Text
225 notes
·
View notes
Text
Keabadian dan Dunia yang Terbakar
Di atas sana, ia berdiam seolah tak peduli pada kehidupan ataupun kebenaran yang kucari
Menatap, seakan tak memberi perhatian pada segala yang ku rasakan pada mimpi-mimpi dan luka-luka yang membentukku
Di atas sana, ia tetap diam tak tergerak oleh kebisingan dunia yang ku ciptakan
Mungkin ia tahu bahwa aku hanyalah serpihan waktu yang tak bisa mendekati kedalamannya
Ia setia di sana menghadirkan ketenangan yang tak bisa kusentuh menjadi saksi bisu untuk segala yang ku lalui namun memilih tak ikut merasakannya.
0 notes
Text
Laki-Laki Bisa Berpura-Pura Mencintaimu
Laki-laki bisa berpura-pura mencintaimu, dengan cara yang begitu halus hingga kamu tidak sadar sedang berdansa dengan bayangannya, bukan hatinya. Ia akan menatap matamu seolah-olah kamu satu-satunya peta yang bisa membawanya pulang, padahal ia hanya menikmati perjalanan, tanpa niat menetap.
Ia akan bicara tentang masa depan lengkap dengan detail, seperti warna rumah atau nama anak-anak yang mungkin kalian miliki kelak. Tapi, jika kamu mendengar lebih dekat, ada jeda kecil di nadanya, seperti seseorang yang membaca naskah, bukan menyuarakan pikirannya sendiri.
Laki-laki bisa mengucapkan "aku cinta kamu" dengan begitu tulus di permukaan, sementara di dalam dirinya, ia menghitung waktu. Berapa lama lagi hingga dia merasa cukup, hingga dia bisa pergi tanpa merasa bersalah.
Kadang-kadang tidak bermaksud menyakiti, beberapa dari mereka terlalu takut untuk jujur—baik kepada dirimu maupun kepada dirinya sendiri. Kadang, mereka mencintai gagasan tentangmu, bukan dirimu yang nyata. Atau mungkin, mereka hanya mencintai kenyamanan yang kamu berikan, seperti bantal yang empuk di akhir hari yang melelahkan.
Namun, cinta sejati tidak bisa dipalsukan. Ia memiliki cara untuk membongkar topeng, mengurai kebohongan yang bahkan disembunyikan dengan rapi.
Pada akhirnya, laki-laki yang berpura-pura mencintaimu akan memperlihatkan wajah aslinya, bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakannya—atau ketiadaannya.
Maka, jangan hanya mendengarkan apa yang ia katakan. Perhatikan apa yang ia lakukan. Karena cinta sejati selalu terlihat lebih jelas dalam keheningan, dalam tindakan kecil yang tak pernah ia rencanakan, dan dalam kehadirannya yang tetap bahkan saat segalanya menjadi sulit.
0 notes
Text
Simpuh Sunyi
Di bawah langit lusuh yang tersaruk senja berdetak perlahan hati yang terbungkam terjepit dalam lintasan kota yang mengeras di mana keramaian hanya sisa bising yang mengiris
Kepada malam yang menyamarkan segala luka kukenang serpihan harap yang dulu bening membisik lirih tentang keheningan tanpa cela tentang hidup yang tak meminta apa-apa
Rasanya, jauh dari gemuruh arus waktu ada yang merintih pelan, membisikkan damai mencari tepian di mana rindu berhenti dan keletihan larut bersama desir angin pagi
Namun, di dunia ini, apakah mungkin? terdapat sejenak sunyi tanpa cemas seuntai jeda di antara lara di mana jiwa bebas bernafas tanpa sisa luka?
Ah, angan pun tak berdaya— sekadar berbaring di atas sayap malam menyulam doa pada senyap yang sunyi agar esok tiba tanpa kejutan, tanpa belenggu.
0 notes
Text
Nggak Repot, Kok!
Ini bukan tentang melakukan kebaikan tanpa ekspektasi sama sekali, tapi lebih ke menghadapi ekspektasi saat lo melakukan kebaikan.
Susah.
Ngelakuin kebaikan tanpa ekspektasi itu emang susah banget. Kita sering banget butuh dihargai, butuh diapresiasi atas apa yang kita lakuin. Kita pengen dapat pengakuan, entah itu dari orang lain atau sekedar rasa puas diri.
Di dunia yang penuh dengan standar sosial dan ekspektasi, kita jadi mikir kalau kebaikan kita harus "dibayar" dalam bentuk sesuatu. Ditambah lagi, pengalaman sebelumnya yang nggak selalu dihargai bisa bikin kita makin susah buat ngelakuin kebaikan tanpa harapan. Jadi secara nggak sadar, kita berharap ada timbal balik, entah itu pujian, perhatian, atau rasa terima kasih.
