Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Tak ada jaminan dalam cinta, Puan. Karena itulah, ia hanya layak bagi mereka yang berani menanggungnya. Turns out, selama ini aku tak ubahnya pecundang.
Cinta mampu keluarkan sisi yang tak kau sadari ada padamu. Ia menghujam kuat sekaligus begitu rapuh, ia mudah goyah jika dan hanya jika tak kau sandarkan pada Penguasa Hidup --Dan Matimu.
Aku bebas. Boleh jadi kini giliran kau jadi pecundangnya, Puan.
Ajaib, bukan?
21 notes
·
View notes
Text
youtube
Ust. Salim pernah bilang agar kita punya (setidaknya) satu Sahabat yang dijadikan benchmark. Dijadikan idola, sebab nanti kita dikumpulkan dengan yang kita cinta, kalau yang dicinta adalah orang-orang ndajelas, bagaimana mau selamat?
Di antara silaunya nama Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan banyak sahabat lain dengan berbagai keutamaan, nama Nu'aiman memberi harap bagi saya: semoga sungguh ada surga jalur tawa.
Nu'aiman sedikit banyak membuat saya bernafas lega, ternyata ada sahabat model begini! Ia dicintai Rasulullah!
Saya akui, di lingkaran, saya termasuk golongan selo bin santuy, rahang enteng sekali mengomentari ini dan itu, ngebanyolin ini dan itu, tak terhitung berapa kali guru ngaji kami geleng-geleng sambil berkata "kelompok ini nerbener deh, banyak amat distraksinya, ketawa mulu, guru ngajinya aja dibully" (Maaf Teh, jailnya kami belum ada apa-apanya dibanding jailnya Nu'aiman terhadap Rasulullah) 😂😂😂
Nu'aiman sangat terbuka, seada-adanya. Saya jadi ingat, pernah dengan songongnya terang-terangan minta agar boleh ganti guru ngaji "Teh, Teteh ga bosen sama aku? kita udah sekian tahun loh, aku kok bosen sama teteh ya" 😂 Beruntung guru ngaji saya dikaruniai kesabaran dan kearifan sehingga seabsurd apapun saya, sebanyak apapun perbedaan pandangan kita (oya jelas, namanya juga manusia, kita pernah berselisih paham mulai soal buku Pram sampai soal membela teman), beliau punya cara sendiri memberi treatment sesuai karakter saya. (Teh, Meski bosan ku tetap sayang teteh, dan semoga Allah sayang kita wkwk)
Nu'aiman suka sekali minuman keras 😂 tapi ia juga seorang Ashabul Badr dan kita tahu bahwa ahli Badr bukanlah orang sembarangan. Nu'aiman setia membersamai dakwah Rasulullah. Tentulah, saya mau mencontoh kebaikan Nu'aiman, berusaha berjalan di atas kebaikan sebanyak apapun dosa yang telah saya lakukan, berusaha membersamai siapapun yang mencintai Allah dan rasul-Nya, meski orangnya berganti, atau orangnya lu lagi lu lagi.
Nu'aiman selalu membuat Rasulullah tertawa. Tentulah, saya mau mencontoh kebaikan Nu'aiman, meski amal saya tak seciamik teman-teman, inovasi tak sebrilian kanan-kiri, saya ingin membersamai mereka dengan keceriaan. Jika tak bisa menyamai amal-amal mereka, minimal bisa menyuplai meme agar setidaknya ada tawa di wajah-wajah cantik yang selalu mikirin umat itu wkwkwkw.
Nu'aiman adalah pembawa kegembiraan, pantaslah Rasulullah pernah berkata “Nu’aiman akan masuk surga sambil tertawa, karena ia sering membuatku tertawa.”
40 notes
·
View notes
Text
Terampil Menghabiskan Uang
Ngaku deh, dikasih uang berapapun, pasti habis kan? Bedanya, ada yang habis untuk menyenangkan hati orang tua, habis untuk sedekah, habis menjadi lembar saham, habis menjadi ilmu, habis menjadi buku-yang-tak-dibaca, habis menjadi pakaian mode terbaru, atau malah habis untuk boba –yang ujung-ujungnya cuma dibuang ke toilet.
Betul, uang bukan segalanya, tapi ya gabisa tutup mata, hidup butuh uang.
Betul, uang pasti habis, tapi habisnya buat apa, kita kok yang menentukan. #preach wkwkwkw.
Ini perkara serius ternyata, banyak perceraian terjadi karena faktor ekonomi, entah manajemen keuangan atau manajemen syukurnya yang kurang bagus (naudzubillah).
Lalu coba tengok apa kata Dirjen Penyedia Perumahaan, ia bilang milenial sulit memiliki rumah. Faktornya banyak, salah satunya karena milenial konsumtif :’) gue walau ga setuju-setuju amat, sedikit banyak tetap ngangguk membenarkan, karena emang ada di antara generasiku yang gaya idupnya ga sesuai kantong.
Oke, milenial yang beneran tajir banyak, sayangnya yang maksain-diri lebih banyak lagi. Pada generasi ini, ada fenomena FOMO (fear of missing out) yang semakin menyulitkan untuk hidup on budget, alokasi pendanaan lebih banyak berorientasi pada want, bukan need, seremnya lagi ada aja yang bela-belain ngutang demi konten. Etapi ga semuanya gitu kok, sebab pada generasi ini juga ada fenomena sandwich generation di mana dia harus menanggung tak hanya anak istri tapi juga keluarga besarnya, moga Allah berkahi.
(Ini paragraph intermezzo, tetiba keinget di tengah proses nulis, agak panjang jadi mangga di-skip).
Ngemeng-ngemeng soal rumah, gue takjub melihat bagaimana Allah mampukan orang-orang untuk punya rumah. Setelah ku liat-liat, nampaknya ini bukan soal gede-gedean penghasilan, tapi emang soal ikhtiar pake cara yang Allah suka. Beneran deh.. Ustadz tahsinku suatu ketika pernah ngomong begini ke kami di sesi taujih “kalo ngandelin gaji, duh berapa sih gaji guru ngaji, tapi kita ga ngandelin gaji, kita andelin Allah. Dan alhamdulillah, kalo dipikir-pikir, saya juga ga nyangka bisa punya rumah” beuh… magis! :’)
Lalu ada lagi, seorang kakak (yeu, ngaku-ngaku aje lu yan), pengusaha Brand Fashion Arfa, Mbak Syifa namanya. Dia santai aja tuh pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain selama bertahun-tahun, ga maksakeun. Tahun lalu Mbak Syifa dan suami melaksanakan ibadah haji (ya udah pasti ONH plus lah yak biar antre-nya ga selelet reguler, dan sudah tentu berkali lipat biayanya dibanding haji reguler). Katanya, soalnya Allah ga memerintahkan kita ‘punya’ rumah, tapi kalo haji jelas-jelas jadi rukunnya islam. Takjub sih gue, sungguh ini mindset mahal cui, karena zuzur kalo gue di posisinya belom tentu sanggup memenangkan haji dibanding ego ingin-segera-punya-rumah wkwk. And guess what? Tahun ini Allah mampukan Mbak Syif beli rumah bekas, cash! mencoba menghindari riba katanya :’)
Berkah. Kita cari berkah. Saldo banyak kalo ga ada ridho Allah, ya bakal abis ga jelas juntrungannya. Receh, jika Allah berkahi, akan panjang manfaatnya.
