Don't wanna be here? Send us removal request.
Photo
Ada satu prinsip yang saya pegang jika ingin meraih sesuatu.
Yaitu selalu berupaya menghadirkan beberapa pilihan dan menjadikan salah satu pilihan tersebut sebagai prioritas ikhtiar saya. Tentu berdasarkan pertimbangan. Biasanya supaya tidak sewot pakai mbah SWOT, tapi kadang kalau udah kejepit baru deh panggil paman RAPOCCI.
Hal tersebut berlaku saat saya mencari Jodoh (Jodoh yah, bukan pacar)
Namun bedanya, saya menjadikan pilihan itu sebagai rahasia saya, tanpa perlu mengumbar kepada siapapun, termasuk pada mereka yang menjadi pilihan saya. Kemudian ikhtiar saya pada prioritas.
Bagaimana jika ia yang kamu jadikan prioritad tidak mempertimbangkanmu sebagai prioritas hidupnya?
Bisa gunakan bahasa yang lebih merakyat? DITOLAK..
Ya, paling galau bentar (tapi nangis sebaskom, hiks hiks) Prioritas bagi saya belum tentu terbaik dimata Allah, bukan?.
Lalu?
Jadikan pilihan yang lain sebagai prioritas, begitu seterusnya, hingga saya menemukan seseorang yang menjadikan saya sebagai prioritas hidupnya.
Simple kan?
Ini cara saya menemukan jodoh yang sampai sekarang belum berhasil Mohon jangan ditiru. #celotehreceh #aksararindu
4 notes
·
View notes
Text
Aksara Rindu
Ada ikatan, entah bagaimana bentuknya, perihal seorang dengan kampung halamannya. Rindu akan tiap pijakan, akan tiap hamparan, hembus angin, hingga pendar cahaya
Pijakan pertama, kamu kembali, kamu pulang. Memulangkan segala lelah raga dan bising pikiran. Menghirup aroma rindu yang akhirnya terbebas dari tiap belenggu. Mengistirahatkan setiap tatap dengan tiap perubahan, entah letak lemarimu entah itu kursi yang seharusnya menghadap ke barat dan hal lainnya.
Pijakan kedua, kamu berhenti pada suatu titik. Mungkin itu pada sudut ruangan atau tepian teras rumah. Perlahan putaran film masa lampau merenggut alam sadarmu. Tentang ayah, ibu, tentang tangismu, tentang tempat di mana kamu sering terjatuh. Sejenak udara terasa pergi meninggalkan paru-parumu. Ada kosong, ada hampa yang mengisi banyak dari tubuhmu. Ada sepi yang ingin berbagi denganmu.
Pijakan ketiga, kau akan terduduk, terdiam bertemankan sepi. Membagi tiap detik ingatan yang memutar kenangan tentangmu. Mengingat bahwa pohon di depan teras masih setinggi tubuh kecilmu, hingga kini ia menjulang mengecup langit. Mengingat perihal ayunan kecil tempat kau dulu bermain, hingga kini ayunan itu tak ada lagi. Mengingat begitu sederhana kau mampu rindu. Tiap sudut rumah seakan bercerita, berebut tempat dalam alam pikirmu. Merindukan kau yang kini meninggalkannya jauh.
Pijakan keempat, mungkin dadamu mulai terasa sesak. Mengingat betapa jauh kau telah melangkahkan kaki meninggalkan rumah. Mengingat betapa lama kau pergi jauh dari rumah. Mengingat betapa besar keriduanmu untuk pulang, untuk mampu kembali tinggal. Merebahkan segala hari yang lelah. Memeluk segala memoar seakan kau enggan satu pun pergi dari pikirmu.
Pijakan kelima, kau akan berpaling dari tempat kau terdiam. Memeluk sosok yang selalu kau rindukan. Mengembalikan ragamu yang lelah ke dalam pelukan mereka. Memulangkan jiwamu, yang tak kunjung henti mengucap nama mereka dalam doa, ke dalam rengkuh kasih sayang mereka.
Pijakan keenam, kau akhirnya pulang. Pulang untuk memulangkan segala jarak yang dulu merentang. Pulang untuk mengambil tiap kepingan memori yang hilang. Pulang untuk merenggut setiap definisi rumah sebenarnya. Pulang untuk mengantarkan setiap pijak yang tak mampu setiap saat kembali ke rumah. Pulang untuk mengembalikan kau kepada tempat dan orang-orang yang kau sayang.
Karena kau pulang bukan hanya kepada tempat, tetapi juga pada seseorang.
raindropstales.wordpress.com
2 notes
·
View notes
Text
Cinta Serambi Madinah
Hey, Dengarlah…
Kamu, seraut wajah polos tak berdandan dengan sepasang bola mata indah.
Aku ingin merayumu sejenak dengan sebait puisi, meski aku ini pujangga yang tak pandai memuisikanmu.
