Kelompok 7: Edgina Callista, Rachel S, Bhattari Almasathia, Rivaldo K
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Been there, Done that.
So here goes my experience surviving on the internet..
Awalnya, saya adalah one of those honest buyers, dengan cara berlangganan Netflix.
Tapi Wi-Fi Telkom Indihome nge-ban Netflix karena milik swasta bukan pemerintah.
Tapi gapapa juga si, ada indoxxi. Bahkan lebih banyak movie optionsnya.
Makasi ya pemerintah.. Not so bad after all lol.
Rachel Saputro, 1606916636.
3 notes
·
View notes
Text
Everything is blocked in China :(
Pas gue ke China 2014 kemaren, gue nyoba untuk buka medsos kayak ig, twitter, fb, line, dll. Tp ternyata temen gue blg semua medsos gabisa di akses secara bebas kayak di indonesia.
Karena mau ttp update dan tau kabar keluarga dan temen2 dirumah, temen gue ngasih tau app namanya ExpressVPN yg bisa bikin kita untuk ttp akses medsos secara bebas
Edgina Callista Lunadi - 1606916661
#spik600087
2 notes
·
View notes
Text
gimana.. gimana..
kalo pakai internet dari pemerintah di blockir..
kalo pakai internet dari swasta malah tembus...
piye iki..
Rivaldo Triska Kusuma // 1606890196
3 notes
·
View notes
Text
Privacy kok diumbar2?
Edgina Callista Lunadi - 1606916661
#spik600087
4 notes
·
View notes
Text
VPN is love, VPN is life
Dulu sering chat pake telegram karena ada secret modenya. Seru bisa curcol panjang lebar tanpa ada rahasia yang kesebar. Tapi tahun 2017, telegram di blokir sama pemerintah:( tapi untung ada vpn hehe. Maaf ya pemerintah, telegram diblokir tapi curhat tetep harus jalan beb. Thanks VPN.
Bhattari Almasathia Nabila - 1606873542
4 notes
·
View notes
Text
well.. i have no privacy
Rivaldo Triska Kusuma//1606890196
1 note
·
View note
Text
Nowhere is safe anymore
Semua tempat yang kita merasa aman itu sebenarnya tidak. They’re watching you, but you don’t know who. Maybe, just maybe, life is a lie...
Berikut contoh film black mirror yang berjudul Hated in the Nation yang nyambung sama case study NSA.
Rachel Saputro, 1606916636.
1 note
·
View note
Text
All the famales!
Semua perempuan bisa cari informasi apa aja mengenai beauty brands dan semua yang terkait dengan perempuan di platform female daily ini. Good for you females! ;)
Rachel Saputro, 1606916636.
2 notes
·
View notes
Link
Bhattari Almasathia (1606873542)
1 note
·
View note
Text
Netizen: Julid!
di era new media sekarang ini, sexual harrasment sudah jadi blur. ga melulu dari laki-laki ke perempuan bahkan antar sesama perempuan! #tepokjidat
Rivaldo Triska Kusuma // 1606890196
0 notes
Text
Magdalene.co
Website perempuan yang menampung curhatan perempuan dan sekedar informasi tentang perempuan, tapi gak melulu membahas kecantikan dan parenting loh!
Bhattari almasathia (1606873542)
0 notes
Text
Now Everyone Can Be A DJ
Edgina Callista Lunadi - 1606916661
0 notes
Text
Suhay Salim to the rescue!
I refuse to go to the doctor, and watch Suhay Salim's video instead
Hayo ciwi ciwi siapa yang percaya banget sama Suhay Salim untuk urusan skin care?
Thanks web 2.0
Suhaylah aku padamu
Sumber:
Instagram.com/suhaysalim
Youtube.com/suhaysalim
Bhattari Almasathia -1606873542
1 note
·
View note
Text
Seminar PEKOM (Media Matters // Journalight)
Pada kesempatan pekan komunikasi 2018 ini, saya menghadiri seminar Media Matters X Journalight pada tanggal 18 April 2018 di Balai Sidang UI.
Seminar ini dibawa oleh tiga pembicara yaitu, Dr. Joan Barata, Mba Inaya Rakhmani, dan Mas Arfi Bambani Amri dengan tema “Understanding the Society in the Post-Truth Era”. Dr. Joan Barata sendiri memaparkan dampak-dampak negatif yang terjadi akibar disinformasi. Saya ingat betul pembahasan beliau mengenai hal tersebut. Ia menjelaskan bahwa main problem dalam berkomunikasi bukanlah fake news, namun disinformasi. Disinformasi sendiri juga memberi dampak pada jurnalisme karena informasi yang sangat luas dan beragam ini dapat memicu masalah baru terhadap politik/identitas suatu negara.