Well, gue bukan pakar keuangan haha, makanya karena bodoh soal alokasi duit, gue cari tau lah pegimane idealnya manajemen keuangan. Ada banyak banget metodenya, macemnya juga banyak, ada yang buat single, pasutri, keluarga dengan anak, silakan digali sendiri, sebab hari ini ga mau ngomongin teknis (ga bisa juga sih wkwk ga kredibel).
Gue nemu ulasan singkat ini dari salah satu bukunya Ust. Salim Fillah yang (menurut gue sih) harus-banget dijadiin mindset perihal menghabiskan uang. Yok lihat contohnya langsung dari sosok yang harus kita cinta melebihi kecintaan pada diri sendiri, sosok yang telah Allah jadikan pada dirinya suri tauladan terbaik: Rasulullah Muhammad saw.
Sudah jadi rahasia umum kalo gaya hidup Rasulullah sederhana. Rumahnya sederhana, perkakas perabot di dalamnya juga sederhana –dan minimalis: kalo ga fungsional, ga akan ada di dalam rumah Rasul. Gaya hidup minimalis ala Marie Kondo sudah Rasulullah contohkan 1400 tahun lalu :’)
Apa-apa yang menempel di tubuhnya seperti pakaian dan sandal, sederhana jugak, jika sobek maka Rasulullah akan menjahitnya sendiri. Apakah penampilan Rasulullah terlihat seperti gembel? Oh tentu tidak, cek saja di berbagai riwayat shahih, Rasulullah ganteng, eh, maksudnya rapi. Tetap nikmat dipandang dalam kesederhanaannya. Also, he had a good taste, beliau suka memakai baju dari kain hibarah. Rasulullah pandai merawat dirinya, ia sering menyisir dan minta disisirkan oleh Aisyah. Salah, salah banget kalo ukhti-sistur mentang-mentang gamau tabarruj lantas asal berpakaian, apalagi kalo ditambah (maaf) bau. Baiknya nda begitu ya, sebab setiap kita adalah human representative-nya islam :’) kata umiku, berpenampilan baik itu salah satu cara kita menghormati diri sendiri. Santai, gak harus pake maxi dress Zara, outer Gucci, kerudung Dian Pelangi, lengkap dengan kets Nike –GAK WOY, GAK GITU WKWK ngausah menghamba pada merk.
Makanan, berkali-kali kita dengar Rasulullah hanya sahur dengan kurma dan air zam-zam. Rasulullah menyukai paha kambing, tapi jangan lupa juga bahwa Rasulullah jauh lebih sering memakan sya’ir yakni gandum dengan mutu rendah, tapi cukup gizi. See? Urusan perut, sederhanakan saja, yang penting gizinya terjaga. Ga perlu keju tiap hari, negeri kita kaya akan ikan teri Bung, sumber protein dan kalsium yang affordable.
Sekarang, mari cek fasilitas yang beliau gunakan untuk memudahkan ibadah (dalam hal ini dakwah dan jihadnya). Kendaraan, rasulullah punya unta putih yang tangkas, gesit, sehat! Kuda beliau juga merupakan yang tercepat, saking cepatnya, suatu ketika ada kegaduhan di pinggir kota, tim ronda hendak memeriksa namun Rasulullah sudah kembali dengan kudanya sambil berkata “tenanglah kalian, tidak ada apa-apa” ulala bole juga tu kuda. Pedang Rasulullah, jangan ragukan kualitas logamnya, ditempa sedemikian rupa, tajam bukan buatan, bahkan ada yang bilang beberapa kilogram emas dibutuhkan untuk melapisi dan menciptakan efek kilat saat tertimpa matahari (berguna untuk memberi kode dan aba-aba kepada pasukan di kejauhan). Apakah unta, kuda, sampai pedang Rasulullah tadi adalah sesuatu yang murah? Tentu tidak, Puan Muda.
Jadi, sudah bisa simpulkan bagaimana Rasulullah menghabiskan uangnya?
Beliau alihkan materi jadi fasilitas yang memudahkan ibadah, dakwah dan jihadnya. Beliau alihkan jadi hal yang menitikberatkan kualitas.
Aih, menjadi mukmin ternyata mahal ya? Hitung saja berapa biaya les renang, berkuda, dan memanah. Tambah lagi biaya sekolah sampai doktor, les Bahasa, privat mengemudi, seminar ini-itu, ikut course programing atau menjajal kemampuan desain (beli gadget spek bagus, beli aplikasi yang ori 😂), atau bahkan kursus jahit dan masak (bila memang ga ada SDM yang bisa, sedangkan kemampuan tersebut sudah diperlukan dakwah sampai tahap urgent, sikat lah, investasikan waktu dan uang untuk skill tersebut).
Benar ternyata, jadi mukmin harus kaya cui 😂 (mari saling doakan? wkwk), dan jangan sampai tertukar: letakkan dunia di tangan, sedang akhirat di hati.
557 notes
·
View notes
Text
Bahasa Cinta
Pas bulan madu puluhan tahun lalu, bapake sempet tuh ngajak emak nonton. Bukan nonton bioskop atau teater panggung, tapi nonton wayang wkwkwkw.
Kalo kamu abis baca buku bagus, atau nonton film seru, atau gemar akan suatu hal, pasti pernah kan ngerasa seluruh dunia perlu mencicipi keseruan itu juga?! Apalagi ini, istri sendiri, ada perasaan menggebu menunjukkan keseruan nonton wayang yang etnik unik otentik ciamik, semangat betul doi memboyong istrinya nonton pentas wayang eksklusip ke Taman Mini Indonesia Indah.
Tau apa yang ibuku lakukan di malam syahdu dalam ruang ber-AC itu? Tidur. Ya gimana, sudah ditahan-tahan agar tetap melek, tapi berapa kalipun dicoba ibu tetep gabisa menemukan keseruan nonton wayang, malah kayak dininabobokan.
Di awal-awal pernikahan, ibu semangat sekali masak menu sarapan ini dan itu. Ya masaknya yang anti-mainstream lah namanya juga unjuk gigi, lagian sejak kecil, ibu jarang sarapan langsung dengan menu berat macam nasi begitu, segelas teh dan kue sudah biasa ia sebut sebagai sarapan.
Makin aneh masakannya makin besar juga cintanya, begitu barangkali maksud ibu. Awalnya ayah oke-oke saja, tapi tak bisa dipungkiri perutnya masih sangat Indonesia, kepergoklah tu ternyata ayah masih beli sarapan nasi di luar. NGAHAHAH.
