Text
Hari ini aku ambil rapot anak.
Bukan cuma rapot yang kuambil, ternyata ambil insight baru juga
- Aku makin yakin, kalau anak itu kertas kosong yang pola dan warnanya digambar orangtuanya sendiri
- Guru berbicara perkembangan & saran perbaikan, ditujukan untuk si anak, tapi nyatanya itu adalah cerminan keseharian orangtuanya
hari ini aku memilih me-reset egoku, memeluk diri & anakku ketika ia tidak sesuai ekspektasi, menata waktu sesuai fisiologis manusia, i mean, dimulai menjadi “morning person”mungkin?
1 note
·
View note
Text
Bismillah, apa kabar?
Semoga sehat-sehat, ya.
Bagi yang hidup lagi berat-beratnya, lagi capek-capeknya, sini duduk dulu. Ngobrol dulu.
Emang biasanya rasa sakit, sesak, itu muncul pada sesuatu yang terus berkembang.
Inget ngga rasanya waktu tumbuh gigi? Sakit, kan?
Inget ngga waktu kaki masih numbuh dan sepatu jadi kekecilan? Sesak, kan?
Atau inget ngga momen-momen saat kita terpaksa harus jadi lebih dewasa? Mungkin saat masuk kuliah, merantau, berpisah dari orang tua, punya keluarga sendiri, dan seterusnya. Berat. Ngga mudah.
Tapi semua ada ujungnya. Rasa berat itu ngga akan selamanya.
Setelah semua itu berlalu, kamu jadi orang yang sedikit berbeda. Lebih kuat, lebih bijak, lebih tahu, lebih cermat, atau lebih-lebih lainnya.
Mungkin sekarang ngga kebayang dalam benak kita gimana caranya melalui ujian ini--apapun itu. Sanggup kah kita? Apa solusi yang akan muncul untuk menyelamatkan kita? Apakah Allah benar-benar akan menolong kita? Kapan? Gimana caranya?
Tenang. Atur nafas. Tenang.
Kita tahu kita harus berpikir rasional dan segera mencari solusi. Tapi tenang dulu. Kasihan diri kita kalau terus diserang dengan berbagai spekulasi dan kekhawatiran yang belum terjadi. Bisa-bisa otak kita malah membeku, marah pada keadaan, atau ingin melarikan diri dari masalah.
Mari fokus pada hari ini saja dulu. Apa yang hari ini bisa saya lakukan? Pilih sesuatu. Tidak harus langsung benar atau besar, yang lebih penting dimulai.
Lalu apa?
Besok lakukan lagi. Besoknya lakukan lagi, dan seterusnya.
Dengan mengambil tindakan pada apa-apa yang bisa kita kendalikan, kita merasa lebih berdaya. Kalau kita merasa berdaya, rasa takut dan cemas akan berkurang.
Kalau rasa takut dan cemas itu semakin berkurang, kita bisa melihat lebih jauh ke depan. Bisa jadi setelah itulah kita menemukan solusi atas apapun yang sedang kita hadapi saat ini.
Yuk, jalan pelan-pelan aja. Lakukan satu per satu.
Bismillah, ya Allah kuatkan kami, tolong kami.
339 notes
·
View notes
Text
Ustadz Nouman Ali Khan & Ust. Felix Siauw
2 orang rahimahullah ini seringkali membuat memori masa-masa hijrah dulu mencuat ke permukaan (which is good).
Allah memberi perantara 2 makhluknya ini untuk bisa menembus inti batinku. Membuat kerinduan yang dalam padaMu, membuatku mudah merasakan rahmahMu, sekonyong-konyong hatiku hangat dan lumer.
Kurasa cara penyampaian dakwahnya, yang memang Allah desain untuk "sampai" ke manusia-manusia bebal sepertiku? 😅
Ya Allah, ridhoi aku untuk kembali dan kembali lagi. Istiqomah memang berat adanya 🥲
Ya Allah anugrahi aku dengan lingkungan yang membuatku terus ingin mendekat dan enggan berbalik.
Teguhkan hatiku, kalau tidak ada yang perlu aku takuti dan aku rundungi selama aku berjalan di jalanMu.
"Barangsiapa beriman dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati." (QS Al-An'am : 48)
5 notes
·
View notes
Text
Sedikit lucu di umur kepala 3 ini aku masih bisa menggalaukan bab pertemanan.
Bab yang seharusnya sudah lulus tanpa remedial.
Untuk seorang INFJ, menemukan teman sefrekuensi itu bagai menemukan huruf N di bungkus permen karet YOSAN.
Kabar baiknya pula, beberapa bulan ini aku sedang hoki-hokinya mendapat banyak jackpot N.
Namun sesuai ketetapan-Nya, hidup kan memang permainan.. jadilah sekonyong-konyong aku mendapat kejutan di tengah tidur soreku, tepat setelah tawa renyah di siang harinya.
"Whyyyy sih dok. Whyy 🥺🥺🥺😭" - bunyi notif WA itu menembus alam bawah sadarku.
Rasanya nyawaku belum terkumpul betul untuk mencerna makna di balik Why-nya.
Namun setelah ku tahu namaku ada di list mutasi itu, aku hanya terhenyak dan mengecek seberapa jauh tempat kerja baruku dari rumah.
Hari itu kupastikan tidak ada air mata, logika lebih bermain. Di pikiranku bersliweran teknis perpindahanku. Kapan, apa yg harus diselesaikan, apa barang-barang yg harus dibawa, siapa pimpinan disana dll.
Another new phase! - terselip optimis getir disana.
Sungguh, ruangan yg ada di foto itu membuat pertahananku buyar.
Runtuh seruntuh-runtuhnya.
Tempatku menghabiskan 90% waktuku di tempat kerjaku. Dgn orang-orang sejiwa.
4 tahun seirama, sudah tak butuh banyak prolog untuk tahu isi hati. Sudah tak terhitung kesamaan yg tak disengaja. Tak terhitung hutang piutang yg di gali-tutup lubang. Tak terhitung berapa kali dibuat bersyukur dgn pertemanan ini.
Beberapa bulan terakhir ada 4 manusia yg rupanya juga membuat jiwa tertaut.
5 tahun pula menjadi saksi bertumbuhnya Puskesmas-ku ini. Dari gedung jadul nan sempit, pindah kontrakan kecil dgn sekat triplek, sampai ke gedung 3 unit dgn fasilitas terlengkap utk levelnya.