Sedangkan Mba Inaya menjelaskan mengenai bagaimana partai-partai politik pada era sekarang merekrut banyak sekali anak muda yang dapat dijadikan representasi partai tersebut, dan menyebarkan isu-isu mengenai partai politik kepada anak-anak muda lainnya. Hal ini memicu keteratrikan anak muda lainnya untuk lebih peka dan engage, terhadap isu tersebut dikarenakan penyebaran isu/informasi sekarang disebarkan melalui media sosial, dan hal tersebut juga dapat disebut sebagai participatory culture Anak-anak muda lainnya akan lebih berpartisipasi dalam mengikuti gerakan-gerakan dan aksi yang mendukung kegiatan politik tersebut. Padahal tidak semua isu/informasi yang disebar itu benar.
Hal ini yang menurut saya sendiri menarik, karena pembahasan Mba Inaya dapat dikaitkan dengan pembahasan Dr. Joan Barata. Selain itu, penjelasan ini juga dapat disambungkan dengan SAP 12, dimana Jenkins mencatat bahwa apabila suatu kelompok/komunitas berpatisipasi dalam suatu isu, kelompok muda lainnya juga akan ikut membantu dalam membahas isu yang ada di dalam organisasi politik tersebut untuk mencapai perubahan yang ingin dituju, hal ini juga biasa disebut sebagai participatory politics.
Reference:
Jenkins, Henry. (2012). ‘The New Political Commons’. Options Politiques.
Rachel Saputro, 1606916636.
0 notes
Text
Sarjana teknik yang iseng ngeblog fashion dan jadi pengusaha: Diana Rikarsari!
Rivaldo Triska Kusuma // 1606890196
1 note
·
View note
Text
Seminar Pekan Komunikasi (Media Matters x Journalight)
Pada tanggal 17 April 2018, saya menghadiri seminar Pekan Komunikasi UI 2018 di Balai Sidang yang bertemakan Society’s Survival Kit in the Post-Truth World. Terdapat beberapa pembicara yang sangat informatif diantaranya Dr. Joan Barata (Founder & Senior Legal Consultant CommVisions), Inaya Rakhmani (Peneliti dan Dosen Ilmu Komunikasi UI), dan Arfi Bambani Amri (Chief Content Officer Selasar.com, anggota bidang Internet Aliansi Jurnalis Independen (AJI)). Kali ini, saya akan mengaitkan hasil diskusi dengan SAP 12 mata kuliah Media Konvergensi dan Praktik yaitu peran sosial media dan teknologi digital pada mobilisasi politik.
Pembicara pertama adalah Dr. Joan Barata, yang disampaikan dalam pemaparannya adalah mengenai adanya disinformasi. Ia mengatakan “The main problem is disinformation not fake news” , mengapa demikian? Ia mengatakan bahwa disinformasi itu bermasalah karena:
- It has implication on democracy
- It weakness journalism and same forms of traditional media
- It creates big filter bubbles and eco chambers
- It can be part of hybrid form of international aggression, using the state machinery
- It creates its own financial incentives
- It triggers political tribalism and identity
Ternyata banyak juga ya permasalahan yang ditimbulkan oleh disinformasi, lalu siapa sebetulnya yang berurusan dengan disinformasi? Dr. Joan menjelaskan ada 3 pihak, dan ia mengibaratkannya dengan dialog sebagai berikut:
Media: “we’ll decide what’s fake?”
Independent arbiter: “No, we’ll decide what’s fake?”
Politician: “we’ll decide what’s usefull to us”
Pada ilustrasi tersebut dapat dilihat bahwa disaat media dan independent arbiter memperebutkan siapa yang bisa memutuskan sebuah berita fake atau tidak, para politisi malah berkata ia akan memutuskan apa yang berguna bagi mereka. Bahkan di era sekarang ini seharusnya bukan menjadi sesuatu yang mengejutkan bahwa politisi membayar organisasi pembuat fake news untuk keuntungan para politisi, saracen misalnya. Lalu, bagaimana kita bisa menangani disinformasi? Tentunya dengan adanya regulasi pemerintah, pemahaman media, pengecekan fakta dan literasi media, memahami dengan benar peran intermedia dan regulasi diri dalam berselancar di media sosial.
Pembicara kedua adalah Inaya Rakhmani yang membawakan materinya dengan judul “Truth And Its Nuances”. Mba Inaya menjelaskan bahwa sebetulnya Indonesia sudah pernah merasakan yang namanya post-truth jika melihat sejarah contohnya saja dengan adanya propaganda anti komunisme pada zaman Orde Baru. Post truth saat ini menimbulkan kecemasan pada kelas menengah ini terkait dengan proses neoliberalisasi di negara-negara dunia ketiga dimana adanya privatisasi lembaga publik / negara, perbankan, perumahan, pendidikan, kesehatan, media,di tambah dengan adanya perubahan sosial yang cepat (demokratisasi dan marketisasi) menciptakan kecemasan tentang upward mobility. Kecemasan itu bisa berupa emosi (takut, marah, jijik) yang menghambat pembuatan keputusan secara rasional. Hal-hal tersebut berpotensial dimanipulasi untuk pemasaran atau tujuan politik tertentu. Contohnya saja kecemasan tentang pemimpin kafir. Mba Inaya menjelaskan bahwa kecemasan ini direproduksi melalui institusi/industri yang ada. Dalam mengatasi kecemasan-kecemasan yang hadir dan sudah tumbuh di masyarakat perlunya lembaga-lembaga publik berpartisipasi untuk mengatasi hal tersebut, karena jika hanya bicara soal larangan, sensor, program keaksaraan, maka itu tidak akan pernah cukup.