Nampaknya ibu lupa bahwa ia menikahi laki sunda, dikasih makan nasi tempeh sambel dan beberapa lembar daun mentah (baca: lalapan) udah cukup kok wk. Makin pedes sambelnya, makin lahap, dijamin!
Amboi, begitulah manusia, ingin menunjukkan cintanya yang sebesar ini dan itu, ingin orang yang dikasihinya ikut merasa begini dan begitu, seringnya masih menggunakan standar pribadi dan bukan standar komunikan, padahal kan bahasa cinta setiap orang berbeda-beda ya?
53 notes
·
View notes
Text
Apa sih yang kau cari?
Dihantui kekhawatiran jika anaknya tak akan jadi putra mahkota, Permaisuri Pangrenyep bersiasat menemani permaisuri lain melahirkan anak pertamanya. Ia berjaga. Ketakutannya terbukti, permaisuri itu juga melahirkan anak lelaki, bayi ini lebih berhak menjadi penerus tonggak Kerajaan Galuh.
Akal sehatnya ditutup cinta membara, ibu mana yang sanggup melihat anaknya tak jadi yang utama? Mentok menjadi bayang-bayang seperti dirinya. Perih, tak sanggup Pangrenyep membayangkannya.
Ia nekat menukar bayi itu dengan seekor anjing, ia beritakan kepada khalayak bahwa Permaisuri utama telah melahirkan seekor anjing! Sedang bayi laki-laki itu, ia hanyutkan ke sungai.
Ciung Wanara bukan satu-satunya bayi yang dihanyutkan ke sungai. Ada yang lebih sedih: dihanyutkan dengan tangan ibunya sendiri.
...
Benarkah ada ibu yang tega menghanyutkan darah dagingnya sendiri?
Yukhabid namanya. Kandungannya sudah besar saat Raja negara itu senewen memerintahkan bala tentara agar membunuh siapapun bayi laki-laki keturunan Bani Israil. Yukhabid berusaha menyingkir dari keramaian, melahirkan diam-diam, lantas menghanyutkan Bayi Musa ke Sungai Nil.
Benarkah ada ibu yang tega menghanyutkan darah dagingnya sendiri?
Kunti namanya. Jauh sebelum melahirkan Yudhistira, Bima, dan Arjuna, ia pernah hamil tanpa hubungan badan, seperti Maryam --tapi ini fiksi, sedang kisah Maryam adalah sejarah.
Kunti dihadiahi anak oleh Dewa. Gadis mana yang tak panik saat hamil tanpa suami, apalagi ia putri dari seorang raja yang mahsyur kuasanya. Mau dikemanakan wajah kerajaan? Maka begitu selesai melahirkan bayi laki-laki lewat telinganya (iya lewat telinga), ia bergegas pergi ke sungai, menghanyutkan Bayi Karna.
...
Aku tahu, aku tahu, tak adil rasanya membandingkan Ibu Musa dan Ibu Karna sebab salah satunya sejarah (fakta) sedangkan satunya hikayat lama yang diwariskan dari nenek moyang (fiksi). Tapi boleh kan aku ngoceh dulu?
Sampai sini kita sudah dapatkan dua ibu yang sama-sama ‘membuang’ anaknya ke sungai dengan tangan mereka sendiri. Sekarang pertanyaannya, apa yang membedakan keduanya?
Betul, motif. Innamal a’malu binniat.
Ibu Musa membuang anaknya dalam rangka memelihara nyawa anak itu. Kala itu, pilihannya adalah ikhtiar paling rasional. Ibu Musa tak punya banyak pilihan, yang ia yakini: ia tak rela bila bayinya harus mati konyol di tangan Pasukan Pemburu Bayi suruhan Fir’aun.
Sedangkan Kunti, Ibu Karna, membuang anaknya dalam rangka memelihara dirinya sendiri. Ia tak sanggup hidup dengan cemooh orang, mana ada manusia yang akan percaya bahwa anak itu diberikan oleh Dewa..
Maka kehidupan kedua perempuan ini bergulir berbeda. Ibu Musa memenangkan sayembara menjadi ibu susu bagi Musa di dalam kerajaan Firaun: ia bertemu lagi dengan anaknya, melihat tumbuh kembang anaknya, bahkan membersamai perjuangan anaknya, diselimuti cinta kasih.
Sedangkan Kunti, ia hidup tak tenang berkubang tangis penyesalan. Saat akhirnya memilih untuk membuka tabir kejujuran, Putranya Karna tak mau serta merta mengakuinya sebagai ibu. Karna memang mengalami hidup yang cukup getir, berkali-kali ia diremehkan tak manusiawi karena kasta rendahnya sebagai anak kusir, ia kecewa betul dengan Kunti. Nelangsa, Karna yang terlanjur mengangkat sumpah untuk membela Kurawa, harus melakukan perang dengan saudara kandungnya: Pandawa.
Ibu Musa dan Ibu Karna sama-sama menghanyutkan bayi mereka, tapi berbeda sebab-akibatnya. Maka bangunlah, diri! Luruskan niatmu! Betapa niat bisa memberikan efek yang berbeda. Betapa niat menentukan ridho atau murka-Nya.
Apa sih yang kau cari?
81 notes
·
View notes
Text
Belajar dari Corona
Selamat malam, dunia. Tidak bisa tidur ya?
Pasti kamu lelah dengan manusia? Diberi kerja, mengeluh. Disuruh istirahat, mengeluh. Berpeluh macet di kota, mengeluh. Duduk diam di rumah, mengeluh.
Aku lihat linimasaku mulai bertabur hikmah, buah pikir kawan-kawanku, sebab kau berhasil membuat kami semua geger, dunia. Terimakasih ya, kami jadi banyak belajar. Ternyata pak ustadz di surau kecil itu benar: kami tak punya daya, kau cuma sementara.
Dunia, tahukah? Seisi rumahku mulai bosan.
Sepagian tadi, kau juga lihat kan ayahku asik di lahan sempit yang ia sulap jadi kebun-super-mini lengkap dengan kandang ayam.
Ibuku tak jauh berbeda. Lepas subuh, sudah kucium aroma sedap dari dapur. Aku mengintip panci, ah.. ibu masak coto makassar. Kugoda ibu dengan berkata “tumben”, katanya: agar ada kerjaan, kalau hanya tumis-tumis seperti biasa, terlalu cepat selesai, nanti bingung mau ngapain setelahnya. Oh ya, seharian ini ibu juga membuat ratusan amplop kecil dari kertas tak terpakai. Asik menggunting-lipat-tempel di depan televisi. Kutanya “untuk apa?”, memanfaatkan kertas dan menghabiskan waktu, jawabnya. Duhai dunia, ibu memang tak bisa diam.
Adik-adikku juga sibuk, tapi di kamar mereka masing-masing. Yang satu tak akan jauh-jauh dari kerjaan, satunya lagi tak jauh-jauh dari tugas kuliah dan Netflix.
