elevatorstory
White Paper Black Ink
162 posts
Seeking New Adventure, Everyday.
Don't wanna be here? Send us removal request.
elevatorstory · 6 years ago
Text
Oktober dan Pengkhianatan Tubuh Sendiri
1.
Dan Oktober hampir habis. cuaca lebih sering muram, seperti baris-baris sedih puisi Pablo Neruda. Apa kau bahagia?
Kata yang menjadi asing, tapi yang paling ingin aku lekatkan pada punggung lebarmu, Gi.
Kota ini jadi penuh sesak sejak kau pergi. Dimana-mana, pohon kenangan tumbuh subur. Di lampu merah dengan menit terpanjang, kini tumbuh pohon kenangan yang akarnya menyeruak di antara pembatas jalan.
Dan kopi jadi batas antara mimpi yang sudah tidak bisa dibangun lagi dan besok yang masih jadi teka-teki.
2.
Aku jadi jarang menulis akhir-akhir ini. Sulit mencegah tanganku untuk tidak menuliskan baris-baris paling menyedihkan yang melawan egoku sendiri. Kadang, kalau sudah lelah, aku membiarkan tanganku berbuat semaunya. Menyapamu, “Apa kabar hari ini Gi?”
Pengkhianatan paling menyakitkan setelah punggungmu yang berpaling.
Kepalaku menjadi terlalu sibuk untuk membereskan ruang-ruang yang berantakan. Belum lagi tanya yang tak kunjung habis. Dan resah berulang kali jadi badai yang memporakporandakan beranda yang susah payah dibangun rapi.
Seolah-olah, tubuhku akan melakukan pengkhianatan besar di penghunjung tahun ini.
Aku lelah, Gi. Apa kabarmu hari ini?
3.
Aku merindukan sore yang biasa saja.
Yang tidak mengingatkanku pada apa-apa selain tumpukan pekerjaan yang minta diselesaikan secepatnya.
Berada di hiruk pikuk para pekerja yang lebih sibuk memikirkan hari esok dibanding hari kemarin.
Aku lelah, Gi. Apa kau bahagia hari ini?
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Text
Sebentar Lagi
Untukmu,
yang masih jauh di sana, yang masih berjuang dengan persimpangan dan jalan yang kadang membuatmu lelah.   Yang masih bertanya-tanya pada apa dan siapa kelak kau tempatkan kata rumah.   Lelaki baik, yang padamu, Tuhan menitipkan namaku, kelak.   
    Aku baik-baik saja dan selesai dengan badai sore itu.   Aku jatuh dan masih berusaha bangkit, tapi tawaku sudah lebar, pundakku sudah ringan dan genggaman tanganku sudah kuat.   Tanyaku masih banyak, tapi aku tahu kemana harus mencari jawabnya.  Yang lalu sudah ku tinggalkan di belakang. 
    Di sini hujan, mungkin di sana mendung juga.  Kau lelah sore ini dan bertanya-tanya.   Ada sepi yang bergelayut pada pundakmu.  Bertahan sebentar lagi. Jalanmu dan jalanku tidak akan jauh lagi.  Dan angin muson akan berbisik,” Aku punya kabar baik untukmu.”
Kau tak selalu utuh, begitu pula aku.  Kau tidak selalu baik, begitu juga aku, kita dan semua orang.   Akan ada banyak hal yang kadang membuat kita putus asa.  Saat itu, aku akan menggenggam tanganmu erat-erat dan menceritakan cerita yang tidak lucu.  Tapi kau akan tertawa, dan kita akan baik-baik saja.   Aku tidak selalu mengerti apa kegelisahanmu, tapi aku akan selalu memegang punggungmu.  Aku tak selalu bisa cerewet bercerita, tapi aku akan menuliskan baris-baris puisi di bekal kantormu.  Sebelum tidur, aku akan membisikimu dengan kalimat-kalimat aneh yang ku baca dari buku.  Dan setiap kau pulang, aku akan memelukmu lebih lama dari hari sebelumnya.  
Aku tidak butuh banyak, aku hanya butuh kau ada dan tinggal, walau badai apapun yang datang.   Itu saja.  
Sampai jumpa di persimpangan.  Sebentar lagi.          
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Photo
Tumblr media
                                                              Aku                                                         (Bagian III)
Aku selalu punya banyak hal di kepalaku.  Seperti, bagaimana rasanya menua, sendirian dan kesepian? Atau seperti apa rasanya jadi orang lain? Dan pertanyaan lainnya yang seringkali membuat kepalaku mau meledak.  Aku tidak pernah bisa mengendalikan pertanyaan-pertanyaan di kepalaku dan tidak tahu bagaimana cara mengendalikannya.  Aku, adalah pengecut yang lebih memilih mundur dibanding mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sendiri.  Aku, adalah pemalas yang memilih menghindar dari kerumitan pemikiran sendiri. Aku yang seperti itu yang berdiri di depanmu selama satu tahun.   
Dan kau pergi.  
Aku bukan tidak mengutuk alasan kepergianmu.  Aku bukan tidak pernah menghakimimu.  Aku bukan tidak pernah ingin memakimu.  Seluruh pikiran itu jadi hantu selama 10 hari setelah kau pergi, dan aku merasa bisa mati karena pikiran-pikiranku sendiri.  Tapi aku tidak mau mati.  Aku ingin hidup dan menarik diriku sendiri untuk naik ke permukaan.  Aku ingin hidup dan melihat bagaimana hidup membawaku. 
