farhankoto
Untitled
2 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
farhankoto · 3 years ago
Text
Faktor Pengaruh Dalam Efek Komunikasi Massa
Komunikasi tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, keduanya memiliki peran penting dan juga saling berkaitan, dalam kehidupan dan segala aktivitasnya. Dalam prosesnya, komunikasi membutuhkan dua orang atau lebih sebagai komunikator dan komunikator informasi, dan juga sebagai informasi atau sebagai bahan dalam kegiatan komunikasi. Secara teori, komunikasi itu sendiri merupakan sebuah proses dan kegiatan dalam penyampaian informasi atau pesan dari komunikator kepada komunikan, yang setelahnya komunikan akan menanggapi apa yang disampaikan komunikator.
Komunikasi merupakan suatu kebutuhan dasar seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Di sisi lain, ada jenis komunikasi yang disebut komunikasi massa, yaitu komunikasi kepada orang-orang yang menggunakan media massa, baik komunikasi langsung, maupun seminar atau diskusi kelompok. Komunikasi massa adalah komunikasi yang melalui media massa (termasuk media cetak dan elektronik), artinya suatu komunikasi dapat digolongkan sebagai komunikasi massa jika diproduksi melalui saluran teknologi modern.
Salah satu aspek komunikasi massa yang paling sering dipelajari adalah dampaknya. Efek komunikasi massa berkaitan dengan efek atau hasil yang diperoleh dengan mengkonsumsi media massa. Efek ini berkaitan dengan perubahan khalayak sebagai akibat dari keterpaparan mereka terhadap informasi media massa. Secara umum, klasifikasi dampak perubahan yang dialami khalayak setelah memperhatikan informasi media massa dapat dibagi menjadi tiga domain: pengetahuan, sikap, dan perilaku aktual.
Efek Kognitif
Efek kognitif berkaitan dengan fungsi informasi media massa. Informasi media massa dipandang sebagai tambahan pengetahuan bagi khalayak. Pengetahuan yang diperoleh audiens dapat meningkatkan kesadaran pribadi mereka dan memperluas cakrawala berpikir mereka. Seseorang yang mengkonsumsi media massa terutama yang berupa konten informasi yang informatif akan dapat membantunya menambah wawasan dan pengetahuannya. Informasi tentang peristiwa, orang atau tempat tertentu yang disampaikan oleh media massa menjadi acuan penting bagi khalayak. Media informasi menjadi modal intelektual yang membantu masyarakat memahami dan memaknai diri dan lingkungannya.
Efek Afektif
Efek afektif merupakan efek yang berkutat pada suasana hati, perasaan, dan sikap (attitude). Pesan media massa yang dikonsumsi khalayak membangkitkan sikap, perasaan, atau orientasi emosional tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi efek afektif termasuk suasana hati emosional, skema kognitif dan konteks paparan media. Terkadang individu mengidentifikasi diri mereka dengan karakter yang mereka lihat di media massa. Sikap dan kecenderungan perasaan individu ini juga terkait dengan pola dan ciri pengidentifikasi diri individu tersebut dengan ciri atau karakter didalam media tersebut. 
Efek Behavioral
Efek ini mengacu pada tindakan dan niat melakukan sesuatu dengan cara tertentu. Setelah khalayak menerima informasi media massa, mereka akan memiliki kecenderungan sikap tertentu berdasarkan pengetahuan, yang mempengaruhi khalayak dalam bentuk tindakan praktis. Misalnya terdapat seseorang sedang membaca berita di media mengenai sosok yang digambarkan sebagai calon kepala daerah (kognitif), kemudian orang tersebut menjadi yakin bahwa pada pemilihan kepala daerah nantinya ia akan memilih sosok yang dibaca dan diketahuinya dari media tersebut (afektif), dan ketika saat pemilihan kepala daerah, ia memilih sosok politik yang diketahuinya dan diyakininya tersebut (behavioral). 
Pada efek komunikasi massa umumnya diwujudkan sebagai perubahan yang selalu ada pada dimensi kognitif (pengetahuan), afektif (emosi dan sensasi), dan behavioral atau perubahan perilaku. Namun terdapat juga faktor lain yang dapat mempengaruhi penerimaan informasi tersebut selain yang disebutkan sebelumnya. Seperti Nurudin (2014:228) yang mengatakan terdapat dua faktor yang dipilah menjadi dua bagian besar yang mempengaruhi efek komunikasi massa yaitu faktor individu dan faktor sosial. 