Jangan tanya bagaimana selama ini aku menjadikannya rumah.
-----
Kini, bagiku hari-hari adalah perjuangan.
Berjuang utk melepaskan zona nyaman.
Hmm, bukan bukan. Lebih tepatnya memperluas zona nyaman.
Berjuang utk datang pagi dgn tegap, menyesuaikan diri dgn aliran disana.
Memulai obrolan-obrolan default lagi dgn semuanya.
Sesekali tidak yakin akan menjumpai lagi the person with "N"
Tapii, kutepis sebisa mungkin.
Lalu quote Mas Gun diatas bisa menambah keyakinanku : "Dengan menjadi orang yg tulus, frekuensi kita akan menggetarkan hati orang lain utk dekat dgn kita"
Lalu aku tersadar kembali, tiap fase ada orangnya. Dan tiap orang ada fasenya.
Justru, aku patut bersyukur karna end story ku di tempat kerja sebelumnya bisa dibilang happy ending.
Sebuah start yang apik utk babak baru. Di sini.
Dan mengutip Buya Hamka : "Kita hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yg kita cari"
Yapp, niatku sudah di-upgrade mulai detik ini.
Bismillahirrahmanirrahim :)
6 notes
·
View notes
Text
Berpikir terbalik, boleh juga! Tapi ini justru butuh pemikiran yg lagi jernih-jernihnya 😂
Kalo lagi butek, lebih baik pause mode dulu.
Jgn mikir macem-macem, rebahan, nyalain kipas portable miniso, makan cemilan seadanya (pastiin tanggal expired nya), ciptakan kenyamanan semu dulu 😁
Hindari Kebodohan Sebelum Berusaha Menjadi Brilian
Charlie Munger, salah satu investor terkaya di dunia, sahabatnya Warren Buffett, pernah ditanya tentang cara dia agar selalu rasional dalam mengambil keputusan.
Salah satu caranya adalah dengan berpikir terbalik--inverted thinking.
Misalnya, waktu perang dunia II, Charlie adalah seorang meteorologis. Tugasnya adalah mastiin agar pesawat bisa lepas landas dan mendarat tanpa gangguan cuaca.
Dia berpikir, kalau saya mau celakain banyak pilot, apa cara yang paling mudah dan efektif?
Saya bisa kirim pesawat ke area yang dingin banget sampe pesawatnya ga bisa berfungsi, atau kirim ke area di mana pesawat akan kehabisan bahan bakar sebelum bisa mendarat.
Dengan cara berpikir inversion seperti itu, Charlie tau dia harus menghindari apa.
Trik ini membantu kita memahami masalah/tujuan karena memaksa kita ngeliat dari perspekif yang berbeda.
Tesisnya adalah "lebih mudah menghindari kebodohan daripada berusaha menjadi brilian." Maksudnya, seringkali apa yang menghalangi kita mencapai tujuan adalah hal-hal simpel dan bodoh.
Misalnya, kamu pengen jadi kaya raya. Dengan inverted thinking, kita bisa nanya, "Apa paling mudah dan efektif untuk jatuh miskin?"
Jajan Gofood tiap hari, maksain cicil rumah dan mobil melebihi kemampuan, bikin banyak kartu kredit, dsb.
Itu kan hal-hal simpel yang seringkali kita remehkan, padahal dampaknya besar buat kesehatan finansial kita.
Jadi, jauh sebelum kita berusaha untuk bikin rencana canggih untuk mencapai tujuan, mulai aja dari menghindari kebodohan. Itu aja udah bisa membawa hasil yang signifikan.
Sekian.
252 notes
·
View notes
Text
Dan mengutip quote Kick Andy "Tidak ada pertemanan yg abadi, yg ada kepentingan yg abadi"
Itu bener juga sih kalo dipikir2.
Inget2 aja waktu kamu ditempatkan di satu tim bareng sekelompok orang utk sebuah proyek. Rangkul-merangkul, tangis-menangisi nya ga ada obat kan? Tapi begitu datang proyek baru dgn tim yg lain, kebersamaan dgn tim baru rasa2nya lebih mendarah daging, begitu seterusnya.
Jadi utk mewujudkan sebuah ke-awetan : be a genuine person & having same interests with persons you wanna live with, then commit it 😁
“Saya belajar bahwa hubungan manusia yang paling awet adalah hubungan yang ‘genuine’, di mana satu sama lain bisa saling menunjukkan kerapuhannya tanpa penghakiman. Menjadi rapuh adalah menjadi manusia yang 'relatable’. Sementara berpura-pura sempurna biasanya malah memicu orang lain untuk membuktikan ketidaksempurnaan kita.”
—
416 notes
·
View notes
Text
Maaf kalo tulisan satu ini akan berbau retjeh.
Mungkin malam ini jadi malam ter-escape ku karna detik ini juga aku bisa merasakan intens nya perasaan waktu jaman megalitikum dulu (baca: SMA).
Yaelah, ini mak2 satu bukannya nyuci baju anaq yg udah direndem seharian, atau mikir besok bocah siapa yg megang sehubungan mak-bapaknya dinas semua besok. *Sentil jidat sendiri
Ini berawal dari adikku, yg tengah malem curhat : setelah 5 tahun, hubungan semu-nya (baca: pacalan) kandas. Dasss..
Trus adik manisku yg 23 tahun itu nelponin & chat teruss.
Ga kenal waktu.
Dengerin tangisan sesenggukan nya. Momen hening di jeda tangisnya. Cerita2 pilu bikin ngilu.
Hmmm.. sepertinya aku kenal dengan macam perasaan ini?
Apa namanya Li? Yuhuuu broken heart sama pacar pertama.
Bedanya, dulu akoh merasakannya di usia yg lebih belia, 15 tawun.
Bisa apa siiih naq 15 taun pada zamannya?
Ya sama sih, curhat sama kakak terdekatnya hihihi.
Tapi kali ini adikku mendapat wejangan dari kakaknya yg sudah berkeluarga, jadii bukan kaleng2 nih isi wejangannya. *yailaa sombong bener, nikah jg baru kemarin 🙄
Dan yg perlu diingat, setiap orang punya milestone nya masing2. Proses kehidupan, yg di satu titik akan menyadarkan betapa alay-nya kita dulu. Trus puas-puasin dah ketawa sambil minum green thai tea.