  Aku pergi ke tempat-tempat asing dan bicara pada orang-orang asing yang kau tahu aku tidak pernah nyaman berbicara dengan orang asing.   Demi membuatmu tidak jadi hantu, aku menyeret kakiku berjalan ke tempat yang penuh dengan kau.  Kau dengan wajah yang lain.   Kau dengan nama yang lain.  Kau dengan cerita yang lain.   Aku melihatnya, hal yang mungkin kau sadari tapi tidak ingin kau akui.  Dirimu yang menyedihkan.   Aku bukan tidak mengutuk diriku sendiri.  Di antara semua orang, kenapa harus aku yang melihat dirimu yang menyedihkan ini? Kenapa aku tidak bisa semarah seperti orang-orang yang kutemui.  Perempuan-peremuan yang pada bibirnya pernah kau singgahi satu persatu.  
   Dan yang ku lihat hanyalah Donna.  Dan yang ku dengar hanyalah suara kekanak-kanakannya.  Berhari-hari, anak kecil ini menarik-narik lengan bajuku, minta dipeluk.   Setiap malam dia datang dan berbaring di sampingku, minta diusap punggungnya.  Dan dia tidak pergi, sampai ku bilang,
”Aku akan memaafkannya, Donna.  Jadi berhenti datang.”
Dan aku memaafkanmu.  Aku memaafkan perempuanmu.  Lalu segalanya jadi lebih mudah setelahnya.   Lalu, dadaku lebih ringan.  Dan aku merasa diriku kembali.  Aku sudah mengalahkan hantu-hantu di kepalaku.  Aku sudah tahu bagaimana mengendalikan pertanyaan di kepalaku.  Aku sudah bisa mengatur kegelisahanku.  Aku sudah masuk ke tempat-tempat asing, dan kembali dengan utuh.  Dan karenanya, aku perlu berterima kasih padamu.   
    Terima kasih atas kepergianmu, karenanya, diriku yang lama tersesat, kembali pulang.  Terima kasih atas kepergianmu, karenanya aku mampu melihat lebih jelas yang selama ini selalu ku ragukan.   Terima kasih sudah membuatku jatuh, karenanya aku tahu bagaimana caranya bangkit lagi. Terima kasih sudah membuatku tahu cinta yang selama ini kau bicarakan, karenanya aku bisa memberikanmu sayapku dan kau bisa terbang ke tempat yang lebih hangat. Terima kasih atas kepergianmu, karenanya aku bisa lebih sering tertawa.  Bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri.  Aku rasa, kau pun harus begitu.  
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Photo
Tumblr media
                                                    Kamu                                                 (Bagian II)
Membicarakanmu, ada hal yang tidak pernah bisa aku gambarkan dengan kata-kata.  Yang letaknya jauh di dalam sini, yang aku pun tidak tahu apa nama tempat itu.  Yang cuma bisa kudefinisikan dengan kata-kata klise; nyaman, hangat dan familiar.  
Pernah kah kamu pergi ke tempat jauh yang asing, lalu kamu mencium bau asap dari tungku kayu di dapur rumah warga, dan bau itu membangkitkan kenangan masa kecilmu akan kampung halaman.  Lalu tempat jauh dan asing yang kau kunjungi, tidak lagi menjadi asing.  Kamu merasa bisa tinggal di sana selamanya.  Hanya karena tempat ini dan kampung halamanmu berbagi aroma yang sama.  
Tanganmu ibarat asap dari tungku kayu itu.  Tanganmu membangkitkan perasaan familiar yang aku sendiri tidak tahu apa itu.  Tanganmu, satu-satunya hal familiar yang membuatku merasa sudah lama mengenalmu, jauh sebelum ini.  Sebagai apa? Entahlah.  Kau mungkin akan berpikir aku mengada-ngada, tapi seperti itu, kamu di kepalaku dan yang meresap jauh menempati lorong-lorong yang selama ini asing dan sepi.  Kamu mengisinya.  Dengan makna yang aku sendiri tidak tau bagaimana menjabarkannya.     
Perasaan ini juga yang membuatku tidak akan pernah bisa menghakimimu, apapun keputusan yang kamu buat.  Naif memang.  Tapi, sekeras apapun aku berusaha menghakimimu.  Nyatanya memang tidak pernah bisa.  Ada hal-hal dalam diriku yang menolak untuk menghakimimu.  Dan tanganmu, akan jadi satu-satunya pengingat perasaan itu.    
  Oleh karena itu, aku melalui semua hal ini, setelah kamu pergi.  Untuk memahami kenapa kamu melakukan itu? Kenapa kamu memilih untuk pergi? Apa yang sebenarnya kamu butuhkan?  Apa yang ada di kepalamu?  Lalu memaafkanmu.   
Dari hal-hal yang sudah kita lalui, akan lebih mudah memang menghakimimu dengan satu kata,”Brengsek.”  Tapi nyatanya, sulit melekatkan label itu padamu ketika aku mendengar lagi suaramu di awal percakapan kita.  Melihat matamu saat kamu membicarakan kegelisahan-kegelisahan yang dengan enggan kamu keluarkan dari mulutmu.  Pada saat itu, kamu memang tulus mengucapkan semua ungkapan sayang, semua janji-janji, semua kalimat yang menenangkan. Kamu hanya tidak tahu bagaimana memegangnya.   Kamu, yang dari matamu aku hanya melihat sosok anak kecil bernama Donna, yang selalu minta dipeluk, yang selalu mencari tempat bersandar, yang hanya ingin tertawa lebih sering.   Tentu saja, aku dan kegelisahanku, adalah kesakitan tersendiri untuk kamu hadapi. 