Dunia, barusan, lepas salat isya, kami nongkrong berjamaah di depan televisi, tak jelas apa yang ditonton. Kami kemudian pesan martabak telur dari aplikasi pengantar makanan. Lalu dalam kunyahan ke-sekian, pikiranku yang suka melanglang buana ini memunculkan tanya, sekonyong-konyong, entah pada siapa..
“manusia gerobak mengisolasi diri dan anak-anaknya ke mana ya?”
Duh, dunia.. sebelum mengeluhkan timbangan yang naik karena di rumah makan terus, mestinya aku bersyukur sebab masih punya sesuatu untuk dimakan, kan?
Duh, dunia.. sebelum mencak-mencak bosan, mestinya aku bersyukur sebab masih punya anggota keluarga untuk diajak bicara, kan? Aku masih punya buku untuk dibaca, aku masih punya akses internet, aku masih punya cat air, aku masih punya film, untuk dinikmati –atau setidaknya berusaha menikmati.
Aih, itu ada Quran tergeletak menunggu dibaca, jaminan ketenangan, kan?
Duh, dunia.. sebelum protes sumuk di rumah, mestinya aku bersyukur sebab masih memiliki rumah tempat berlindung, kan?
162 notes
·
View notes
Text
Al-Faruq
Garang, taktis, tegas, tapi penyayang. Tubuhnya menguarkan aura jawara, setanpun ngibrit --ogah berpapasan dengan Umar. “Sungguh aku melihat setan dari kalangan manusia dan jin lari dari ‘Umar.” (HR. Tirmidzi).
Umar berperawakan tinggi, besar, perkasa. Dulu saat diajak Teh Imun ke Topkapi di Turki, kulihat kokoh pedang Sayyidina Umar dari balik kaca, konon berat pedang itu tak kurang dari lima puluh kilogram. Silakan bayangkan sendiri sebesar apa raga si empunya pedang.
Bukan Umar namanya kalo gak ngegas, gaspol!
Gaspol. Begitu gatal dengan ajaran baru Muhammad yang ia anggap ‘memecah belah’ Makkah, ia ambil pedang dan menuju rumah Muhammad –untuk membunuh.
Gaspol. Di jalan, saat diberitahu bahwa adiknya memeluk islam, Umar spontan berbelok arah menuju rumah adiknya –untuk memberi ‘pelajaran’.
Gaspol. Saat mendengar lantunan QS Thaha di rumah adiknya, ia langsung mencari Muhammad tanpa menunda barang sedetik –untuk bersyahadat, sebab ia bisa baca tulis (kemampuan yang jarang sekali dimiliki saat itu), ia juga mengerti sastra, ia tahu tak ada manusia yang mampu menciptakan apa yang baru ia dengar.
Gaspol. Ketika orang lain menyembunyikan keislamannya (demi keamanan), Umar yang baru berislam malah petantang-petenteng mengabari Abu Jahal (yang paling memusuhi islam dan paling rajin menekan mereka yang telah bersyahadat).
Gaspol. Umar juga memberitahu keislamannya pada Jamil, raja gosip nomor wahid di Makkah, biar semua orang tau! (dari sini kita belajar, ngausah bikin undangan nikah, kasitau aja pentolan geng gosip). Setelahnya, muslim jadi lebih berani menunjukkan keislaman mereka.
Gaspol. Hijrah ke Madinah jadi perkara berat, banyak yang keluar makkah secara diam-diam untuk menghindari gangguan kafir Quraisy.. Tapi bukan Umar namanya kalo ikut pergi berteman sunyi. Ia malah membawa pedangnya, mendatangi kakbah (pusat keramaian sejak dulu), tawaf, lalu berteriak “Siapa yang mau istrinya jadi janda, anaknya jadi yatim, hendaklah dia menemui aku di balik lembah ini. karena aku mau hijrah sekarang”. Aku gak tahu ini macho atau apsi yalord :’)
Gas terooos. Tau apa kalimat favorit Umar? “Izinkan kupenggal kepalanya yaa Rasulullah”. Tak sekali dua kali Umar minta izin begitu :’)
tapi..
Tahukah, ia adalah Umar yang sama.. yang bilang “seorang laki-laki di depan istrinya, bersikap manja seperti anak kecil”.
Tahukah, ia adalah Umar yang sama.. yang diam saat istrinya ngomel. Bukan, bukan karena takut istri.
Tahukah, ia adalah Umar yang sama.. yang menggendong sendiri bantuan untuk ibu miskin yang memasak batu untuk mengelabui anak-anaknya. Umar bahkan memasak langsung untuk anak-anak tersebut.
Tahukah, ia adalah Umar yang sama.. yang mengkhawatirkan kesejahteraan bukan hanya rakyatnya, tapi juga hewan di negaranya. Ia takut ada keledai terpeleset sebab jalan tak rata.
Tahukah, ia adalah Umar yang sama.. yang menyebutkan “Aku tidak pernah sekalipun menyesali diamku. Tetapi aku berkali-kali menyesali bicaraku”.
Tahukah, ia adalah Umar yang sama.. yang rajin blusukan, menolak dikawal, lalu menangis sendirian meminta ampun pada Rabbnya.
Merindukan Sayyidina Umar, ‘preman’ favoritku.
409 notes
·
View notes
Text
Hobi Baru?
Dulu kukira aku suka membaca. Aku sampai percaya diri menuliskannya sebagai hobi. Waktu berlalu dan kuperhatikan, mengapa semakin sedikit buku yang berhasil ku tuntaskan?
Daya tahanku terhadap buku melemah –dan sekedar info saja, aku tak menyesal soal ini haha. Bila ada novel yang digadang-gadang begitu baik lalu tak kutemukan kesan tersebut saat membacanya, maka aku tak segan ‘membuang’ buku itu ke keranjang DNF (did not finish). Aku kejam sekarang. Pemilih. Padahal dulu aku orang tak tega, akan menguatkan diri sendiri untuk melanjutkan, “ah, satu halaman lagi.. ayo bertahan, buku ini berhak mendapat kesempatan kedua ketiga keempat”.
Sekarang aku santai mencampakkan buku yang tak berhasil menarikku ke dunianya, bahkan buku dari penulis favorit hahahahaha. Sekali lagi kukatakan, aku tak menyesal, sebab terlalu banyak buku, sedangkan waktu kita di muka bumi ini terbatas sekali kan, Kawan?
Membaca itu sangat personal buatku, maka seharusnya menjadi proses menyenangkan. Kapan lagi kamu bebas ‘lari’ menemukan dirimu di semesta yang sama sekali berbeda? Mengisolasi di ruang tak tersentuh orang lain, membiarkan imajinasimu hidup bebas. Maka jangan dibuat repot, kau harus bisa menikmatinya. Jika merasa bosan atau merasa ‘tertuntut’ menyelesaikan, aduhai Boi, itu hobi atau kerja rodi? (ok ini lebay wkwk)
*
Sepanjang tahun lalu, sedikit sekali buku-buku yang berhasil ‘menghidupkan’ aku. Bahkan selama 3 bulan, aku sempat tidak membaca sama sekali.. apa jadinya? Ternyata berefek pada kesehatan mental stabilitas manajemen emosi wakakakakak terdengar berlebihan.
