Tumgik
dhynaindri · 2 months
Text
HIDUP TERUS BERJALAN, APRESIASI YANG MASIH MAU BERTAHAN
Tumblr media
Tulisan ini isinya tentang tahun-tahun yang aku lewati dengan berbagai kenangan, di tempat yang sama. Tempat itu bernama Sales Counter Agen JNE Mareya, berlokasi di pinggir jalan raya, dekat dengan rumahku. Aku lupa kapan kali pertama aku ke sana untuk menerima atau mengirim paket, yang masih kuingat dengan jelas sampai sekarang adalah dimulai dari tahun 2015. Saat itu marketplace belum seramai sekarang, sahabatku membeli skincare asal Korea langsung dari website-nya. Perjalanan panjang dari Korea ke Indonesia hingga berganti ekspedisi untuk bisa sampai ke Mareya yang berada di utara Kota Medan. Berhubung aku dan sahabatku adalah tetangga yang nggak tetangga-tetangga banget, jadilah paket itu kami ambil berdua ke Agen JNE karena rumah kami belum ada nomornya. Dengan menyebutkan nama, nomor handphone, dan isi paket, kami membawa pulang beberapa box berisi skincare merek Korea tersebut.
Semakin lama, marketplace semakin banyak ragamnya, online shop semakin merajalela, pun ekspedisi nggak mau ketinggalan alias udah banyak banget pilihan mengirim paket mau pakai jasa yang mana. Tapi bagiku yang masih belum punya nomor rumah dan malas untuk menulis detail alamat beserta patokannya, belum lagi kalau nanti kurirnya nyasar dan ribet menjelaskan rumahku sebelah mana, JNE Mareya adalah kunci. Setiap belanja online, tujuannya adalah Agen JNE Mareya. Nanti kalau paketnya udah sampai, aku bakal mendatangi Agen JNE dan menanyakan paketku dengan menyebutkan nomor handphone-ku dan isi paketnya apa dan dari siapa. Kalau sales counter officer-nya merasa kurang informasi atau kurang yakin, aku akan menunjukkan nomor resi dan detail paket yang ada di aplikasi marketplace milikku. Menurutku, datang ke Agen JNE nggak seribet ditelepon kurir nyasar, apalagi lokasinya nggak jauh dari rumahku.
Pernah suatu hari, entah kena angin apa, kala itu berbeda dengan biasanya. Aku mendatangi Agen JNE langgananku itu untuk mengambil paket, tapi sepertinya salah satu sales counter officer-nya sedang tidak bersahabat denganku. Mungkin karena capek nyari paketnya nggak ketemu dan informasi yang kuberikan kurang detail, beliau menasihatiku dengan nada yang sedikit kesal saat paket yang dicari akhirnya berhasil ditemukan.
"Lain kali, nama penerimanya bikin nama sendiri, ya, jangan Agen JNE doang."
Kuakui memang aku yang salah, tapi selama ini aku juga melakukan hal yang sama tapi fine-fine aja. Kenapa aku bikin penerimanya adalah Agen JNE Mareya? Karena aku mikirnya, aneh banget kalau alamatnya Agen JNE, tapi nama penerimanya nggak tahu siapa alias bukan officer di sana. Takutnya mereka pun mikir, "ini paket siapa?" Tapi berkat kejadian itu, aku mencoba menggunakan alamat rumahku sendiri untuk pengiriman paket. Pada akhirnya, aku menulis alamat yang sedetail-detailnya. Pokoknya panjang, deh, tuh, alamat. Semua orang yang bisa melihat alamatku di paket akan langsung tahu rumahku yang mana, karena selengkap itu. Tapi, tetap saja ada kurir yang nyasar dan aku harus menjelaskannya lagi via telepon.
