bentukan sempurna dari tanah liat adalah manusia, maka bentukan sempurna dari huruf ialah bait yang bertaut
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Seberkas Cahaya dari Timor
Edisi II, Oktober 2024 Jalan Trans-Timor, Agustus 2023
Lika-liku kelokan Jalan Trans-Timor memiliki tingkat ekstremitas yang jauh di atas jalan-jalan di area dataran tinggi pulau Jawa. Kalau mau adil, boleh saja dibandingkan dengan Kelok Ampek Puluh Ampek di Sumatera Barat sana, selebihnya jangan. Kurang 300 meter dari satu kelokan adalah kelokan lain dengan arah dan derajat putar terbilang ekstrem, apalagi di sudut Temef, persis sebelum Bendungan Temef yang baru diresmikan RI 1 kemarin. Kelak-kelok itu semakin tidak elok sebab dibarengi dengan tanjakan yang bukan main menguras tenaga mesin oto (re: mobil). Lampu jalanan? Jangan tanya. Kanan-kiri jalan—tergantung arah kedatangan—ialah jurang.
Jalanan ini menghubungkan ibukota provinsi dengan kabupaten terujung Indonesia di pulau Timor, sebelum akhirnya memasuki wilayah negara tetangga: Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara, hingga Kabupaten Belu. Kabupaten Malaka, yang letaknya di pesisir barat, hanya kebagian sedikit saja porsi dari jalan raya nasional ini.
Yang membuat jalan ini menarik bukanlah kelokannya, melainkan keelokannya. Beberapa waktu sebelum berangkat ke pulau Timor, selalu diwanti-wanti untuk berhati-hati sebab jalannya berlubang, tidak mulus, apalah. Ekspektasi yang sudah terlanjur rendah itu agaknya buyar seketika saat ban mobil berjalan anteng. Tidak sepenuhnya sempurna, di beberapa titik rawan longsor, seperti Takari, jalan memang masih berulang kali putus.
Pemandangan dan pengalaman serupa menghiasi hari-hari perjalanan dinas menuju Puskesmas Maubesi yang jaraknya 20 menit dari Kota Kefamenanu. Entah berapa kelokan dilalui, yang pasti, jika kelokan sudah mencapai rumah kuning Oelnitep, jarak perjalanan yang tersisa adalah 10 menit.
Perjalanan di Jalan Trans-Timor selalu menghibur. Pohon-pohon di awal kedatangan merah kecokelatan bagai di musim gugur negeri empat musim. Tidak berapa lama, mereka sudah berubah rimbun kehijauan. Rumah-rumah penduduk kadang memadat, kadang senggang. Ada pula sapi-sapi bergerombol, kios pedagang buah, lopo-lopo depan rumah. Logo Kementerian PUPR menghiasi tepian jalan dalam balok-balok kecil kekuningan. Selain itu, beberapa sekolah bercorak merah putih mahakarya lembaga yang sama juga berdiri tegak, dan sejauh ini, warnanya masih cukup merona.
Indah betul negeri ini kalau diurus dengan sungguh.
0 notes
Text
Seberkas Cahaya dari Timor
Edisi I, Agustus 2024 Tepat satu tahun perjalanan
Dengan maksud mencederakan derita, saya ayunkan kaki ke "tanah surga"—julukan tanah Timor menurut sahabat saya, Pak Marcopolo. Tepat satu tahun lalu, di atas gugusan Nusa Tenggara menjelang pukul enam pagi waktu Indonesia tengah (WITA), saya terbangun disambut berkas-berkas arunika yang menembus jendela pesawat. Rasa kantuk masih menggerayang, jelas saja, jadwal penerbangan Jakarta-Kupang tidak ramah sama sekali. Atap warna-warni dengan susunan suka-suka saling bersilang dengan area hijau membentang. Tidak tampak pencakar langit, apalagi kabut-kabut polusi. Roda pesawat menggilas landasan Bandara El Tari dalam hitungan menit. Di kanan-kiri, tampak bukit-bukit mengelilingi. Baru saya tahu, pesawat tadi singgah tidak lebih lama dari waktu yang penumpang perlukan untuk mengambil bagasi di bandara mungil yang hanya punya dua sabuk bagasi. Segera pesawat yang mengangkut kami ke Kupang akan kembali lagi ke Jakarta, pun para penumpang bertolak ke tujuan akhir masing-masing mengembalikan kesunyian aula kedatangan.