Throwback 2007 (kalo ga salah), masih terngiang jelas lemesnya badan ga ada tonus otot sampe 3 hari pasca bilang "you and me cut"
Air mata dah kaya shimizu. Pancurannya kuat.
Trus kakak2 sok-sokan mau ngehibur, ngajak ke Duta Mode (ampun, disebut jg merk toko) bukannya teralihkan dengan baju2 lucu harga obral, malah makin inget siss karena itu toko nyetel tembang kenangan. Trus bisa-bisanya aku nangis di antara tumpukan baju obral saking ga kuatnya.
Belum lagi drama stalking 'si bekas' yg nama lain kegiatan ini adalah gol bunuh diri.
Cuma bikin tambah sakittt😢
Tapi ya nagih, sih #plakk
Trus lanjut menjelajah rasa jaman balikan, jaman harap-harap tipis, kode-kode morse kalo sesekali rindu.
Ya Allah, bener2 perlu diistighfari masa-masa itu.
Trus pernah berpikir apakah pada akhirnya kita jodoh? Soalnya sejauh apapun akoh melangkah, serasa ada magnet yg akhirnya bikin kita connected lagi. Eitss, di sisi sana jg ada yg merasa begitu denganmu. Kurang picisan apa lagi guwee yekaan.
Ulalaa bikin sriwing-sriwing gigi tuh mikirin itu.
Trus ketika aku lihat realita kita sekarang, hal-hal yg dulu jadi pertanyaan terjawab sudah.
Kalo di film bisa dibilang anti klimaks.
Aku-dirimu-dirinya menemukan "the right person" nya masing-masing.
Rencana Allah berjalan begitu saja, dengan segala keadilan dan kearifan. Semua termaklumi dengan baik.
Dan diri ini, terus berproses..
Semakin berani, semakin yakin, semakin legowo..
Adikku, mungkin wejangan kakak mu ini terasa klise, dan sulit diaplikasikan, tapi ini sedikit banyak diambil dari pengalaman kakak mu sendiri.
- Bahwa kamu akan dapat lelaki yg lebih baik, tapi yg perlu diingat lelaki itu ga akan ngajak pacaran.
Memang, tidak menjamin 100% yg langsung ngajak nikah itu baik, tapi yakinlah yg memegang syariat Allah lebih selamat.
- Bahwa kamu udah cukup dewasa, buat meluruskan niat mu. Kalau kamu memilih lelaki dengan petunjuk Allah (lelaki salih), waktu kamu menikah nanti semarah2nya dia ga akan KDRT atau menghinamu.
Dan dia ga akan berani membuka pandangan kedua sama wanita lain (pandangan pertama katanya rejeki kan, bapak-bapak? 😏)
Udah sih, dek. Gitu aja.
Sekarang, nangis dulu gak papa, biar legaan dikit.
Tapi, nangis di atas sajadah itu nikmatnyaaa tiada taraa. Jadi, buka lagi Qur'an mu, sesering mungkin. Pake kuota unlimited mu buat buka kajian di YouTube. Yakinlah badai pasti berlalu, ini bisa jadi titik balikmu.
Ayokk jemput, jemput hidayah-Nya.
Nanti pokoknya tau-tau udah nyusuin anak di samping suami yg lagi mijitin punggung kita.
Yg pasti, suaminya salih. Istrinya jg insyaaAllah terus mensalihkan diri. Iyaa itu kita! 🤗💞
Peluuuuuuuk
0 notes
Text
I swallow this... hardly
But it's such a good nutrition
Realistis Aja
Dunia ga peduli apakah kamu seorang manager yang susah untuk constantly reading articles atau sering ikut meetup karena ngasuh anak di rumah. Atau apakah kamu seorang mahasiswa yang gabisa ke perpustakaan just for the sake of seeking knowledge karena menanggung kehidupan sekian orang adik. Atau apakah kamu seorang wanita karir yang cari nafkah sekaligus urusin rumah sementara suaminya gabut.
Yang dunia pedulikan itu hasil, output, sesuatu yang keliatan. Sorry this is harsh, but empathy-thingy itu kemewahan. You can’t expect the world to listen to your story and menye-menye.
You know what to do in this condition?
Firstly, communicate, talk, pray, to God, “Dear God, this is hard for me. Aku ingin mengeluh, tapi aku tau Engkau sedang melihat bagaimana aku melalui ini. Maka catatlah kesabaranku ini sebagai pahala yang banyak. Jadikan ini keistimewaanku dibanding makhluk-Mu yang lain.”
Secondly, stop caring about what people would think about you. Just do your best to tackle this and that, finish this and that, but shut your inner voices yang bilang, “Wah nanti aku dinilai ga perform”, “Wah nanti aku keliatan bodoh”, etc. Be a bodoamat person selama kamu udah lakuin yang terbaik yang kamu bisa. Biarkan hatimu bertawakkal–”I’ve done my very best, so whatever will be, will be.”
Thirdly, just keep moving forward, don’t look back, you can slow down but don’t stop, because hardship won’t last forever. At some point things will get easier. If not, then you haven’t pass through the storm, maybe you haven’t faced the center of the storm–brace yourself, but after that things will get better. Remember Dory’s song, “Just keep swimming.. Just keep swimming”
Good luck!
Butuh meluapkan kisahmu? Kirim ke https://yasirmukhtar.tumblr.com/submit.
2K notes
·
View notes
Photo
Papa, terimakasih selalu percaya :')
● Pundaknya, dadanya, punggungnya selalu siap sedia untuk anak gadisnya yang belum dewasa itu.
● Aku tahu ayah adalah orang yg menjunjung tinggi kedisiplinan. Meski bukan orang militer. Tapi ayah tidak pernah marah saat ke-leletan anaknya ini membuat suatu kerugian. Ayah selalu punya kata-kata sebiru samudera. Membuat jiwa ini luas, dan segar. Lalu akhirnya tidak ingin mengotori lagi harapannya. Padahal kata Ibu, dulu jaman pacaran Ayah suka tanpa basa-basi meninggalkan tempat ‘kentjan’ saat Ibu tak muncul 5 menit dari jam kesepakatan.
● Ayah selalu enerjik dan konsisten. Konsisten dalam usaha membahagiakan keluarga, dan dalam pengabdiannya sebagai dokter.
● Ayah selalu muncul di bibir kereta atau di pintu masuk stasiun, entah berapa lama sebelum anak gadisnya sampai. Yang jelas, aku tak pernah menunggu begitu sampai. Dan lihat? Wajah ayah, tak bisa dibohongi sumringah luar biasa. Kadang, ada plastik isi makanan / minuman ia tenteng untuk putrinya yang mungkin kelaparan di kereta.