Begini, sudah kubilang membaca (dalam hal ini fiksi) menurutku seperti menyedot ke universe lain, (mungkin) merasa menjadi sosok lain, bertemu orang lain, di dunia lain. Terdengar sinting? Bodo amat :( Kita bisa tau pola pikir si miskin tanpa harus jadi dia, bisa tau keras pergaulan si tajir-melintir tanpa perlu jadi anak sultan yang masuk lingkaran pertemanannya, atau ikut greget dengan motif pembunuh dan tahu oh ternyata di muka bumi ada orang sakit begitu, atau merasakan hidup bersama santri gontor tanpa perlu bersekolah di sana.
Jadi ketika tak membaca agak lama, sedangkan jiwa pembosan mulai berteriak sumuk dengan rutinitas sehari-sehari, di sisi lain kaki sedang tak bisa jauh-jauh plesir ke gunung belok ke laut, yang terjadi kemudian adalah: aku tak merasa bisa mendeliver emosiku dengan baik. Loh, memangnya tidak baca Quran, kan bikin tenang? Baca, tapi maab aku tak sesoleha kamu, aku tetap butuh usaha duniawi :)
Aku sempat lari ke platform dimana bisa dengan santuy menjadi pengamat curhatan hidup orang lain seperti di Quora (eh, pada dasarnya, membaca novel fiksi itu kan kita sedang ‘mengamati’ hidup orang lain sambil memungut pelajaran yang tercecer di sana sini, ya?).. tapi ternyata platform ‘dunia lain’ semacam itu tak cukup mampu melepas dahaga akan kisah seru. Ternyata aku rindu terantuk bersama buku. Ternyata aku menyukai seni menerobos halaman demi halaman, bukan sekedar 'tau' suatu kisah.
Yak. Gitu deh. Akupun baru menyadari beberapa waktu lalu bahwa (ternyata) membaca jadi semacam healingku –lebih tepatnya, aku baru sadar saat selesai membaca buku Nadira. Bukunya jadi semacam media buat embrace rasa-rasa negatif (yang menuntut diakui) dalam diri. Somehow, lewat buku Nadira aku merasa dimengerti (lucunya, kalo ditanya ‘dari sisi mana kamu merasa dimengerti?’ aku tak bisa menjawab). Baca buku tersebut juga membuatku bersyukur, ternyata hidupku enak bat –ga kayak tokoh-tokoh di buku tersebut. Arya, anak tengah keluarga itu bahkan mengakui bahwa ketragisan adalah jalan ninja keluarganya “Well, if it was straightforward, it wouldn't be our destiny”.
Jadi apa yang dilakukan saat fase malas membaca itu? berburu buku bekas super-murah di dunia maya. bergerilya dari satu marketplace ke marketplace lain, oh tentu saja aku bangga dengan selisih harga yang sangat-lumayan itu. Budget yang dihabiskan kawan untuk mendapat sebuah buku, bisa kudapatkan dengan merogoh kocek sepertiga atau bahkan seperempatnya saja. Mehehehe
Seorang teman juga pernah mengeluhkan sulitnya mencari import book yang murah. Lalu saya carikan dan wala! dapet dengan harga ga sampe sepertiganya Alhamdulillah :’) kadang bingung, kok gue bangga ama hal-hal begini yak wkwkwk
Karena sudah tau celah-celahnya, harus kuakui diri yang lemah ini jadi menggampangkan beli buku. Ini berakibat buruk pada performa membaca: lelet dan santai karena merasa “kan aku pemilik buku-buku itu, aku bisa mengakses mereka kapan saja”, padahal dulu saat kere (loh emang sekarang engga?) dan lebih sering meminjam buku, aku sangat menghargai waktu membaca.. kan ga enak kalo lama-lama minjem buku orang lain, ngeri kelipet, basah, sobek dan seterusnya.
Akibat buruk lainnya, lemari cepat penuh tapi otakku tidak :(
Jadi apakah ini saat yang tepat untuk menuliskan berburu buku sebagai hobi?
74 notes
·
View notes
Text
Ragu
Nada tak pernah tahu bahwa malam ini akan jadi malam paling gelap dalam hidupnya, kegelapan yang ia ciptakan sendiri. Gelap, tak ada marka jalan terlihat. Tak ada apa-apa di sana, di dalam kepalanya. Aroma keju dari makanan di hadapannya belum berhasil menggugah selera, kasihan sepiring mac and cheese itu, dibeli hanya untuk diaduk sekenanya, tak digubris. Urusan perasaan memang membuat orang jadi malas makan.
Seorang perempuan masuk kafe tersebut. Setelah memesan, ia menghampiri Nada yang sedang asik melamun menghadap piring. Pelan, Rina menepuk pundak Nada, “Hey, sejak kapan melototin makanan bikin kenyang? Dimakan laaah...”
“Eh Mbak Rina” Nada ditarik realita, suara sendok garpu beradu memenuhi telinga, ia kembali berpijak di kafe dan menguasai diri “Sori-sori Mbak.. Udah pesen?”
Rina mengangguk “Udah dong”, Rina duduk di hadapan Nada, “Gimana? Udah ngasih jawaban?”
Yang ditanya hanya tersenyum getir, menggeleng.
Rina maklum, ini bukan kali pertama ia menghadapi perempuan muda yang bingung dengan isi kepalanya sendiri. Seperti yang sudah-sudah, Rina diam sambil menatap lembut lawan bicaranya. Rina belajar; perempuan hanya akan menambah tinggi bentengnya jika dikejar lagi pertanyaan. Diam dan tatap mata perempuan, tak perlu dicecar pertanyaan.
“Jangan liatin aku gitu, Mbak” Nada memalingkan wajah menghindari tatapan Rina.
“Hahaha, ya aku harus gimana dong?”
Nada mengangkat kepalanya lagi, menatap Rina lurus-lurus, “Aku yang harusnya nanya, Mbak. Aku harus apa?”
Ini dia. Bab di mana benteng akan segera runtuh, Rina diam tak menjawab sebab seringkali perempuan tak benar-benar mencari solusi ketika bertanya aku harus apa. Ia pasang telinga, matanya teduh menatap Nada.
“Mbak, aku jahat ya kalo nolak lagi?” Nada terkejut mendengar suaranya sendiri, ada keraguan di sana.
“Sudah istikharah?”
Nada mengangguk.