Selain menerima paket, aku pun cukup sering mengirimkan paket ke luar kota. Sejak tahun 2018 dan saat itu aku sedang dibersamakan dengan someone special dalam sebuah romantic relationship, aku beberapa kali mengirimkan paket untuk calon mertua yang berada di provinsi yang berbeda denganku. Aku pernah mengirimkan kue yang diklaim sebagai oleh-oleh khas Medan yang saat itu lagi viral-viralnya untuk keluarga doi melalui JNE. Ketidaktahuan akan cara packing paket yang berupa makanan mudah hancur membuat aku dan doi harus mengeluarkan uang selain biaya pengiriman, yaitu biaya packing menggunakan styrofoam box seperti box untuk ikan. Tapi nggak apa-apa, justru harus berterima kasih pada JNE yang menawarkannya sehingga paket kami aman, apalagi dengan fitur YES, sangat berguna untuk mengirim paket makanan yang nggak tahan lama. Selain itu, saat momen lebaran, nggak afdal kalau nggak turut memeriahkannya dengan mengirim hamper. Lagi-lagi, ekspedisi langganan adalah kunci. Karena paketnya hamper kue kering, sales counter officer melakukan pengecekan dengan bertanya tentang isi paket dan cara packing-nya, sudah dilapisi bubble wrap atau belum, dan beliau menambahkan stiker fragile di atas paketku. 
Memasuki tahun corona di awal 2020, aku dan my someone special menjalin LDR dan nggak bisa ketemu lagi karena corona sedang parah-parahnya. Agar love language give and receiving gift tetap bersemi, aku memberikan hadiah buatanku sendiri untuk sang pujaan hati dengan mengirimkannya via JNE. Saat momen lebaran pun aku juga mengirimkan hamper buatanku sendiri untuk doi dan juga keluarganya alias hampernya ada dua. Aku memang suka membuat handmade gift untuk orang-orang terdekat, selain bentuk kasih sayang, hal tersebut menjadi media untuk mengasah kreativitasku. Tentu saja apresiasi dari orang-orang terdekat itulah yang membuatku selalu semangat untuk terus kreatif dan kujadikan mereka sebagai penerima tetap handmade gift yang aku bikin alias kalau aku bikin sesuatu yang baru, pasti aku kasihnya ke mereka, sebagai apresiasi dariku untuk yang selalu mengapresiasi diriku.
Meski situasinya sedang kacau dan sulit untuk tetap bertahan, nyatanya hidup harus terus berjalan. Pengangguran, LDR, kesepian, kehilangan banyak teman karena tergerus masa, adalah hal-hal yang mau nggak mau harus kuterima dengan hati yang lapang. Sebenarnya, hidup nggak semenyeramkan itu, kok. Aku masih merasakan hal-hal baik terjadi dalam hidupku. Masih bisa bahagia, masih bisa makan dan tinggal bersama keluarga, masih bisa bersyukur, meski kehidupan ini bagaikan roller coaster. Beberapa bulan sebelum tahun 2020 berakhir, aku berencana untuk bikin something special for my someone special dalam rangka anniversary yang ke sekian tahun di akhir 2020. Aku mulai bikin konsepnya, sebuah hamper dengan tema yang doi banget, deh. Tapi, ternyata hidup nggak selalu berjalan mulus, sebuah rencana nggak selalu bersepakat dengan realita, bahkan yang nggak pernah kita bayangkan sebelumnya bisa terjadi begitu saja. Ya, sebulan sebelum empat tahun yang lalu itu berakhir, hubunganku dengannya yang harus berakhir. Seketika hidupku jadi nggak karuan dan kehilangan motivasi hidup. Memang, hidup terus berjalan dan aku masih menjalaninya dengan hidup seperti zombie. Tapi, aku ingat janjiku pada diri sendiri, mau ngasih hadiah untuk doi. Bagaimanapun, aku harus tetap menunaikannya. Udah nggak mungkin lagi kalau hadiah itu kuberikan untuk perayaan hubungan kami, sementara kami udah nggak berhubungan lagi. Karena awal tahun 2021 doi ulang tahun, aku berencana untuk memberikan hadiah itu sebagai hadiah pertambahan umurnya sekaligus menjadi hadiah terakhir dariku untuknya. Kedengarannya aneh memang, tapi aku pun nggak berharap apa-apa lagi padanya, hanya untuk menunaikan janji saja, sebab aku juga sudah tahu responsnya akan seperti apa saat dia menerima hadiah itu nanti. 