Selamat datang di Nusa Tenggara Timur.
Tanpa buang waktu lama di ibukota provinsi yang tiap pagi menyambut dengan, “Uis Neno Nokan Kit”—Tuhan memberkati kita, saya melanjutkan perjalanan darat sejauh empat setengah jam ke timur pulau Timor. Jalan Trans Timor tidak seperti yang saya bayangkan. Kelak-keloknya terlampau tajam untuk ukuran penduduk pulau Jawa seperti saya. Permukaan jalan teraspal mulus, berbanding terbalik dengan cerita orang yang membuat saya tidak berekspektasi banyak. Titik tertentu, seperti Takari misalnya, masih bergelut bangkit dari longsor yang tak habis-habis. Perjalanan panjang itu sungguh terasa lama. Hanya saja, selagi ada cahaya matahari, pemandangan yang terpampang di jendela mobil amat mempesona: sungai lapang nan kering, hutan lebat yang didominasi pohon kayu putih dan daun aneka bentuk, tebing batu. Mayoritas anak sekolah di pemukiman akan menyambut dengan, “selamat”—maksudnya selamat pagi, selamat siang, begitu. Kemudian jangan lupakan penduduk desa yang masih memakai kain tenun buatan sendiri berlalu lalang membuat iri.
Tuhan memberkati perjalanan ini.
Kota Kefamenanu kata orang punya logat yang unik. Setahun berinteraksi dengan penduduk lokal jelas melengketkan saya dengan dialeknya yang sebenarnya belum fasih saya tiru. Lucunya, suatu waktu kembali ke Kupang, dua orang asing di dua waktu berbeda mengira saya adalah ATS produksi Kefamenanu—Anak Timor Sejati, merujuk dari ATS panutan.
Selain logatnya yang khas, kekeluargaannya teramat membekas. Bayangkan, di jelang kepulangan, bukan saja saya berpamitan dengan para senior dan kolega kerja, melainkan juga dengan ojek langganan, pramusaji toko roti depan kosan, keluarga pemilik lapangan badminton langganan, sampai budhe penjual nasi kuning yang sebentar lagi direkrut ke Timor Leste. Apalah saya tanpa mereka dan cinta kasih yang dibagikan cuma-cuma.
Titik mula.
Kota kecil ini, yang sebenarnya bukan kota, akan mengagetkan siapa saja yang menjejakkan kaki di tanahnya. Percaya atau tidak, semua akan jatuh cinta dengan caranya masing-masing. Keramaian tidak mudah ditemui di jalan raya, tetapi di sudut-sudut pesta. Wanita-wanita di sini digdaya, meski masih banyak persoalan domestik yang menghantui. Anak-anak penuh semangat dan kecintaan terhadap tanah air, meski entah negeri kesayangan mereka hendak mengantar kaki-kaki kecil itu ke mana. Di tengah rumitnya air bersih, hasil bumi melimpah ruah. Di kota yang berpusat di Jalan El Tari itu, dua rumah sakit dipenuhsesakkan penduduk yang kadang tanpa sengaja saya temui di jalan, pasar, atau pesta.
0 notes
Text
Sebelum Pusara
Al-Fatihah
Ada malaikat bersambang. Aku ludes dihabisi yang seperti cahaya senter itu.
Dalam nanar, embun bergulir mengabarkan berita.
Aku dibentang, dibujur memaku, dibungkus, dirangkai, diobati. Mereka khianat pada rupa, rupanya.
Ah, kukira cukup diumbar ini derita, biar giliran mereka.
--
Depok, 2020
1 note
·
View note
Text
Lain Kita, Beda Mereka
Lain pembebasan lahan, lain pula pembebasan hak. Segelintir kaya harta sisanya kaya budaya.
Lain kampung, lain hikayat dijunjung. Satu berdusta sopan dua sembarang bersaran.
