Text
Berawal dengan miras, berakhir dengan waras
Mungkin ini berawal dari rasa mual di WC akibat skeptikal saya terhadap negara ini dalam memerangi korupsi yang semakin menggerogot, Saya akhirnya mengamini quotes pada salah film gangster jaman baheula yang banyak menceritakan kaum papa italia di amerika sana. Isinya terpancang berbilang “Negara akan maju jika pembangunan dan korupsi bergandeng berdampingan dan tak saling jegal”. Terbayang sepintas sebuah konsep yang bagaimana mendapatkan kemenangan bersama antara dua pihak, win-win solution. bahkan yang paradoks sekalipun seperti nukilan lirik ‘I know, you belong to somebody new, but tonight you belong to me’ yang terkenal berkat film The Jerk. keseimbangan akan melahirkan keselarasan yang bahkan tak terbayangkan, memenangkan keseimbangan layaknya sebuah kemewahan yang tak dapat diklaim oleh salah satu pihak. Terlepas dari intisari qoutes tersebut tentang civilitation geopolitik dan beberapa hal diatas, adalah sangat menyenangkan dan manusiawi memberi porsi tak bimbang antara yang benar dan salah, baik dan buruk, kadar berat surga dan neraka. Pun jika kedua belah menyoal kesehatan. Nah Poin yang belakang ini agak mengusik nalar saya.
Sebut saja berapa banyak tumpukan berita kuning dan bermacam delik yang melibatkan minuman keras sebagai pemicu alias triger,pemeran utama, maupun berkameo sebagai pelampiasan. Tak terhitung dan selalu menjadi konsumsi renyah komoditi bisnis media. Psuedo yang kadung tertancap kuat tentang pandangan negatif miras, juga didukung pula dengan popularitas lagu lagu bertema miras. Mulai dari dakwah mirasantika sang raja dangdut bang rhoma, hingga musisi top internasional yang menggemakan semangat jihad berperang melawan miras dan menempatkan miras pada sisi yang dianggap jahat. Mungkin banyak juga band dan seniman yang persetan dengan itu semua bersemangat independen dan partikelir yang menyandingkan miras dengan hal hal yang berbau positif dan multiview,yang namun tidak berada di arus utama garda depan media konvensional. Sebut saja shagydog, sid, hingga penggembala lirik liar seperti sosok jason ranti. Atau duo surabaya ‘silampukau’ dengan segala keromantisan kotanya yang bersinggungan dengan aroma intisari yang memikat.
Hal tentang miras dan kesehatan seperti bentangan yang teramat lebar, miras kadung dikonstruksi sebagai penyebab kerusakan akan kesehatan. Apa yang dibumbui miras pasti akan bertolak belakang dengan perihal topik kesehatan.
Hingga rasa skeptis tentang dua unsur beda kutub itu sedikit berputar halauan saat tempo malam seorang teman pulang dari ujung jengkal celebes membawa buah tangan dengan rupa minuman khas daerah, mungkin versi ‘anggur orang tua’ dengan kadar alkohol yang sukar didefinisi.
Cap Tikus
Beliau yang bangga setelah menjalani pengabdian kecilnya tersebut berujar sembari terkekeh bahwa menikmatinya harus diiringi lagu top lokal juga, lagu tradisional dengan baluran semangat kolektif post-new wave yang teringkas dalam satu organ. lagu daerah bergenre house remix !. Terokupasi dengan paksa kedua telinga dengan gelombang yang menendang gendang. Bisa dibilang, saya bukan penikmat fasih musik garda depan yang sering terpatri di jajaran top 40. Bukan juga anak lantai dansa yang doyan ke klub malam. dengan kata lain, telinga kurang memberikan atensi lebih untuk jenis yang satu ini. Namun lama kelamaan familiar juga dengan tembangnya, aneh, tak asing dan cukup menyenangakan. Ajegile, ini ternyata nomor nomor daerah, lebih jauh lagi, ini adalah satu lagu pengiring senam, senam ayo bersatu!. Cukup gila dan gembira saya diajak menyusuri labirin yang akhirnya menuntun pada era SD, berseragam putih lusuh (agak krem) dan merah serta berdasi tut wuri handayani. Biadab memang tinggalan memori ini. Sampai sampai terbesit keinginan mengganti judul skripsi yang tak kunjung usai dengan ‘Dampak house remix yang youthful terhadap tubuh yang sehat’. Ya namanya juga sedang hangover. Heuheu. Mungkin agak jauh juga, berangkat dari minuman keras, menyambangi harta warisan lokal dan berpotensi berakhiran di lapangan dengan tubuh yang berkeringat.