Di atas segalanya, aku menyesal tidak sering-sering memelukmu atau membuatmu tertawa.   Aku pikir, itu yang kamu butuhkan.  Tawa yang lebih panjang, lebih dalam.  
Donna, jangan tersesat lagi.  Jangan limbung lagi.   Temukan dirimu dan apa yang kamu cari.  Bukan pada orang yang datang padamu, bukan pada buku-buku yang kamu baca, musik-musik yang kamu dengarkan, tapi jauh di dalam dirimu sendiri.  Tertawa dan berbahagialah, untuk dirimu sendiri dan bukan untuk orang lain, mulai saat ini.  
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Photo
Tumblr media
                                    Eulogi Untuk Sebuah Perpisahan
                                                     (Bagian I)
Ada banyak hal yang terjadi sejak 20 Agustus 2017.  Hari dimana dunia rasanya mau runtuh.  Saya baru tahu rasanya bisa sebegitu sakitnya.   Dipaksa pergi, berhenti mencintai, atau bahasa milenialnya, diputusin.  Laki-laki yang sering saya ceritakan di sini, 40 hari lalu dengan jujur mengatakan, sudah tidak bisa bersama lagi.  Seseorang dari masa lalunya datang kembali dan dia baru menyadari bahwa cintanya belum hilang.  
Reaksi pertama, klise sih.  Menangis tentu saja.    Hubungan kami bisa dikatakan baik-baik saja, atau begitu yang saya pikir.  Walaupun kami memendam masalah besar yang siap jadi bom waktu, yaitu agama.  Ya, kami berdua beda agama.  Dari awal, masalah ini bukan tidak menjadi beban, hanya saja kami mencoba melihat bagaiman waktu berjalan.  
Lelaki ini.  Dia orang yang sangat tenang,  tidak pernah marah.  Selama setahun kami bersama, hanya sekali dia marah.  Selebihnya, saya yang lebih sering emosi.  Hal paling saya kagumi mungkin ketenangannya dalam menghadapi segala situasi.  Saya akui, saya  tipe orang yang meledak-ledak dulu baru berpikir.  Dari sifatnya yang tenang itulah, saya menemukan kenyamanan.  Dia mampu mengimbangi saya yang emosional.  Dia selalu bisa diajak berdialog, saya yang punya banyak kekhawatiran, pertanyaan-pertanyaan, ketidakmengertian akan banyak hal di dunia ini, merasa mendapatkan teman berdialog yang bisa diajak bicara tentang apa saja.  Saya merasa nyaman, karena bisa mengajukan pertanyaan tentang apapun.  Dia tak selalu punya jawaban yang saya harapkan, tapi dialog membuat beban di kepala mengalir keluar dan saya selalu merasa jauh lebih baik setelahnya.   Dan selalu, ini tentang saya.  Jauh di balik itu semua, ternyata dia lelah juga.  
Kami baik-baik saja, secara pribadi.  Kalaupun kami berpisah, skenario yang ada di kepala saya, tentu saja karena masalah agama.   Alasan dia pergi karena orang lain, pernah beberapa kali terpikir.  Bukan tanpa alasan sebenarnya. Lelaki ini memiliki ketenangan, kedewasaan berpikir ditambah karakter wajahnya yang maskulin dengan kumis tipis dan garis rahang yang tegas.  Daya tarik terbesarnya berasal dari kemampuannya untuk mendengarkan, membangun dialog dan kenyamanan dengan siapun ia bicara.   Hal itu seringkali membuat saya insecure.  Dan terjadilah apa yang ditakutkan.  Dia pergi.    
Setelah anak pertamanya lahir, Angga, sahabat dekat saya, pernah mengatakan bahwa kita tidak pernah bisa melakukan persiapan atas apa yang akan terjadi dalam hidup.  Hal itu tiba-tiba datang dan ya kamu dipaksa untuk menghadapinya.   Perpisahan selalu ada di kepala saya selama ini, tapi ketika hal itu benar-benar datang.  Ternyata saya tidak benar-benar tahu bagaimana cara menghadapinya.  Bagaimana mengeluarkan hal-hal menyesakkan yang menghimpit di dada? Bagaimana berhenti menangis dan merasa sedih setiap bangun tidur dan sore menjelang?  Bagaimana cara melupakan? Bagaimana cara ikhlas melepaskan? Tidak secuil pun saya tahu apa jawabannya.   Banyak pikiran buruk yang mampir, memberikan ide-ide gila yang samar mengatasnamakan kelegaan.  Tapi toh, masalah juga tidak selesai, dia juga tidak akan kembali. 
  Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya benar-benar mencari sendiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bertubi-tubi muncul di kepala.   Keputusan untuk mencari jawabannya, bukan lagi berdasarkan impulsivitas yang selama ini sering saya lakukan.  Satu alasan, ya karena saya ingin lega.
   Banyak orang yang bilang, “Ya udah sih, lupain aja.”  Atau , “Mending kamu pergi aja dari Jogja, siapa tau kalau keluar dari sini, kamu bisa lupain dia.”   Ide yang cukup lumrah dilontarkan ketika seseorang putus.  Tapi, bukankah lupa bisa ingat lagi, yang pergi bisa kembali.  Terlebih, Jogja sudah jadi kota yang penting bagi saya.  Sudah 9 tahun saya tinggal di sini, kota ini sudah jadi rumah bagi saya.  Lalu kenapa saya yang harus pergi?  Ada ketidakrelaan kota ini pun harus direnggut pergi dari saya.    