Hari itu akhirnya datang juga, hamper khusus untuknya sudah selesai di-packing. Aku pergi ke Agen JNE Mareya untuk mengirimkan paket tersebut. Suasananya sedikit berbeda, mungkin mengikuti perasaanku saat itu. Senang karena bisa menyelesaikan misi rahasia untuknya, tapi juga sedih karena hal itu adalah yang terakhir. Hari itu adalah hari terakhir aku mendatangi Agen JNE, nggak tahu kapan lagi aku akan bertransaksi langsung dengan sales counter officer JNE yang selama ini jadi langgananku. Beberapa hari kemudian, aku melakukan tracking paketku via website JNE dengan memasukkan nomor resinya. Seperti dugaanku sebelumnya, memang nggak bakal ada respons apa pun dari doi saat menerima paket dariku. Saat aku cek, ternyata paket itu udah sampai ke rumahnya, tapi yang menerima adalah ibunya. Ah, sudahlah, yang penting sudah selesai. 
2021 adalah tahun yang sulit untuk kujalani. Untungnya, aku punya keluarga dan sahabat yang selalu menyemangatiku. Bulan demi bulan kulalui dengan begitu-begitu saja, hanya tetap hidup tapi nggak bermakna, menurutku. Setelah aku mulai bisa menerima apa yang telah terjadi, aku mulai bertumbuh lagi dengan diriku yang baru. Aku mulai mengasah kembali kreativitasku yang sempat memudar. Aku mulai belajar menjual hadiah-hadiah yang selama beberapa tahun ini kubuat, dengan bantuan beberapa marketplace yang ada. Meski nggak laris, tapi aku bahagia banget ada yang mau beli handmade gift-ku. Jadi ada lagi alasanku ke JNE Mareya, kali ini mengirimkan paket untuk customer. Kadang aku juga menggunakan fitur request pick up biar nggak capek ke konter alias kurir yang menjemput paketnya ke rumahku. 
Sampai pada tahun 2024 ini, meskipun aku udah jarang kirim paket ke JNE karena berjualan handmade gift bukan pekerjaan utamaku, tapi aku sering melewati jalan raya di mana Agen JNE Mareya berada. Aku selalu teringat pada kenanganku di tempat itu setiap melewatinya. Agen JNE Mareya  masih terlihat sama, konter yang kelihatan banget kalau itu udah lama berdiri tapi sekarang udah lebih bagus secara visual, officer yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, mobil berisi ratusan mungkin ribuan paket yang terparkir di depan konter, para kurir yang bersiap mengantar paket, dan customer yang mau mengirim paket. Ah, kangen juga! 
Hampir 10 tahun aku punya kenangan dengan JNE Mareya, itu pun yang masih kuingat dengan jelas, mungkin sebelumnya ada juga. Dan JNE Mareya sudah hadir hampir 20 tahun, membersamai warga Mareya dalam hal kirim dan terima paket. Aku menyadari betapa hebatnya bisa bertahan sejauh ini, diriku yang masih mau bertahan hidup dan tetap mengasah kreativitas di masa tren yang silih berganti dengan cepat, para sahabat yang masih mau bertahan bersamaku di tengah gempuran people come and go, dan juga ekspedisi langgananku yang masih mau bertahan di era menjamurnya ekspedisi di Indonesia. Karena hidup akan terus berjalan, mari apresiasi yang masih mau bertahan.
Otw bikin handmade gift lagi.
Tumblr media
0 notes
dhynaindri · 3 years
Text
[HAL-HAL YANG PATUT DISYUKURI] #3 - SELALU ADA KABAR BAIK DI BALIK SESUATU YANG PELIK
Percayalah, jika kita bisa melihat sebuah situasi dari sudut pandang yang berbeda, akan ada syukur yang bisa dihaturkan atas apa yang terjadi dalam hidup kita. Percaya juga, bahwa selalu ada kabar baik di balik hal-hal pelik. Mungkin hari ini kita sedang tidak baik-baik saja, tapi bisa jadi orang di sekitar kita malah sedang berbahagia, begitu pun sebaliknya. Pernah ngerasain nggak, kabar baik dari orang di sekitar kita bisa menjadi energi positif bagi kita yang mungkin sedang merasakan hal yang sebaliknya? Rasanya ada kelegaan saat mengetahui atau mendengar kabar baik dari orang terdekat di saat situasi hati lagi berantakan.