Sarat berilmu bumi, lain tiada membumi. Mati tak berpusara atau mati dicatat sejarah.
Beda pesta perkawinan tanpa niat pernikahan. Mula penuh cinta, lama timbun derita.
Tidak semua bangsawan, tidak semua dermawan. Banyak bertingkah, atau banyak bertindak?
--
Tangerang Selatan, 2020
0 notes
Text
Jika Bisa Kusampaikan
Malam itu seringkali terlampau dingin dan mimpi yang dihimpunnya terlampau berat. Sepi dan sunyi terlalu berisik, menjagaku dari tidur berulang kali. Pulang tertinggal jauh di belakang dan di depan sana ialah bayang-bayang kabut.
Yang tak dapat kupahami, kerinduan sekejap menyederhanakan diri menjelma sapamu dari seberang. Disembuhkannya luka-luka menganga, seolah tahu di mana sumber perkara. Lalu kuserap segala bijaksana, yang kau bagi tanpa kuminta.
Jika bisa kupermainkan waktu, akan kutawan ia agar selalu kita satu, agar saat bahagiaku selalu adamu, supaya lengkap hadirmu senantiasa di sisiku. Tetapi ini terlalu sembrono, betapa kutahu kita sama menua.
Maka itu, jika bisa kusampaikan: Betapa lembut kasihmu yang keras, betapa kaya tuturmu yang sedikit. Indah itu tak sekadar kau sisihkan, melainkan kauberi dengan sepenuh. Dan saat kutumbuh melampauimu, betapa sempurna telah kau bingkai hidup.
Jika bisa kusampaikan, kau selalu pilar berakar kokoh dan aku selalu buah menjuntai di ujung rantingmu. Kau selalu langit luas tak bersudut dan aku selalu bulir hujan yang jatuh dan kembali padamu. Kudoakan selalu kita begini.
-- Kopenhagen, April 2023. Ditulis jauh dari rumah untuk PLD UI 2023/2024.
3 notes
·
View notes
Text
Pagi tadi
Pagi tadi,
sinar matahari tumpah
ke atas kasurku,
mencium wajahku.
Hanya separuh panasnya
sanggup menembus
dan menyentuh kulitku.
Pagi tadi,
sebagaimana malam kemarin,
kamar ini punyaku satu.
Kata-kata menyeruak di benak,
lalu mengendap tak beraga,
tenggelam bersama
ketukan kamar tetangga.
Pagi tadi,
sudah kurencanakan dengan sepenuh:
jika hujan, jika terik,
jika jadwal bus sesuai,
jika bangun kesiangan.
Sebagaimana telah kuduga,
tak ada artinya mimpi semalam itu.
Pagi tadi,
hari berjalan lambat dan khidmat,
segala serba rapi dan teratur,
ragu sempat mampir
berbincang barang sebentar,
sama menanti azan subuh.
Pagi tadi,
hanya sekejap
habis dimangsa waktu.
Di sisa hari,
tinggal aku dan waktu
duduk termangu.
0 notes
Text
Tanda Kaki
Daun pintu dirayap merapuh, lama tak seorang bertamu, sekadar mengusap basah atau rayakan puan merekah.
Puluhan pewarta bersua hanya sampai jendela, seperti bayangan pagi mampir setengah hari.
Puan melongok lagi ke luar jendela. Seisi ruang merindu terang: sebatang mawar di meja, sepasang sepatu di gudang,
bak terbengkalai. Di luar hanya hujan menderai, tersangkut di gagang pintu —air wajah berucap sendu.
Itu sepatu tak berpemilik, teronggok lama di muka bilik. Tidak sekali saja mengetuk atau mampir di waktu besuk.
Puan menyambutnya tak berkaki, di tutup pintu terakhir kali. Menerka siapa tuan tanpa alas kaki berjalan?
Akankah kembali mengambil yang tertinggal atau menjejak kaki dan memilih tinggal?
---
Tangerang Selatan, 2020
1 note
·
View note
Text
Suatu Waktu di Kaki Langit
Pertunjukan sementara waktu usai. Panggung menutup tirai, para penguasa terpaksa menarik diri. Hujan turun, janji-janji tersemai berharap agar tidak segera dituai.
