Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Kim’s Convenience
I’ve been watching the sitcom Kim’s Convenience on Netflix for the past two weeks. The story revolves around the Kim family, a Korean family who has been living and running a convenience store in Canada for decades. They make good friends with the neighbours: an Indian family who owns a restaurant, a Chinese man who seems to live only with his dog, a white man who can’t stop talking about how he got divorced, and fellow Korean families at Church who are competitive and like to brag about their children’s achievements.
Mr. & Mrs. Kim are typical Asian parents who raise their children in a rather conventional way, where the parents are always right. This creates friction within the family, especially between Mr. Kim and his son, Jung. Fortunately, Mrs. Kim always tries to mediate the problems between her husband and son to keep the family together, even though it doesn’t always work. The problem with Mrs. Kim is her tendency to panic over the smallest things, making the family members reluctant to tell her if there’s a problem going on.
The dynamic of Kim’s family and their surroundings was pleasant to watch. It was a funny and warm series about a generational and cultural gap inside an immigrant family whose children couldn’t even speak their parents’ language anymore. Despite all the differences, they still manage to love each other sincerely.
17 notes
·
View notes
Text
Remains of the Day
I finished reading Kazuo Ishiguro's Remains of the Day three weeks ago. The book follows the life of Mr. Stevens, a butler who dedicates his life to serve a respectable posh man named Mr. Darlington in a fancy, big house called Darlington Hall. Throughout his life, Mr. Stevens tries to keep his dignity and stay loyal to his employer no matter what, even when Mr. Darlington is eventually responsible for WWII.
At his old age, after Mr. Darlington passed away, Mr. Stevens continues serving at Darlington Hall and its new owner, an American man named Mr. Farraday. Mr. Stevens, who is no longer able to perform his duties well due to his declining health, decides to take days off to visit Miss Kenton, his old colleague at Darlington Hall who has married and left the house a long time ago. He takes a 6-day road trip and along the way begin to reminisce about the old days at Darlington Hall and his relationship with Miss Kenton. When they finally meet and have 2 hours of intense conversation, Mr. Stevens spends the rest of that day sitting on a bench full of realisation and regret.
It was a story about getting old and being lonely, but not written in a romanticised approach. Ishiguro's way of writing was so simple yet powerful. It broke my heart in a beautiful way.
6 notes
·
View notes
Text
things that make him lonely
the fact that i am not alone when i think that i am. always wanting the best for my partner even though at this point i’m unable to do certain things. when she’s not around. my negative view of the world. getting left behind. i make myself lonely, other people never do. so fuck off, man.
oh,
and
the fucking rain.
(written by dyl, dua coffee cipete)
0 notes
Text
things that make me lonely
my job. my bills. my non-aesthetic body. my ugly social interaction skill. every single mirror that i see and makes me see myself. my pimples. my laziness. the hate and the love that i have. the urge to do something about my life. the books that i don’t finish. my laundry pile. grab drivers who start a conversation. the fact that i’m still alive. people who think i’m a bubbly, happy go lucky person. my constant state of denial. the way i feel things. the way i think about things. my loved ones.
0 notes
Text
no one will accept you for who you are
your parents keep pushing you. your boss will never think you're enough. relationships break. marriage gets depressing. your friends talk shit about you behind your back. people rant. people left. so don’t be you.
0 notes
Text
:3
At this hour, if my father were still alive, we would light a pack of cigarettes while sitting on the bench in our backyard. He would have been drunk at 2am and started talking about his miserable life. We would laugh on all the wrong decisions he made, until we got hungry and he voluntarily cooked telor dadar kecap for our midnight meal. That was the best food I ever tasted. Now that he’s dead I hope he finds peace in any possible way. He was a loser for many people but he will always be my hero. I miss him.
1 note
·
View note
Quote
For myself I am too heavy, and for you too light.
Franz Kafka, Letters To Milena (via books-n-quotes)
1K notes
·
View notes
Text
Mati Rasa
Kau bisa bilang Jesa adalah manusia tukang bosan yang bosan terus-terusan merasa bosan. Ia tak bisa menerima kondisi yang datar dan hambar, meski ia juga lelah harus mencari sensasi baru untuk segala hal termasuk dalam hubungan seksual.
Jesa pertama kali melepas keperawanannya sekitar enam tahun lalu untuk lelaki yang sekarang entah ke mana. Kini tiba masanya Jesa muak dengan hubungan seksual yang plotnya begitu-begitu saja, dimulai dari pelukan, ciuman, pegang-pegangan, lalu ada dorongan untuk ngangkang dan terjadilah pergulatan sekitar 30 menit -atau lebih.
Suatu hari yang impulsif, Jesa mengajak lelaki yang sebulan terakhir dekat dengannya untuk melakukan threesome. Lelaki itu tampak antusias. Jesa pun mengajak perempuan berwajah cantik dan bertubuh molek sebagai orang ketiga.