Kadang, kita tuh sering berpikir bahwa kita ini unfaedah buat orang yang kita sayang, merasa nggak berguna jadi manusia, nggak ada manfaatnya sama sekali, dasar beban keluarga! Hahaha. Kadang juga berpikir, kapan ya bisa menjadi alasan orang lain bahagia? Waduh, jangankan itu, mikirin hidup sendiri aja udah kek mo meninggoy dan bolak-balik ditabok realita. Hari-hari ada aja yang bikin nggak tenang, bentar-bentar happy, bentar-bentar galau, mood swing parah (tapi lebih sering galau kayaknya). Sorry, itu aku, curcol, hehe.
Nah, di balik kehidupan yang amburadul itu, masa' iya mau dihabiskan dengan ngeluh, ngeluh, dan ngeluh tok? Harusnya ngeluh, ngeluh, dan nyantuy ae gaes! Alias meskipun banyak keluhan dalam menghadapi gemerlapnya dunia ini, sesekali harus santai saja kawaaannn~. Kalo terlalu dipikirkan kali dunia ini ya bisa-bisa beneran is dead. Ini ngomongin apa sih? Curiga mulai nggak beres nih otak. Ya maksudnya, walau sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, cobalah untuk melihat ke sekeliling apakah orang-orang terdekat kita masih baik-baik saja dan cenderung happy? Ya, gitulah pokoknya.
Contoh misal umpama bak ibaratnya, sesimpel di saat aku lagi galau mikirin drama percintaan yang kandas di tengah jalan, tiba-tiba my sohibul toyyiban menceritakan harinya yang menyenangkan, di mana setelah sekian lama menanti momen, ia akhirnya bisa meet up sama TTM-annya alias Teman Tapi Makanbareng. Sebagai their Popeye, tentu aku sungguhlah berbahagia kala mendapati kapalku mulai berlayar meski di zona teman, hihihi.
Contoh misal umpama bak ibarat lainnya, di balik kenggaktahudirianku sebagai beban keluarga, sering overthinking kapan bisa nggak nyusahin keluarga lagi. Melihat orang tua yang udah semakin tua dan aku pun ikutan makin tua, sementara anaknya yang unfaedah ini belum jadi apa-apa alias nggak bangga-able di hadapan tetangga dan saudara dari mana-mana. Kerumitan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata dan mata terbuka, hanya diri sendiri yang mampu pahami semua ini. Alhamdulillah, memang selalu ada kabar baik di balik sesuatu yang pelik. Adikku memproklamirkan bahwa dirinya akan menjadi seorang ayah dalam hitungan 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1 (dalam bulan). Wow, gara-gara itu juga kita sekeluarga jadi video call dengan 3 lokesyen yang berbeda. Jarang-jarang lho begitu sebagai sebuah keluarga yang biasa aja. Begitu pun dengan si The Heirs alias cucu pertama bapak dan ibu, yang kalo nginap di rumah pasti happy-nya ke mana-mana, serumah-rumah kena cute vibes-nya. Ya begitulah, selalu ada yang membahagiakan di balik orang yang menyebalkan.
Contoh misal umpama bak ibarat lainnya lagi, segampang bisa ngakak kocak pas scroll timeline medsos ketika lagi unmood atau so much thinking alias banyak pikiran. Atau, masih ada posting-an positif yang turut mewarnai timeline di antara posting-an yang nggak berguna namun viral dan asik itu-itu aja yang dibahas.
Dahlah, pokoknya masih banyak contoh lainnya. Mungkin kamu bisa menganilisis sendiri dengan situasimu sendiri. Intinya, gpp kalo lagi nggak baik-baik aja.
3 notes · View notes
dhynaindri · 4 years
Text
[HAL-HAL YANG PATUT DISYUKURI] #2 - KELUARGA YANG UTUH
Ketika merasa, kenapa ya hidupku begini amat? Nggak jarang ada rasa iri dengki melihat kehidupan orang lain yang terlihat lebih baik dariku. Tapi aku lupa, bahwa setiap orang ada plus minusnya, di balik sebuah kelebihan pasti ada kekurangan, begitu pun sebaliknya.
Kita nggak pernah tahu apa yang orang lain sudah korbankan demi mendapatkan sebuah kesuksesan. Yang kita lihat hanya hasil yang kelihatan di depan mata saja, tanpa tahu proses yang ia lewati seperti apa. Yang terlihat bahagia, belum tentu seutuhnya bahagia. Yang terlihat buruk pun belum tentu seutuhnya buruk.
