djiwoastra
7 posts
#NowRelease BRAHMASTAJI 7:10" NovisNormalis Single ©MMXXI exclusively on YouTube ▶️
Don't wanna be here? Send us removal request.
djiwoastra · 3 years ago
Photo
Tumblr media
#Repost @rockinsolofestival ... Apokaliptika: A Journey of Rockin Solo Sebuah pertunjukan musik di jagad baru Rock in Solo siap tergelar Sabtu, 18 Desember 2021 di Terminal Tirtonadi Convention Hall. Dalam Apokaliptika nanti akan terpampang wajah gahar Kota Solo dengan budayanya yang kental dalam penampilan Downforlife dengan diiringi oleh komposisi gamelan dari Gondrong Gunarto. Turut melengkapi pula sederet kolaborator seperti: Endah Laras, Luluk Ari & Agus Margiyanto, Djiwo (Djiwoastra), Pintus (Bandoso), DD Crow (Roxx), Lius (Tendangan Badut), Kokom (Paranoid Despire), Alby Moreno (MCPR), Whawin Lawra, Doel (Pecas Ndahe) & Titus. Open gate akan dibuka pukul 15.00 WIB bagi kalian 500 penonton yang beruntung berkesempatan menyaksikan pertunjukan ini secara langsung. Sampai berjumpa di Apokaliptika! Karena sejarah belum selesai ditulis! #rockinsolo #apokaliptika #2021 https://www.instagram.com/p/CXjVwwvvAIi/?utm_medium=tumblr
0 notes
djiwoastra · 4 years ago
Text
youtube
#NowRelease
BRAHMASTAJI 7:10"
Djiwoastra - Single 2021
The music is more of a reflection of the ideas, the main thing is to get the concept across. In the name of Father Akhasã and Mother Prtiwi, fight for us and regain your honor ...
Latar Belakang
Brahmastaji didedikasikan sebagai penyuara peringatan atas proses penghancuran sistematis nilai -nilai budaya, suku, spiritual kepercayaan, status sosial masyarakat adat, berikut nilai-nilai ajaran kearifan istiadat yang bersifat khas berdaulat atas hak ulayat.
Bangsamu, dalam bahaya "Kulturisida"! Berawal dari indikasi kecaman yang kuat dan kontroversial guna membenturkan kelompok masyarakat, semuanya terbelah, saling curiga lalu pemetaan perang identitas dimulai. Nantinya secara gradual akan muncul "kawin mawin" paksa berujung pada rekruitmen. Terjadi perubahan sikap perilaku pola yang memaksa percakapan ke dalam bentuk komunikasi baru, penamaan, penggunaan bahasa, serta aksara.
Penghancuran fisik simbol-simbol kebudayaan Nusantara lama secara sistemik dan masif. Pengaburan sejarah.
Pada akhirnya, konversi paksa bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan hingga pengambilalihan kekuasaan tak akan terhindarkan (lagi).
Brahmastaji bermuatan peringatan dini akan ancaman penghancuran jatidiri.
Brahmastaji berisi tekad puputan kita untuk selalu siaga dan waspada.
Aktifkan brahmastra dalam diri kalian mulai hari ini!
Bangkitlah generasi digdaya,
Adidaya hak lahir kita!
Invocation :
Sun Djiwoastra pangereh kawisesaning brajagni hamateg risang Brahmastaji-ku,
kinarya ungeling srya jangkung pitulung amrih rahayu kalis hing rubedha nir hing sambikala uwal sengkalaning bebendhu, pageblug gering grubug sumingkir! Linebura sira nirsadguna mwah tan pantes den nuta, pjah de nira ... Lebur hamawur geseng tumukweng delahan ... .
- Composer : Aji Agustian
- Lyrics : Dewadji "Djiwo" Ratriarkha
- Performers : Dewadji Ratriarkha (Lead Vocals), Aji Agustian (Guitars), Oky Praguso (Bass), Irfan Ariessa (Drums), Daniel Saputra (Squencer), Yeni Arama (Waranggana - Female Folk Singer)
- Recording Engineer : Merwan Ardhi Nugroho & Ahmad Hidayat
- Audio Mixing & Mastering Engineer : Merwan Ardhi Nugroho & Ahmad Hidayat
- Video Editor : M. Aji Kuncoro
- Lighting Designer : Chaosstage
- Photographer : Ayiph
- Wardrobe : Dewadji R.
- Stagecraft & Sound Technician : Mahawang Agung, M. Aji Kuncoro, Wahyu Budi Susilo, Razka Gilang Anugrah
- Producer : Bondan Aji Manggala
- Co-Producer : Joko Suyanto
- Courtesy : Local Native, Solo Butoh Performance; D. Ratriarkha
3 notes · View notes
djiwoastra · 4 years ago
Text
Latar Belakang BRAHMASTAJI
Inspirasi lagu ini muncul sebagai apresiasi kisah Ki Ageng Mangir Wanabaya sebagai sosok kharismatik penguasa bhumi perdikan Mangir yang melegenda.
Kjahi Baru Kuping & Baru Klinthing
Dalam cerita yang berkaitan dengan senjata pusaka di Jawa, dikenal adanya tombak pusaka yang konon memiliki daya kekuatan yang luar biasa. Tombak yang terkenal memiliki kekuatan yang luar biasa. Adalah tombak Kyahi Baroe Klinthing yang menjadi tombak pusaka andalan pamungkas Ki Ageng Mangir, penguasa daerah perdikan Mangiran yang masih keturunan dari penguasa Majapahit.