Esok, jika senja datang, aku ingin mengajakmu bercengkrama dengan waktu di tangga 2000, mengingat kembali kisah romantis Lahilote memikat bidadari dengan caranya. Menyaksikan jejak cinta yang masih terukir abadi di atas bongkahan batu itu…
Hey,
Kamu yang berlindung dibalik hijab kesederhanaanmu.
Mengapa kamu bersembunyi dibalik Benteng Otanaha? Biarlah tembok besar itu memadu kasih dengan sejarahnya sendiri. Kamupun demikian, sejarahmu adalah milikmu dan masa depanmu adalah milik kita…
Hey,
Kamu yang berjari-jari lentik…
Masih ingatkah saat kamu membangun istana pasirmu di Pulau Saronde?
Hey,
Kamu, sepasang mata di balik jendela biru itu..
Dengarlah ikrarku ini..
Aku ingin memuliakanmu di Menara Mulia, menyuntingmu dengan teratai merah yang kupetik dengan kasih di tepian Danau Limboto…
4 notes
·
View notes
Quote
Terkadang kita memang harus berhenti, bukan terus berjuang. Ada sesuatu yang tak mungkin kau dapatkan sekeras apapun kau berusaha. Maka Tuhan kerap mengirimkanmu pertanda-pertanda untuk memberitahu bahwa jalan yang sedang kau raih ini tidak menuntunmu ke mana-mana. Beliau akan memberikanmu banyak sekali pertanda. Kegagalan, usaha yang tak kunjung berhasil, tak pernah menemukan jalan, tak ada kesempatan, tidak ada petunjuk, dan masih banyak lagi. Ada kalanya kita harus berhenti sejenak. Merendahkan hati sebentar untuk mau melihat lebih jelas, apakah ini jalan yang memang Tuhan izinkan untukmu? Atau kau harus mencoba hal lain dulu sebelum berhasil di jalan ini? Ataukah memang takdirmu bukanlah di situ. Sesuatu yang begitu kau inginkan, tidak serta merta menjadi sesuatu yang pantas untukmu di mata Tuhan.
(via mbeeer)
2K notes
·
View notes
Photo
Photographer Spends Hours on Bridges to Capture Colorful Overhead Portraits of Street Vendors
37K notes
·
View notes
Text
Sebaris Aksara Tuhan di Pulau Saronde
Aku mengagumimu dengan caraku,
dengan cara yang biasa, seperti yang diajarkan ibuku.
Mengagumimu dengan melangkah...
Kau sambut langkah pertamaku dengan pasir putihmu yang begitu lembut, di iringi dengan pohon pinusmu yang sedang menari seperti darwis-darwis muda berputar seirama dengan gemuruh air birumu.
Aku mengagumimu dengan caraku, seperti yang diajarkan ibuku.
Mengagumimu dengan senyum.
Karena kau begitu romantis, kau hadirkan warna-warni melengkung dibalik pulau mungil itu, kau warnai sore ini yang mulai redup, matahari pun lamat-lamat turun menyisahkan siluet senja, melukis aksara-aksara kehidupan dengan tinta jinggamu.
Aku mengagumimu dengan caraku, seperti yang diajarkan ibuku.
Mengagumimu dalam diam.
Karena kau adalah penggoda, kau rayu aku untuk lama bercumbu malam ini dengan menghadirkan sebias cahaya rembulan masuk perlahan diantara celah-celah atap gazebo, tempatku bersandar malam ini, aku pun semakin larut dalam diamku, menikmati setiap jengkal hasil karyamu yang terhampar indah tepat di depan mataku...
1 note
·
View note
Text
Cinta Serambi Madinah
Hey, Dengarlah...
Kamu, seraut wajah polos tak berdandan dengan sepasang bola mata indah.
Aku ingin merayumu sejenak dengan sebait puisi, meski aku ini pujangga yang tak pandai memuisikanmu.
Esok, jika senja datang, aku ingin mengajakmu bercengkrama dengan waktu di tangga 2000, mengingat kembali kisah romantis Lahilote memikat bidadari dengan caranya. Menyaksikan jejak cinta yang masih terukir abadi di atas bongkahan batu itu...
Hey,
Kamu yang berlindung dibalik hijab kesederhanaanmu.
Mengapa kamu bersembunyi dibalik Benteng Otanaha? Biarlah tembok besar itu memadu kasih dengan sejarahnya sendiri. Kamupun demikian, sejarahmu adalah milikmu dan masa depanmu adalah milik kita...
Hey,
Kamu yang berjari-jari lentik...
Masih ingatkah saat kamu membangun istana pasirmu di Pulau Saronde?
Hey,
Kamu, sepasang mata di balik jendela biru itu..
Dengarlah ikrarku ini..
Aku ingin memuliakanmu di Menara Mulia, menyuntingmu dengan teratai merah yang kupetik dengan kasih di tepian Danau Limboto...