Ok, jika harus bercerita, mungkin begini mulanya. Sekitar awal milenium, saya pernah mengecap bangku SD dengan latar halaman luas, mungkin sudah masuk kategori lapangan, hingga cukup luas untuk latihan tawaf lansia berhegemoni haji, atau sekedar untuk rebahan versi film Boyhood, atau untuk kegiatan apalah yang berhubungan dengan olahraga. Ok, poin terakhir sepertinya bisa jadi andil penting artikel ini lahir. Pokoknya cukup luas. Mungkin karenanya juga, kurikulum senam keranjingan dicekokkan, waktu pagi saya dijejali dengan kegiatan berkeringat. Senam pagi menu pasti mengawal hari yang tercatat saban selasa, kamis dan sabtu. Tiada kesempatan PR untuk dikencani. Dan yang terpenting, kegiatan ini wajib untuk seluruh warga sekolah, tak terkecuali pak kuncen yang nafasnya tak sampai satu deka dan ibu kantin setengah baya, totalitas tanpa batas !. benar benar pagi yang berkeringat untuk ber-crowd euphoria dalam baluran senam berjudul Ayo bersatu.
gambar : ilustrasi senam
Ayo Bersatu layaknya berisi harta karun yang lama terpendam, dicor dengan material keras dan menjadi kapsul waktu menunggu dioplos dan diobrak abrik. Sebuah ‘morning rave party’ dengan setlist knowledge nuansa nusantara ciamik. nomor-nomor macam Sepatokaan daerah Minahasa, Sinagan Tulo dari Tanah Tapanuli, Cublak-Cublak Suweng dari Jawa, lagu pesan sakit hati ‘Sapu Tangan Berpucu Empat’ yang lagi-lagi dari ranah minahasa, Manuk Dadali dari tanah sunda, Huhate dari Ambon, Kampuang Jauh di Mato dari Minang menjadi isi. Hingga pada akhirnya ditutup apik dengan tembang ‘Tanah Air’ pada gerakan pendinginan sebagai penegasan lanskap persatuan. Semua digubah dengan gaya houseremix disko yang youthfull, ceria dan anti kantuk. Mungkin salah satu cara paling demokratis memahami nusantara yang tersaji dalam sarapan bergizi kaya representasi. Siapapun dan pada momen apapun mendengarkan lagu remix Ayo bersatu niscaya akan bergoyang, tanpa peduli latar belakang. Pun tak terkecuali semisal konser metal belum dimulai dan para metalhead telah berjubel, putar saja lagu ajaib ini, para metalhead brengsekpun serentak senam sehat dengan muka manis meringis kaku layaknya instruktur dalam vcd tutorial senam. something majestic.
Atas dasar rasa sadar dalam mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga, Buru buru saya mengucapkan terima kasih kepada puan dan tuan FOMI (Federasi Olahraga Masyarakat Indonesia), yang terarsip telah me-remix dan me-mastering lagu latar senam Ayo bersatu ini. Walaupun agak telat juga, terpaut 14 tahun dari awal saya dengar pertama kali, daripada nggak sama sekali. Akhirnya sambil menikmati ‘ameran’, ehh ‘pameran’ khazanah lagu nusantara dalam medley Ayo Bersatu’ ayo awali hari dengan bersenam. Dan ternyata lewat house music, minuman keras dan kesehatan tak cukup keras untuk saling sikut.