Gue pernah berpikir. Emangnya ada orang yang melakukan kebaikan tanpa ekspektasi?
Ya mungkin aja. Ada.
Yang terlintas di kepala gue adalah kebaikan orangtua yang selalu ngasih yang terbaik buat anak-anaknya tanpa berharap imbalan, juga kebaikan yang dilakukan pemilik kepada hewan peliharaannya. Selain itu, gue nggak kepikiran.
Gue nggak minta lo semua untuk mulai melakukan kebaikan tanpa ekspektasi eksternal. Gue paham banget, kadang ngomongin hal kayak gitu emang nggak gampang, apalagi di dunia yang penuh ekspektasi kayak sekarang. Tapi kalau lo punya keinginan untuk lebih fokus melakukan kebaikan untuk memenuhi rasa puas diri lo berdasarkan ekspektasi internal lo, kayak perasaan bangga terhadap nilai-nilai pribadi kita, atau sekadar kepuasan karena merasa telah melakukan hal yang benar. Mungkin kita bisa mulai dari diri kita sendiri dulu. Kenapa gue ganti kata "lo" menjadi "kita", karena gue baru aja menyadari dan ingin memulai ini. Kita bisa mulai dengan melakukan kebaikan yang tulus, bahkan meskipun itu cuma hal kecil yang nggak bakal langsung dapet perhatian. Contohnya kaya gimana tuh? Tanya kabar orang yang jarang lo kontak. Kadang orang nggak expect akan ada yang nanyain kabar mereka, apalagi kalau mereka lagi merasa down atau kesepian. Cuma nanya "Gimana, lo sehat?" bisa ngebuat hari mereka lebih baik. Contoh lain, pertahanin senyum lo selama di jalan. Mungkin lo nggak tahu seberapa besar dampaknya, tapi kadang senyum kita yang ditangkap orang asing di jalan bisa mencerahkan harinya, apalagi kalau mereka lagi merasa terasing atau lelah saat itu. Kadang, itu bisa jadi contoh yang ngefek ke orang itu, meskipun nggak langsung.
Hal pertama yang perlu lo ingat, kalau kebaikan bukan soal ngubah orang lain, tapi soal lo merasa lebih damai dengan diri sendiri karena lo tahu lo melakukannya dengan hati yang tulus. Lo nggak perlu maksa orang lain buat ngikutin, tapi perlahan lo bisa tunjukin lewat tindakan.
Diabaikan? biarin.
Ketika kebaikan lo diabaikan, itu bukan soal lo atau nilai perbuatan lo. Hal kedua yang perlu lo ingat, kalau respon orang yang menerima kebaikan itu tergantung gimana mereka ngeliat diri mereka sendiri atau dunia di sekitar mereka. Ada yang, karena luka lama atau masalah percaya diri, malah curiga sama kebaikan yang orang lain kasi. Mereka pikir itu cuma basa-basi atau bahkan ada maksud tersembunyi, bukan ketulusan. Padahal, itu semua cuma cerminan dari keraguan atau pengalaman buruk mereka yang dulu.
Emang nggak gampang sih pas kebaikan yang kita kasih malah nggak dihargain atau malah dicurigain, rasanya kayak sia-sia. Dan ini hal ketiga yang perlu lo inget, kalau kebaikan yang tulus itu ya perbuatan yang tanpa syarat, nggak bergantung sama reaksi orang lain. Jadi, kalau kebaikan lo diabaikan atau malah dicurigain, jangan biarin itu bikin lo down. Biarkan kebaikan lo tetep jadi cerminan dari hati lo, bukan dari respon orang lain. Karena, di akhirnya, kebaikan lo itu bukan tentang mereka.
0 notes
Text
Sunnah dalam sistem hukum Islam adalah amalan atau perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapat pahala, namun jika ditinggalkan tidak berdosa. Artinya, amalan sunnah bersifat anjuran, bukan kewajiban.
Meski pun tidak berdosa jika ditinggalkan, sunnah tetap sangat dianjurkan untuk dilakukan karena memiliki manfaat besar, baik secara spiritual maupun praktis. Amalan sunnah seperti shalat sunnah, sedekah, dan berzikir dapat mendekatkan kita kepada Allah, menambah pahala, serta membantu melatih disiplin dan kebersihan hati.
Khusus ragam hal yang saya sebutkan di atas, itu adalah amalan atau perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapat pahala, namun jika ditinggalkan KITA YANG RUGI.
0 notes
Text
J.
Seperti menanggalkan malam yang begitu kukenal dalam senyapnya, aku meraba sisa-sisa hangat yang dulu pernah ada.