“Lantas? Terlalu tua? Atau lebih muda darimu? Atau pekerjaannya tak membuatmu tenang?” Rina tahu Nada tak akan menolak jika hanya karena pekerjaan, tapi cuma itu yang terlintas di kepala Rina tadi, “Kali ini apa alasan yang akan kau laporkan pada Allah?” Astaga, Rina keceplosan. Pertemuan ini belum sampai lima menit tapi sudah bawa-bawa Tuhan seperti penghakiman. Menunggu respon, Rina tak berani bernafas.
“Aku gak tau Mbaaak” tangis Nada belum pecah tapi suaranya sudah bergetar. “Aku bertanya pada beberapa orang tentang agama dan akhlaknya. Kalau memang dia orangnya, kenapa hatiku kisruh tak tenang?”
Rina menepuk pelan tangan Nada di atas meja, berusaha menenangkan. Tiba-tiba Nada sangat merindukan Bunda. Mendiang ibunya pasti tau harus melakukan apa.
“Kekhawatiran di hatimu itu perlu disyukuri, membuatmu lebih awas dan memaksamu lebih khusyuk berdoa. Justru aneh kalau kau merasa biasa saja. Yang sudah-sudah sih, kalau merasa tenang dan biasa-biasa saja saat ada lelaki mendekat, tak khawatir barang sekuku, besar kemungkinan laki-laki itu tak dipertimbangkan, tak masuk kriterianya sama sekali –makanya jiwa tak bergoncang hahaha” di saat seperti ini Rina masih bisa tertawa, jika tak mengenalnya dengan baik Nada pasti merasa Rina tak berempati pada kisruh hatinya.
“Atau aku belum siap ya Mbak?” Nada bertanya, lebih kepada dirinya sendiri.
Rina menggeleng, “Faktanya, sampai kapanpun kita tak akan benar-benar merasa siap. Lagipula, tak pernah ada parameter kesiapan yang baku. Lihat di desa sana, ada saja remaja baru lulus SMA yang menikah, menurut beberapa golongan masyarakat: mereka belum siap, tapi toh mereka diberikan rezeki menikah artinya mereka siap menanggungnya menurut hitung-hitungan Allah”.
Seorang pelayan mendekati meja mereka, meletakkan sepiring aglio olio dan sepoci teh sereh lalu pergi setelah berbasa-basi agar mereka menikmati hidangan.
“Lagian, Mau menunggu sesoleh Rasulullah atau semapan Khadijah baru merasa siap?” kata Rina melanjutkan, “Serius amat sih, sambil makan yuk.”
Nada menurut, mengikuti Rina menyuap beberapa kali. Kemudian ia bertanya “Mbak Rina pernah ragu saat Mas Farhan datang?”
“Bukan ragu lagi Nad, muales bawaannya tuh, lah wong ndak pernah kenal sebelumnya..” Rina terkekeh, kalau tak ingat ia sedang meninggalkan putrinya tidur di bawah pengawasan suaminya di rumah, ia pasti akan berceloteh panjang lebar tentang perjalanannya dan Farhan, tapi pertemuan ini bukan tentang dirinya..
“Nada sayang, luruskan niatmu. Jujurlah pada diri sendiri, apakah keraguan itu muncul karena masalah fundamental yang kamu temukan saat mencari tahu tentangnya atau karena hal-hal yang sifatnya abstrak. Jujurlah, apakah ragumu karena sesuatu pada diri orang itu atau karena….” Gantung, Rina mencoba melihat ke dalam mata Nada.
“Karena apa Mbak?”
“Atau karena ada sosok lain yang kau tunggu.” Suara Rina tenang dan lembut, tapi bagai gemuruh petir di telinga Nada.
(bersambung)
40 notes
·
View notes
Text
Cita-cita
Lazimnya, anak-anak yang tumbuh di zaman saya hanya akan menyebutkan profesi yang familiar jika ditanya cita-cita. Yang disebut tak akan jauh-jauh dari: dokter, suster, pengacara, guru, pemadam kebakaran, pilot, astronaut, ilmuwan, pemain bola dan seterusnya.
Manalah kami saya tahu ada yang namanya illustrator (dahulu saya cuma tahu: pelukis kanvas), notaris (arti katanya pun asing di telinga), atau desainer (kalau dengar kata desainer, yang terpikir ya.. mereka bikin baju, macam om tailor di ujung gang, padahal ada graphic designer, uiux designer, interior designer, dll).
Zaman berganti, profesi semakin beragam, saya tahu sekarang ini banyak anak kecil mengidamkan dirinya menjadi youtuber atau selebgram. Ah, mereka bisa dengan mudah mengganti cita-citanya. Hari ini mau jadi agen rahasia, esok ingin jadi petugas tiket kereta –seperti Toto Chan.
Sampai saat ini, ada 3 cita-cita yang tak saya sangka akan keluar dari mulut anak kecil.
Tukang Sayur Keliling
Saat ditanya apa alasannya, ia menjawab: enak, bisa jalan-jalan keliling komplek, menyisik ikan, dan banyak uang! (kau tahu kan tas pinggang yang biasa dipakai tukang sayur keliling? memang ada setumpuk uang di sana).
Kenek Bus Rosalia Indah
Spesifik sekali sampai tau perusahaan bis mana yang dijadikan cita-cita :’)
Alasannya? Ya dia hepi aja kalo naik bis Rosalia Indah. Saya awalnya bingung karena hanya kenal Bus Budiman, Primajasa, Gapuraning Rahayu. Setelah gugling, oh rupanya Rosalia Indah ini bus dengan trayek ke arah Jawa Tengah atau Timur. Dia ingin bisa bolak balik kampungnya gratis.
Penjaga WC Umum
Tak lain tak bukan karena… “kerjanya enak, tinggal duduk lalu dikasih uang”. Sesederhana itu :’)
Anak kecil sungguh, sungguh ajaib. Kadang ingin kupinjam jiwa mereka yang apa adanya, naif, sangat optimis, dan tak pernah kalut melihat jarum jam terus berputar.
60 notes
·
View notes
Text
Ambang Sadar
Hari itu aku bermalam di kamar seorang teman –yang tak bersedia disebutkan namanya, sudah barang tentu makin malam makin absurd pula topik pembicaraan kami. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba kami sudah di pertengahan nostalgia saat ia melahirkan. Aku yang belom pernah mengalami proses hamil apalagi bersalin, seru-seru-saja mendengarkan.
Sudah dikondisikan agar siapapun yang menemani temanku saat melahirkan agar selalu memandunya berzikir sepanjang masa kontraksi sampai setelah melahirkan. Singkat cerita, begitu proses bersalin selesai dan bayi mungil itu didekatkan ke dada temanku untuk IMD (inisiasi menyusui dini), dia otomatis berdzikir “Alhamdulillah” tanpa perlu diingatkan, penuh haru, penuh syukur sepenuh hati.
Setelah diizinkan kembali ke rumah, ayah dari temanku ini bertanya “Dek kemaren kenapa kamu nangis?”
“Hah, nangis gimana?” Tanya temanku kebingungan, karena seingatnya, saat IMD suasana hatinya penuh syukur, bahagia tiada tara, mengucap hamdalah berkali-kali.