0 notes
Text
Dramatisasi Hujan
Hujan disuarakan sebagai gejala alam berwujud pertikel cair yang jatuh dari kolong langit dengan jumlah jamak. Berhulu dari siklus air yang urut mulai dari penguapan air laut, menjadi gumpalan abstrak awan di kolong langit, tertiup hingga suatu kala menjadi awan mendung yang murung. Kadang saat terlampau jenuh dengan kandungan air yang dibawa, ia muntahkan berkah cair yang menjadi syarat mutlak apapun yang dilaluinya untuk hidup. Mengagumkan. Namun jika ia sedang hyper dan terlalu mengekspresikan ‘kegembiraannya’, semua yang dilaluinya juga akan hidup namun di alam lain. ‘’Ah, layaknya standar ganda, dua karunia ‘majestic’ dalam satu harga’’ Gumamku kemudian. Bermodal sekelumit reka rupa terebut, ingatan membawaku berjalan menuju satu ingatan yang lain, satu ingatan tentang zat yang muncul saat hujan, yaitu zat yang bernama petrichor. Ia dikisahkann lahir dari sepasang reaksi kimia ketika hujan turun setelah musim kering yang berkepanjangan. Beberapa tanaman mengeluarkan semacam minyak selama periode kering. Ketika hujan, minyak dilepaskan ke udara. Senyawa aromatik ini kemudian menciptakan aroma petrichor yang berefek menyenangkan. Sehingga dapat ditebak muara reaksi tersebut, efek relaksasi yang menghipnotis. Menjadi sarana kawula muda yang demam artsy semi prematur merayakan hujan dalam berbagai sudut pandang, dan sebut saja salah satunya skena ‘mendramatisasi hujan’. Dimulai kala tubuh sedang culas, kemudian hujan lihai menyelinap rapi dan mengorkestrasi secara apik, tanpa sadar tubuh ditenggelamkan oleh semacam ambience, selanjutnya pikiran akan dibawa menuju pertunjukan lebih indie, intim serta mendayu. Kadang terasa memaksa dan musykil untuk dilawan, menembus batas waktu dan menjadi tamu pada selaksa memori lampau. Ia kadang menghadirkan guratan kecut pertanda memorabilia yang harusnya dilupa, namun kadang ia menjadi bagian menyenangkan seperti akhir film film kolosal 90’an yang tiris, cekak, dan manis meski telah diisi soundtrack suram penuh hawa depresi milik Joy Division. Apapun itu, ia selayaknya permen karet yang menempel di alas kaki, rebel dan enggan untuk diberedel. “Menggelikan”. Lamunan yang tak terlampau penting tersebut mengokupasi ruang imaji secara sembrono ketika menunggu hujan yang tak kunjung reda di sudut tempat dalam satu perjalanan rutin yang cenderung menjemukan antara tempat asal dan tanah perantauan. Kadar level kejemuan melonjak menjadi kesialan ketika tempat teduh yang disinggahi adalah SPBU. Ada beberapa alasan mengapa spbu masuk dalam list pribadi tempat yang mengajak cepat menjadi tua, diantaranya karena rokok yang menjadi kunci pelarian sudah tentu akan sangat dilarang, pun dengan banyak orang tua dengan paksa berbatuk ria dengan sengaja akan menambah ukuran ketidakpatutan, tempat duduk yang bermasalah entah disengaja maupun tidak, dan sudah tentu toilet yang mengharuskan pikiran untuk lari pada kisah buruk menjurus saru tentangnya. Namun setidaknya tempat ibadah di SPBU selalu ramai, lebih ramai dari masjid di desaku. Dan repertoar lagu dalam gawai adalah pelarian ampuh membunuh jenuh. Dirasa cukup matchingdengan suasana ketika Legenda psychedelic blues, The Doors yang menakwilkan Rider On The Storm sebagai nomor yang kelam dan dipenuhi misteri tervisualkan para borju bertampang model top collection sedang membeli bbm yang pastinya bersubsidi. Mereka enggan keluar dari mobil dengan tatapan khawatirnya, sejenak teringat tatapan Umma Thurman dalam film Pulp Fiction. Dingin menanti kesempatan untuk menyeringai. Mungkin mereka pembunuh bayaran yang sedang dalam liburan, rehat melunakkan otak yang telah terkoyak. “Anjing, aku terbawa arus lirik”. Tak lama kemudian Aguas de Marco yang terdengar. Tercitra Antonia Carlos Jobim membuat nomor ciamik ini juga diiringi oleh gemercik air yang saling beradu dengan tanah. Petugas yang sedang