Mungkin cinta memang tak selalu tentang menggenggam kadang, ia juga adalah keberanian untuk mengikhlaskan seperti angin dan ombak yang tak pernah benar-benar bersatu bertemu hanya untuk saling melempar lalu terpisah lagi menunggu pasang surut yang tak pernah pasti.
Pergilah bawalah separuh cerita yang pernah kita bagi biarkan separuhnya tinggal bersamaku disini
Barangkali, Melepasmu adalah cara paling tepat untukku mencintai dengan ketulusan yang tenang tanpa harus menyakitimu lagi.
0 notes
Text
1. 9/9/24: Thanks, Mas Pu
Pagi ini gue awali dengan...
Gue hampir ga pernah duduk ngelantai di kamar kost. Sepagian sejak jam 6 sampe jam 7, gue selonjoran merosot nyandar di sisi tempat tidur. Ngelantai. Fyi kost gue masih yang lama.
Kamar gue lumayan jarang dilewati karena gue di pojok depan. Tadi, Mas Pu tiba-tiba muncul depan pintu. Gebrakan di pintu dan teriakan "woi" sempat bikin gw kaget wkwk. Hp gw rolling beberapa kali di udara, untungnya tangan gue siap sedia.
"Apaan anying, kaget!!" gue bales teriak sambil ketawa ngakak. Kalau dibayangin muka gue pasti lawak banget.
"Musik doang kenceng. Lesu amat lu!"
Gw ketawa kecil sembil nyamperin Mas Pu yang berdiri di luar kamar gue.
"Ayolah ngebalkon. Kita ngobrol tipis-tipis."
Gue ikutin Mas PU. Musik gue tetap menyala kenceng.
Walaupun musik gue kenceng, gue masih bisa denger suara pedagang berlalu lalang. Kang bubur ayam, kang tahu, dll.
"Mana aja sebulan kemarin?"
Enak banget tiap ada yang tanyain kaya gini. Gw ngebatin bentar.
"Liburan, Mas. Ngilangin setres"
"Tapi balik-balik masih setres aja gue liat. Noh td di kamar lu bengong sendirian."
"Emang iya keliatan setres? Gue cuma bingung aja mau ngapain."
"Emang kaga ada kegiatan?"
"Ya banyak. Cuma gue ga pengen yang itu."
“Mungkin ga sih kalau lu itu lupa hidup buat sekarang, Web? Gue juga mikirin hal itu akhir-akhir ini. Sederhana, tapi banyak yang lupa,” Mas PU melanjutkan setelah mengisap rokoknya. “Apa istilah anak sekarang? mindfulness? berkesadaran?”
Gue mengangguk. “Tapi, Mas, hidup berkesadaran yang lu maksud itu gimana?”
“Banyak orang kejar-kejaran sama waktu. Mau apa-apa cepet, mau segalanya tercapai. Padahal, yang bener itu adalah ngerasain setiap momen yang ada di hidup kita. Bukan cuma ngejar hasil, tapi juga menikmati prosesnya. Misalnya, lo lagi makan, ya nikmatin tiap suapan, gimana tekstur makanan itu di mulut, aromanya, rasanya, jadi bukan cuma asal kenyang. Lagi jalan, ya perhatiin langkah, rasain udara, liat sekeliling. Lagi mandi, rasain gimana sensasinya ke kulit, panas atau dingin.” Nada suaranya kedengeran menggantung. Jadi gue diam dulu nungguin dia mulai lagi.
“Bukan berarti masa depan jadi ga penting. Masa depan tetap penting, tapi jangan sampai lu lupain momen sekarang. Lu boleh punya target, tapi jangan hidup hanya buat masa depan sampai lu lupa untuk menikmati hal-hal kecil yang ada sekarang. Hidup berkesadaran itu soal hadir penuh di saat ini untuk merasakan, menyadari, dan menghargai apa yang lagi terjadi di sekitar lu.”
“Kayaknya susah deh buat ngelakuin itu. Apalagi kalau kepala penuh sama penyesalan atau pikiran-pikiran tentang hal-hal yang belum gue capai.”
“Justru itu tantangannya,” Mas PU cengar cengir. “Kebanyakan orang ga sadar kalau mereka terjebak di masa lalu atau terlalu jauh berandai-andai soal masa depan. Coba deh, sesekali lu berhenti mikir soal apa yang udah lewat atau apa yang bakal datang. Fokus ke apa yang lagi terjadi sekarang. Apa yang bisa lu rasain saat ini? Hembusan angin, suara di sekitar lu, bahkan rasa napas yang keluar masuk tubuh lu. Kadang, itu aja cukup buat bawa lu balik ke momen ini.”
“Kayaknya gue emang sering ngelupain hal-hal kayak gitu.”