Seorang Patih Mandaraka atau dikenal sebagai Ki Juru Mertani pun telah mewanti-wanti agar Panembahan Senopati jangan pernah beradu laga dengan Ki Ageng Mangir karena mengingat faktor kesaktian tombak Kyai baru Klinthing selain juga kedigdayaan Ki Ageng Mangir yang pilih tanding.
Pusaka Kanjeng Kyai Baru Klinting
Pusaka ini juga berupa tombak yang pernah digunakan abdi dalem bernama Ki Nayadarma untuk menumpas pemberontakan yang dipimpin Adipati Pati Pragola.
Dugaan tentang reputasi pusaka tombak Kyahi Baru Klinthing dan Baru Kuping yang bermuatan "nuklir" mengarahkan kita pada asumsi yang paling mendekati fakta bahwa terdapsat kandungan Thorium pada bilah kedua pusaka tersebut dalam jumlah yang signifikan. Jika ini mendekati kebenaran nya maka sesuailah dengan apa yang selama ini kita dengar melalui folklore dan semoga mengungkap mitos yang berkembang.
Thorium, 90Th
Torium merupakan logam yang bereaktivitas tinggi dan elektropositif. Potensial reduksi standar torium adalah −1.90 V untuk pasangan Th4++++/Th, Torium sedikit lebih elektropositif daripada zirkonium ataupun aluminium.[38] Logam torium yang terbagi halus bersifat piroforik dan dapat menyala spontan di udara bebas.[2] Ketika dipanaskan di udara bebas, remah torium menyala dan terbakar memancarkan cahaya putih yang terang, membentuk senyawa torium dioksida. Dalam bentuk bongkahan, torium murni bereaksi dengan lambat di udara bebas, walaupun korosi dapat terjadi setelah beberapa bulan. Kebanyakan sampel torium terkontaminasi sesedikit oleh torium dioksida. Kontaminasi ini mempercepat proses korosi.[2] Sampel torium seperti ini akan mengusam dengan perlahan; permukaannya menjadi abu-abu dan akhirnya menghitam.
Sampai dengan akhir abad ke-19, para kimiawan secara bulat setuju bahwa torium dan uranium memiliki sifat-sifat kimia yang beranalogi dengan hafnium dan wolfram; keberadaan unsur-unsur lantanida pada baris periode ke-6 tabel periodik dianggap hanya sebagai pengecualian saja. Pada tahun 1892, kimiawan Britania Henry Bassett mempostulatkan keberadaan baris periode tambahan di bawah lantanida untuk mengakomodasi baik unsur-unsur yang telah diketahui maupun yang belum ditemukan.
Pada tahun 1990-an, kebanyakan penggunaan torium yang tidak memanfaatkan sifat-sifat radioaktivitasnya menurun drastis karena kekhawatiran akan keselamatan dan dampak lingkungan torum; hal ini juga diiringi oleh penemuan bahan pengganti torium yang lebih aman.[28][109] Walaupun radioaktif, torium masih digunakan pada pelbagai aplikasi yang pengganti alternatif toriumnya masih belum ditemukan. Dalam suatu kajian tahun 1981 oleh Laboratorium Nasional Oak Ridge
Torium dapat dibentuk menjadi aloi dengan logam lainnya. Penambahan sebagian kecil torium pada magnesium akan meningkatkan kekuatan mekanik logam tersebut. Selain itu pemaduan torium-aluminium telah dipertimbangkan sebagai cara untuk menyimpan torium dalam reaktor nuklir torium usulan di masa depan. Torium membentuk campuran eutektik dengan kromium dan uranium. Selain itu, torium tercampur sepenuhnya dalam wujud padat maupun cair dengan unsur saudaranya yang lebih ringan, serium.[2]
0 notes
djiwoastra · 4 years ago
Text
Bali Pulau Dewata (bukan) Bhakta "HK"
Suksma Astungkara 🙏 Bali.
Saya berkewajiban berterima kasih kepada masyarakat adat Bali yang sejak ratusan tahun lalu telah menyimpan dan menyelamatkan ajaran Siwa-Buddha, sehingga orang-orang di luar Pulau Bali bisa belajar kembali. Di pulau Dewata ini warisan kesusastraan Jawa Kuno diamankan, diapresiasi, dikaji dan dijadikan pedoman dalam praktek keagamaan dan sosial di Bali. Tradisi Bali dibangun atas pondasi toleransi. Jangankan hanya sampradaya, umat agama lain-pun dihormati sedemikian tinggi. Kami penganut ajaran Siwa-Buddha merasa sangat cukup dengan keyakinan kami sendiri dan kita (memang) tidak diajarkan untuk menilai apalagi menyalahkan keyakinan orang lain. Maka kepada pihak yang merasa sudah menggenggam satu-satunya kebenaran, mari bersama-sama merenungkan beberapa keutamaan di antara kita. Sebab, bila sebuah keyakinan itu benar, maka produk yang dihasilkan semestinya benar, baik dan indah. Secitra dengan benihnya. Namun, bila sebaliknya. Ada baiknya periksalah kembali keyakinan kita. Budaya dan tradisi Hindu Bali yang kita kenal sekarang, tidaklah lahir kemarin sore. Ia telah ada ratusan tahun. Dibentuk oleh para Maharsi dan Mpu, dari Maharsi Markandeya, Mpu Gnijaya, Mpu Mahameru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, hingga Mpu Bradah dan para leluhur nimpuna berikutnya. Sejarah adat tradisi yang panjang inilah yang kita maknai sebagai cara ukur semesta dalam satuan rentang waktu. Sebab kita sadar, mengukur diri adalah keutamaan dari benih kebijaksanaan.