Saya tidak ingin lupa dan saya tidak ingin pergi.   Seluruh ingatan tentang kami berdua adalah bagian dari diri saya yang tidak bisa dibuang begitu saja.  Toh, dalam film Eternal Sunshine of The Spotless Mind, ketika si tokoh utama menghapus ingatannya, nyatanya dia kembali jatuh cinta pada orang yang sama.  Kepalamu mungkin bisa lupa, tapi hatimu tidak.  Seandainya saya pergi dari kota ini, lalu kembali beberapa waktu kemudian, apakah ada jaminan tidak akan ada perasaan-perasaan nostalgia ketika pergi ke tempat yang pernah saya kunjunngi bersamanya.  Yang saya butuhkan bukan lupa ataupun pergi. Saya butuh selesai.  
  Satu hal yang membuat saya memutuskan bahwa perasaan ini harus selesai, karena lelaki ini pergi disebabkan oleh perasaan-perasaan yang belum selesai.  Bagaimana jika dia datang lagi 5 tahun kemudian dan perasaan yang dulu saya lupakan ternyata muncul kembali? Bukan tidak mungkin saya melakukan hal yang sama yang sudah dia lakukan, tentu saja mungkin saya akan menyakiti orang yang sudah menemani saya selama bertahun-tahun.  Itulah kenapa saya memutuskan untuk menyelesaikan perasaan ini. 
  Saya tidak pernah tahu definisi selesai itu seperti apa.  Bentuk perasaan yang selesai itu seperti apa.  Bagaimana cara mencapai perasaan yang selesai.  Saya berjalan mencari penyelesaian tanpa tahu bentuk yang saya cari.   Yang menjadi panduan saya untuk melangkah hanyalah, bahwa saya harus menjawab setiap pertanyaan yang muncul.  Demi mendapatkan jawaban dan gambaran utuh atas orang-orang yang membuat saya berada di titik ini, atas peristiwa yang terjadi, banyak hal yang akhirnya saya lalui.   Banyak orang yang saya temui.   Banyak cerita yang  saya dengar.  Dan banyak waktu yang saya gunakan untuk melihat kembali ke belakang.   
Oke, semua orang mengatakan, semua hal yang terjadi memang sudah takdir Tuhan.   Akan selalu ada pengganti yang lebih baik yang disiapkan di depan.  Ya, saya mengamini hal ini dan mempercayainya.  Semua hal yang terjadi pasti ada alasannya.  Sujiwo Tedjo pernah menulis: 
Tuhan itu Maha Asik, terkadang demi menyelamatkanmu dari orang yang salah ia  mematahkan hatimu
Pertanyaannya adalah, apakah setiap orang yang pergi selalu merupakan pihak yang salah? Kenapa pihak yang ditinggalkan selalu terlihat bebas dari kesalahan? Atau sebenarnya siapa yang salah?
Apakah kembali kepada kekasihmu sebelumnya adalah kesalahan? ketika kamu menyadari bahwa orang itu yang kamu sayang ? Saya tidak bisa menyalahkan cinta.  Kita tidak pernah bisa menyalahkan cinta.  Yang salah adalah pilihan-pilihan yang diambil.  Perasaan lelaki ini atas cinta masa lalunya tidak pernah salah, yang salah adalah komitmennya.  Jika dia memiliki cukup komitmen, siapapun yang datang tidak akan pernah membuat dia pergi.   Lalu, apakah keenganannya untuk berkomitmen hanya kesalahan sepihak? 
 Apakah dalam posisi ini kesalahan hanya ada padanya? Tidak juga.  Saya menyadari, saya pun memiliki andil atas kepergiannya.  Selama satu tahun belakangan, bahkan jauh sebelumnya, saya limbung.   Terlalu banyak kekhawatiran, terlalu banyak ketidaktahuan, atau secara sederhana saya tidak tahu ingin melakukan apa dan harus pergi kemana.   Hal ini sudah terjadi sejak tahun 2013.   Kelimbungan ini juga yang saya pikir menjadi boomerang dalam hubungan kami.  Saya tidak pernah benar-benar tertawa lepas atau berusaha untuk membuat dia tertawa.   Saya tidak benar-benar melihat jauh ke dalam dirinya, apa yang dia butuhkan.  Saya tidak benar-benar berusaha melihat, apa kekhawatirannya.  Kami, yang sama-sama limbung.  Sama-sama khawatir, tidak mampu menjadi sandaran satu sama lain.   Saya pun maklum ketika mendengarnya mengatakan gambaran tentang saya dikepalanya,
” Aku tuh gak ngerti sama April.  Aku gak bisa ngerti sama pikiran-pikirannya”    
Yah wajar The, saat itu pun aku juga gak ngerti sama diriku sendiri.   Jadi, aku bisa memahami kenapa akhirnya kamu memilih untuk pergi. 
                Jadi, kalau hanya menjadikan masalah Agama sebagai pembenaran untuk kita berdua selesai, bukan itu masalah sebenarnya.  Kalau hanya menyalahkan keputusanmu untuk pergi karena orang lain, bukan itu juga alasan utamanya. Masalahnya ada pada kita berdua.  Kamu dan Aku.  Itu saja.
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Photo
Tumblr media
Cinta yang Jatuh Padanya
Di hari Sabtu yang mendung, 23 Juli 2016. Tanpa persiapan, tanpa ekspektasi. Pada sebuah pameran fotografi, di sebuah kafe kecil yang nyaman, ada cerita-cerita yang dibuka. Hujan bersekongkol untuk membuat cerita mengalir lebih dalam, lebih lama. Sore itu, seekor burung manyar dengan sayap kirinya yang patah, hinggap di pundakku. Kali itu, untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta pada sebuah luka.