● Ayah, selalu punya cara. Selalu percaya ada jalan. Selalu percaya putrinya akan menjadi wanita istimewa. Selalu.. selalu ada dalam doa putrinya :)
2 notes
·
View notes
Text
151.1 FM
Ketika hanya orang-orang itu..
Yang bisa menangkap "mata kantung doraemon"mu
Yang bisa mengartikan sapaan standar "Hi" mu sebagai suara kegelisahan dan butuh ruang bicara
Yang tiba-tiba chat nya muncul diantara tumpukan chat grup, dengan template sejuta umat: apa kabar? Tapi sungguh, itu pertanyaan paling tepat saat itu.
Percayalah, mereka orang-orang kiriman Tuhan
Yang tercipta dengan frekuensi yang sama
Yang membuatmu sadar Tuhan tidak pernah membebanimu dengan terlalu
Yang membuatmu ingin menuliskan rasa syukur ini di Tumblr, meski harus men-downloadnya dulu..
Terimakasih Tuhanku, Allah SWT
😊
*postingan pertama setelah download Tumblr secara impulsif di atas gojek 😂
0 notes
Text
Keinget acara2 LDK Kahfi dan orang2 di dalamnya tentunya 🙂
“Kalau nanti kamu masuk surga dan gak nemu aku disana, tolong cari aku ya, tarik aku, minta sama Allah supaya dosa-dosaku diampuni sampai gak bersisa.”
Coba deh sesekali secara spontan ungkapin ini ke temanmu. Secara ga sadar mata bisa berkaca-kaca sendiri karenanya. Mungkin janji-janji seperti ini yang kelak bisa menyelamatkan kita di akhirat.
— Taufik Aulia
1K notes
·
View notes
Text
Whoa!
Keyakinan saya terbukti. Tumblr akan kembali, dia ga akan lama-lama di-suspend.
Wadah ngunek2 paling asik.
Format yg simpel, dengan warga sekitar yg unik dan hi-kualiti 😚👌
Well, welcome back eunoiaproject! 🤗
3 notes
·
View notes
Photo
Dari jaman sekolah, perkuliahan, perkoasan, sampai per-ishipan, teteep ketemu sama hal begini lagi. Semacam jodoh yg tak tertukar. Crafting is such my other blood type😍
6 notes
·
View notes
Text
Mantaaab. Bener, harus menikmati isi bacaan nyaa sambil dibayang2in ke pasien jg 😊
Kalo belajar itu harus sambil senyum, ada perasaan seneng gitu kalo lagi cari ilmu. Biar ilmunya tuh gampang masuk. Gak sambil sungut-sungut pingin cepet selesai kayak gitu. Nikmatin aja prosesnya, hasilnya mau gimana sih belakangan
Nasihat dosen yang setiap bersuara selalu bikin teduh, jadi terpapar adem terus-menerus
2 notes
·
View notes
Text
Everybody's clear?
Jadi ceritanya saya masih dalam euforia ACLS nih.
Masih terasa berdebarnya ujian megacode, ditambah saya dapet jackpot instruktur/penguji yg paling killer.
Oya, ACLS nya dilaksanakan 9-11 Februari di PERKI House, Benhil Jakarta.
1 kelas ada 30 orang.
Hari pertama:
• Pembekalan BHD, lanjut praktek RJP dgn souvenir face mask yg dikasih di meja pendaftaran.
• Post test BCLS dan Pre Test ACLS. FYI, buku modul merah-biru yg dikirim jauh2 hari itu nyatanya baru saya baca H-1 malemnya 😂 *kebiasaan
• Materi lagi, praktek lagi. Kali ini utk alat bantu nafas lanjut dan defibrilasi.
Hari kedua:
• Materi, siangnya simulasi megacode dgn kelompok kecil yg isinya 5-6 orang.
Disini kita berotasi utk mencoba menjadi semua peran: team leader, bagian ventilasi, bagian kompresi 2 orang, bagian masukin obat intravena, dan jadi pencatat serta time keeper.
Ketegangan sudah dimulai karna instruktur yg killer tadi sudah mengkondisikan itu sbg ujian.
Beliau blg, "Tenang saya ga akan gebrak2 meja karna tangan kanan saya sedang cidera (sambil nunjukin tangannya yg di-elastic verband)"
Nyatanya? Tangan kirinya maen 😪😂
Saya khawatir tangan kirinya bernasib sama wk.
Tapi sebenernya tegang sama penguji itu latihan mental awal, karna menghadapi keluarga pasien itu jauh lebih berat.
Pokoknya, kalo kita sudah matang dengan algoritma, fokus dan tenang, insyaaAllah tidak mudah goyang dgn kasus apapun atau dgn suara tangisan-jeritan-amarah keluarga.
Hari ketiga:
Langsung ujian tulis post test ACLS.
Dan ujian megacode.
Yap, tibalah giliran saya. Penguji yg tidak lain adalah Sp.JP melontarkan pertanyaan pertama: "kamu beneran ga lagi hamil kan?"
*ACLS ini dikontraindikasi kan utk bumil usia kehamilan berapapun. Karna RJP berisiko abortus/hal lain yg tdk diinginkan.
Saya jawab: "engga dok, ini bajunya aja yg besar hehe"
Trs nanya lagi: "kamu waktu di kuliah dulu pasti rajin ya? Kamu seringnya dicontekin apa nyontek?"
Saya: "ha engga dok biasa aja. Saya ga nyontek dan ga nyontekin dok."
Langsung disambut ketawa sambil bilang "haha parnoan ya kamu."
Saya: "pernah sekalinya nyontekin saya disuruh keluar dok"
Oke, dimulai kasusnya.
Wanita 50 tahun dgn nyeri dada.
Seinget saya gini:
Awalnya mengarah ke STEMI dgn hipotensi. Udh pasang oksigen, IV line, monitor, dikasi aspilet sm cpg, di fibrinolisis karna onset baru 2 jam, dan akses PCI perlu waktu 3 jam.
Setelah fibrinolisis, tetiba SVT HR 200 --> kardioversi.
1 kali kardioversi, masih SVT. Kedua kalinya, saya saking gugupnya kali, pas liat monitor bengong dan keburu mencet shock sebelum saya sadar irama jd STEMI lg.