mengisi bahan bakarpun menari samba dalam bayangku, pasti jiwa manusia setengah baya di sampingnya pasti sedang sakit karena hanya mematung tanpa ekspresi. Atau aku yang berdiri menempel pada tembok penyangga sebenarnya yang sedang sakit jiwa lantaran khayal liar yang terus mengular. Tapi yang pasti menikmati lagu ini pada pesta pantai akhir pekan terbungkus buaian bir niscaya menjadi perkimpoian yang patut diamini sekaligus diwaspadai, lissoi…!!!. “Anjing…!!” Umpatan kedua di tempat ini pun keluar, ringan seolah tanpa beban. Ia keluar spontan tanpa ragu menjawab apa yang ditangkap mata. Khayal egois ini remuk dengan sebab kedatangan satu keluarga kecil yang basah kuyup dengan tunggangan reot keluaran era orde baru, tersusun atas keluarga inti bahagia versi buku Pendidikan Kewarganegaraan masa SD yaitu Ayah, ibu dan 2 orang anak. Sudah tentu suatu perjalanan dengan waktu yang hanya bisa disamai oleh koar calon wakil rakyat ketika berkelakar, membosankan dan melelahkan. Semua itu tergambar dalam raut otot muka mereka yang terlihat tidak menonjol. Si bapak seperti sudah tak peduli dengan kondisi celananya yang berbahan drill koyak di berbagai tempat. Dan satu anaknya terlelap tidur meski air mengucur membasahi wajahnya. Terlampau kontras dengan apa yang mengalun di ruang dengar, lagu yang mengejawantahkan kesenangan dan perayaan hidup yang apapun itu dibutuhkan satu pemandangan minimal tanpa membuat hati menjadi biru sendu. Sempat memaafkan diri sendiri jikalau rasa yang trenyuh yang kemudian bergelayutan, namun satu rupa yang telah senja di pojok bangunan telah mengingatkan pada sosok seorang pencipta puisi membuatku antusias mendengar satu musikalisasi puisi Ari Redha yang diilhami oleh nukilan Sapardi Djoko Darmono dalam sudut koran sore yang mungkin pas atau setidaknya dipaksa untuk menjadi pas dengan adegan keluarga itu. “Aku ingin mencintaimu, dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu, aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada” Dibalut dengan petikan gitar akustik, intonasi yang tersirat kedamaian yang teramat, menandakan aransemen hatinya tentang konsepsi percintaan untuk berujar bahwa semua akan baik baik saja. sejurus kemudian akupun tersenyum sendiri menemukan chemistry yang pas dari adegan itu. “bangsat, mereka menampilkan repertoar yang brilian”, umpatan ketiga dan semoga menjadi yang terakhirpun terujar khidmat. Dalam ranah yang melibatkan rasa buruk sangka. Keluarga tersebut telah sukses besar pongah dan sombong pamer pada semesta. “ini yang dinamakan cinta ndes !!!”, sejenak pikirku melayang membayang mereka bersabda dengan kepala mendongak. “Ah, sepertinya aku sudah terlalu sering menonton film karya Quentin Tarantino dan film-film yang dibintangi si tua bangka Morgan Freeman yang kelewat terseterotipe dengan sosok ke-Tuhanannya”. Tapi, tapi, tapi, sepertinya ini adalah sountrack yang paling pas, sangat keren, bahkan lebih keren dari makna keren itu sendiri. Keren. Seperti tersengat oleh bagian klimaks Bohemian Rhapsody, aku baru saja tersadar bahwa puisi Sapardi di atas menyiratkan Sang Penyair sedang pamer cinta yang kadang tak dapat ditangkap instan oleh kelima indra jasmani. Sebuah kisah pertemuan hujan sebagai hal yang bersifat kodrat, dan awan melambangkan fitrah dimana air hujan akan jatuh dan bertemu dengan tanah. Hujan lantas jatuh ke tanah begitu saja sebagai garis. Terkesan sepele, wajar, ihklas dan tanpa hal yang dipaksakan. Seolah hanya akan tiba pada waktu yang biasa. Sama seperti keluarga tersebut pertontonkan, mereka pamer rasa cinta dengan pongah dan tanpa tendensi pada saat yang bersamaan. Terlihat sederhana, ihklas, dan tanpa membuat cerewet siapapun yang melihatnya. Sejatinya keluarga itu sedang memberi contoh kisah percintaan yang paling mewah, karena sesungguhnya mencinta yang paling mewah adalah mencinta dengan sederhana.