Ayahnya memperlihatkan video yang dimaksud. Benar saja, alih-alih terdengar tahmid, justru hanya terdengar suara huhuhu seperti menangis, tapi dengan suara yang sangat lemah dan irama konstan hu-hu-hu.
Temanku yakin betul dia mengucap hamdalah dengan jelas berkali-kali, tapi tidak demikian di video. Ohya, dia melahirkan normal, tak ada adegan bius-biusan, jadi semestinya dia cukup sadar –oh mungkin juga tidak, saking lelahnya, aku tak tahu.
Aku merinding.
Beginikah gambaran ketika tiba waktu berpulang?
Merasa mulut sudah mengucap syahadat, tapi hanya ceracau yang didengar orang-orang sekitar yang sibuk mentalqin kita?
Merasa cukup sadar, padahal tak punya daya mengontrol tubuh sendiri?
Ya Allah, tuntunlah lisan kami.
172 notes
·
View notes
Text
Kale dan Summer
Saya akan membuka postingan kali ini dengan unpopular opinion: saya ga nangis nonton NKCTHI wkwk maap :( adek saya nangis, eh saya ketawain.. maap lagi. Apakah hatiqu terbuat dari batu? Nope, I can guarantee, saya cengeng-banget-banget malah, series keluarga Reply 1988 sukses kok bikin saya nangis mulu. Jump to conclusion: NKCTHI isn’t my cup of tea, that’s all.
Saya tertarik bahas tokoh Kale (dan tokoh Ayah juga sih sebenernya soalnya unik, keinginannya untuk bertanggung jawab atas semua kebahagiaan anggota keluarga jadi antitesa si Kale, tapi nanti aja kapan-kapan kalo mood haha).
Jadi, perasaan saya doang atau emang bener Kale Summer itu mirip? Iya Summer-nya Tom (500 days of Summer), sama-sama bikin penonton jatuh cinta sekaligus menghujat mereka berdua.
Baik Summer dan Kale sama-sama digambarkan sebagai sosok yang asik dan unik (kalo gamau disebut hipster.. oke, kata indie juga boleh dipake), di saat orang nyaman naik mobil, Kale ngajak berani naik motor, naik metromini pulak aihhh si Bambang; di saat orang ‘kencan’ ke tempat fancy, Kale ngajak wisata kuliner di gang-gang tersembunyi, Summer-Tom mainnya ke IKEA (setelahnya IKEA ramai dijadikan tempat halu bersama pacar –beritga dengan setan wkwk)
Kale dan Summer sama-sama punya starter pack jadi pasangan idaman, sebut saja, cakep, cakep, dan cakep, dan gampang bikin orang nyaman, nah di sinilah petakanya, tokoh utama (Awan dan Tom) ga siap menangani kenyamanan.
Apakah Kale dan Summer psikopat?
Banyak yang menghujat demikian, sebab begitu tega pada sesama manusia. Padahal kalo mau ditelaah, mereka berdua ga sepenuhnya salah loh HAHAHAH. Sejak awal, Kale dan Summer ga menjanjikan apapun (Summer malah udah ngasih statement di awal dia ga percaya cinta, dia mau ‘temenan’ aja), tapi Tom dan Awan terlalu bersemangat ‘memiliki’ tokoh lovable ini. Egois! Selfish! Sukurin! Wkwkwkwk.
Apakah Kale dan Summer jadi representasi fakboi dan fakgil seperti yang warga maya katakan?
Oh tentu saja tidak. Sejak awal, keduanya gak punya niatan jahat. Fakboi dan fakgil mah justru sejak awal terang-terangan cuma mau enaknya doang. Sedangkan Kale dan Summer mainnya alus, menurut saya diksi softboy dan softgirl lebih cocok disandingkan pada keduanya. https://journal.sociolla.com/lifestyle/mengenal-bahaya-softboy/
Punya Trauma
Ingat ketika Kale bilang kalau dia gak mau bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain? Atau ketika Summer bilang kalau cinta itu cuma fantasi? Yup, keduanya sama-sama gak mau berkomitmen, gak mau terikat. Kalo Summer sih karena ayah ibunya berpisah ya, nah kalo Kale ga dijelasin kenapa sampe punya tingkah-polah demikian, ga mungkin karena iseng kan? Emang anak band ga ada yang bener. Menarik untuk disimak spin-off-nya.
(gambar dari hipwee)
Pelajaran
Wahai Kaula Muda, sungguh dari kedua tokoh ini kita bisa belajar agar tidak jadi seperti mereka gaaais, dijaga lah interaksinya biar orang ga salah paham. Tegas, kayak Summer, sejak awal ngasih warning –ya tetep jangan dicontoh sih, meski judulnya cuma temen, pertemanan keduanya tidak bisa dibenarkan dari kacamata agama. Ehe.
Wahai Sobat Ambyar, sungguh dari kedua tokoh ini kita bisa belajar agar jangan nyosor duluan padahal ga ada status GR jika ada orang berbaik hati pada kita. Loh jangan-jangan kamu aja yang ga-biasa-dibaikin? menurut kamu, dia perhatian banget, tapi kalo pake standar dia: “segitu mah biasa aja deh perasaan, aku cerita ke semua orang kok, aku ngasih bunga ke semua temenku kok” wakakakak mamam! Belajarlah agar tidak terjebak buaya darat baik jantan maupun betina. Singkat kata, jangan jatuh cinta, jika belum di-ijab-sah.
Ah, mungkin ini saatnya kita bersandar pada petuah sakti Bang Napi:
Ingat, kejahatan terjadi bukan karena ada niat pelakunya, tapi karena ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah!
98 notes
·
View notes
Text
Seminimal-minimal Ikhtiar
“Masih keder?” ada intonasi prihatin yang tak ditutup-tutupi dari suaramu. Aku tak menjawab, hanya menatap nanar ke arah lain sampai kau kembali mengingatkan, “Wir, gagal itu manusiawi loh”
Beberapa hari lalu kudapati email pemberitahuan pengumuman beasiswa luar negeri, tanpa jeda aku langsung menuju link yang tertera dalam email, memasukkan user ID dan password hanya untuk menerima pernyataan penolakan dengan diksi yang dilembut-lembutkan di bawah namaku. Aku bahkan menduga ini prank, maka aku me-refresh halaman. tentu saja hasilnya tak berubah.
“Yang ga manusiawi tuh kalo lo nya kelamaan drop begini”, kau menyodorkan sebuah form “ayo bangkit”
Aku masih tak bersuara.
“Wir, lo inget kisah Bunda Maryam pas melahirkan Nabi Isa? di deket sungai, di bawah pohon korma, sendirian, lelah abis melahirkan,” kisahmu menarik minatku, “dan Siti Maryam laper”
Kau tak pernah habis cerita, Nada. Kali ini apa?
