang hidup kita ini sepi dari riuh tepuk tangan manusia. Tak apa Bil, kita tau ada yang lebih hakiki untuk kita cari.
Bil, ada momen berharga banget yang aku ingat. Waktu itu kamu bilang kamu kangen dan mau upload fotoku tapi kamu mengurungkan niatmu karena tau bahwa aku enggak nyaman. Itu berharga banget buatku. Padahal kalau kamu mau melakukannya aku enggak apa-apa. Prinsipku hanya saklek untukku. Bukan untuk sahabat-sahabatku.
Bil, titip ya untuk berusaha saling mendoakan. Aku mau bilang makasih banyak sekali lagi karena sudah berkenan menjadi teman yang meluaskan cara pandangku dan berani mengeluarkan _unpopular opinion_.
Aku cuma bisa doa semoga Nabila Allah jaga selalu dalam penjagaan terbaik, diberikan orang-orang baik dan tepat dalam hidup, dan kelak Allah perkenankan kita ketemu lagi, di dunia dan Surga-Nya.
13 notes
·
View notes