Text
BEHIND THE WHEEL.
Oh, hello there! Welcome, this space provides you a series of informations in 3 languages, which are English, Spanish, and Bahasa Indonesia. We demand for your pardon to any grammatical errors in the first two languages. Nevertheless, make sure you read it carefully because there are informations you need to know when you see my account (@Grandioise), xx.
Pleased to have you here. In this space, I go with Revelle Irvine──some address me with Revelle, some other goes with Elle for the shorter form. I’m currently 22 years old, soon-to-be a Bachelor of Engineering (wish me luck, guys, I’m getting close). For your information, my account is made as a cyber account, a place where I make encounters with, mostly, the marvelous writers in OCRP. However, the account is basically used for everything, including yapping a lot about my favorite songs (which, I have diversed genres in my playlist and songs will depend on my mood as well, sometimes), or my current watch, even lowkey live reports of a race I'm watching. Oh, yes. I'm a huge fan of motorsports, especially car racing, so you might find me yapping a lot about it──to be more specific, I usually watch FIA Formula 1, Formula 2, Formula 3, FIA World Endurance Championship, and NTT IndyCar Series. Thus, I demand your pardon if you find me yapping a lot about the races, even I would ignore several messages if I'm watching races (I’m really sorry and please do not follow this habit).
Hai! Di sini, aku Revelle Irvine──sebagian menyapa Revelle, dan sebagian lainnya Elle, untuk lebih singkat. Saat ini berusia 22 tahun, dan akan segera jadi Sarjana Teknik (doakan ya, sebentar lagi). Sebagai informasi, akun ini dibuat sebagai akun cyber, tempat aku banyak bertemu dengan para penulis keren di OCRP. Tapi pada dasarnya, akun ini digunakan untuk semua hal, termasuk membahas lagu favoritku (daftar putarku punya beragam genre, dan lagu yang aku dengarkan tergantung suasana hati juga), atau apa yang sedang aku tonton saat ini, bahkan termasuk laporan langsung ala kadarnya tentang balapan yang sedang aku tonton. Oh ya, aku penggemar berat olahraga motorsport, terutama balap mobil. Jadi, kawan-kawan mungkin akan sering melihat aku membahas balapan──lebih spesifik lagi, biasanya aku menonton FIA Formula 1, Formula 2, Formula 3, FIA World Endurance Championship, dan NTT IndyCar Series. Jadi, aku minta maaf sebelumnya kalau kawan-kawan lihat aku terlalu banyak membicarakan balapan, dan bahkan mungkin bakal sedikit mengabaikan beberapa pesan selagi aku mengikuti balapan itu (maaf banget, jangan diikuti ya?)
Encantado de tenerte aquí. En este espacio, me muevo con el nombre de Revelle Irvine, aunque algunos me llaman Revelle y otros simplemente Elle. Tengo 22 años y estoy a punto de graduarme como Ingeniera (Deséame suerte, chicos, ya casi llego). Te informo que esta cuenta la creé como un perfil virtual, un lugar donde suelo encontrarme, sobre todo, con los fantásticos escritores de la OCRP. Sin embargo, la uso para casi todo, desde hablar sin parar de mis canciones favoritas (tengo gustos muy variados y dependen de mi humor, a veces), hasta comentar lo que estoy viendo en ese momento, o incluso hacer reportajes en directo (a lo cutre) de alguna carrera que esté siguiendo. Ah, sí, soy una gran aficionada al motor, especialmente a las carreras de coches. Así que quizás me veas hablar mucho de ello. Para ser más específica, suelo seguir la Fórmula 1 de la FIA, la Fórmula 2, la Fórmula 3, FIA World Endurance Championship, y la IndyCar Series de la NTT. Por lo tanto, te pido disculpas si me ves aporreando mucho sobre las carreras, e incluso si ignoro varios mensajes mientras las estoy viendo (lo siento mucho y, por favor, no sigas este hábito).
ㅤㅤ
ㅤㅤ
With love,
Revelle. 🤍
0 notes
Text
DUA PULUH DUA LILIN.
Lagi-lagi, bertambah usia lagi. Kali ini, ada dua puluh dua kerlap-kerlip yang berasal dari deretan lilin di atas kue, cahayanya membentuk bayangan menari-nari di dinding. Satu tahun lebih tua, katanya. Tapi bagiku, kadang-kadang rasanya hanya angka yang berubah.
Kalau aku boleh jujur, sampai detik kalian membaca ini ‘pun aku merasa, aku masih berusia delapan belas tahun. Padahal, dunia terus berputar, kabur oleh tenggat waktu dan rutinitas. Beberapa orang tampak terburu-buru, sementara aku di sini, cukup puas untuk sekadar... ada.