Dia tidak utuh, air mukanya yang sepi ketika membicarakan keluarga dan aku tiba-tiba mensyukuri apa yang selama ini aku punya. Buku dan fotografi menjadi narasi yang membuat pintu kami berdua terbuka. Aku suka tawanya sore itu, suara rendah dan beratnya bahkan caranya menarik asap rokok ke dalam paru-parunya.
Aku suka tangannya yang besar dan jari-jari yang panjang. Ada yang meleleh di dalam sini setiap kali dia menggenggam tanganku, lalu satu persatu kepingan jantungku ikut bersamanya setiap hari. Aku jatuh cinta berulang kali setiap harinya, atas keinginan-keinginan konyolnya untuk memiliki kekuatan super yang bisa membuat orang-orang yang sedang bertikai menjadi orgasme dengan sekali tunjuk. Dengan begitu, orang-orang tidak akan sempat untuk bertikai. Sebuah keinginan yang aneh atas perdamaian dunia bukan ? Atau bagaimana dia menantang sudut pandangku atas dunia, menantang pendirianku atas berbagai hal dan menawarkan sudut pandang lain dalam melihat permasalahan. Aku jatuh cinta karena kita bisa membicarakan banyak hal. Aku jatuh cinta pada isi kepalamu.
Aku suka bahumu yang lebar, wangi parfummu, perjalananku ke tempatmu di akhir pekan. Keheningan di motor selama perjalanan. Aku suka percakapan kita sepulang kerja dan sebelum tidur. Aku suka suara kekanak-kanakanmu saat kita cuma berdua. Aku jatuh cinta padamu setiap harinya selama 379 hari. Lalu kau bilang, agar aku berhenti di hari ke 380.
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Text
I think I’m going to explode then sinking,
I ask you my questions God, then you silence.   I ask you my question, then you silence too.  
Did silence make you feel better God? And you too.  
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Text
On sleep with a secret next to you, is like having church bell linking to your arms, so when you move the bell ringing, all night.
On sleep with a secret next to you, but you already know what it was, like walking to the top of mountain tiptoeing. 
Then questions emerged in my head, 
“Is it done already?” “Or is it just the beginning?”
Then, I’ll drown eventually, along with those sinking questions in my head.
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Text
Isi Kepala Orang Gila
Ada turbulence di kepala ku, dalam bentuk imaji-imaji asing, yang kalap menggonggong tembok yang sudah terlanjut ada selama bertahun-tahun.  Yang tidak mau diam walau sudah ku katakan,”Aku gak papa kok.”
Aku bersembunyi di lorong-lorong gelap dan lembab, menggantung wajah yang tertawa di depan tapi menangis di ujung lorong.  Ada apa?
Wajah-wajah, suara-suara semuanya jadi asing dan tenggelam.  ,”Sudah biar saja.”  Tapi kembali ke kamar, Aku akan pikirkan lagi semuanya dari awal, habis nafas yang satu-satu.  Lalu, Aku ingin cepat-cepat keluar dari sana, berlari kemana saja seperti orang gila.  Mungkin, gila memang sudah jadi label yang lupa dicopot dan menempel di setiap baju-baju yang ku pakai.  
Lalu aku ingat untuk menelepon Mama dan ingat pula akan banyak cerita-cerita yang terlanjut seret untuk diceritakan, percuma dengan diam yang panjang dan Mama yang mengerti, “Ada apa?” tapi tak bisa ku ceritakan.
Lalu aku akan mulai bicara, satu demi satu yang tercampur aduk dengan emosi dan kata-kata yang kau asah halus supaya tak tajam menggores saat dikeluarkan dan aku kebingungan, karena maknanya terbang entah kemana.  
Dicibir oleh pagi, aku ingin tidur terus.  Tak mau berpikir, tak mau pusing, tak mau kangen, tak mau sedih, tak mau menulis.  Tapi akhirnya aku menulis juga, tulisan yang tak jelas disebut sajak atau cerpen, fiksi atau fakta.  Apa yang jelas dari isi kepala orang gila?
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Text
Inception
Yesterday, I told mty mother I would married my catholic boyfriend, then she cried
Then I told my brother the same, then he got angry.  
Then I told you God, then you said nothing.  
Then I woke up in sweat, lost.
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Text
Pada Muka Alam Raya
Kau datang dan membisikkan kegusaran mengalungkan tanda tanya membiarkan ku menerka.  
Kau datang dengan sayapmu yang patah, menggapai kewarasan pada genggaman tangan yang lemah.  
Aku tidak pernah bena-benar menyelam ke dunia.  Berjalan dari kata orang, membungkus diri dengan mantra-mantra yang entah apa maknanya.  
Kau datang menyapu benar dan menyodorkaan tongkat salah, memintaku menilai.  
Dan aku mulai bercermin, melihat tanduk di kepalaku dan cahaya di wajahmu.   