Terakhir, untuk semua penghayat Garda Bhirawa Nusantara, mari menahan diri, 'ajegang' yang sudah ada dengan penuh keyakinan kita. Esensi dari keyakinan dalam relijiusitas hanyalah jembatan untuk mencapai kebahagiaan, bukan penghancuran.
Semoga PHDI beserta pangampu kewenangan mampu mengambil keputusan yang tepat, baik dan benar untuk Bali. Biarkan PHDI yang memutuskan, karena orang-orang di dalam lembaga itu sendiri yang bakal menimbang kekeliruannya atas kebijakan yang dihasilkan.
Rahayu wilujeng hing samya tinemu,
Shadu, Shadu, ...Shadu
0 notes
djiwoastra · 4 years ago
Text
Lingua Materna
Bahasa "Sansekerta" adalah bahasa bangsa Nusantara, Indonesia maju terdahulu, bukan bahasa dan berasal dari "lndia" saat ini...
Salah kaprah dan propaganda "Kolonialis", telah menjadikan bangsa ini seolah hanya menjadi bangsa pengimport "Budaya" dan "Bahasa" bangsa lain
Saat menjajah....negri ini dinamai "Hindia Belanda" ...hanya dengan satu huruf..."H" hilang...sempurnalah... kata "india"...itu menjadi anggapan sumber budaya dan bahasa bangsa Nusantara..dan kita #HANYA diam.
Perhatikan :
Bahasa "Sansekerta" telah lama ada di Nusantara sejak ribuan tahun lalu di pergunakan leluhur kita, literasi kata "bahasa" (bhāṣa) itu sendiri berasal dari bahasa sanskerta berarti "logat bicara" ini asli bahasa kita
Penelitian bahasa Sanskerta oleh bangsa Eropa dimulai oleh Heinrich Roth(1620–1668), Johann Ernst Hanxleden(1681–1731)
Sir William Jones, berceramah kepada Asiatick Society of Bengal di Calcutta, 2 Februari 1786, berkata:
“..Bahasa Sanskerta, bagaimanapun kekunaannya, memiliki struktur yang menakjubkan...lebih sempurna daripada bahasa Yunani, lebih luas daripada bahasa Latin, lebih halus dan berbudaya daripada keduanya, namun memiliki keterkaitan yang lebih erat pada keduanya...baik dalam bentuk akar kata-kata kerja maupun bentuk tata bahasa...yang tak mungkin terjadi hanya secara kebetulan, sangat eratlah keterkaitan, sehingga tak ada seorang ahli bahasa yang bisa meneliti ketiganya...tanpa percaya bahwa mereka muncul dari sumber yang sama, yang kemungkinan sudah tidak ada.."
...muncul dari sumber yang sama, yang kemungkinan sudah tidak ada.."..kata kata terakhir William Jones ini membuktikan sumber "Sansekerta" itu bukan berada di tempat ia berceramah saat itu, yaitu India.
Dalam bahasa Indonesia saat ini ada sekitar 800 kata-kata dari bahasa Sanskerta antara lain :(cintā):cinta, agama (āgama), antariksa (antarikṣa), (arcā) patung, bahaya (bhaya), bejana (bhājana), bidadari (vidyādharī), Buddha (buddha) seseorang yang telah sadar, dsb...
Kata-kata ini ada yang diserap langsung dari bahasa aslinya,yang terserap dari bahasa Jawa dipakai sebagai pembentukan kata-kata baru disebut "Neologisme"...
...ing bausastrané Jawa Kuna kurang dari 50% dari itu,bauwarnané, asalé saka basa Sangskreta...
Catatan "Mainstream" saat ini tentang Sansekerta adalah terpublikasi nama "Panini" kemudian Devanagari, Bahasa Brahmin lebih tua lagi "Aramik"..itulah sumber sansekerta...benarkah..?
● Pāṇini, orang Pakistan pertama kali menulis tentang tata bahasa Sanskerta yang berjudul Aṣṭādhyāyī, buku tata bahasa Sanskerta karyanya ini memuat 3.959 hukum bahasa Sanskerta ditulis abad ke-5 SM
● Aksara Devanāgarī/dari bahasa Sanskerta "Kota Dewa" Aksara ini muncul dari aksara "Brahmi" dan mulai dipergunakan pada abad ke-11
● Aksara Brahmi, Aksara ini ditulis dari kiri ke kanan,menurut hipotesis aksara ini berdasarkan huruf "Aramea" digunakan Raja Asoka 270 SM - 232 SM
● Abjad/Bahasa Aramaik adalah yang dipakai masyarakat Aram, yang tinggal di daerah sekitar Mesopotamia/Siria, sekitar abad ke-10 SM, Kekaisaran Akhemenid 331 SM, Aram Kuno 500 SM, berubah menjadi Aram Imperial/bahasa kekaisaran
Perhatikan :
Semua yang di anggap sumber abjad/bahasa paling tua adalah thn 500 SM, Sementara di Nusantara jauh sebelum tahun itu telah berdiri tempat belajar ilmu pengetahuan, setingkat Pusat Universitas di antaranya ilmu bahasa ...."Sansekerta"
Tempat belajar setingkat Pusat Universitas bernama "Dharma Phala" di svarnadvipa di bangun sebelum "Nalanda" di Bihar India thn 427 M
Tokoh Dharmapala 670-580 SM lahir di Svarnadvipa adalah murid Dharmadasa, guru Dharmakirti dan guru-guru lainnya pelopor ajaran "Dharma/Dhamma" di tanah india
Jadi...Bahasa "Sansekerta" adalah bahasa asli Nusantara, di pelajari dan di pakai oleh leluhur kita menyebar ke 3/4 muka bumi bersamaan dengan penyebaran falsafah ajaran "Dharma/Dhamma", yang mendasari tumbuhnya 3 Agama besar di India...