Sekat-sekat di bawah kaki langit perlahan melekat, memekat, mengerubungi sepi, erat. Ia yang bersimpuh menghidupi waktu dengan doa:
“Aku berharap suara-suara pekak yang masih berseru, berteriak segera padam ditimbun malam.” Sepenggal mengalun,
“yang meringis, menangis, yang kalut oleh janji, yang lena oleh panji, yang tergoda untuk hidup dalam raya dan terang, berkatilah mereka jauh dari ambisi.
Ambisi ibarat pedang yang saban hari menghunus menembus kaki langit. Semakin tajam, semakin dalam, padahal takhta hanya milik satu auman, yang erangan-Nya paling buas pada puncak langit.”
Sekat-sekat di bawah kaki langit perlahan memudar bersama senyap yang lenyap. Tirai kembali tersibak: gejolak, tengkar, rentetan tembak mengusir sujud, mengusaikan doa, “rombongan singa gila ambisi siap menerkam-Mu dari doaku.” Amin. ---
Depok, 2018. Dikaryakan untuk UI Art War dan diikutsertakan dalam UI Art X.
2 notes
·
View notes
Text
Tenggat
Persimpangan jalan itu kembali memakan korban. Ia tersesat dan menolak pulang, sementara usianya sudah lewat tenggat.
0 notes
Text
Suatu pagi
Suatu pagi, kau mungkin dapati doaku bertumpuk tak keruan menyambutmu di muka pintu.
---
Terinspirasi dari
Burung-burung Manyar, karya YB Mangunwijaya
Amba, karya Laksmi Pamuntjak
Di Bawah Lindungan Ka'bah, karya Buya Hamka
Surat dari Praha, disutradarai Angga Dwimas Sasongko
0 notes
Text
Terkejut.
Selama ini rupanya liang nyaman yang kudiami ialah kotor, gelap, tak terurus. Dipan yang menjadi alas tidurku sejak berbelas tahun lalu nyatanya bahkan tidak mengandung sehelai kapuk pun. Ia benar-benar tanah telanjang berbatu dan selimutku adalah ilalang-ilalang panjang yang ujungnya menusuk daging hingga rusukku. Setelah berbelas tahun, kenapa tak sekalipun mataku jujur dengan apa yang terlihat? Aku sudah reyot, tapi berbelas tahun di depan kaca aku selalu memandang diriku berkilau, seolah aku ini pusat dunia.
Lalu pagi tadi aku jatuh. Setelah berkali-kali jatuh di atas tanah telanjang yang sama, yang menyadarkan bahwa langkahku tidak pernah bergerak jauh dari titik itu-itu saja. Aku terjatuh paling rupa kali ini. Sekali lagi, jatuh. Jatuh sampai aku terkejut bahwa aku ada di liang kotor, gelap, tak terurus.
Yang tidak kusadari adalah selama ini aku hidup dalam pikiranku sebab aku buta dirundung takut. Takut yang sering datang waktu bisik penghasut buat diri jadi nelangsa, getar-getir, saat kecil dulu. Takut yang sering datang waktu orang-orang menyalahkanku, padahal aku memang salah. Takut yang sering datang waktu tidak bisa buat hati semua orang senang, padahal salahku yang tidak benar-benar memerhatikan orang lain. Takut yang sering datang akibat selalu salah naluri. Takut yang sering datang sebab dulu orang memandangku berbeda, sebab aku memang berbeda, tapi aku selalu benci jadi berbeda. Takut untuk jadi berbeda karena aku tidak pernah bisa melihat apa yang bagus dari menjadi berbeda.
Waktu aku tersungkur tadi pagi, Tuhan mampir ke benakku. Badanku lebur untuk ibadah yang belum pernah kusempurnakan karena terlalu takut akan segala tuntutan dunia yang belum aku sempurnakan. Untuk malam-malam yang sebetulnya berkah tapi kurutuk habis-habisan karena sekali lagi aku takut, takut dikejar kantuk esok hari.