#hujan#cinta#drama#jim morrison#story#musik#the doors#aku#illustration#puisi#perjalanan#imajinasi#khayalan#jazz#antonio carlos jobim
4 notes
·
View notes
Quote
Pada akhirnya kita hanyalah sesama orang asing yang kembali ke tempatnya masing-masing
(via menjalin)
352 notes
·
View notes
Text
Jazz dan Para Sahabatnya
musik adalah nafas universal dan akan menjadi SALAH BESAR bila hidup tanpanya. Musik juga kerap jadi suatu cap perlawanan yang telah generasi bunga harum harumkan,seperti Bono pernah sentilkan “Music can change the world because it can change people”. Ia juga mewadahi lepasan keluh kesah orang dunia ketiga yang pada masanya sering teradu dalam getirnya kehidupan. Seperti juga jazz rasakan. Ia lahir dari rahim politik, liberal dan dekonstruktif serta lara korban penindasan. Lampiasan emosi terkonversi mewujud ekspresi nada, harmoni,gaya, bit dan punchline yang berlatar ketimpangan sehari hari, kerinduan kampung halaman serta budaya yang meraka bawa. Tak dipungkiri lahirnya musik-musik perlawanan seperti Spiritual, gospel dan blues sebagian besar membawa warna pembebasan serta semangat pemberontakan ala Albert Camus. Cukup ironik ketika kotak konsumen jazz hanya manusia berlatar pendidikan serta berakademis berambut klimis,dan dangdut misal dianggap sebagai musik kampung nan udik. memang tak dipungkiri juga jazz seperti langit puisi yang harus dipahami tidak hanya satu layer, juga pengapresiasiannya perlu pemahaman akan warna, identitas, serta elegi yang dikandung sebuah nomor jazz sebagai sebuah musik. lahir juga fatwa berbunyi jazz hanya untuk kaum borju melimpah duit beremblem elit, jamaah jazzyah berkantong dalam bersua di kafe malam. berbeda mungkin pecandu dengan dangdut yang jamak di jalanan pantura dari keluh manusia manusia ekonomi kasar. Dan lagi lagi realitanya, keadaan tersebut juga tidak salah salah amat, karena event jazz hanya berlangsung di kafe, hotel, komunitas ataupun event yang membuat tangan malas menyapa saku. Sedang dangdut mungkin akrab di panggung seadanya berbau air sorga cap orang tua, serta kepulan asap pembakaran rokok eceran. Aih,pun jika dilihat lebih jauh acara jazz itupun lebih condong aspek ekonomi nan komersil,sekelumit contoh event event berbau jazz sangat kerap menempatkan bintang utama justru musisi yang pada penampilannya mengusung genre yang jauh dari ruang ruang jazz. Ibarat kata,bodo amat yang penting sedang dikenal yang sejurus antusiasme hipster yang membludak. Namun terdapat juga event jazz yang berlangsung di beberapa tempat masih mempertahankan signature dan jati diri jazz itu sendiri. Sebagai contoh, Montreux Jazz Festival ataupun Copenhagen Jazz Festival mengusung banyak nama besar dari beragam genre yang berbeda, namun tetap menempatkan musisi jazz sebagai tajuk utama. Bahkan dibeberapa tempat bervolusi menjadi budaya. Tak dipungkiri media juga berperan penting dalam hal ini. Sejatinya jazz sendiri berangkat dari musik tradisi yang berakar dari ekspresi anak manusia, dan kebetulan lahir di afrika barat dan ‘disekolahkan’ di negara yang sekarang dipimpin oleh Trump tersebut. Senyawa dengan musik campursari yang lahir di gubuk tengah sawah selatan jawa. Jika masih ada anggapan musik ini hanya untuk kaum ini,dan musik itu hanya untuk kaum itu, mungkin hanya belum pernah dengar pameo “dolanmu kurang adoh, mulihmu kurang esuk” Karena masing masing musik punya ruang untuk menikmatinya......
1 note
·
View note
Text
Fusion
saat jam malamku masih pagi, dan hujan datang sebelum namaskar rintik hujan turun terlambat,pun waktu datang sedikit telat semua terotasi tanpa teratur,seperti jalang yang tak bisa diatur ahh, barangkali hujan adalah perempuan sepertimu angin malam menghembus lemah,menyejuk badan,melambung rasa,menayang pikir dan aku duduk ditengah relungan Nina Simone hanya untuk menikmati kesepian. terkonstelasi perempuan yang mungkin senyum dan tatapannya terbuat dari selaksa kenangan mungkin yang tak sengaja tertemu di suatu sudut jalan ke perantauan barangkali ia juga lahir dari perkimpoian antara hujan dan malam sahaja yang hampir purna barangkali tatapannya juga meluruhkan sinisnya hujan bahagiaku barangkali hakiki jika bertemu perempuan yang senyumnya mengabadikan kenangan, senyum yg tidak manis, sedikit menggunung, namun membekas. sihir yang membuatku teringat sekelumit sajak Amir Hamzah
-dhirr…
5 notes
·
View notes