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Text
Di Perempatan Yang Lain
Tahun lalu, di bulan yang sama saya mulai mempertimbangkan untuk berhenti mengajar.  Ya, saat itu saya bekerja sebagai dosen tidak tetap di sebuah universitas swasta di daerah Malingping - Banten.  Tempat saya mengajar adalah cabang dari kampus utama mereka di Pandeglang.  Ruang kuliah yang digunakan menumpang di salah satu sekolah dasar milik tokoh ternama di Malingping.  Beliau menjabat pula sebagai koordinator untuk cabang kampus Malingping ini.  Ketika saya ditawari untuk mengajar di sana, saya harus menemui beliau untuk ‘wawacara’.  Singkat cerita, saya akhirnya mengajar di sana selama satu semester.  Menjelang akhir semester, banyak hal yang membuat saya tidak nyaman.  Mulai dari manajemen, sesama dosen, mahasiswa, hingga diri saya sendiri.  Kalau dari diri sendiri, saat itu, saya merasa memiliki keterbatasan wawasan.  Ada banyak materi yang tidak bisa saya berikan 100% karena saya merasa tidak memiliki pengalaman di hal tersebut.  Perasaan tidak pantas mengajar pun muncul.  Padahal, mungkin semua dosen muda pasti mengalami hal yang sama.  Hampir seluruh dosen saya di kampus bukan berasal seorang praktisi, mereka 100% akademisi.  Tidak pernah tahu medan pekerjaan media sebenarnya tentu bukan masalah, karena kita selalu bisa menelaah kasus-kasus media dan mengkritisinya dari sisi akademis.  Tapi, saat itu saya benar-benar tidak merasa nyaman dengan kenyataan tersebut.  Di kepala saya saat itu, saya ingin tahu dunia luar, ingin terlibat secara profesional di bidang yang saya pelajari.  Karena hanya dengan cara itu, saya mampu menularkan ilmu dan pengalaman-pengalaman yang lebih rigid kepada orang lain.  Di bulan Agustus, saya mengajukan surat resign.  Dengan rencana nol besar dan doa-doa yang digantungkan supaya mendapatkan sedikit keberuntungan.  
Tuhan nampaknya sedang baik hati atau mungkin sedang perhatian pada saya.  Tak lama, saya diterima di sebuah perusahaan start up yang menjual produk fashion.  Pekerjaan saya, sebagai customer service.  Latar belakang pendidikan sebagai sarjana Ilmu komunikasi sangat membantu dalam pekerjaan ini.  Tiga bulan kemudian saya pindah divisi dan 6 bulan kemudian saya pindah divisi quality assurance.  Bulan depan, genap 2 tahun saya bekerja di perusahaan ini, dengan suka-duka, dan segudang ilmu baru di kepala.   
Sejak SD saya suka sekali menulis cerita.  Pelajaran bahasa Indonesia saya selalu ada di angka 9.  Apabila ada tugas mengarang atau menceritakan kembali, saya menjadi murid yang selalu selesai lebih dulu dan bisa menulis lebih dari 2 lembar kertas.  Di bangku SMP, cerpen saya pernah dimuat di salah satu majalah lokal.  Saat kuliah cerpen saya pun pernah sekali di muat di salah satu majalah remaja.  Di bangku kuliah, passion ini berkembang secara bentuk. Saya belajar menulis skenario dan belajar bercerita melalui film.  Saya pun beberapa kali terlibat produksi film pendek bersama salah satu senior di kampus bahkan beberapa kali membuat film pendek dan menang di kompetisi film mahasiswa.  Lalu, itu semua berhenti.  Kenapa?
Saat itu, perjalanan saya sampai di perempatan.  Keadaan keluarga yang sedang tidak baik, kebodohan saya yang tidak melakukan perencanaan-perencaan yang diperlukan dan kentahan-keentahan lain yang memang asalnya dari diri sendiri.  Banyak hal yang saya takutkan saat itu.  Ketakutan menguasai saya, lalu akhirnya saya memilih untuk mundur.  Namun, dengan harapan, suatu saat saya bisa kembali ke jalan ini lagi, entah lewat mana.    
Dan seperti tahun-tahun yang telah saya lewati sebelumnya, saya sampai lagi di perempatan ini.  Di antara pilihan-pilihan yang tersedia atau belum tersedia, saya kembali ke perempatan (sialan) ini lagi.  (Masih) bimbang untuk melangkah lurus, belok kanan atau belok kiri.  Masih digelayuti ketakutan yang sama.  Hanya umur dan tubuh saya yang bertambah, tapi soal kedewasaan, saya tahu bahwa saya adalah pribadi yang sama seperti 3 tahun lalu.   Bulan ini, saya memutuskan untuk menghadapi ketakutan-ketakutan itu.  Memaksa diri memilih salah satu jalan dan berdamai dengannya, baik buruk jalan yang diambil, toh saya sendiri yang memutuskan untuk mengambilnya.    
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Text
Kamu, Tuhan dan Permainan Dadu-Nya.
Tahun Tidak diketahui, Sumatera - Jawa.  
Mengambil Ares sebagai panah, Tuhan mengirimnya ke bumi di daratan Indonesia, Sumatera dan Jawa.  Ares memanah kedengkian di atas awan, supaya ia tak perlu repot-repot menghabiskan banyak anak panah menghujam dada manusia satu persatu.  Bibit permusuhan, kedengkian, prasangka akan meresap ke dalam urat nadi manusia melalui air hujan.  Di sana, pembantaian terjadi, atas nama PKI.  Gemetar atas nyawa sendiri atau entah demi apa yang menurut mereka baik (lagi-lagi mungkin untuk diri sendiri), Kakek dan Nenekmu memutuskan untuk mengganti nama Allah menjadi Yesus.  Tuhan melempar dadunya satu kali.  Di atas Sumatera yang jalannya masih berlumpur.  