Terjadilah sebuah aksi grepe-grepe antara tiga orang di atas kasur yang terlalu besar untuk satu orang, tetapi menjadi sesak untuk dua orang. Jesa menjadi agresif karena pergulatan itu dibubuhi semangat kompetisi dan sedikit kecemburuan.
Untuk beberapa saat ia puas dengan sensasi baru ini, hingga tiba-tiba ada sesuatu yang mendorong Jesa untuk berhenti. Ia tak berhasrat sama sekali. Pergulatan itu usai dengan rasa kecewa karena tiga-tiganya ‘kentang’.
Sepertinya ada tiga pemicu utama rasa jijik itu muncul. Pertama, Jesa tak terima sang lelaki bergairah dengan perempuan lain. Kedua, Jesa merasa dikalahkan perempuan bertubuh molek dari segi kecantikan dan permainan. Ketiga, gabungan dari kemungkinan pertama dan kedua.
Dua hari setelah threesome yang traumatis itu, Jesa bertemu mantan pacarnya yang sekarang sudah dengan perempuan lain. Untuk mantan yang satu ini, Jesa menyediakan ruangan kecil di hatinya yang terkunci rapat dan tak bisa dibuka siapapun sampai kapanpun.
Obrolan Jesa dan sang mantan mengalir seperti biasa, diwarnai guyonan dan cerita-cerita yang cuma dipahami mereka berdua. Sang mantan sesekali menyisipkan cerita tentang perempuan baru yang mewarnai hari-harinya.
Jesa pun diminta bercerita tentang lelaki yang tengah mengisi kehidupannya. Obrolan yang menyenangkan itu pada waktunya harus berakhir. Jesa pulang dengan menyetir mobil tuanya sekitar pukul 2 dinihari. Tiba-tiba air matanya keluar, pelan-pelan lalu menjadi kencang. Ia menangis terus, terus, dan terus hingga mati rasa.
0 notes
Text
Julia
Julia mengambil sebatang rokok Sampoerna Mild Menthol dari saku celananya yang usang. Sudah tiga batang ia habiskan sejak kami duduk beberapa menit lalu di warung yang cuma menjajakan kue pancong dan cireng.
Kau tahu, rokok ketiga tak akan senikmat rokok pertama yang kau isap setelah mengetik lima artikel berita berturut-turut; tak pula senikmat rokok pertama yang kau isap pasca orgasme.
Mungkin kau paham maksudku, tetapi tidak dengan Julia. Rokok pertama atau ketiga ia rasa sama saja, sebab esensi rokok baginya bukan tentang kenikmatan individu melainkan medium untuk menyelaraskan rasa secara komunal.
Julia jarang merokok sendirian meski ia cukup sering mengeluarkan duit untuk penyebab kanker dan impotensi itu. Harus kuakui pilihannya kali ini tepat. Sampoerna Mild Menthol adalah rokok terbaik di dunia, setidaknya begitu menurutku dan kau sebaiknya setuju.
Ada bola kecil berwarna hijau di tengah filternya. Jika kau pencet, bolanya akan meletus dan mengeluarkan sensasi dingin hingga ke leher, turun ke “gunung kembar”-mu yang mungkin berputing cokelat, lantas berlabuh di vaginamu yang berbulu tipis dan lama tak menerima rangsangan.
Namun kuperjelas sekali lagi, Julia tak akan paham bedanya Sampoerna Mild Menthol dengan rokok-rokok dingin lainnya. Ia merokok bukan karena ingin merokok, sama halnya kami ke warung cireng ini bukan karena Julia ingin makan cireng.
Aku tak tahu Julia ingin apa. Alih-alih melontarkan keinginannya, aku bahkan jarang mendengarnya beropini untuk segala sesuatu. Ada tiga mantra pamungkas yang sering Julia sebut: “terserah”, “boleh”, “aku ikut aja”.
Di dunia yang bising dan banyak kepentingan, orang seperti Julia menjadi jarang dan krusial.
1 note
·
View note
Text
Istri Pak Ndin yang Dulu
Sudah sembilan tahun Pak Ndin dibantu istrinya menafkahi keluarga. Pasca terserang stroke, ia tak kuat lagi keliling ibukota untuk mengesol sepatu-sepatu yang mulutnya menganga.
“Sekarang cuma mampu jalan dari kontrakan saya di Cipete sampai Kemang, Neng,” ujarnya sambil mengesol sepatu belelku.
Pak Ndin biasanya mengesol dua hingga empat pasang sepatu sehari. Tak jarang pula ia harus pulang dengan tangan kosong karena tak menerima satu pun orderan.
Untung saja istrinya mau berbagi kesusahan dengan mencabut rumput di halaman rumah gedongan para wong sugih. Penghasilan Pak Ndin ditambah istrinya selama sebulan habis untuk biaya makan sehari-hari dan menyewa kontrakan 3x3 yang ditiduri lima orang.