4 notes
·
View notes
Text
Kamomose
Semalam, setelah menyelesaikan Training terakhir di Desa Boneonge, kawan saya yang merupakan penduduk lokal mengajak kami menghadiri acara adat Kamomose yang kebetulan dilaksanakan di desa itu, tapi karena diserang rasa ngantuk dan penat karena seharian berkeliling desa, sayapun tidak serius menanggapinya.
Kawan saya kemudian menjelaskan bahwa Kamomose adalah acara ajang mencari jodoh buat muda-mudi yang siap menikah, “nanti para gadis-gadis akan duduk di depan nampan masing-masing dan pemuda berkeliling sambil melihat, jika ada gadis yang menarik perhatian, langsung lempar kacang ke nampan gadis itu, jika dia merespon, maka lanjut dengan perkenalan” sambungnya.
Mendengar kata “Jodoh”, seketika rasa ngantuk saya hilang, sambil memperbaiki sandaran kursi mobil, dengan setengah berteriak saya katakan
“ Ayoo kesana”...!!!
# Tanganku kini memegang baskom kecil berisi banyak kacang tanah sebagai senjata untuk melempar nampan gadis-gadis yang sedari tadi duduk angun dengan balutan pakaian adat buton, wajah mereka samar-samar terlihat disinari pendar cahaya lilin yang disimpan di atas nampan.
Berbekal semangat 45 dari seorang jomblowan yang ingin menjemput jodoh, bersama teman, saya kemudian melangkah perlahan melihat dengan seksama wajah gadis-gadis yang kami lewati. Namun, magnet paras angun khas gadis buton tak satupun mampu menarik tanganku untuk melempar kacang ke nampan mereka.
“Kenapa belum melempar?” dia berbisik kepadaku “Tidak apa-apa”, kami lanjut berjalan. Padahal dikepalaku bergejolak sebuah pengandaian. Mengandaikan sekiranya menemukan Hayati duduk angun dalam lingkaran dengan kerudung putihnya lalu berkata “abang zainuddin, Hayati telah lama menunggumu bang, lemparkanlah semua kacangmu kenampanku” :D :D
Tepukan dipundakku seketika membuyarkan lamunanku “Saya lupa memberitahukanmu, kawan. Sebenarnya acara Komomose ini hanya seremonial saja tujuannya untuk penggalangan dana, kebetulan juga masyarakat disini banyak yang pulang dari perantauan”.
Ahh, ngomong dari tadi kek, ayoo pulang..!!
# Dulunya Adat Kamomose memang ajang untuk mencari jodoh, tapi sekarang sudah mengalami pergeseran, karena jodoh kini sudah tidak ditentukan lagi dari seberapa banyak kacang yang dilempar di nampan gadis. Tapi seberapa besar nominal uang Panai yang ditaruh diatas nampan orang tua si gadis, eeaa
Cerita semalam dengan sedikit dramatisasi..
0 notes
Text
Tentang Mimpi
“Kamu sudah majenun, Zai...! “
Kalimat itu keluar bersamaan dengan kedatangannya. Langit kemerah-merahan diatas dermaga Kota lama menjadi saksi pertemuan terakhir itu.
Dia mendekatiku dengan wajah muntab “Kamu tahu apa yang aku pikirkan tentang kita?”
Aku dan kamu seperti mengurai silogisme tentang dua premis yang tak bertautan. Semakin dihubungkan, semakin dibolak-balik, ia hanya berakhir pada antitesis yang absurd. Kita tidak memiliki keterkaitan apalagi ketertarikan. Menyatukan kita adalah doa ketidakmungkinan yang dilantunkan dengan ketidakwarasan. Begitulah kiranya hubungan ini, Kamu paham?
“Jangan kamu gunakan logikamu untuk menjelaskan semua ini, kamu hanya akan tersesat pada labirin panjang yang kamu ciptakan sendiri," timpalku. Bukankah hidup ini memang absurd? Yang kamu lihat melalui manik matamu hanyalah delusi yang merekayasa kesadaranmu. Itu semu.
Tapi, baiklah, aku paham satu hal sekarang, sepertinya realitas telah merenggut mimpi-mimpimu, mimpi kita.
Apa yang bisa aku harapkan dari dunia fantasimu itu?” Dia nyinyir melihatku.
Aku menawarkan masa depan, bukankah itu semua telah purna kita bahas?
“Sudahlah Zai, jangan kamu libatkan aku lagi dalam mimpi kosongmu itu, jalan kita berbeda. Aku pergi.
###
Dering suara handphone sekelebat menyadarkan Zai dari mimpinya, dia seketika duduk dengan tatapan kosong, wajahnya basah oleh keringat. Diapun mengambil handphone disampingnya, sebuah pesan singkat muncul dilayar...
” Kita bertemu besok di Dermaga, jam 5 sore..!!!”. YATI
1 note
·
View note