Di atas tanah Jawa, hujan dengan petirnya menyambar-nyambar.  Ada yang masih kehausan, dihitungnya tumpukan gelas yang sudah ia minum.  Dahaga tak hilang dari tenggorokannya.  Ia mau tak hanya air putih.  Demi apa yang menurutnya baik (melegakan dahaganya) Kakekmu memutuskan mengganti nama Allah menjadi Yesus.  Tuhan melempar dadunya yang kedua kali.  Di atas tanah jawa yang wangi cendana.  
Tahun 1990, Sumatera - Jawa.
Tuhan melempar dadunya yang ketiga, dengan rosario ditahbiskan dari ujung kepala hingga ujung kakimu.  Dan adzan berkumandang di telingaku.  Tuhan lupa mengirim awan hujan hari itu.  Tanah-tanah kering, pepohonan bergemerisik ditiup angin kering.  
Tahun 2016 - dan seterusnya, Yogyakarta
Tuhan mungkin sedang bosan, umat manusia terlalu rajin beribadah, terlalu banyak yang berteriak soal perdamaian dunia, manusia sok pintar terlalu berisik membicarakan soal penyelamatan dunia.  Dilemparnya dadu yang keempat.  Kau dan aku tak bisa mengelak.  Dan mungkin kau dan aku lainnya entah di belahan bumi bagian mana.  Tuhan senang dan bertepuk tangan.  Dan keraguan muncul dan keraguan muncul.  Atas diri sendiri, atas Tuhan, atas hidup, atas takdir, atas kebahagian atas segala tetek bengek yang menggelikan.
Tuhan mau kita kalah? Kita yang tak mau kalah? Lalu kita yang mungkin mengalah.  Mengalah pada Tuhan yang kekanak-kanakan.   
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media
Mencairlah Resah di Jazz Mben Senen
Terhibur di Yogyakarta saat gundah sangatlah mudah dan murah. Tak percaya? Datang saja setiap Senin di Bentara Budaya Yogyakarta Jalan Suroto no.2, Kotabaru(Samping gedung Kompas). Musik jazz gratis digelar di sini. Pertunjukan yang disajikan tak meriah, hanya diisi oleh beberapa pengisi acara yang kadang berasal dari penonton yang memang ingin nge-jam dan beberapa adalah kumpulan orang yang tergabung dalam komunitas Jazz di Yogyakarta.
Acara yang diberi judul Jazz Mben Senen ini ada sejak tahun 2009. Jazz Mben Senen berawal dari acara Jazz On The Street yang digelar di Boulevard UGM. Atas dukungan banyak pihak acara ini kemudian pindah ke Bentara Budaya Yogyakarta dan menjadi acara yang rutin digelar setiap Senin mulai pukul 20.30 - 24.00. Berbagai musisi baik dari dalam maupun luar negeri pernah meramaikan acara ini. Apabila sedang tidak ada agenda, siapa saja boleh ikut tampil bersama para musisi Jazz Mben Senen. Seperti yang terjadi di Jazz Mben Senen malam lalu. Beberapa orang ikut tampil mendadak dan menyuguhkan kebolehan mereka memainkan musik Jazz. Tak ada permainan yang bagus dan jelek, semua orang bebas bergembira malam itu.
Mau nonton jazz saja boleh, mendengarkan musik Jazz sambil minum kopi lebih nikmat lagi. Di pojok halaman Bentara Budaya, ada Kopi Jo yang selalu hadir menemani Jazz Mben Senen. Untuk para pencinta kopi mungkin sudah familiar dengan kopi Jo. Perkenalan pertama saya dengan Kopi Jo terjadi saat Biennale di Taman Budaya Yogyakarta. Rasa kopi yang unik dan tidak galak, membuat saya ketagihan. Keunikan kopi Jo tidak hanya dirasa, wadah yang digunakan sebagai tempat kopi pun unik. Pak Jo menggunakan Kendil sebagai wadah untuk menyimpan racikan kopi. Alat dan bahan untuk merebus minuman kopinya pun tak kalah unik, Pak Jo menggunakan tungku kecil berbahan arang. Kopi disajikan menggunakan gelas jadul yang terbuat dari kaleng. Harga yang ditawarkan untuk secangkir kopi hanya sebesar Rp 10.00. Tak hanya kopi, Pak Jo juga menyediakan menu teh tarik dan coklat susu. Apakah Kopi Jo membuka gerai? Untuk saat ini, Kopi Jo hanya bisa dijumpai setiap hari Senin di Jazz Mben Senen atau acara-acara seperti Pasar Kangen Dan Festival Kesenian Yogyakarta.
Kalau gundah menyerang atau kepala chuntel tiba-tiba. Bisa datang saja ke Jazz Mben Senen di Bentara Budaya Yogyakarta.
0 notes
elevatorstory · 7 years ago
Text
Burung Manyar Terbang Rendah Di Atas Danau
 Kamu tidak pernah suka kalau aku mengunggah fotomu di media sosial, "Eksploitasi pacar." ujarmu setengah bercanda.  Yang muncul di kepalaku, kamu tidak ingin aku menyimpan kenangan (mungkin) atasmu, kita.  Kita, dimaknai dengan tidak mudah.  Kita yang dikotak-kotakkan oleh agama. Tapi aku tidak akan bicara tentang itu.  Aku ingin bicara tentangmu saja.
Bau parfummu adalah ingatan pertama yang lekat setelah percakapan panjang kita di pameran, taman budaya, lalu angkringan.  Matamu nanar saat bercerita soal manusia-manusia yang lekat memegang pundakmu, kamu bicara soal kecewa, amarah, dan kerinduan yang tercampur aduk hingga kamu tak bisa lagi mendefinisikan yang mana atas satu sama lain. Hari itu, di langit mendung Jogja aku melihat burung Manyar terbang rendah dengan sayap kirinya yang patah.