Faktor Individu
Faktor individu yang mempengaruhi penerimaan informasi lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran psikologis. Seorang Psikolog akan melihat bahwa faktor pribadi seseorang juga menentukan proses efek yang terjadi. Faktor-faktor tersebut meliputi selective attention, selective perception, selective retention, motivasi dan pengetahuan, keyakinan, pendapat, nilai dan kebutuhan, kepribadian dan penyesuaian. Pada selective attention, mengacu pada kecenderungan individu tersebut untuk memperhatikan dan menerima informasi dari media massa yang sesuai dengan pandangan dan minatnya. 
Implikasi dari selective perception adalah ketika individu secara sadar akan mencari media yang dapat mendorong kecenderungan individu tersebut, yang dalam hal ini dapat berbentuk opini, sikap dan/atau keyakinan. selanjutnya yang disebut selective retention merupakan sebuah kecenderungan pada seseorang untuk hanya mengingat informasi yang memenuhi pendapat dan kebutuhannya saja. Misalnya seorang mahasiswa, ketika dosen mahasiswa tersebut memberikan informasi mengenai soal soal yang akan keluar pada saat ujian, besar kemungkian mahasiswa tersebut akan berusaha mengingat ingat dan juga menghafalkan materi yang beruhubungan dengan soal soal yang dianjurkan tersebut. 
Faktor Sosial
Seperti pada pembahasan faktor individu, seorang ahli sosial dalam hal ini Sosiolog akan memandang  faktor sosial juga turut mempengaruhi dan menentukan efek yang terjadi. Seorang Sosiolog memfokuskan kajian pada masyarakat yang melihat individu itu sebagai gejala sosial, yang artinya seorang Sosiologi akan mengartikan bahwa, bagaimana individu itu berhubungan dengan orang lain dan dalam kerangka yang lebih luas, semuanya akan mempengaruhi proses efek yang terjadi. Dalam membedakan antara faktor individu dengan faktor sosial Memang cukup sangat sulit sebab keduanya memiliki batasannya sangat tipis, namun bukan berarti hal itu tidak bisa dibedakan. Singkatnya individu atau orang perorang itu berbeda dengan masyarakat.
Umur dan jenis kelamin pada masyarakat merupakan faktor pertama yang menjadi pengaruh dalam proses penerimaan pesan, dan bisa juga, umur dan jenis kelamin seseorang akan ikut mempengaruhi seseorang pada kelompok mana ia bergabung. Artinya jenis kelamin dan umur juga turut mempengaruhi proses penerimaan pesan media massa. contohnya ketika seorang individu mengikuti organisasi keagamaan tertentu. Individu yang masuk pada organisasi keagamaan tertentu tersebut akan lebih mudah menerima pesan-pesan media massa yang mendukung keberadaan organisasi agama yang diikutinya dan menolak kritik-kritik yang ditujukan kepada organisasi keagamaan yang diikutinya tersebut, dan juga sebaliknya dengan mereka yang masuk sebagai organisasi keagamaan yang lain. Bahkan reaksi individu yang masuk organisasi seringkali bersifat sangat reaktif. Artinya, bisa jadi pesan-pesan media massa itu benar, tetapi karena ia berada pada sebuah organisasi, maka pesan-pesan itu tidaklah begitu mengena pada diri individu tersebut.
0 notes
farhankoto · 5 years ago
Text
Covid-19 dan Kekuasaan
Farhan koto, Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Makassar
Fenomena Pandemi Corona Virus Disease atau yang dikenal sebagai COVID-19, menjadi kasus yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia, belum bisa di atasi secara baik. Banyak pendapat dari para ahli untuk mengungkapkan latar belakang dan penyebab terjadinya penyebaran virus, yang sangat mematikan tersebut hingga kini belum ada penangkalnya.
Di Indonesia, Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah mengambil berbagai kebijakan terkait Covid-19 ini. Namun kebijakan tersebut banyak menuai kontroversi dan berbagai konspirasi di kalangan masyarakat, malah ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah menjadi merugikan masyarakat, dari hal tersebut kebijakan pemerintah Indonesia mulai menjadi sorotan berbagai media dalam negeri dan media asing.