Mungkin aku tidak sukses yang seperti persepsi kebanyakan orang mengenai arti sukses. Tapi aku punya keluarga yang utuh, yang cukup harmonis dan saling mendukung satu sama lain. Di mana aku menyadari kalo nggak semua orang seberuntung diriku yang orang tuanya masih lengkap dan memiliki saudara kandung (punya abang dan punya adik). Selain itu, kami semua nggak pernah saling judge atas kehidupan masing-masing dan jalan yang kami pilih sendiri. Kami hanya bisa saling dukung, saling bantu, dan pastinya saling mendoakan yang terbaik.
Yang aku syukuri adalah: meski aku tidak seperti teman-temanku yang sukses secara karir dan finansial, tapi aku masih bisa berkarir dengan caraku sendiri, sukses menurut sudut pandangku sendiri, dan aku masih bisa menikmati kehidupan bersama keluargaku sendiri. Ada orang yang sukses dan banyak duit, tapi jauh dari keluarga alias merantau. Ada orang yang karirnya lagi di atas awan tapi nggak ada waktu untuk keluarga saking sibuknya kerja. Ada orang yang justru biasa aja menjalani kehidupan ini tapi bisa tetap dekat dengan keluarganya. Semuanya ada plus minusnya, tinggal kita yang menentukan mau ambil risiko yang mana.
Setelah semua yang aku pernah lewati, halang rintang yang aku hadapi, susah senang yang aku dapati, aku memutuskan untuk memilih jalur family first. Ingat, family first pun beda-beda tergantung cara berpikir manusianya. Ada yang menganut prinsip family first dengan cara kerja keras bagai kuda demi menghidupi keluarga secara finansial. Ada yang dengan cara meluangkan banyak waktu demi kualitas komunikasi dan kedekatan antar keluarga. Ada yang dengan cara sukses berkarir demi membanggakan keluarga alias prestige is number one. Ada yang dengan cara menjadi freelance demi bisa membantu mengurus rumah. Dan aku memilih yang terakhir.
Bukan mudah untuk hidup seperti demikian. Di mana idealis nggak bisa ngasih kita makan, mau ngapain atau ke mana aja susah karena keseringan nggak ada duitnya. Jarang keluar rumah karena berkutat ngurusin rumah plus project-an yang hasilnya kebanyakan hanya untuk menyenangkan diri sendiri. Bahkan kadang malu sendiri karena masih dialiri dana pihak ketiga alias dari saldo bapak pindah ke saldo diri ini. Apakah aku menyesal? Tentu tidak. Sebelumnya, aku pernah merasa yang tadinya dekat jadi tiba-tiba jauh dari keluarga secara hati, bukan jarak. Pernah nggak punya waktu untuk sekadar ngobrol sama keluarga saking sibuknya kerja. Ibarat rumah udah kayak hotel alias cuma numpang tidur dan mandi dan makan. Pergi nggak nampak matahari, pulang pun nggak nampak matahari. Lalu aku ditampar realita, karena ternyata orang tuaku merasa anak-anaknya terlalu sibuk dan kangen ngobrol dan bercanda di ruang tengah sekeluarga. Saat itu aku menyadari bahwa mungkin benar, katanya orang tua nggak butuh uangmu, tapi waktumu. Dengan semua permasalahan yang aku alami di duniaku sendiri, si idealis ini kembali menunjukkan taringnya dengan cara resign. Sungguh tak patut dicontoh, nggak punya pegangan tapi berani resign. Sebenarnya sangat disayangkan sih, tapi aku lebih sayang mentalku. Bisa gila aku kalo terus-terusan berada di lingkungan kerja yang toxic. Apa lagi, aku kehilangan hobiku semenjak aku kerja bagai kuda yang hasilnya juga nggak seberapa alias untung nggak sampe kena tipes. Meski terkadang aku berpikir kalo jalan yang kupilih ini banyak minusnya, tapi aku berusaha kuat untuk berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri. Sungguh sangat tidak mudah, bahkan cenderung gagal. Tapi, dengan ini aku bisa kembali pada duniaku yang sesungguhnya. Melanjutkan kembali apa-apa yang sempat hilang, dan semakin mengasahnya. Mungkin nggak langsung sekarang, tapi aku yakin apa yang aku usahakan sepenuh hati ini suatu saat akan menjadi hal baik yang mendatangkan faedah untukku.