Buruk? Mungkin tidak. Mungkin ada keindahan dalam memahat jalanku sendiri, dalam tidak merasa tertekan untuk mengikuti garis waktu tak terlihat. Mungkin saja, yang terpenting adalah melakukan apa yang membuatku bahagia, menikmati kesenangan kecil yang mungkin terlewatkan orang lain.
Mungkin, ulang tahun ini bukan alasan untuk kemegahan, tapi untuk perayaan hal-hal kecil. Kebebasan untuk saban sore hari tersesat dalam buku yang apik, nyamannya hari nan sejuk musabab hujan yang dilewati bersama teh hangat, sensasi menemukan lagu baru yang menyentuh sukma.
Jadi, aku pinta, tiuplah ke-dua puluh dua lilin itu, lantas berangan-angan (walaupun hanya untuk satu tahun lagi mengikuti kemauan sendiri), dan nikmati waktu ini. Dunia mungkin terus berputar. Tetapi untuk saat ini, aku berpegang pada kesenangan sederhana yang membuat hidup layak dijalani.
Untuk usia dua puluh dua, dan kebebasan bagiku untuk terus melakukan apapun yang membawakan lagu menyenangkan pada hati.
Revelle Irvine. 05/20/2024, 12:00 AM (GMT+7).
0 notes
Text
SETEBAL APA TOPENGMU?
────────────────────────────
Semua orang bangsat tanpa pengecualian, kendati diselimuti oleh perangainya manis hingga dapat kelabui khalayak hingga terpaut sampai habis.
Mendekam di tanah aristokrat, yang satu ini acapkali diteriakkan “keparat!” sebab mampunya ia menjerat kaumnya ‘tuk hidup dalam rasa bersalah hingga ke akhirat.
Lain romannya dengan si bangsat yang bisa-bisanya masih berdiri kejat di atas yang dijebak olehnya, masih bisa suarkan tawa lebar selebar aberasi yang tercipta berkatnya.
Anak adam di sudut ruangan, pandangnya penuh penekanan pada sosok di hadapan. Laiknya Pedang Damaskus, tatapnya menghunus lamat-lamat si penjerumus. Ia gumamkan tanya, “Kira-kira setebal apa topeng si rakus?”
Tebal pun tak cukup untuk membekuk segala perangai yang sudah disiarkan tanpa pikirkan syarahnya terhadap lanskap renyut. Sekali lengai tetaplah menjadi yang selalu dipuja setiap sudutnya.
Setuju. Namun, tuan dan nona, di balik parasnya tiada kita temukan pahit. Maka, kami minta ‘tuk waspada. Sebab esem manisnya merekah tak jemu-jemu, hampiri setiap insan dan bersabda, “Kau percaya padaku?”
────────────────────────────
“Setebal Apa Topengmu?”
M. Radha (@peronsembilan) & R. Irvine (@grandioise)
02.05.2024.
1 note
·
View note
Text
SANG ULAR EMAS.
“Ampuni Hamba yang penuh dosa ini, Tuan Putri!”
Begitukah, aku harus lantangkan suara demi kemauanmu? Tapi, aku tidak mau, Yang Mulia. Aku bukan dayang yang harus melayanimu, ‘pun bukan pengawal kerajaan yang akan menghalau semua musuh bebuyutanmu.
Aku tengah ditodongkan pedang berbisa, maka aku akan jujur. Pada awalnya aku rela memerangi siapapun yang menyakitimu. Tapi, maaf, hatiku sudah terbalik posisinya. Rupa-rupanya, hadiah bagiku menjaga hatimu yang rapuh laiknya kaca preparat malah pedang harga dirimu yang penuh bisa, dihunuskan tepat di jantungku.
Apesnya, aku mengira kita berdiri di atas kesetaraan. Siapa yang mampu mengira bahwa mata elokmu itu memandangku bahkan lebih rendah dari letak kakimu menjejak, sejak panahku menggoresmu segaris tipis di jaringan epidermis. Toh, kulit ular akan berganti secara berkala!
Elok, kau elok. Bak emas yang kemilaunya mampu silaukan setiap mata yang memandang, berharga begitu tinggi. Ah, teruntuk barisan manusia yang belum atau tidak mau atau tidak bisa melihat sebab disilaukan kemilau itu, tidak akan pernah tahu.
Tahu apa?
Bahwa, kaulah sang ular emas, yang menghunus taring berbisa──bahkan racunnya ‘pun emas, selagi itu pula, kau mendesis dan menggila!
1 note
·
View note
Text
Satu, dalam memori.
| Satu Januari, pukul satu malam.