Kita lah yang mewarnai India, dan #BUKAN sebaliknya, di tandai dengan bahasa "Sansekerta" dan falsafah dasar utama.."Dharma/Dhamma"...
Sementara kajian lainnya menyebut, bahwa Sansekerta adalah bahasa turunan dari bahasa Nusantara Kuno yang terjadi karena perkembangan budaya di Indonesia Nusantara Kuno masa itu.
Shyama Rao (1999) menulis buku-elektronik berjudul “The Anti-Sanskrit Scripture” dan dipajang di perpustakaan maya Ambedkar– yang sekarang sudah dihapus. Rao mengkritisi anggapan akademis bahwa bahasa Sansekerta adalah induk semua bahasa di Asia Selatan bahkan sampai Eropa Barat, demikian juga aksara Deva Nagari yang diakukan berasal dari negeri para dewa.
Rao menjelaskan banyak kelemahan bahasa Sansekerta dan aksara Deva Nagari. Bahasa Sansekrta yang sejak jaman kuno dipropagandakan oleh bangsa Aryan sebagai bahasa suci dan Bahasa Dewata serta induk bahasa-bahasa di Hindustan, bahasa Persia, Inggris dan Jerman itu mengandung kerumitan tatabahasa dan memiliki terlalu banyak karakter (alphabets). Rao membuat daftar perbandingan jumlah karakter bahasa-bahasa primitif (Sansekrta digolongkan primitif), sebagai berikut:
• Cina-Ming 40,545
• Cina-Sung 26,194,
• Cina-Han 9,353,
• Sumeria 1,200,
• Sansekrta 509, dan
• Heroglif Mesir 70 karakter.
Memang jauh lebih banyak jumlah karakter Cina atau Sumeria, namun di bahasa-bahasa itu setiap karakter mewakili satu makna grammatical suatu kata atau morpheme. Sedang dalam bahasa Sansekrta satu aksara Deva Nagari hanya melambangkan bunyi, cara baca, perubahan bentuk kata dan lain-lain aturan grammatical yang sangat rumit. Agak mirip dengan huruf-huruf Timur-Tengah seperti Hibrani dan Arab tetapi jauh lebih rumit. Belum lagi tatabahasanya yang tidak konsisten sebagai kelompok bahasa daratan Asia Selatan ke Barat. Bahasa Sansekrta tidak membedakan jenis kelamin, tidak mengenal “tenses”, tidak ada konsep “tunggal dan jamak”, serta tidak ada partikel, tetapi banyak sinonim dan homonim yang mirip dengan kelompok bahasa Nusantara. Anehnya kosa-kata bahasa Sansekreta banyak yang mirip bahasa-bahasa Asia Selatan, Asia Barat hingga Eropa Barat.
Kesimpulannya, bahasa Sansekrta dan aksara Deva Nagari adalah “rakitan” dari berbagai bahasa. Dia dirakit dengan menyampur atau menyomoti kosa-kata dan cara tulis berbagai bahasa yang ada di Daratan Hindustan ditambah dengan bahasa-bahasa pendatang dengan logat bangsa Aryan. Ini juga dibuktikan bahwa penutur aktif bahasa Sansekrta pada tahun 1921 tinggal sekitar 356 orang di seluruh India, Pakistan dan Bangladesh (sekarang), dan pada sensus tahun 1951 hanya ada 555 orang penutur Sansekreta dari 362 juta penduduk India.
Bahasa Jawa, Sunda, Bali dan Indonesia justru mengandung sekitar 50% kosa kata Sansekrta. Jangan-jangan justru orang Aryan menyomot sebagian bahasanya dari Bahasa Nusantara sebagai bagian bahasa rakitannya. Karena secara praktis, justru penutur Sansekreta itu jauh lebih banyak di Nusantara dibanding penutur di India. Apalagi orang Aryan sendiri justru memakai bahasa Hindi. Bukti paling telak adalah bahwa belum diketemukan satupun naskah kuno berbahasa Sansekrta dengan aksara Deva Nagari di India sebelum tahun 500 Masehi!
Bahasa yang dianggap dan dipropagandakan sebagai bahasa dewata, terbukti sebagai bahasa rakitan minoritas “penguasa” Hindustan. Sayangnya, propaganda Sansekrta sebagai induk bahasa-bahasa terlanjur mendarah daging bersamaan dengan banjir bandang imperialisme dan kolonialisme sebagai sumber anthropologi.