Hai, namaku artinya pemberani. Ditunjuk untuk jadi seorang yang hidup dengan keberanian. Tapi aku selalu lari. Aku tahu apa, tapi aku tetap kabur. Aku tahu ke mana, tapi aku tetap menjauh. Aku tahu bagaimana, tapi aku tetap pura-pura bodoh. Atau memang bodoh.
Kenapa tidak kemarin saja aku ditunjuk untuk tersungkur segera? Aku selalu heboh memperbaiki diri tapi tidak ada perbaikan yang kentara. Selalu saja tidak lihat ada lubang kecil yang selama ini bisa kuhindari, dan sekarang lubangnya sudah sebesar liang lahat. Yang pantas mengubur aku dalam-dalam.
Aku takut karena banyak hal yang tidak kulihat baik pada setiap jengkal kulitku sendiri. Padahal tidak ada secuil gompal sekalipun. Selalu merasa tidak sempurna, padahal memang masih dalam proses. Sungguh angkuh pada waktu. Kapan bisa jadi sabar?
Jika malam ini benar akan menjadi titik balikku, besok aku akan beberes liang ini. Akan aku hias, walau belum tahu akan mampu atau tidak. Aku terbiasa untuk takut. Aku tidak mau buta saat mata sudah terbuka. Apa Tuhan dengar?
---
2019.
0 notes
Text
Rahasia
Dalam pekat malam kucari sebuah hati tak bertuan. Ku berpijak, ku berlari tanpa tahu arah tujuan.
Tanpa berpikir menutup mata, hiraukan aku yang menanti. Sejak awal engkau membuta, tak sadar jiwamu telah mati. Tiada damai akan kudengar, hanya darah yang akan membayar. Semuanya akan kubuka, tak perlu lagi kau mendusta. Di dalam setiap manusia, tersimpan suatu rahasia.
Ditulis untuk pertunjukan teater 'RAHASIA' oleh XI MIPA 2 ABJ, 2016.
0 notes
Text
Apa jawabnya?
Kupilah pilih, tapi masih selalu salah. Entah di mana hikmahnya tersembunyi atau mungkin ini jalan buntu, sedari awal berujung tak ke mana. Mengapa pula pohon ini terus menyubur? Padahal buahnya jatuh selalu retak mentah. Musim tampak berganti nun jauh di halaman tetangga, bukan di sini. Lalu lahirlah semakin banyak pertanyaan, retoris dan agaknya percuma: apa dan mengapa, kapan dan di mana, bagaimana dan siapa?
0 notes
Text
another baby draft
Berteduh ia di bayangnya. Dalam sekejap tak lagi terdengar detik jam di dinding, denting melambat dan terhenti. Hanya suara napasnya mengeras dan patahan ranting-ranting muda terhuyung dibuai angin.
Perjalanan itu berkisar antara dua musim yang saling mengacau, gelap dan terang yang saling mengejar, rindu dan jumpa yang saling meniadakan, rasa dan logika yang saling mencecar.
Ingar bingar tak mengusiknya, tetapi sepi dan sendiri.
2 notes
·
View notes
Text
Kereta Senja
Ini pesan pena dari atas kereta senja untuk jadi teman dengar sepotong hati yang tidak sabar.
Kita dipagari jarak. Mungkin betul rindu menyesak. Namun bagiku durjana, sendu dalam bungkus retorika. Kita ada janji, ya, pada waktu? Sayang, keretaku sudah beranjak. Pesankan pada waktu sebuah selalu, mari kita kenyangkan ini gebu yang tamak. Sudah berapa putaran kita berlari? Sayang, lapangan di sini berduri. Seandainya ada kereta fajar, sudah pasti kau aku kejar.
1 note
·
View note
Text
Di akhir waktu segala apa menjadi aku tiada ada lagi yang tahu dan lainnya hanya berlalu. Maka itu, tuliskan namamu rapi di buku tamu, supaya tak sembarang semu masa-masa tatap kita bertemu.
Satu, yang memberiku hidup, dua, yang pertama menimangku, tiga, yang tumbuh bersamaku, terakhir, yang menutup buku tamuku.
0 notes