Seperti dalam Melbourne Asia Review berdasarkan tulisan dari Rafiqa Qurrata Ayun sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus Mahasiswa Phd di Melbourne Law Schoo, serta tulisan dari Abdil Mughis Mudhoffir sebagai Dosen departemen Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta
Media asing tersebut mengatakan bahwa kebijkan pemerintahan Indonesia dalam menangani krisis Covid-19 menjadi yang terburuk di Asia Tenggara. Lanjutnya lagi, Di negara demokratis non-liberal seperti Indonesia, krisis menjadi sarana bagi para elit dalam politik dan bisnis untuk semakin mengakumulasi kekuasaan dan uang. ketidak liberal Indonesia - ditandai dengan tidak adanya aturan hukum dan korupsi yang meluas - telah memungkinkan kepentingan-kepentingan dominan untuk mengeksploitasi krisis dengan alih-alih mengatasinya demi kebaikan umum.
Penanganan COVID-19 Indonesia merupakan yang terburuk di Asia Tenggara. tentang hal ini adalah bahwa angka kematiannya dengan kisaran 7 persen, tertinggi di antara negara-negara lain di kawasan asia tenggara, yang sebagian besar sekitar 0-3 persen. Ini bukan semata-mata akibat gaya kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang lambat merespons dan menunjukkan kurangnya pemikiran strategis, seperti yang banyak dikemukakan. 
Kegagalan Indonesia disebut bertambah dengan keengganan pemerintah untuk memberikan jaminan sosial kepada mereka yang membutuhkan, lalu tersangka penggunaan dana bantuan COVID-19, sedikit akuntabilitas dalam kaitannya dengan penggunaan uang terkait COVID-19; lalu dengan elit politik-bisnis menggunakan krisis sebagai kesempatan untuk mengeluarkan banyak undang-undang kontroversial yang diusulkan yang mana lebih banyak memberi kekuatan kepada negara dan membuka jalan bagi penjarahan lebih lanjut terhadap sumber daya negara.
Elit pemerintah dengan konflik kepentingan
Setidaknya dua anggota staf khusus presiden telah diketahui terlibat dalam konflik kepentingan antara peran publik mereka dan kepentingan pribadi sehubungan dengan dana bantuan COVID-19.Salah satu program pemerintah yang menyediakan pelatihan online untuk pekerja yang diberhentikan di tengah pandemi, misalnya, telah menunjuk sebuah perusahaan rintisan pendidikan Ruangguru, yang CEO-nya adalah staf kepresidenan Adamas Belva Syah Devara.
Penunjukan Ruangguru dilakukan tanpa proses penawaran, seperti yang diakui oleh Wakil Menteri untuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rudi Salahuddin, yang juga mengatakan tujuh perusahaan lain ditunjuk tanpa penawaran karena keterbatasan waktu. Menolak proses penawaran untuk proyek lebih dari Rp 200 juta - karena proyek-proyek ini - melanggar Peraturan Presiden (Perpres) No. 16/2018 tentang pengadaan pemerintah.
Namun, Devara telah membela proses tersebut, dengan mengatakan bahwa ia tidak berperan dalam pengambilan keputusan dalam penunjukan Ruangguru sebagai mitra pemerintah dan bahwa tidak ada konflik kepentingan. Lebih lanjut, waktu dan konten dari program pelatihan online seperti yang dijalankan oleh program Ruangguru dicurigai. Devara telah menyatakan bahwa proses seleksi untuk mengimplementasikan program telah dimulai pada bulan Desember 2019 - jauh sebelum wabah COVID-19. Perusahaan menyediakan sesuatu yang tersedia secara bebas di tempat lain: pelatihan online yang ditawarkan tidak membahas kebutuhan dasar pekerja yang diberhentikan, seperti bagaimana melamar pekerjaan baru. Menurut serikat pekerja, yang benar-benar dibutuhkan pekerja menganggur adalah bantuan sosial.
Staf presiden lainnya, Andi Taufan Garuda Putra, juga telah dituduh memiliki konflik kepentingan setelah mengirim surat kepada bupati pada kop surat resmi pemerintah, meminta mereka mendukung program bantuan COVID-19 yang dipimpin oleh perusahaan yang dimilikinya, Amartha Mikro Fintek .
Hanya ada sedikit pertanggungjawaban dalam hal pengeluaran terkait COVID
 Respons pandemi COVID-19 pemerintah juga memberikannya kekuasaan yang berlebihan atas anggaran negara. Segala sesuatu yang dikeluarkan oleh pemerintah sehubungan dengan COVID-19 dianggap sebagai langkah untuk mengamankan perekonomian dari krisis.