Teori Sansekrta Induk Bahasa (TSIB) terlanjur bercokol di memori intelektual sejarah, lingusistik dan sosial. Bahkan meracuni beberapa ahli komputer hingga pernah ada pendapat “Bahasa Sansekrta paling afdol untuk program komputer, karena mewakili banyak bahasa besar di dunia” tanpa dipertimbangkan kerumitan penulisan yang digunakan dan ketidakkonsistenan tatabahasanya. Justru bahasa komputer yang melanglang jaringan “artificial intelligent” bernama “Java Script” yang konon karena “fleksibelnya” the Javanese.
Seorang agronomist dari Haryana University, Profesor Ashok Kumar, sangat heran dengan bahasa Indonesia. Pertama dia heran sewaktu diberitahu bahwa “language” itu “bahasa”. Dia heran, karena di bahasa Hindi dan Bengali, “language” adalah “bhasa”. Dia lebih heran lagi ketika dalam bahasa Jawa berbunyi “boso”. Dia bingung, dari mana istilah “bhasa, boso, dan bahasa” itu berasal. Dia sebagai orang Hindu justru tidak merujuk Sansekrta, malah menduga dari bahasa Arab atau Urdu. Jika istilah “bhasa” itu, kalau benar-benar dari Sansekrta, mestinya di Persia, Jerman, Inggris, Latin, Yunani, juga mirip paling tidak ada konsonan “bhs”, tetapi kok jadi “lingua”?
Keheranan Prof. Kumar kedua adalah tentang jumlah bahasa di Indonesia yang ratusan, tetapi memiliki satu bahasa Indonesia yang dapat diterima oleh hampir semua orang Indonesia, karena antara bahasa Jawa, Sunda dan Bali itu banyak mengandung kosa-kata Kawi, sedang hampir 80% kosa kata bahasa Melayu asli punya akar kata Kawi. Kenyataan itu sangat berbeda dengan negerinya, India. Negerinya punya keragaman ekologi dan ekosistem yang spektakuler. Mulai dari yang bersalju abadi (Himalaya) sampai yang bergurun (Deccan dan Punjab). Dari yang daratan utuh (Hindustan) hingga kepulauan (Andaman). Maka Prof. Kumar berkhayal, seandainya India memiliki bahasa nasional yang bisa diterima oleh seluruh bangsa seperti Bahasa Indonesia, betapa kuat negaranya! Tetapi dia justru heran kepada Indonesia yang tidak maju-maju. “What’s wrong with the Indonesian?” katanya.
Ternyata dari Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia masih merupakan pengikat paling kuat persatuan dan kesatuan Indonesia . Bahasa konon merupakan salah satu ekspresi kebudayaan bangsa penuturnya.
Sebuah artikel di majalah ilmiah populer HortScience menyebut tentang asal-usul tanaman “tales-talesan” yang ada di Oceania, Polynesia hingga Hawaii lalu menyebar ke Jepang, Cina dan Korea, yang diduga dulu-dulunya dibawa oleh penjelajah lautan kuno dari Nusantara sebagai “bekal” bahan makanan. Dan dugaan itu lebih ketika ada siaran NHK (TV Jepang) akhir tahun 2003 yang secara kebetulan membahas kebudayaan bangsa Hawaii. Di siaran itu ada tarian tradisional yang diucapkan oleh pembawa acara sebagai: “Kokonatsu no odori” (Tarian pohon kelapa) yang tulisan bahasa Hawaiinya ada kata “kalappa”. Nusantara telah punya bahasa yang satu, berarti budayanya juga satu.
Jadi, bahasa manakah yang bahasa Induk? Sansekrta atau bahasa-bahasa Nusantara yang diwakili oleh Bahasa Indonesia? Sayangnya bahwa dalam sejarah penyebaran manusia, bangsa Nusantara terlanjur dianggap sebagai pendatang dari Indo-Cina. Meskipun pada beberapa literasi tidak ditemukan sama sekali kosa kata Indonesia atau Jawa yang mirip dengan kosa kata Khmer atau Burma. Yang ada justru dulu raja-raja Kamboja memakai nama akhir Warman dan kebetulan pula salah seorang bangsawan dari daerah Pamalayu di Majapahit bernama Adityawarman. Sementara nama raja Kamboja sekarang justru Norodom Sihanouk yang sama sekali tidak mirip dengan satu pun kata Melayu, Jawa, Sunda dan Bali.
Yuk bisa kita mulai dengan langkah awal yang paling sederhana, misalnya melalui etika santun berperilaku di area publik, menggunakan bahasa ibu/daerah dalam berkomunikasi untuk percakapan non formal. Mengenakan baju/kelengkapan berbusana sbg identitas kearifan lokal. Belajar (lagi) menggunakan aksara Nusantara sebagai pendamping keterangan dalam Bahasa Nasional.