Senin dini hari, aku masih enggan terlelap. Selain karena injeksi kafein yang kubersihkan dari gelas sekitar dua jam yang lalu, menyambut hari pertama tahun 2024 membuatku lebih ingin menatap langit nan kelam, berkecamuk dalam pikiranku sendiri—seramai itu dan isinya, segalanya tentangmu.
Nun jauh di sana, masih terdengar samar-samar letupan kembang api diiringi musik nyaring. Mereka masih berpesta. Suara bariton sehalus gumpalan awan menyapa runguku. Lekas saja, senyum kecil tercetak pada ranumku. Alasannya? Kehadiranmu di sisiku. Dasar aku! Sebentar saja, hampir tersenyum bak orang gila sebab suara halusnya menyebut namaku.
Wajahmu itu dingin, Jupiter. Entah bagaimana caranya, aku tahu bahwa hatimu tersenyum kecil. Sebab aksimu menunjukkannya. Aksimu yang sukses buat jantungku bak tengah ikuti tempo Head Crusher milik Megadeth, sial. Tapi—Tuhan, nikmat mana lagi yang kau dustakan? Melihat dirimu sedekat ini.
“Kenapa belum tidur?” tanyamu. Aku terkekeh pelan. “Aku tidak mau buru-buru menyia-nyiakan hari pertama tahun ini. Dan... aku baru minum kopi dua jam yang lalu.” Lihatlah, bahkan otakku saja tanpa ragu memerintahkan dwimanikku ‘tuk tatap eksistensimu tepat di sebelahku, dan ia pula perintahkan lisanku ‘tuk balikkan pertanyaannya. “Kamu ‘pun sama, kenapa belum tidur?”
Kekehan turut kau beri, ada sekilas senyum di sana. Otot di sekitar lisanmu itu bak kanebo, ya? Tapi, aku menyukaimu, mau bagaimanapun. “Pantas saja. Kopi apa? Kalau mau tidur, coba ubah kebiasaanmu dengan susu hangat dan lagu pengantar tidur,” ucapmu. Aku sadar, kamu tahu kebiasaanku menyesap kafein di malam hari. Kulihat, ekor matamu sekilas mengarah padaku, lantas manikmu kembali ke langit. “Kamu tahu, jam tidurku selalu berantakan.”
Aku berbalik, bersandar di balkon—perintah otak ini memang ada-ada saja... atau ini perintah hati, ya? Namun, aku ingin lebih jelas menatap rupamu. “Hanya spanish latte. Biasanya bukan kopi yang strong, tapi kali ini beda cerita,” jawabku, seringai tipis tercipta sebelum menambahkan respons atas jam tidur yang berantakan. “Kamu tidak sendirian.”
Jantungku berdetak semakin cepat di kala manikmu tak lagi menatap langit, sebab kini manikmu terarah padaku. Rasa-rasanya, jiwaku sedikit tertusuk. Lagi, wajahmu dingin, namun tatapanmu itu hangat. Andai bisa bersandar di sana, aku ingin, Jupiter. Aku ingin tersesat di sana selamanya.
“Lain kali, jangan minum kopi malam-malam kecuali ada urgensi.” Kamu menasihatiku. Ah, aku merasakan sentuhan hangat di kepalaku—tanganmu, rupanya. Sempat-sempat saja mengusak rambutku yang rapi ini, hei. Aku buru-buru menunduk, merapikan rambutku—sekaligus sembunyikan wajahku yang mungkin memerah sebab aku dengan jelas merasakan hangat yang berlebih di sana. Sentuhan ringan itu, dan nasihat itu—jelas kuanggap sebuah bentuk perhatianmu.
“Saturnus,” panggilmu. Aku mengangkat kepalaku, lekas menemukan wajah dinginmu itu tersenyum kecil. Ah, Tuhan, terima kasih. Akhirnya, aku bisa melihatmu tersenyum lagi, Jupiter. Aku belum ajukan tanya, tapi kamu lekas mengimbuhkan ucapanmu—barangkali sebab wajahku sudah terlihat bertanya-tanya.
“Namamu cantik, ya.”
Namamu cantik, ya. Namamu cantik, ya.
Sampai besok dan bertahun lamanya, akan kuingat hari ini, Jupiter. Sungguh, bisa-bisanya dirimu bak kulkas menjulang beraksi seperti ini? Benar-benar berbahaya untuk jantungku, tahu?
| Ditulis pada tanggal: dua puluh satu Maret, satu jam lima belas menit sebelum pukul satu malam. Begitulah, malam tahun baru kala itu. Seperti yang kugumamkan dalam hati sejak saat itu sampai detik ini, hari itu masih kuingat dengan jelas dalam memoriku, Jupiter.
2 notes
·
View notes