Kena semprot dah. Hahaha
Okey, error kedua adalah ketika mau kardioversi lagi, saya lupa mencet tombol 'sync' alias syncronized.
Kali ini beliau nyamperin sambil teriak2 di kuping saya. Saya masih bisa nyengir.
Lalu pasien tetiba ga nafas.
Langsung liat monitor, jadi VF.
Oke panggil orang buat RJP sama VTP.
Sambil saya siapin charge defib.
Siap, tinggal di delivered shock-nya. Succeed. 2 menit RJP, stop kompresi dan cek monitor lg--> masih VF.
Pas bilang i'm clear, you're clear, everybody's clear. Saya ga bener2 ngeliat sampe ujung ranjang pasien apakah ada orang disana yg masih nempel.
Nahhh yang bagian shock kedua ini nih, yg ga akan saya lupakan sepanjang sejarah persilatan.
Sesuai kebiasaan yg selalu clear, saya pencet tombol shock dannn...
"BRAKKKKK"
Semua langsung menoleh ke meja beliau. Meja, untung kamu benda mati.
Saya terhentak kecil "Astagfirullah"
Saya lumayan bingung salah dimana. Trus beliau langsung nunjuk2 tangan temen saya yg jadi korban 10 Joule saya 😂😌.
Tangan temen saya sengaja ditaro di ujung bed sama penguji.
Bener2 ga terdugaah mbak-mas-adek-kakaa
"Lu liat ga sih tangan temen lu nempel di kasur?!! Gua tau lu ga liat sampe ujung. Lu ngerti gakk mata lu harus liat kemana waktu lu bilang i'm clear, you're clear, everybody's clear?"
Dann secara saya anaknya agak bebel kalo dimarahin, saya masih bisa ngejawab dengan nada biasa aja.
"Lu udh ngelakuin 2 kesalahan tadi, sekarang ditambah lagi kesalahan fatal! Temen lu bisa meninggal cuman gara2 lu yg gak liat2 pas mau defib!"
Saya cuman bisa senyum tabah sambil tetap tenang. Adek pasrah bang!
"Nama lu siapa?"
"Dahlia"
"Oke nama lu gua coret!! Lu ngulang lagi sama gua Minggu depan!! Lu ga lulus."
Saya... Cuma.... Bisa.... Bilang... Astagfirulloh.. dan membayangkan harus izin lagi sama kapus, ngeluarin duit buat hotel lagi, bensin buat transport lagi, dll.
"Gua ga lulusin lu, biar lu inget selamanya kalo energi defib itu ga main2. Di lantai atas udah 2 orang yg ga lulus!"
Betul2 memang nih, separuh napas saya agak berat jadinya. Saya terus2an istighfar dan pasang muka biasa aja.
Selang berapa detik, setelah beliau ngeliat semua taring singanya, beliau bilang: "2 kali kesalahan lu, 1 fatal, kalo 1 lagi elu ngelakuin kesalahan, OUT!"
Fuiiih, leganyoo. Ternyata bener, beliau ga setega itu. Tapi itu cukup mengukir dalam di memory jangka panjang saya.
Selanjutnya Alhamdulillah ga ada kesalahan lagi. Pasiennya sempat 5x defib, hingga akhirnya ROSC.
ABCDE.
Airway, Breathing clear.
C-nya, tensi 80/50, HR 90, rhonki 1/4 lapang paru. Masuk Dobutamin 5 mcg/kgBB/menit. Dan rujuk PCI karna dengan fibrinolisis tdk berhasil.
Hmm fuuh, alhamdulillah selesai!
Tapi jangan sumringah dulu, beliau bilang grup saya 10 menit lagi ada responsi (tanya jawab) lagi dengan beliau.
Oh, mann. Ronde keduaa
Setelah ujian ada makan siang dengan menu lezat plus banyak variasi tp nafsu makan merosot karna belom kelar ujian hidup ini.
Temen saya yg tangannya jadi korban 10 Joule itu bilang, rasanya kayak kena pentol korek api. Saya ga nyangka, kirain ga ber-efek.
Well, responsi dimulai dengan pertanyaan: kenapa hiperkalemi bisa bikin AV block dan junctional rythm?
Dann beliau makin mengganas disini.
Tapi di ujung responsi beliau menyampaikan maaf dan moral story. Beliau memberi kesan sweet ending disini.
Yapp, semua di kelas saya alhamdulillah dapet amplop yg berisi sertifikat dan pin unyu.
Pelatihan ACLS ini serasa membangunkan kecintaan saya yg dulu begitu membara terhadap ilmu jantung.
Saking membaranya, sempat jadi asap dan abu.
Jujur, saya kangen berat sama suasana IGD. Kangen tapi gamau juga suasana "bau"nya. Hahaha
(bau=hectic saking penuh pasien)
Saya berniat setelah kontrak di dinkes ini, saya bisa mengobati kangen saya ke IGD 😆
3 notes
·
View notes
Text
Ananda Badudu, we've some similarities ☺☺
#Kita Sama-sama Suka Berterima Kasih
Bag I
Kita semua tentu punya ukuran masing-masing dalam menilai “keberhasilan”. Itu berlaku di bidang apapun, termasuk dalam musik. Apa yang membuat suatu album layak disebut berhasil? Ada yang baru puas jika album itu berhasil terjual ribuan kopi. Ada yang baru puas jika album menuai banyak pujian dari kritikus-kritikus skena setempat. Ada juga yang sekadar mampu merilis saja sudah sangat puas, tak terlampau peduli dengan pendapat siapapun mengenai kualitas musik yang ada dalam album itu. Semua orang punya ukurannya masing-masing dan kita tak perlu saling mengganggu gugat.
Jauh-jauh hari sebelum saya dan @rarasekar memulai proses rekaman, saya sering gembar-gemborkan ini ke teman-teman dekat, terutama mereka yang terlibat jauh dalam pembuatan album Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti. Kalau ada satu saja orang yang menangis mendengarkan satu atau dua lagu di dalam album itu, maka album itu saya nyatakan berhasil.
Saya tidak peduli apakah album ini nanti laku atau tidak, biar itu jadi urusan Sorge Records saja. Tak begitu peduli apakah akan mendapat ulasan-ulasan baik. Saya hanya ingin bikin orang nangis. Satu orang saja, cukup. Keinginan itu juga saya beritahu pada Rara, disampaikan dengan nada bercanda tentunya, dan seingat saya ditanggapi dengan ketawa-ketawa oleh Rara. Tapi saya tidak bercanda pada saat menyatakan itu. Saya benar-benar serius dan benar-benar berharap keinginan itu tercapai.