Seseorang (mas mantan) pernah berkata, aku ini tipikal anak yang 90% keluarga. Yang artinya, demi keluarga banget, mikirin keluarga banget. Katanya sih, berdasarkan penilaian doski yang lumayan lama memperhatikan situasi dan kondisi kehidupan keluargaku, juga membandingkan dengan saudara sekandungku. Mungkin aku nggak bisa memenuhi keluarga secara finansial, malahan aku masih bergantung sama orang tua, tapi cara berbaktiku adalah dengan turut serta mengurus rumah yang lebih ke jadi babu sih kayaknya hahaha. Di rumah, perempuan cuma ada dua, ibu dan aku. Siapa lagi yang jadi babu kalo bukan aku? It's okay, risiko jadi anak perempuan. Apa lagi punya 3 saudara laki-laki yang tak bisa terlalu diharapkan. Di saat saudaraku yang baru meniti karir terus langsung memutuskan menikah, aku malah kepikiran gimana keadaan rumah kalo aku menikah. Aku yang secara finansial termasuk yang gagal ini malah selalu berharap dikasih rezeki materi biar bisa nyenengin orang tua. Meski nggak banyak, aku selalu berusaha untuk membahagiakan orang tua dengan cara yang sederhana lewat hal-hal kecil. Kalo kelar nge-job dan dapet fee, aku beliin sesuatu buat orang rumah. Kalo fee-nya lumayan, aku beliin ibu apa yang beliau butuhkan, misalnya waktu itu aku beliin sandal buat bepergian. Kalo fee-nya pas-pasan, aku cuma bisa beliin makanan buat orang rumah. Begitu pun ketika aku melalak alias keluar rumah untuk nongkrong, meski uangnya dari orang tua juga, tetap aja kalo pulang mesti ada yang dibawa sebagai oleh-oleh walaupun sekadar rerotian gitu. Nggak tahu, rasanya nggak afdol aja kita happy-happy di luar dan foya-foya ngabisin duit, tapi nggak mikirin orang yang di rumah. Kita makan enak di luar, setidaknya orang rumah juga bisa merasakan sedikit feel yang sama.
Makanya, janganlah underestimate terhadap seseorang yang kita nggak pernah tahu proses yang ia lalui untuk mencapai bahagia versinya sendiri. Karena setiap orang pasti punya struggle-nya sendiri, punya level bahagianya sendiri, punya nilai sukses berdasarkan perspektifnya sendiri. Jangan karena judgement yang keluar dari mulut kita membuat orang lain merasa down dan sia-sia. Silakan pilih jalur hidup masing-masing tanpa mengusik pilihan orang lain. Karena kamu nggak bakal ngerti gimana orang lain jatuh dan bangkit cuma untuk bertahan hidup. Yang paling penting, apa pun jalan yang kita ambil, jangan sampai mengabaikan keluarga. Uang sebanyak apa pun nggak akan bisa membeli waktu dan momen bersama keluarga.
Ketika aku merasa kalah dibandingkan teman-temanku yang karirnya lagi di atas awan, masih ada hal yang patut kusyukuri sebagai manusia yang sering merasa sia-sia ini, yaitu keutuhan sebuah keluarga. Kehangatan yang sungguh beruntung aku masih mendapatkannya. Bahkan seseorang yang punya keluarga utuh pun pernah merasa iri melihat suasana di keluargaku.
☆Maret 2021 - dins.
Tumblr media
1 note · View note
dhynaindri · 4 years
Text
[HAL-HAL YANG PATUT DISYUKURI] #1 - TERLAHIR CUKUP
Dilahirkan dari keluarga yang bisa dibilang cukup alias nggak miskin dan nggak kaya juga. Kebutuhan untuk menghidupiku sedari bayi pun dilakukan dengan baik oleh orang tuaku demi tumbuh kembang anaknya. Namun, bukan berarti kehidupan berjalan mulus tanpa halang rintang. Aku, pernah merasakan tiga fase itu: lebih, cukup, kurang. Apa lagi aku menghabiskan masa kecil dan remaja di kampung. Di sana, aku merasa cukup, bahkan bisa dikategorikan 'berlebih' bila dibandingkan teman-teman sepermainanku.