Tidak ada keputusan yang dibuat atau tindakan yang diambil dapat diajukan di pengadilan administrasi negara dan pejabat pemerintah kebal dari tuduhan pidana.Situasi ini diperburuk oleh badan anti-korupsi yang lemah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang semakin melemah dengan revisi UU KPK pada September 2019. Masyarakat sipil meragukan kemampuan badan ini untuk memantau dan selidiki penyimpangan terkait pengeluaran COVID-19.
Keengganan untuk memberikan jaminan sosial kepada mereka yang membutuhkan
Pada 30 Maret, Presiden Jokowi mengumumkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang akan digabungkan dengan kebijakan "darurat sipil" untuk memberlakukan penguncian untuk memperlambat penyebaran COVID-19. Meskipun darurat sipil belum secara resmi diberlakukan, tetap menjadi pilihan bagi pemerintah jika yakin status PSBB yang ada tidak berfungsi dengan cukup baik. Menyatakan darurat sipil sangat meningkatkan kekuatan pemerintah dan menunda aturan normal. Kelompok-kelompok advokasi, takut penyalahgunaan kekuasaan, berpendapat bahwa status darurat sipil tidak diperlukan dan bahwa undang-undang tentang mitigasi bencana dan karantina kesehatan sudah cukup.
Motif pemerintah terlihat mencurigakan karena berdasarkan undang-undang karantina kesehatan yang ada (UU No. 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan), dengan menerapkan karantina teritorial (kuncian), pemerintah pusat harus menyerahkan pembayaran jaminan sosial. Namun tidak ada kewajiban seperti itu pada pemerintah ketika PSBB diterapkan, atau jika status darurat sipil berlaku. Ditambah lagi, klaim pemerintah bahwa mereka telah meningkatkan pengeluaran untuk orang miskin karena COVID-19 menyesatkan. Jokowi telah menyatakan bahwa jaring pengaman sosialnya - senilai Rp 110 triliun, dan yang termasuk program harapan keluarga (PKH), program makanan pokok, kartu pra-kerja dan listrik gratis - mewakili peningkatan bantuan untuk keluarga miskin sebagai bagian dari tanggapan terkait COVID.
Jokowi mengklaim pada 31 Maret bahwa pemerintah telah meningkatkan jumlah penerima program PKH dari 9,2 juta menjadi 10 juta rumah tangga dan jumlah bantuan tunai sebesar 25 persen. Namun, lebih dari sebulan sebelumnya ketika pemerintah masih mengklaim Indonesia tidak memiliki kasus COVID-19, Kementerian Sosial membuat pernyataan yang sangat mirip tentang angka PKH: bahwa anggaran untuk PKH ditargetkan pada rumah tangga miskin dengan anak-anak dan / atau wanita hamil telah meningkat sebesar 25 persen. Peraturan Presiden No. 61/2019 tentang Rencana Aksi Pemerintah 2020 juga menyatakan bahwa jumlah penerima PKH telah meningkat dari 9,2 juta menjadi 10 juta rumah tangga.
Klaim Jokowi tentang pengeluaran ekstra COVID-19, dianggap menyesatkan dan kemungkinan dimaksudkan untuk meningkatkan popularitasnya di tengah kekecewaan publik dalam penanganan wabahnya.
Mengesahkan undang-undang yang tidak terkait selama krisis
Pemerintahan Jokowi dan partai-partai yang berkuasa di parlemen (DPR) telah mengeksploitasi wabah untuk mempercepat pembahasan banyak undang-undang kontroversial yang diusulkan yang dapat membuka jalan bagi pemerintah untuk memperluas kekuasaannya, dengan kemungkinan hasil negatif.
RUU Cipta Kerja Omnibus adalah RUU Cipta Kerja yang merupakan salah satu rancangan undang-undang yang diprioritaskan oleh parlemen untuk diundangkan selama wabah COVID-19. RUU ini merevisi lebih dari 80 undang-undang yang ada untuk meningkatkan investasi dan menyederhanakan proses untuk bisnis; dan akan lebih jauh memusatkan otoritas di pemerintah Indonesia. Pemerintah telah menyebutkan perlunya mendorong ekonomi di tengah pandemi sebagai alasan untuk mendorong RUU ini secepat mungkin.