Keragaman suku, bahasa, adat istiadat dan nilai kearifan ini adalah bagian dari jati diri bangsa ini. Kita hormati "tamu" negeri ini, selayak dan sepatutnya mereka menempatkan dirinya sebagai siapa, dimohon untuk menyesuaikan. Bagi yang berkehendak lain, mari kita antar dan tunjukkan pintu keluarnya. 🙏
6 notes · View notes
djiwoastra · 4 years ago
Text
Istilah Jambudwipa diperkenalkan oleh bangsa Asoka pada abad ke-3 SM, seperti tertulis dalam prasasti Mysorean. Jambudwipa adalah negeri impian yang diramalkan dan menjanjikan pengharapan. Jambudwipa digambarkan sebagai wilayah kepulauan yang melimpah tanaman jambu sukradarsono atau dipa nirmala. Bentang wilayahnya seluas cakrawala hingga pemimpinnya diberikan gelar Cakrawati. Lanskap alamnya bergunung hingga delapan puluh empat ribu gugusan dataran tinggi dengan Gunung Meru sebagai puncak porosnya. Jambudwipa adalah wilayah di mana manusia hidup dan merupakan satu-satunya tempat dimana makhluk dapat mencapai pencerahan dengan terlahir sebagai manusia. Hanya di Jambudwipa, konon manusia mampu memperoleh anugerah dharma melalui empat kebenaran mulia, menghayati kehidupan dalam delapan elemen kosmik hingga sempurna terbebas dari siklus hidup dan mati.
1 note · View note
djiwoastra · 4 years ago
Text
DJONG
Kapal Jung adalah sejenis kapal layar, yang banyak terdapat di perairan Asia Tenggara sampai ke pantai timur Afrika. Djong (juga disebut jong atau jung) adalah jenis kapal layar kuno yang berasal dari Jawa, dan digunakan secara umum oleh pelaut Jawa dan Melayu.
Djong digunakan terutama sebagai kapal penumpang dan kapal kargo, dapat mencapai Ghana atau bahkan Brazil di zaman kuno. Bobot muatan rata-rata adalah 4-500 ton, dengan kisaran 85-700 ton. Pada zaman Majapahit kapal jenis ini digunakan sebagai kapal perang, tetapi masih dominan sebagai kapal angkut.
Anthony Reid menyebutkan, istilah Jung dipakai pertama kali dalam catatan-catatan Rahib Odorico, John de Marignolli, dan Ibn Battuta pada abad ke 14. Asal usul kata “jung” menurut Manguin adalah dari bahasa Jawa sebagai sebutan kapal, hal ini dapat ditelusuri dalam sebuah prasasti Jawa kuno abad ke 9.
Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa.
Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu.
Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik - belakangan disebut sebagai "Kapal Borobudur".
Konstruksi perahu Nusantara sangat unik. Lambung perahu dibentuk sebagai menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini dilengkapi dengan dua batang kemudi yang menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat (layar tanja) atau layar lateen dengan sekat bambu (layar jung).
Kapal jung Jawa dibuat menggunakan kayu jati pada saat laporan ini (1512), pada waktu itu jung Cina masih menggunakan kayu lunak sebagai bahan utamanya. Lambung kapal Jawa dibentuk dengan menggabungkan papan ke lunas dan kemudian ke satu sama lain dengan semat kayu, tanpa menggunakan rangka (kecuali untuk penguat berikutnya), maupun baut atau paku besi.
Papannya dilubangi oleh bor tangan dan dimasukkan pasak ke dalam papan-papan itu, tidak terlihat dari luar. Kapal itu juga sama-sama lancip pada kedua ujungnya, dan membawa dua kemudi yang mirip dayung dan layar lateen.
Ini sangat berbeda dari kapal Cina, yang lambungnya diikat oleh tali dan paku besi ke rangka dan ke sekat yang membagi ruang kargo. Kapal Cina memiliki kemudi tunggal di buritan, dan (kecuali di Fujian dan Guangdong) mereka memiliki bagian bawah yang rata tanpa lunas.
Jung Jawa yang pertama kali digambarkan oleh Portugis adalah sebuah kapal yang mereka tawan pada tahun 1511. Orang-orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal jung-jung raksasa tersebut.
Dari Kerajaan Jawa datang kapal-kapal Jung raksasa ke kota Malaka. Bentuknya amat berbeda dibandingkan dengan kapal-kapal kita, terbuat dari kayu yang sangat tebal, sehingga apabila kayu ini menua maka papan-papan baru dapat dilapiskan kembali di atasnya.
Ukuran dan konstruksi jung Jawa membutuhkan keahlian dan material yang belum tentu terdapat di banyak tempat, oleh karena itu jung Jawa raksasa hanya di produksi di 2 tempat di sekitar Jawa. Tempat itu adalah di pantai utara Jawa, di sekitar Cirebon dan Rembang-Demak (di selat Muria yang memisahkan gunung Muria dengan pulau Jawa), dan juga di pesisir Selatan Kalimantan, terutama di Banjarmasin dan pulau-pulau sekitarnya.
Tempat ini sama-sama memiliki hutan jati, tetapi galangan kapal di Kalimantan tetap mendatangkan kayu jati dari Jawa, sedangkan Kalimantan sendiri menjadi pemasok kayu ulin. Pegu (sekarang Bago), yang merupakan pelabuhan besar pada abad ke-16, juga memproduksi jong, oleh orang Jawa yang menetap disana.
Buku abad ke-3 berjudul "Hal-Hal Aneh dari Selatan" (南州異物志) karya Wan Chen (萬震) mendeskripsikan sebuah kapal yang mampu membawa 700 orang bersama dengan lebih dari 10.000 "斛" kargo (menurut berbagai interpretasi, berarti 250-1000 ton).