Privilege yang aku terima sebagai anak seorang PNS plus orang cukup berpengaruh di sana adalah banyak dikenal warga hanya dengan sebutan "anak Pak Adi", tak lupa kebutuhan hidupku pun dicukupkan karena bapakku bergaji stabil. Di sisi lain, sangat beruntung lahir sebagai anak dari orang tua yang berwawasan luas, berjiwa sosial, dan cukup terpandang di lingkungan kampung. Kurang privilege apa coba, kami bisa tinggal bertahun-tahun di rumah dinas yang sudah kami anggap seperti rumah sendiri alias itu rumah ada bagian yang direnovasi dan ditambah, pekarangannya dipenuhi bunga-bunga udah macam florist, sempat bikin kolam ikan juga tapi nggak lama karena sering memakan korban yaitu aku yang kecemplung ke kolam ikan saking lasaknya, segala ada kandang burung merpati kipas, dan pohon legend yaitu pohon jambu yang kami rawat seperti anak sendiri, yang menjadi side job kami ketika musim panen alias ngumpulin pundi-pundi uang jajan berkat jualan jambu itu. Btw, rumah dinas yang kami tempati itu lokasinya sangat strategis, berada di pusat kecamatan, dekat lapangan merdeka, dekat rumah sakit, dekat lapas alias penjara, dekat kantor polisi, dekat koramil, dekat pasar, dekat pantai, dan terutama dekat SD yang bangunannya bekas peninggalan penjajah. Asyiknya adalah: wilayah main sangat luas karena ada sekolah yang ada kolongnya, ada sungai kecil juga yang selalu seru untuk main apa lagi pas abis hujan, kenal sama anak-anak SD situ meski pun aku sekolahnya di SD lain. Nggak asyiknya adalah: serem coy! Bayangin aja di depan rumah lu ada bangunan bersejarah, di samping rumah lu ada sumur bersejarah juga yang disebut sumur Multatuli, di depan gang rumah lu banyak pohon mahoni tua yang pernah ada kasus kecelakannya. Untungnya, aku nggak pernah merasakan yang serem-serem itu, tapi sering dengerin cerita orang bahkan keluarga yang pernah mengalami kejadian mistis gitu.
Balik lagi ke awal. Kenapa aku merasa bersyukur terlahir cukup? Ya, dengan keadaan yang demikian tentu saja masalah gizi menjadi nomor satu bagi orang tuaku. Dikasih makan yang enak dan sehat, tak lupa susu formula. Dikasih banyak mainan dan alat penunjang tumbuh kembang anak seperti baby walker dan sepeda. Diajak jalan-jalan sore sama bapak naik motor Megapro yang pada zaman itu cuma bapak doang yang punya (abis itu jadi banyak juga yang punya motor itu). Di masa kecilku, ada tanteku juga yang tinggal di rumah selama beberapa tahun dan turut membantu mengurusku. Yang paling keren dan aku bersyukur banget terlahir cukup adalah: bapak punya tustel dong. Semua masa kejayaan anaknya berhasil beliau abadikan dan masih bisa kami nikmati (hasil foto-fotonya) hingga saat ini. Di masa itu, memiliki tustel adalah hal yang mewah. Bahkan banyak kegiatan besar di kampung yang dokumentasinya berasal dari tustel bapak. Ya, bapak sering bahkan selalu deh kayaknya jadi panitia acara-acara besar di sana. Dan bapak pernah bilang, Panitia Hari Besar Islam (PHBI) yang sering mengadakan acara peringatan seperti isra mi'raj, maulid, pesantren kilat, dan sebagainya, itu bapak pemrakarsanya. Oh, betapa kerennya bapakku yang satu itu. Beruntung, aku punya foto-foto masa kecil yang aku yakin nggak semua orang memilikinya. Oh iya, keluarga kami juga sering jalan-jalan dan piknik (meski masih seputaran wilayah situ, kecuali pas liburan ke kota halaman yaitu Medan). Tak jarang juga perginya karena dari kantor bapak.