Pasangan yang sudah 40 tahun menikah itu punya 4 anak: yang paling tua sudah angkat kaki dari rumah karena dipinang lelaki Garut, yang kedua baru saja di-PHK dan sedang mencari gawai baru, yang ketiga bantu-bantu di konter pulsa dekat rumah Pak Ndin, dan yang terakhir masih SD.
Selama 20 menit mengesol sepatuku, Pak Ndin tak sekalipun mengeluh soal kehidupannya yang serba sederhana. Yang ia keluhkan justru perubahan sikap istrinya.
“Dulu orangnya sederhana, sayang sama saya. Beberapa tahun belakangan jadi suka dandan dan genit sama tetangga. Mungkin capek diajak cari duit.”
Keluhan itu beranak menjadi keluhan-keluhan lainnya yang didahului kata “dulu”. Seperti rumput tetangga yang selalu lebih hijau, “dulu” pun kerap kali lebih indah ketimbang hari ini.
Pak Ndin tak menyalahkan istrinya, menurut dia kehidupan memang begitu adanya. Perubahan-perubahan datang, kadang lebih baik tapi tak jarang menyesakkan dada.
“Sekarang saya harus mengalah terus. Kalau saya tanya kenapa dia berubah, istri saya akan lebih marah. Dulu dia nggak begitu,” ia menjelaskan panjang lebar.
Pagi tadi, sebelum bertemu Pak Ndin, aku bangun di pelukan lelaki yang tiba-tiba datang mengobati luka. Bisa dibilang saat ini kami sedang “hangat-hangatnya”. Kami bercumbu semalaman dan dia melontarkan kata-kata manis yang bikin hatiku ingin pecah saking senangnya.
“I’m so happy because you’re the first thing that I see when I woke up,” kata dia pagi tadi. Aku tahu itu gombal belaka, namun perempuan memang senang dibohongi digombal.
Kapan kemanisan ini berakhir dan menyisakan keluhan berawalan “dulu”? Kalau bisa jangan terlalu cepat.
0 notes
Text
Kangkung Bude
Tak ada yang lebih buruk dari kangkung tumis Bude. Kangkungnya dipetik pagi-pagi sekali dari kebun belakang kosanku.
-Tunggu, ada yang harus kuluruskan di sini. Bude memang menyebutnya “kebun”, tapi sepertinya lebih tepat kusebut “tanah sepetak dengan kangkung sebagai satu-satunya tumbuhan yang bisa kau temukan”. Kangkung itu tumbuh mandiri bak hama, tanpa ada bibit, tanpa disirami. Setidaknya begitu cerita Bude yang kebenarannya sulit diverifikasi.-
"Ini anugerah yang diturunkan Tuhan," kata dia.
Bagiku kangkung sama sekali bukan anugerah. Gara-gara menumis kangkung, dapur Bude bau bawang putih. Aku benci bawang putih, baunya seperti ketiak sopir angkot M11 yang kunaiki setiap pagi menuju kantorku di Palmerah.
Namun ada hal yang patut kusyukuri hari ini: aku tak perlu bawa bekal kangkung dari Bude.
"Bosku ulang tahun. Kantor udah nyiapin sarapan prasmanan untuk karyawan," kataku pada Bude.
Ia lanjut menumis kangkung sambil melantunkan tembang "Widuri" kesukaannya. Kuulangi kalimatku dengan suara lebih keras, lantas bude berhenti menyanyi.
"Artinya kamu nggak mau bawa bekal, nduk?"
"Mau banget, tapi nggak enak sama bos kalau bawa makanan sendiri," aku mencari alasan.
"Yaudah, Bude siapin untuk Ganjar aja," ia membalas dengan nada lirih.
Batinku tertawa puas sambil meledek Ganjar yang tak bisa lari dari serangan bekal kangkung Bude. Kami sama-sama benci kangkung dan bawang putih. Dari sekian alasan di dunia ini, kebencian yang masif terhadap kangkung menjadi faktor utama kecocokan kami.
Tapi Ganjar lebih beruntung karena bisa tetap pulas ketika Bude menumis kangkung yang baunya semerbak. Beda denganku yang pasti langsung bangun dan mual.
Detik ini, pukul 10 lewat 17 menit atau 13 menit sebelum jadwal wawancara Ganjar di calon kantor barunya, pria pemalas itu masih terlelap di kasurnya yang bau iler. Mungkin dia lelah habis kuhajar dua ronde semalam. Semoga Bude dan anak-anak kosan lain tak mendengar desahan kami.
Aku sebenarnya tak begitu peduli dengan kerjaan baru Ganjar, pun dengan kehidupannya secara keseluruhan. Kukencangkan sepatu keds belelku sembari menyelesaikan urusan sebat-menyebat, lantas kutinggalkan Bude si perempuan tua yang kesepian.
0 notes