“Itu wajar, Web. Kita semua pernah. Tapi kalau lu mau coba hidup dengan lebih berkesadaran, lu bisa mulai dengan hal kecil. Nggak usah muluk-muluk. Misalnya, pas bangun pagi, coba lu perhatiin gimana tubuh lu terasa setelah tidur. Pas lagi makan, coba rasain bener-bener rasa makanannya. Atau pas lu lagi bengong kayak tadi, biarin aja. Jangan paksain pikiran buat terus sibuk. Dengan berkesadaran, lu bisa menikmati hidup lebih utuh, tanpa terbebani sama apa yang belum tercapai atau yang udah lu lewatin.”
Gue merasa nyaman banget setelah obrolan tadi. Ada gejolak-gejolak aneh dari dalam diri gue. Abis nulis ini kayanya gue mau olahraga bentar, mandi, lalu ketemu kakak gue. Gue udah terlalu ga tau diri biarin dia ngurusin semuanya sendiri hoho. Gue suka perasaan ini.
0 notes
Text
Hidup di Antara Kosong dan Keramaian
Seperti sedang berada di pesta besar. Musik berdentum, orang-orang bersenang-senang, dan di tengah keramaian itu, seseorang berdiri sendirian dengan sepotong kue di tangan.
Ternyata, sepi bisa menjadi sangat artistik bagi sebagian orang. Seperti lukisan abstrak yang penuh warna namun kosong di bagian tengahnya.
Katanya, semua orang kadang merasa sepi, tetapi bagiku sepi bukan hanya sekadar menghindari interaksi sosial yang tidak diinginkan atau menghindari obrolan dengan tetangga yang terlalu ramah. Tingkat sepi ini lebih dalam dari itu, seperti membaca buku dengan halaman-halaman yang juga kosong. Menghabiskan waktu berjam-jam mencari jawaban di dalam diri sendiri, hanya untuk menyadari ternyata jawabannya adalah teka-teki yang bahkan lebih rumit dari Sudoku paling memusingkan. Juga seperti mengadakan konser bernyanyi di tengah ruang kosong. Aku berdiri di panggung, berusaha sebaik mungkin, namun setiap nada dan lirikku tenggelam dalam keheningan tanpa respons. Aku mencari pengertian dan koneksi, tetapi hanya menemukan refleksi diri yang tampaknya lebih asyik berbicara sendiri.
Mungkin di sinilah letak keunikan dari perjalanan sepiku ini. Di kesunyian yang seringkali terasa menggigit, aku memiliki kesempatan untuk menjadi filsuf kehidupan, setidaknya kehidupanku sendiri. Aku belajar tentang makna "hati yang penuh" lewat rasa sepi, tentang bagaimana berteman dengan ketidakpastian dan bagaimana menari dalam kesendirian tanpa disaksikan oleh siapapun. Meskipun kadang terasa seperti menjadi pemeran utama dalam film drama dengan anggaran rendah, aku mencoba percaya kalau aku juga memiliki kemampuan untuk menciptakan makna dalam adegan-adegan yang kuperankan. Dan mungkin, hanya mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan penonton yang menghargai keunikan penampilanku, atau setidaknya, aku akan lebih bisa tertawa pada pertunjukanku sendiri.
0 notes
Text
Dulu aku tak pernah berpikir untuk meninggalkan kota besar. Bagiku, kota ini adalah taman bermain yang tak pernah kehabisan energi. Gedung-gedung menjulang, lampu kota yang gemerlap, dan pilihan hidup yang seakan tak ada habisnya. Namun, seiring waktu, semua itu mulai pudar. Rutinitas yang dulu menyenangkan berubah menjadi beban. Hiruk-pikuk kota yang awalnya memikat kini terasa melelahkan. Klakson, orang-orang yang tergesa, dan pilihan-pilihan yang tak lagi menarik membuatku jenuh. Aku mulai iri pada mereka yang hidup jauh dari kebisingan kota, menikmati udara pagi yang segar dan ketenangan alami. Mereka hidup dengan ritme yang lebih lambat namun penuh makna. Sesuatu yang semakin sulit ditemukan di tengah belantara beton ini.
0 notes
Text
Hari ini pukul tujuhbelas nol enam. Ponselku berdering. Gadis itu menelponku. Membaca namanya saja membuatku gelagapan. Rasanya selalu begitu. Gelisah, tapi sangat membahagiakan.
Masalah adalah topik utama dalam panggilannya maupun panggilanku. Selain itu, tak akan ada upaya saling mencari. Terkadang kami bingung mengapa kami hanya berkomunikasi untuk membahas permasalahan.
Aku suka menebak, itu karena kami sama-sama menyenangi kesen(diri)an. Sehingga seringkali kami merasa tak nyaman dan merasa terluka oleh perlakuan keramaian. Meski tak saling bisa menyembuhkan, kami bisa saling mendengarkan.
Memang yang kami butuhkan hanyalah pendengar.
0 notes