Melihat ke belakang sambil menyusuri kembali proses pembuatan dan rilisnya album kami, saya agaknya merasa sedikit takabur dalam berkeinginan. Saya termakan oleh keinginan sendiri. Memang kelak setelah rilis, ada sejumlah kawan datang pada saya dan mengaku ia berkaca-kaca ketika mendengarkan ini, ia menangis ketika mendengarkan itu. Dalam hati saya puas karena apa yang diinginkan tercapai. Tapi lebih sering album ini jadi senjata makan tuan. Perkenankan saya menjelaskan. Ceritanya agak panjang, begini kira-kira setelah diringkas:
Orang pertama di luar tim produksi yang diperdengarkan hasil rekaman kami adalah Oma saya, Eva Henriette Alma Koroh-Badudu. Pada saat kami rekaman di Yogyakarta medio Januari 2016 lalu, Oma saya -yang oleh keluarga biasa dipanggil Mom- masuk rumah sakit.
Mom adalah figur sentral dalam keluarga kami. Ia dekat dengan anak-anak dan cucu-cucu. Ia pula yang jadi alasan kami sering kumpul-kumpul keluarga merayakan apa saja yang bisa dirayakan. Tradisi kumpul-kumpul itu sepertinya berakar dari budaya orang Manado.
Orang Manado terkenal suka memestakan apa saja. Ada yang lulus kuliah, makan-makan. Naik kelas, makan-makan. Apa saja asal ada yang bisa dirayakan, kalau bisa ya makan-makan. Tanpa disadari budaya kumpul-kumpul dan makan-makan itulah yang membuat keluarga besar Badudu yang kalau dikumpulkan semua jumlahnya sampai hampir 40 orang bisa akrab dari kecil sampai sekarang.
Saat dirawat, Mom tak menunjukkan tanda-tanda akan membaik. Malah keluarga diminta bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ini pertanda buruk. Saat itu tak ada yang siap kehilangan Mom. Terlebih pada saat masuk Rumah Sakit kami tak menduga ada sesuatu yang serius akan terjadi. Biasanya tiap masuk rumah sakit, setelah dirawat beberapa hari, ia akan keluar, pulang ke rumah, dan kembali menjalani hari-hari seperti biasa.
Namun kesehatan Mom ternyata terus memburuk. Oleh Rumah Sakit, keluarga dipersilakan secara bergiliran menyampaikan kata-kata terakhir selagi Mom masih bersama kami. Bahasa kasarnya, Mom sebentar lagi akan berpulang. Inilah kesempatan terakhir bertemu dengannya. Akhirnya tiba giliran saya menemui Mom di sebuah ruangan di ICU. Ruang itu, katanya, setingkat lebih tinggi dari ICU. Itu adalah ruang tempat menangani orang yang berada di ambang hidup dan mati.
Itu kali pertama saya melihat orang menghadapi sakratul maut. Sulit rasanya untuk tegar, mengingat yang terbaring di sana adalah orang yang sangat saya sayangi. Bersama dengan sepupu-sepuepu lain, kami memasangkan headphone pada telinga Mom dan memperdengarkan padanya lagu Sampai Jadi Debu. Ini seharusnya diperdengarkan di rumah Mom pada acara kumpul-kumpul keluarga, bukan di ruang ICU seperti ini.
Saya memberi tahu padanya bahwa lagu itu terinspirasi dari perjalan hidup dan kisah cinta Moma dan Popa. Tangannya yang semula bergetar terus sejenak terdiam. Saya tak tahu apakah itu pertanda ia menyimak dan mendengarkan. Mom yang sudah tak mampu membuka mata hanya diam. Sesekali ia mengangguk-angguk kecil. Sesekali juga ia mengerang pelan, sepertinya menahan sakit. Saya yang berdiri di depannya menangis sesenggukan. Dua atau tiga jam setelah itu, Mom yang semasa hidup dua kali sembuh dari kanker dan bergulat dengan diabetes, mengakhiri pertarungannya. Ia berpulang.
Kali kedua lagu dalam album diperdengarkan adalah di rumah duka, saat Mom disemayamkan. Kurang dari sepekan setelah kami selesai rekaman di Yogyakarta, Mom berpulang. Keluarga diperbolehkan menyampaikan persembahan terakhir sebelum Mom dikebumikan. Saat tiba giliran cucu-cucu menyampaikan salam perpisahan, lagu itu kembali diperdengarkan. Di samping peti, saya dan sepupu-sepupu lain, juga mereka yang datang dalam ibadah perpisahan, menangis sesenggukan.
Memang ada keinginan saya membuat orang menangis lewat album itu, tapi bukan seperti ini maksudnya. Tak seserius ini. Dalam bayangan saya adalah menangis haru yang bertahan sebentar saja sehabis itu langsung berlalu. Bukan nangis menghadapi kehilangan yang amat besar. Seolah album ini memang disiapkan untuk menghadapi ekses-ekses kehilangan yang terjadi sebelum maupun setelah semua album selesai digarap. Tiga bulan setelah berpulangnya Mom, Popa menyusul. Satu lagi kehilangan besar yang terjadi di tahun 2016. Saya hampir tak pernah mendengarkan lagu-lagu Banda Neira lagi setelah melalui banyak kehilangan itu.
Bag II
Bubarnya Banda Neira seolah jadi puncak dari segala kehilangan yang terjadi di tahun ini. Skalanya tentu beda dengan kehilangan anggota keluarga yang berpulang. Tapi sedih ya tetap sedih. Nyesek ya tetap nyesek. Beruntung ada waktu lumayan panjang untuk mempersiapkan diri, hampir setahun lamanya. Dalam proses diskusi dan tarik-ulur pendapat itu kami bisa mencicil kesedihan, hingga di hari pengumuman kesedihan itu telah lunas terbayar. Dari sana kami boleh beroleh suatu sikap ikhlas melepaskan.