“Nah, Allah nyuruh Maryam goyangin pohon korma, padahal karakter pohon korma tuh gak kayak pohon mangga. Batangnya besar dan keras, tanpa ranting. Prof Iman bilang, kalo mau jatohin buah korma pake cara diguncang pohonnya, butuh tenaga 4 laki-laki postur tubuh Arab.”
Melihatku mulai menaruh minat, kau melanjutkan penuh semangat “Sebenernya mudah bagi Allah menolong Siti Maryam, bisa aja tuh didatengin makanan seperti yang terjadi di mihrab Aqsa, atau ada musafir lewat bawa korma sekeranjang hahaha. Tapi ga gitu kan? Allah nyuruh langsung untuk menggoyangkan pangkal pohon korma. Allah mengisyaratkan ikhtiar, bahkan dengan seminimal-minimal ikhtiar yang keliatan gak logis, tetep harus dicoba.”
Aku menyahut “Bentar Nad, kalo Maryam yang ikhtiar pake tenaga penghabisan aja bisa dapetin korma, kenapa gue yang udah mati-matian berjuang masih dikasih gagal? Lo liat sendiri lah gimana gue nyiapin beasiswa ini.”
“Justru itu!” tanggapmu bersemangat sambil menghentakkan tangan, “Kalo seminimal-minimal ikhtiar saja Allah hitung, maka gue jamin ga ada usahalo yang terlewatkan oleh Allah, Wir.
Eh bentar, jangan sotoy lu Wir, sebagai outsider kita liatnya usaha Maryam minimal: tenaga perempuan seberapa sih, lagi capek abis melahirkan pula kan.. tapi Maryam pasti mengerahkan tenaga sekeras yang ia bisa, maksimal versi dirinya sendiri”
“Haha bener juga” aku sering luput soal ini, kadang masih hobi menilai seenaknya menggunakan standar diri sendiri. Kita sungguh ga akan tahu bagaimana seseorang menjalani hidupnya sebelum berjalan memakai sepatunya, melihat dengan kacamatanya.
“Ada yang lebih penting Wir dan banyak manusia lupa soal ini”, raut wajahmu berubah serius
“Ranah kerja kita cuma usaha. Cukup ingat bahwa Allah ga luput menilai proses.
Kebanyakan manusia besar kepala, merasa berhasil karena usahanya sendiri, padahal ada andil Allah di sana.
Kebanyakan manusia merasa disayang Allah saat diberikan hasil sesuai yang diinginkan, padahal belum tentu ada keberkahan di sana.”
Aku tertawa sedih. Tiba-tiba ada rasa bersalah menyergap, kemarin aku terlalu percaya dengan segala usaha yang telah kukerjakan, sampai jumawa merasa diri akan berhasil. Tuhan memang bersama prasangka hambaNya, tapi optimis dan sombong itu beda soal.
“Udah yok, isi nih” kau menyodorkan form tadi, kali ini aku menerimanya tanpa dipaksa. Esok adalah batas akhir pengumpulan aplikasi sedangkan banyak sekali yang belum ku kerjakan. Ah tenang, ranah kerjaku hanya berusaha sebaik mungkin, bukan begitu Nada?
116 notes
·
View notes
Text
if the world was ending you'd come over right? right? 💁
2 notes
·
View notes
Text
Menimbang Untung-Rugi
“Ge,” Ia memanggilku. Hanya tersisa sedikit manusia yang masih menggunakan nama itu.
“apaan?” sahutku asal.
“Gue udah berhenti minum loh”, kulihat ekspresinya di layar ponsel –kami sedang videocall berempat– dan wajahnya tak dihiasi cengiran, ia serius.
“DEMI APE?!” tentu saja aku bersemangat menyambut kabar bahagia ini, “kok bisa?”
Kemudian ia menceritakan “Setelah kerja kan gue jadi agak bener jadwal solatnya tuh. Abis itu, gue pernah liat postingan di medsos, katanya kalo minum, solatnya ga diterima 40 hari”
Jeda sebentar
“terus terus?” kali ini temanku yang lain angkat suara.
“ya lama-lama gue mikir dong, rugi amat gue udah capek-capek solat, wudhu dulu segala, terus kaga diitung. Yaudah gue berhenti aja deh sekalian.”
“wih keren banget yalooord! Bangga gue bangga!” aku tertawa, sungguhan senang, sambil mikir juga dalem hati.. Jika teman-teman SMA-ku yang dahulu menjalani hidupnya sesuka hati, lalu melakukan perbaikan berarti (insya allah) ‘hanya’ gegara gak mau rugi ibadah, lantas mengapa aku yang perbaikannya ga jelas, ibadahnya ga membanggakan, hafalannya ga nambah, kok mau-maunya-rugi dengan prasangka buruk, gibah, merasa benar, dan lainnya, yang mudah sekali terbersit --apalagi saat scrolling sana-sini.
Rabbighfirli…
“Sesungguhnya orang yang merugi dari umatku adalah orang yang datang besok pada hari kiamat, ia membawa pahala shalat, pahala puasa, pahala zakat. Namun ia juga datang dengan amalan mencaci ini, menuduh ini, makan hartanya orang ini, mengalirkan darahnya orang ini, memukul orang ini.
Nah, kemudian pahala kebaikannya akan diberikan kepada yang dizalimi.
Apabila pahalanya sudah habis sedangkan masih ada yang harus ditebus, maka dosa orang yang dizalimi akan ditransfer kepada orang ini. Lalu, dimasukkanlah ia ke dalam api neraka.”
12 notes
·
View notes
Text
punya ga, temen, yang kalo sebut nama mereka, free-pass ortu auto diraih.. nah mereka inilah orangnya. biasanya jam 8 udah diteror suruh balik, kalo ama mereka dimaklumi dipercaya 😂
the perks of having them as friends: gue masih keliatan langsing! wkwkwk~ biasanya kalo ama orang lain, gue foto agak nyempil, biar keliatan ramping.. kalo ama mereka, gue masih di depan karena lebih kurus terharu 🙃 definisi sejati makmur bersama 🤟
setelah hagri nikah, ya baru sekarang bisa kumpul lagi, emang sesusah itu buat kumpul. satu di jonggol, satu di jkt, satu di cibubur, satu di malaysia, satu lagi ngebangke di nangor 😂
alhamdulilah, alhamdulillaaaaah, desember nanti nambah personel lagi insyaallah, terharuuu 😭😭😭
5 notes
·
View notes
Text
untitled
Kopi keduaku hampir tandas, dia masih belum muncul. Pikiranku mulai ke mana-mana, selamatkah ia? Atau pria itu mengurungkan niatnya? Mulutku merapal segala doa agar dia segera datang, atau setidaknya jadi datang. Sekali lagi aku mengawasi sekitar.. Bedebah, jangan-jangan ini semua hanya jebakan? Persis ketika pikiran bodoh itu terlintas, dia muncul dengan senyum lebar sambil berkata santai “hai Dana, sudah lama?”
lanjutin dong~
4 notes
·
View notes