Namun, serikat pekerja khawatir RUU itu mengurangi hak-hak pekerja termasuk yang terkait dengan pembayaran pesangon dan kompensasi bagi pekerja yang diberhentikan. RUU ini akan membuat hukuman pidana untuk bisnis yang melanggar perlindungan lingkungan menjadi lebih ringan; menghapus izin bangunan sebagai satu persyaratan untuk mendapatkan izin usaha dan secara signifikan melemahkan tanggung jawab untuk perlindungan lingkungan.
Menanggapi banyak kritik, terutama dari serikat buruh, Jokowi mengklaim pada 24 April bahwa eksekutif dan legislatif telah sepakat untuk menunda pembahasan RUU ini. Namun menurut Willy Aditya, Wakil Ketua badan legislasi DPR (Baleg), DPR belum pernah menerima surat resmi pemerintah yang meminta penundaan pembahasan. Klaim Jokowi kemungkinan besar dimotivasi dengan menghindari demonstrasi buruh pada May Day serta mendapatkan simpati publik. Pada 27 April, DPR terus mengadakan rapat virtual untuk membahas RUU tersebut.
RUU KUHP (RKUHP) adalah RUU kontroversial lain yang dapat didorong melalui parlemen sementara pemerintah memiliki kekuatan yang meningkat. Itu ditentang oleh gerakan mahasiswa tahun lalu karena kekhawatiran tentang melemahnya hak-hak seperti kebebasan berbicara, dengan memasukkan kejahatan yang berkaitan dengan menghina kepala negara dan pemerintah. Setelah serangkaian protes yang menewaskan sedikitnya lima siswa, pembahasan RUU ini dihentikan, tetapi sekarang telah menjadi salah satu tagihan prioritas pemerintah.
RUU lain yang ditentang oleh siswa tahun lalu adalah revisi UU Batubara dan Mineral (RUU Minerba) 2009. Aktivis mengklaim revisi tersebut akan melindungi koruptor, mengkriminalkan masyarakat dan membahayakan orang dan lingkungan. Pada 12 Mei, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui revisi kontroversial ini.
Langkah-langkah untuk mengesahkan undang-undang ini telah dibuat di tengah larangan pertemuan sosial, termasuk demonstrasi. Sederhananya, upaya yang dilakukan oleh parlemen (yang didominasi oleh partai-partai yang berkuasa) untuk mempercepat berlakunya RUU ini selama pandemi adalah sarana untuk mengesampingkan perhatian publik.
Kritik terhadap pemerintah ditangkap
Pada tanggal 23 April, Ravio Patra, seorang aktivis yang kritis terhadap bagaimana pemerintah mengelola wabah, adalah salah satu contohnya. Polisi menuduhnya memprovokasi kerusuhan nasional melalui siaran Whatsapp.
Aktivis hak mengklaim bahwa siaran itu dibuat ketika teleponnya diretas. Mereka mengemukakan fakta bahwa Patra secara terbuka telah mengkritik salah satu staf Jokowi, Billy Mambrasar, karena dugaan konflik kepentingan dalam melaksanakan proyek-proyek pemerintah di Papua Barat. Wawancara kami dengan para aktivis menunjukkan bahwa kritik Patra terhadap Mambrasar adalah alasan ia ditangkap. Beberapa aktivis percaya bahwa Mambrasar memiliki hubungan dekat dengan Budi Gunawan, kepala badan intelijen nasional Indonesia.
Beberapa orang lain dari berbagai daerah juga telah ditangkap, sebagian besar karena komentar mereka di media sosial sehubungan dengan cara pemerintah menanggapi wabah COVID-19. Tuduhan termasuk menghina Presiden dan menyebarkan pidato kebencian. KontraS, pengawas hak asasi manusia Indonesia, melaporkan bahwa pada 8 April ada empat kasus orang dari berbagai daerah (Jakarta, Riau dan Jawa Tengah) didakwa dengan menghina pihak berwenang.
Penangkapan semacam itu biasa terjadi bahkan sebelum pecahnya COVID-19, sebagian besar berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Amnesty International telah mencatat bahwa selama masa jabatan pertama Jokowi (2014-19) setidaknya ada 203 investigasi kriminal terhadap mereka yang mengkritik pemerintah. COVID-19 telah menghasilkan peluang lebih lanjut bagi pihak berwenang untuk menggunakan undang-undang ini untuk membungkam kritiknya. Polisi Indonesia mungkin telah meningkatkan peran mereka dalam menegakkan hukum yang terkait dengan mengkritik pemerintah. 