Oleh seorang teman, setelah pengumuman bubar, saya sempat ditanya apa arti Banda Neira bagi saya. Saya jawab, Banda Neira itu memulihkan. Tapi tak saya jelaskan terlampau panjang. Saya yang sekarang sama sekali berbeda dengan saya empat tahun lalu, sebelum adanya Banda Neira. Dulu saya luar biasa tidak komunikatif. Sulit bicara. Serba tak percaya diri. Belakangan saya setelah membaca informasi di sana sini saya menyimpulkan saya mengidap semacam inferiority complex, perasaan rendah diri yang berlebihan, yang irasional, yang menghambat kekaryaan, dan mengganggu kehidupan sehari-hari.
Hanya Ada satu hal yang bisa dibanggakan dari masalah itu. Saya baru tahu bahwa Pramoedya Ananta Toer ternyata pernah mengalami hal serupa, semasa muda ia mengidap inferiority complex. Dalam sebuah artikel wawancara ia ungkapkan satu peristiwa yang membuatnya mampu menaklukan perasaan rendah diri yang berlebihan itu: ia meniduri seorang perempuan Eropa. Peristiwa itu jadi tonggak kemenangan Pram mengatasi masalah psikis yang ia hadapi. Agak banyol memang tapi begitulah adanya yang disampaikan Pram di wawancara itu.
Bukan maksud menyanding-nyandingkan diri dengan Pram. Siapalah saya di hadapan Pram. Tapi saya senang mendengar ada orang lain pernah punya masalah sama kemudian berhasil menaklukannya. Semacam memberi optimisme bahwa masalah ini bisa juga ditaklukan sepanjang kita tidak menyerah.
Dalam bermusik, perasaan rendah diri itu barangkali tak terlampau kelihatan. Tapi itu sangat terlihat dalam aspek hidup saya yang lain, yaitu kehidupan di dunia tulis menulis. Selama enam tahun bekerja di Tempo, hampir tak pernah saya membagikan hasil kerja pada khalayak. Membagi link tulisan paling-paling hanya lima sampai enam kali sepanjang enam tahun berkecimpung di dunia jurnalistik. Ada teman-teman yang meminta tulisan yang saya bikin, saya baru kirim dua-tiga pekan setelah diminta. Seringkali saya ngeles dan tak mengirimkannya sama sekali. Sangat tidak rasional.
Dan sepanjang enam tahun itu pula, selama bekerja di media, saya berusaha menaklukan perasaan rendah diri itu. Puncaknya di tahun ini, saya bisa dibilang setengah undur diri dari dunia jurnalistik, dari dunia tulis-menulis. Kerja saya enam bulan belakangan hanya merenung dan merenung saja. Jelas bukan satu kegiatan yang asyik.
Namun dalam hal bermusik, usaha menaklukkan perasaan rendah diri itu mengalir begitu saja dan sangat menyenangkan. Itu karena saya berada dalam posisi “terjerumus” sehingga “mau tak mau” harus maju terus. Tak mungkin ada cerita kami menolak manggung, bisa-bisa didenda oleh penyelenggara acara jika kami batal datang memenuhi undangan manggung. Ketika bertemu Rara dan mulai menggarap lagu-lagu bersama pada 2012 lalu, sama sekali kami tak pernah membayangkan musik Banda Neira akan didengar banyak orang. Apalagi sampai kami bertandang ke banyak kota, tampil di hadapan kalian para pendengar.
Kami tak mungkin keliling manggung di mana-mana jika tak ada kalian yang mendengarkan Banda Neira. Tak mungkin kami manggung di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, Surabaya, Semarang, Malang, Balikpapan, Garut, Bogor, Kiluan, Bali, dan kota-kota lain yang pernah kami sambangi sepanjang usia Banda Neira yang singkat ini. Dan semua pengalaman yang amat menyenangkan itu masih terekam jelas di kepala.
Banda Neira banyak sekali membantu usaha saya menaklukkan perasaan rendah diri yang berlebih itu. Karena banyak manggung, mau tak mau saya harus belajar public speaking agar tak canggung di hadapan penonton. Juga belajar mengelola kegugupan. Juga menjadi berani menampilkan karya. Sulit membayangkan apa jadinya sekarang jika kemarin Tuhan tak mempertemukan saya dengan Rara, dengan teman-teman Sorge Records yang banyak membantu tumbuh kembang Banda Neira, teman bermusik bersama di Yogyakarta, juga dengan teman-teman sesama musisi yang kami temui di sepanjang perjalanan.
Dan yang teratas dari semua itu adalah Banda Neira tak akan jadi seperti itu tanpa kalian para pendengar Banda Neira. Jika empat tahun belakangan tak bertemu kalian semua, mungkin lagu-lagu Banda Neira hari ini masih nganggur begitu saja ngejentrung di harddisk laptop. Atau bahkan tak akan pernah tercipta sama sekali. Mungkin saya masih berkubang di lumpur yang itu-itu juga, termakan perasaan rendah diri yang tak henti-hentinya bercokol di kepala.
Bag III
Yang amat tak diduga-duga dari semua pengalaman ini adalah rentetan peristiwa yang terjadi setelah kami mengumumkan bubar 23 Desember 2016 lalu. Pada hari itu saya sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan buruk. Menyiapkan diri kalau saja ada yang menghujat keputusan kami. Jika ada yang marah-marah karena kami tak bisa mempertanggungjawabkan karya. Tapi respon yang kami terima malah kebalikan dari segala bayangan-bayangan buruk itu.
Sungguh sampai saat ini tak bisa saya mengerti, teman-teman sekalian malah banyak mengucapkan terima kasih ketimbang marah-marah kepada kami. Sampai-sampai di media sosial banyak bertebaran tagar #terimakasihbandaneira. Tak pernah saya bayangkan lagu-lagu yang kami buat bisa begitu menyentuh teman-teman sekalian, bahkan tak sedikit yang mengatakan jadi soundtrack fase-fase dalam hidup teman-teman sekalian.
Agak sulit membayangkannya karena saya tahu persis bagaimana proses lagu-lagu itu dibuat. Ada yang melodinya muncul tiba-tiba ketika sedang bermacet-macet ria menunggang motor di Jakarta, seperti lagu Kisah Tanpa Cerita. Lagu Rindu, misalnya, diselesaikan saat listrik di rumah sepupu saya di Jakarta padam. Kebetulan saya sedang menginap di sana, dan dalam suasana gelap gulita, panas, dan pengap karena listrik padam lumayan lama, saya ambil gitar, genjrang-genjreng tak disangka-sangka menemukan melodi lengkap lagu Rindu.
Sampai sekarang kadang saya masih tak habis pikir bagaimana lagu-lagu Banda Neira bisa bekerja dan punya arti dalam diri dan hidup teman-teman.