Kapal ini bukan berasal dari Cina, namun mereka berasal dari K'un-lun (berarti "kepulauan di bawah angin" atau "negeri Selatan"). Kapal-kapal yang disebut K'un-lun po (atau K'un-lun bo), yang besar lebih dari 50 meter panjangnya dan tingginya di atas air 4-7 meter. Dia menjelaskan desain kapal sebagai berikut:
Keempat layar itu tidak menghadap ke depan secara langsung, tetapi diatur secara miring, dan diatur sedemikian rupa sehingga semuanya dapat diatur ke arah yang sama, untuk menerima angin dan mengarahkannya. Layar-layar yang berada di belakang angin paling banyak menerima tekanan angin, melewatkannya dari satu sisi ke sisi yang lain, sehingga layar dapat memanfaatkan kekuatan angin.
Jika sedang badai, (para pelaut) mengurangi atau memperbesar permukaan layar sesuai dengan kondisi. Layar miring ini, yang memungkinkan layar untuk menerima angin dari satu dan lainnya, menghindarkan kecemasan yang terjadi ketika memiliki tiang tinggi. Dengan demikian kapal-kapal ini berlayar tanpa menghindari angin kencang dan ombak besar, dengan itu mereka dapat mencapai kecepatan tinggi. — Wan Chen,
Pada 1178 M, petugas bea cukai Guangzhou, Zhou Qufei, menulis dalam Lingwai Daida tentang kapal-kapal negeri Selatan:
Kapal yang berlayar di laut Selatan (laut Natuna Utara) dan Selatannya lagi (Samudera Hindia) seperti rumah raksasa. Ketika layarnya mengembang mereka seperti awan besar di langit. Kemudi mereka panjangnya mencapai puluhan kaki. Sebuah kapal dapat membawa beberapa ratus orang, dan bekal beras untuk setahun.
Babi diberi makan di dalamnya dan anggur difermentasikan saat berlayar. Tidak ada laporan dari orang yang masih hidup atau sudah meninggal, bahwa mereka tidak akan kembali ke daratan saat mereka sudah berlayar ke lautan yang biru.
Pada 1322 M, rahib Odoric dari Pordenone melaporkan bahwa kapal Nusantara dari tipezunc[um] membawa sekitar 700 orang, baik pelaut maupun pedagang. Kerajaan Majapahit menggunakan jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya.
Tidak diketahui berapa tepatnya jumlah total jong yang digunakan oleh Majapahit, tetapi mereka dikelompokkan menjadi 5 armada. Jumlah terbesar jong yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 jong yang disertai dengan malangbang dan kelulus yang tak terhitung banyaknya, yakni ketika Majapahit menyerang Pasai.
Setiap kapal berukuran panjang sekitar 70 meter, berat muatan sekitar 500 ton dan dapat membawa 600 orang. Kapal ini dipersenjatai meriam sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang berukuran kecil.
Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, Raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa menggunakan kapal-kapal jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno:Jong Sasanga Wagunan ring Tatarnagari tiniru).
Kapal hibrida ini mencampurkan teknik China dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan buritan tumpul/datar (transom stern).
Niccolò da Conti dalam perjalanannya di Asia tahun 1419-1444, mendeskripsikan kapal yang jauh lebih besar dari kapal Eropa, yang mampu mencapai berat 2.000 ton, dengan lima layar dan tiang. Bagian bawah dibangun dengan tiga lapis papan, untuk menahan kekuatan badai. Kapal tersebut dibangun dengan kompartemen, sehingga jika satu bagian hancur, bagian lainnya tetap utuh untuk menyelesaikan pelayaran.
Gambaran tentang jung Jawa secara spesifik dilaporkan Alfonso de Albuquerque, komandan armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511. Orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal usul jung-jung terbesar. Kapal jenis ini digunakan angkatan laut kerajaan Jawa (Demak) untuk menyerang armada Portugis.
Disebutkan, jung Jawa memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal kapal Portugis. Bobot muatan jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis. Jung terbesar dari Kerajaan Demak bobot muatannya mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Jawa untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513.
Pada Januari 1513 Pati Unus mencoba mengejutkan Malaka, membawa sekitar 100 kapal dengan 5.000 tentara Jawa dari Jepara dan Palembang. Sekitar 30 dari mereka adalah jung besar seberat 350-600 ton (pengecualian untuk kapal utama Pati Unus), sisanya adalah kapal jenis lancaran,penjajap, dan kelulus. Kapal-kapal itu membawa banyak artileri yang dibuat di Jawa.
Meskipun dikalahkan, Patih Unus berlayar pulang dan mendamparkan kapal perangnya sebagai monumen perjuangan melawan orang-orang yang disebutnya paling berani di dunia. Ini memenangkannya beberapa tahun kemudian dalam tahta Demak. Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, 22 Februari 1513, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang diarahkan Pate Unus, mengatakan:
"Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa seribu orang tentara di kapal, dan Yang Mulia dapat mempercayaiku ... bahwa itu adalah hal yang sangat luar biasa untuk dilihat, karena Anunciada di dekatnya tidak terlihat seperti sebuah kapal sama sekali.
Kami menyerangnya dengan bombard, tetapi bahkan tembakan yang terbesar tidak menembusnya di bawah garis air, dan (tembakan) esfera (meriam besar Portugis) yang saya miliki di kapal saya berhasil masuk tetapi tidak tembus; kapal itu memiliki tiga lapisan logam, yang semuanya lebih dari satu koin tebalnya. Dan kapal itu benar-benar sangat mengerikan bahkan tidak ada orang yang pernah melihat sejenisnya.