Presiden dan pendukung politik dan bisnisnya tidak menanggapi krisis dengan serius.
Sejauh ini, banyak pengamat mengaitkan kegagalan Indonesia dalam menangani wabah COVID-19 karena ketidakmampuan Jokowi dan kurangnya pemikiran strategis. Banyak pejabat pemerintah yang menyangkal virus ini dan belum memberikan tanggapan efektif terhadap wabah tersebut. Tapi ini bukan hanya kasus ketidakmampuan. Berfokus pada ketidakmampuan pemerintah mengaburkan sifat tidak liberal Indonesia. Kita perlu melihat masalah di luar gaya kepemimpinan pemerintah saat ini. Tata pemerintahan yang buruk dan kelemahan institusional telah lama mengakar di Indonesia, dan kekacauan dalam menangani wabah lebih baik dilihat sebagai konsekuensi dari sistem politik dan ekonomi Indonesia yang tidak liberal.
Dalam konteks ini, banyak elit politik-bisnis cenderung memandang kekacauan sebagai peluang untuk memajukan kepentingan mereka dan meningkatkan kekuatan dan sumber daya materi mereka. Mereka telah mengeksploitasi krisis untuk tujuan yang tidak liberal dan mengabaikan yang paling rentan.
Dari berbagai pembahasan tadi pemerintah dinilai kurang tegas dan dianggap mulai menggunakan kekuasaan yang berlebihan melalui berbagai kebijakannya, masyarakat pun mulai memandang skeptis kepada pemerintah, tentu memunculkan masalah sosial yang seharusnya dihindari dalam krisis pandemik Covid-19 ini.
Menurut Robert Putnam dengan teori Modal Sosialnya bahwa dalam suatu masalah besar di dalam masyarakat membutuhkan nilai-nilai sosial, artinya dibutuhkan kerjasama seluruh kelompok sosial dalam menyelesaikan masalah tersebut. Modal sosial dapat dijadikan sebagai barang publik oleh pemerintah, sebagai jaringan horizontal yang menjadi eksistensi dalam masyarakat. Modal sosial mampu mengarahkan masyarakat untuk sadar akan berkonstribusi dalam menyelesaikan masalah yang ada. Solidaritas sosial masyarakat tentu menjadi faktor penting dalam modal sosial untuk bersama-sama mengatasi pandemik Covid-19 dan juga masalah sosial yang terjadi. Teori modal sosial mempunyai arti penting  untuk saling bergotong royong dengan kesadaran yang tinggi dan dibarengi dengan jiwa saling mendukung akan menjadi langkah konstruktif dan solusi yang mampu menyelesaikan permasalahan besar ini.
 Dengan begitu, harapanya menjadikan langkah aktif masyarakat sebagai warga Negara (good citizenship) dengan bertindak secara bertanggung jawab, juga termasuk menjadi warga Negara yang berorientasi keadilan yakni, tetap secara kritis menilai struktur sosial, politik dan ekonomi untuk melihat apa yang sedang terjadi saat ini. Namun tak lupa juga diharapkanya partisipasi dari masyarakat agar secara gotong royong juga melakukan bantuan untuk meringankan beban pemerintah.
Melalui berbagai kritik dari masyarakat dan media, dan melalui tulisan ini harapanya pemerintah mengunakan kebijakan yang jelas dan lebih tegas serta jeli dalam mengantisipasi banyak elit politik-bisnis yang cenderung memandang kekacauan sebagai peluang untuk memajukan kepentingan mereka dan meningkatkan kekuatan dan sumber daya materi yang telah mengeksploitasi krisis untuk tujuan yang tidak liberal serta mengabaikan yang paling rentan. Juga dengan  solidaritas  antar masyarakat dan pemerintah harus labih di perkuat dalam mengatasi krisis  yang tengah melanda bangsa. Tanpa mengurangi kritisisasi, dengan solidaritas, gotong royong dan kerjasama seluruh kelompok sosial bersama akan menjadi modal sosial dan sebagai barang publik oleh pemerintah, dengan begitu akan menjadi penyegar dalam kehidupan sosial, yang secara substansi memiliki kepercayaan bertindak secara bersama dalam mewujudkan tujuan bersama.
1 note · View note