Menulis pesan terima kasih itu barangkali suatu hal yang ringan saja buat teman-teman. Kalian barangkali tak akan pernah tahu seberapa besar dampak ucapan-ucapan itu pada diri saya. Atau pada diri Rara. Sulit juga menjelaskannya. Kalau boleh berlebay-lebay kata, rasanya seperti orang terlahir kembali, dibangkitkan kembali setelah mengalami keterpurukan yang teramat dalam.
Seperti Pram yang berhasil beroleh tonggak kemenangan melawan perasaan rendah diri yang berlebih itu, saya pun merasa sama. Satu per satu saya baca semua ucapan terima kasih teman-teman, saya merasa hari bubarnya Banda Neira 23 Desember lalu itu adalah hari saya beroleh kemenangan menaklukkan inferiority complex. Merasa terbebas dar masalah yang menghantui bertahun-tahun belakangan.
Kebebasan itu rasanya seperti mendadak terlempar ke hutan pinus Alaska setelah bertahun-tahun hidup di gurun Sahara. Pergulatan bertahun-tahun itu akhirnya selesai juga –atau setidaknya saya nyatakan selesai. Tak ada gunanya berkubang berlama-lama dalam perasaan rendah diri. Keluar dan berkaryalah. Banyak terima kasih saya ucapkan kepada kalian yang sadar tak sadar membantu saya keluar dari masalah itu. Saya berutang banyak sekali pada teman-teman sekalian.
Bag IV
Rupanya ada untungnya juga kami tak pernah memberi nama bagi pendengar Banda Neira. Tak membuat semacam fans club atau sejenisnya. Juga ada hikmahnya kalau kami enggan menyebut Banda Neira sebagai duo walau hikmahnya baru diketahui sekarang-sekarang ini.
Setelah bubar, Banda Neira bukan lagi saya dan Rara Sekar. Namun itu justru membuka kemungkinan lebih besar. Dulu, sering kami katakan bahwa separuh, sebagian, atau sebagian besar Banda Neira adalah Rara Sekar. Atau separuh, sebagian, atau sebagian besar Banda Neira adalah Ananda Badudu. Sekarang itu tak lagi berlaku karena kami sudah berpisah jalan.
Sekarang, siapapun boleh menyebut mereka adalah Banda Neira. Hmm, terdengar aneh, tapi rasanya tak salah. Kini separuh, sebagian, atau sebagian besar dari Banda Neira adalah kalian juga. Kalian yang terus memberi nyawa dan kehidupan pada lagu-lagu itu. Perjalanan sepanjang empat tahun itu perlahan mengubah kami menjadi kita. Lagu-lagu itu kini jadi punya mu juga.
Terima kasih untuk pengalaman yang begitu mengubah hidup. Semoga kalian pun beroleh kebaikan, sebagaimana kami banyak beroleh kebaikan dari kalian semua. Akhir kata, izinkan saya merangkai-rangkai judul album sendiri menjadikannya penutup tulisan ini. Agar yang patah lekas tumbuh dan yang hilang kelak berganti, kita mesti senantiasa berjalan dan berjalan lebih jauh.
Juga perkenankan saya untuk membalas tagar #terimakasihbandaneira dengan #terimakasihpadakaliansemua. Atau kalau itu kurang cocok, bolehlah kita coba tagar yang ini: #KitaSamasamaSukaBerterimaKasih.
Maaf kalau terlalu personal. Maaf juga kalau terlampau sentimentil. Semoga dimaklumi. Gapapa lah ya, sekali-sekali :)
Sekian. Selamat menyongsong tahun baru 2017. A luta continua.
Salam, Ananda Badudu Bandung, 31 Desember 2016
ps:/��x�(��
776 notes
·
View notes
Text
Masa Senja Kita
L= Lia *P= pasien
L: (baca lembar status pasien) bapak susah tidur 2 hari ya pak?
P: iya neng
L: susah tidurnya sama sekali ga bisa tidur, susah memulai, atau bangun2 pak?
P: sama sekali ga bisa neng 2 hari ini teh.
L: kenapa tu pak kira-kira? Pusing, banyak pikiran?
P: iya neng banyak pikiran
L: oiya? Apa yg dipikir pak?
P: bapak tinggal sendiri, anak jauh2 semua.
L: istri bapak?
P: sudah meninggal
L: ditelpon atuh pak, anak2. Sudah berapa lama pak tinggal sendiri?
P: sudah 2 tahun yah. Bapak apa2 sendiri. Dari bangun sampai tidur. Semua bapak sendiri neng
L: hemm anak-anak jarang pulang pak?
P: anak pertama di Pandeglang kepala SMA x, anak kedua kepala cabang di bank x, yg bungsu pengusaha. Belum bisa pulang mungkin yah
L: wah alhamdulillah pak anaknya jadi orang semua ya.
P: alhamdulillah neng *mata si bapak merah berkaca2, tangannya nahan air mata
*diem sejenak natap si bapak, nelen ludah
L: bapak usia 77 tahun ya pak, ada riwayat darah tinggi, kolesterol, gula, as urat pak?
P: ga ada neng
L: bagus atuh pak. Di dekat rumah bapak banyak pengajian teu pak?
P: muhun banyak neng.
L: sering2 ikut ya pak. Biar ga kosong di rumah sendiri. Biar asa rame gitu, jadi seneng atinya. Banyak zikir ya pak
P: iya neng. Oya neng bapak mau berangkat umroh sama anak yg di Pandeglang.
L: wahh alhamdulillah atuh pak, sering dikontak aja pak anak2 nya. Mungkin memang lagi banyak kerjaan. Daripada dipikirkan jadi susah tidur. Begitu ya pak? Ini pak obatnya. Cuma saya kasih sedikit, utk bayar hutang tidur kemarin, tapi selebihnya bapak harus bisa tidur enak sendiri ya pak. Oke pak?
P: iya neng, makasih banyak ya neng. Assalamualaikum .
.
. *Remember utk kita, anak-anak yg kini jauh dari rumah. Yg sudah berkeluarga
Mereka menunggu telfon mu. Tidak harus setiap hari, tp pastikan tiap percakapan bertujuan menyenangkan hatinya.
Aturlah jadwal pulang. Pastikan selama ini yg terdengari 'baik-baik saja' di telepon benar begitu adanya.
Bayangkan masa senja kita.
1 note
·
View note