Kamu selalu bercerita dengan gelak tawa atas cerita paling menyedihkan sekali pun. Cerita-mu penuh, tak pernah habis.  Sering kamu mengulang cerita yang sama, pikirku, kamu sedang rindu tokoh-tokoh dalam ceritamu.Aku bersyukur kamu punya banyak cerita, tak sepertimu, aku gagap dalam bercerita. Aku selalu suka mendengar ceritamu, tak semua, kadang aku bosan kalau ceritamu terlalu panjang atau tentang mantan.
Kamu tidak pernah marah.  Hanya sekali kamu marah, saat aku menolak diantar berangkat kerja.  Ku pikir, kamu akan marah dalam waktu yang lama. Berselang 6 jam, kamu mengirim pesan,"Aku marah lho ini".  Bagaimana tidak aku jatuh cinta berkali-kali pada laki-laki ini? Ujarku dalam hati. Selebihnya, seluruh drama akulah ratunya.  Meributkan hal kecil lalu merajuk.  Apalagi kalau kamu janji datang, tapi terlalu sibuk untuk datang dan tidak mau mengatakan tidak bisa datang.
Dulu, tangan magis hanyalah milik mama. Sejak pertama kali kamu menggenggam tanganku, tangan magis kedua datang padaku.  Tanganmu besar dan hangat, letak penyaring resah dan arti benar berpijak.  Di tanganmu aku mengetahui makna semesta yang tenang dan damai.
Cerita, adalah pena yang menari di atas buku putih bersampul abu-abu, yang di dalamnya kita adalah tokoh yang dilekatkan Tuhan pada tanda tanya.  Di dunia, manusia akan melekatkan agama, yang luput mereka lekatkan di buku-buku dongeng pengantar tidur anak-anak perempuan.
1 note · View note
elevatorstory · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Buat saya, menonton film adalah perjalanan mencari apa-apa yang terasa kosong dalam diri sendiri.  Dengan kepala yang selalu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan.  Yang dihadapi sehari-hari kadang tak selalu bisa menyediakan jawaban.  Kepingan jawaban kadang justru muncul dari film-film yang saya tonton.  Dan, tak banyak film yang secara kebetulan menyediakan kepingan jawaban yang mungkin saya cari.  Salah satunya Ziarah.  Untuk kemudian menonton film ini di layar bioskop ada rasa haru, bangga, dan lega.  Perkenalan saya dengan film ini jauh sebelumnya, saat film ini masih berbentuk naskah.  Saat membaca naskahnya, banyak hal muncul di kepala saya.  Bisa kah dibuat? Jika sudah dibuat banyak kah yang menonton?  Iklim perfilman kita saat itu masih penuh dengan film-film komersil yang tulen komersil.  Kekhawatiran semacam ini bukan tanpa alasan.  Saat itu, sosial media sudah ada namun tak banyak gaungnya.   Melihat perjalanan Mbah Sri di film ini mau tak mau membuat saya melihat juga perjalanan Mas BW dan kawan-kawan di film ini.   Keyakinan dan keinginan kuat mbah Sri untuk menemukan makam suaminya Mbah Pawiro adalah juga keyakinan dan keinginan kuat Mas BW dan kawan-kawan untuk menghidupkan tokoh ini di layar bioskop dan mempertemukannya dengan kita semua.  Lelah dan susahnya mencari makam yang simpang siur sama dengan lelah dan susahnya mewujudkan film ini ke hadapan kita semua.   Sampai dengan tahun lalu, saya sempat bertemu dengan mas BW dan Bagus saat mereka masih wira-wiri untuk film ini.   Wajah-wajah mereka adalah wajah Mbah Sri saat tertidur kelelahan di depan makam.   Untuk itu, bisa akhirnya menonton film ini di bioskop bersama ratusan orang lainnya bahkan ribuan orang yang sudah menonton di berbagai kota, membawa perasaan haru dan bangga, perjalanan mas BW dan kawan-kawan membawa Ziarah ke hadapan kita semua diapresiasi dengan luar biasa.  Atas kerja keras dan keyakinan mas BW dan teman-teman, saya bangga luar biasa.  Tidak akan pernah ada yang salah dan meleset, kalau kita yakin dan percaya.  Ini catatan untuk diri saya sendiri dari perjalanan film Ziarah hingga bisa kita saksikan di layar bioskop.   Di hidup ini, tidak ada keyakinan yang tidak menjadi apa-apa.  Seperti Mbah Sri yang terus yakin bisa menemukan makam suaminya.  Keyakinan itu lah yang membawanya pada hasil.  Yang kita tidak tahu, apa hasilnya.   Jika apa yang kita yakini, membuahkan hasil yang tidak kita inginkan, apakah itu ketidakberhasilan? Saya pikir bukan, itu hidup.   Bukankah hidup selalu begitu, memberikan jawaban yang selalu lain.  Tapi, apabila sama sekali lain dengan pengharapan kita, maka kita gagal? Hidup memberikan pilihan untuk ikhlas, kok.  Dan hidup memberikan pandangan yang sama sekali berbeda ketika kita memilih untuk ikhlas.  Mbah Sri menunjukkan itu semua pada kita. Wis, jare Simbah YAKIN LAN IKHLAS.  
0 notes
elevatorstory · 8 years ago
Video
tumblr
Ngopi di bonbin is our weekend gateaway.  What’s yours?
0 notes