Butuh waktu tiga tahun untuk membangunnya, Yang Mulia mungkin pernah mendengar cerita di Malaka tentang Pati Unus, yang membuat armada ini untuk menjadi raja Malaka." — Fernao Peres de Andrade, Suma Oriental.
Ketika orang Portugis menguasai Malaka, mereka mendapat sebuah peta dari kapten Jawa, yang mana Albuquerque mengatakan:
"... peta besar seorang Nahkoda Jawa, yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan tanah Brazil, Laut Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, navigasi orang Cina dan Gom, dengan garis rhumb dan rute langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir (hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan satu sama lain. Bagiku, Tuan, ini adalah hal terbaik yang pernah saya lihat, dan Yang Mulia akan sangat senang melihatnya memiliki nama-nama dalam tulisan Jawa, tetapi saya punya saya orang Jawa yang bisa membaca dan menulis, saya mengirimkan karya ini kepada Yang Mulia, yang ditelusuri Francisco Rodrigues dari yang lain, di mana Yang Mulia dapat benar-benar melihat di mana orang Cina dan Gore (Jepang) datang, dan tentu saja kapal Anda harus pergi ke Kepulauan Cengkih, dan di mana tambang emas ada, pulau Jawa dan Banda, tindakan seperiodenya, dari siapa pun sezamannya, dan tampaknya sangat mungkin bahwa apa yang dia katakan adalah benar..." — Alfonso de Albuquerque, Surat untuk raja Manuel I dari Portugal, April 1512.
Takjub akan kekuatan kapal ini, Albuquerque mempekerjakan 60 tukang kayu dan arsitek kapal Jawa untuk bekerja di Malaka. Setidaknya 1 jong dibawa ke Portugal, untuk digunakan sebagai kapal penjaga pantai di Sacavem dibawah perintah raja John III.
Giovanni da Empoli (pedagang Florentine) mengatakan bahwa di tanah Jawa, jung tidak berbeda kekuatannya dibanding benteng, karena ia memiliki tiga dan empat lapis papan, satu di atas yang lain, yang tidak dapat dirusak dengan artileri. Mereka berlayar bersama dengan wanita, anak-anak, dan keluarga mereka, dan semua orang menjaga kamarnya sendiri.
Hanya saja jung Jawa raksasa ini, menurut Tome Pires, lamban bergerak saat bertempur dengan kapal-kapal portugis yang lebih ramping dan lincah. Dengan begitu, armada Portugis bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka.
Tome Pires pada 1515 diberitahukan bahwa penguasa Kanton (sekarang Guangzhou) membuat hukum yang mewajibkan kapal asing berlabuh di sebuah pulau di tepi pantai. Dia bilang orang China membuat hukum tentang pelarangan masuknya kapal ke Kanton ini karena mereka takut akan orang Jawa dan Melayu, karena mereka yakin satu buah kapal jong milik Jawa atau Melayu bisa mengalahkan 20 kapal jung China.
China mempunyai lebih dari 1000 jung, tetapi satu kapal jong berukuran 400 ton dapat menghancurkan Kanton, dan penghancuran ini akan membawa kerugian besar bagi China. Orang China takut jika kota itu dirampas dari mereka, karena Kanton adalah salah satu kota terkaya di China.
Pada 1574, ratu Kalinyamat dari Jepara menyerang Melaka Portugis dengan 300 kapal, yang meliputi 80 jong dengan tonase 400 ton dan 220 kelulus. Penyerangan dihentikan setelah perbekalan menipis dan Portugis berhasil membakar 30 jong. Perlu dicatat bahwa pada saat itu kapal-kapal Eropa telah berkembang menjadi galleon seberat 400-500 ton.
Jung pada abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya digunakan pada pelaut Jawa. Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam), Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar.
Dalam kata pengantar antologi cerpen berjudul jung Jawa oleh Rendra Fatrisna Kurniawan yang diterbitkan Babel Publishing tahun 2009, disebutkan hilangnya tradisi maritim Jawa tersebut adalah akibat kebijakan kerajaan Jawa sendiri setelah kekalahan mereka terhadap Portugis dalam penyerbuan Malaka, yang kemudian lebih memusatkan pada kekuatan angkatan darat.
Serta, sikap represif Amangkurat I dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Amangkurat I memerintahkan agar pelabuhan ditutup dan kapal-kapal dihancurkan agar mencegah kota-kota pesisir menjadi kuat dan memberontak. Ini menghancurkan ekonomi Jawa dan kekuatan maritimnya yang dibangun sejak zaman Singhasari dan Majapahit, dan Mataram berubah menjadi negara agraris.
Hilangnya selat Muria juga menjadi faktor hilangnya Jung Jawa. Galangan kapal besar sepanjang Rembang-Demak menjadi "terdampar" di tengah daratan tanpa akses ke laut. Pada tahun 1657 Tumenggung Pati mengusulkan penggalian jalur air baru dari Demak ke Juwana, tetapi sepertinya tidak dilakukan.
Ini membuktikan bahwa pada saat itu selat Muria sudah hilang atau sudah mengecil. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar dan tidak lagi memiliki galangan kapal besar.
Ketika VOC mendapatkan pijakan di Jawa, mereka melarang penduduk setempat untuk membangun kapal dengan tonase lebih dari 50 ton, dan menugaskan pengawas Eropa ke setiap galangan kapal. Hal ini sekaligus menandai meredupnya pamor identitas jatidiri bangsa pelaut nusantara.
3 notes · View notes