Pembicara terakhir yaitu Arfi Bambani Amri, yang menjelaskan mengenai “Understanding the digital lanscape in Indonesia”. Terdapat beberapa hal yang menarik perhatian saya pada pemaparannya, pertama mengenai the old symetry, dimana dulu seorang Presiden jika ingin menyampaikan informai kepada masyarakat diibaratkan melalui sistem berikut: presiden-jurnalis-Masyarakat (melalui TV). Sekarang, sudah terdapat the new symetrydimana Presiden dapat langsung menyampaikan informasi kepada masyarakat tanpa melalui jurnalis dan televisi, melalui vlog misalnya. Jika melihat the new symetry maka bisa dibilang bahwa “Now, everybody is the media, everybody is the source”. Maka dari itu, saat ini sudah adanya pergeseran dibidang jurnalisme seperti munculnya citizen journalism misalnya.
Selanjutnya, beliau menyampaikan mengenai ekosistem media. Ekosistem media itu dibagi jadi 3:
- Dark social: BBM, WA, Line dimana sifatnya lebih personal. Jangkauannya adalah orang-orang yang kita kenal
- Social media: IG, FB, Twitter hal-hal yang bisa dilihat public jika kita tidak menggunakan private account dan jangkauannya lebih luas
- Media: alat yang kita gunakan seperti Handphone, PC, laptop, dll
Dari 3 ekosistem, beliau memaparkan bahwa sharing activity lebih banyak dilakukan di dark social sebanyak 84% disinilah berita-berita hoax biasanya bermunculan dengan berbagai alasan dan latar belakang, karena khawatir atau bahkan sekadar ingin melucu.Beliau menutup pemaparannya dengan memberi tau cara agar kita bisa selamat dari berita-berita yang belum teruji kebenarannya yaitu dengan membaca produk-produk dari jurnalis profesional, membaca koran misalnya.
Terkait dengan SAP 12, dari seminar ini pun dapat diambil kesimpulan bahwa dengan adanya konvergensi media saat ini, mobilisasi politik berubah. Sekarang ini kampanye-kampanye politik bukan eranya untuk berpawai-pawai ria di jalanan sambil mengelu-elukan partainya. Pawai-pawai itu pindah ke kanal-kanal media sosial dengan serangkaian kampanye cerdas untuk memikat khalayaknya. Politisi yang gencar melakukan ini adalah Ridwan Kamil misalnya.
Jika ditarik kesimpulan dari seminar tersebut, kita mendapatkan beberapa kiat untuk bertahan pada era post truth ini dengan melakukan pengecekan fakta, memiliki literasi media, dan membaca produk-produk jurnalis profesional untuk bisa bertahan pada era post truth yang sedang kita hadapi sekarang.
Edgina Callista Lunadi - 1606916661
1 note
·
View note
Text
Seminar Media Matters x Journalight
Dalam seminar yang bertema Society's Survival Kit in the Post-Truth Era, para narasumber yang terdiri dari Dr. Joan Barata, Mbak Inaya Rakhmani, dan Bapak Arfi Bambani Amri, membicarakan bagaimana cara kita survive di era post-truth ini. Dr. Joan Barata menjelaskan adanya perbedaan antara misinformation dan dissinformation. Menurut Beliau hal yang merugikan adalah Dissinformation dan hal ini sudah beberapa kali menyebar di Eropa.
Mbak Inaya menyatakan bagaimana pada era ini banyak kejadian dimana para aktivis muda atau mahasiswa dipekerjakan oleh suatu partai politik untuk menyebarkan informasi yang belum tenti benar. Selain itu Mbak Inaya juga menyatakan di Indonesia, jika ada orang yang terpuruk berarti itu kesalahan individu bukan kesalahan negara. Dengan demikian hal itu menimbulkan adanya social anxiety pada middle classs society.
Hal yang dibahas oleh Mbak Inaya terkait dengan pembahasan dari Henry jenkins mengenai participatory politics. Yaitu bagaimana beberapa kelompok yang memiliki fokus pada suatu masalah, dan kelompok lainnya membantu menghubungkan aktivis muda dengan suatu organisasi politik.
Either way, kelompok-kelompok ini secara aktif merekrut dan melatih aktivis muda, untuk membantu mereka menguasai praktik dasar yang dapat mendukung perubahan sosial.
Sumber:
Jenkins, Henry. (2012). ‘The New Political Commons’. Options Politiques.
Bhattari Almasathia - 1606873542
0 notes