Apa pun buat keluarga, mungkin begitu prinsip bapak. Tapi jangan salah, bukan berarti segala keinginan kami akan dituruti beliau. Yang ada hubungannya sama pendidikan, itu nomor satu. Nggak heran aku punya banyak buku lain di luar buku pelajaran dari sekolah, karena dibeliin bapak demi menunjang proses belajarku. Bahkan aku dibeliin buku lagu-lagu daerah dan nasional, selain berguna untuk mata pelajaran seni budaya, juga berguna untuk aku yang ikut ekskul drum band. Pokoknya perlengkapan sekolahku paling lengkap deh, apa aja ada. Coba kalo yang lain-lain alias nggak penting, nggak bakal diturutin bapak. Dan dengan didukung oleh rajin belajar, aku selalu dapet rangking 2 di SD. Maklum ya kan, kayaknya kalo zaman SD tuh 3 besarnya pasti itu-itu aja orangnya dari kelas 1-6. Agak susah bagiku nembus rangking 1, karena doi emang pinter plus ada orang dalem deh kayaknya hahaha (pernah pas kelas 2 SD, doi nggak ikut ujian semester, katanya sekeluarganya ke Medan entah ngapain, tapi ujung-ujungnya doi tetap juara 1 dong alias betapa dendamnya diriku yang ikut ujian tapi masih juara 2). Untungnya pas SMP aku nggak satu sekolahan lagi sama doi, jadi aku bisa melaju dapet rangking 1. Dulu, kalo dapet rangking tuh pasti bakal dikasih hadiah sama bapak, sebagai bentuk apresiasi (begitu pun dengan puasa, kalo full pasti dapet hadiah). Mantap nggak tuh, di sekolah pasti 3 besarnya diumumin kepsek plus dapet hadiah buku. Di rumah, dikasih hadiah lagi sama bapak. Sorry Gengs (re: abang & adik-adikku), untuk masalah ini, gue yang paling berjaye. Sedari kecil, kami diajarkan untuk kalo mau sesuatu di luar kepentingan yang bisa dituruti oleh bapak, harus menabung. Masalah tabungannya cukup atau enggak, itu belakangan. Karena apa? Karena bapak bakal men-support kekurangannya. Berbagai cara dilakukan untuk menabung, mulai dari menyisihkan uang jajan, sampai jualan di kelas. Mana aneh lagi jualannya. Kalo temenku ada yang jual roti dan keripik singkong balado bikinan emaknya, aku malah jualan sisaan kue lebaran yang aku kemas di plastik kecil-kecil, terus aku jualin ke temen-temen. Kecuali pas musim panen jambu, auto jualan jambu aja di sekolahan.
Sekarang dari sisi ibuku yang cantik dan baik hati dan open minded dan i love her so much. Dilahirkan dari rahim ibuku di hari Kamis jam 6 pagi tanggal 10 Juni 27 tahun yang lalu, merupakan sebuah keberuntungan, tidak hanya bagiku, tapi juga baginya. Setelah punya anak cowok, akhirnya orang tuaku punya anak cewek yang lahirnya nyusahin alias sungsang. Ibu sengaja mau anak-anaknya lahir di Medan. Jadi, bikinnya nggak tahu di mana (karena aku nggak pernah nanya), menikmati masa kehamilan di kampung, pas mau lahiran sengaja pulang ke kota, pas anaknya lahir setidaknya sebulan dua bulan menetap di Medan sekalian aqiqah, abis itu balik lagi ke kampung dan membesarkan anaknya di kampung. Sungguh sebuah perjuangan, di mana you know jarak kampung ke kota itu jauh banget banget banget alias pergi siang nyampe sananya besok pagi, mana melewati hutan belantara dan bukit dan jalanan rusak dan sering longsor pula. Apa lagi di zaman itu aksesnya susah banget, iyalah, tahun 80-90an gitu. Apa yang diharapkan dari tinggal di kampung yang pelosok banget alias ujungnya Sumatera Utara? Keren banget kan pendatang yang bisa survive di kampung orang. Kalo kata ibu, pandai-pandai mengambil hati warga lokal, temenan sama mereka, soalnya pemikiran orang kota kan pasti beda sama orang yang tinggal di kampung. Apa lagi harus adaptasi sama adat budayanya. Jangan sampai dinyinyirin warlok deh, nggak enak banget. Yang penting nggak usah menjaga citra kalo kita orang kota, karena ya ramashoookkk gaes. Emangnya enak dimusuhin warlok? Apa lagi kalo sampai ada kasus, wah, bahaya, bisa-bisa harga diri sebagai pendatang langsung luluh lantak dibuat orang situ. Selain kental dengan adat istiadatnya, warga kampung juga nggak lepas dari yang namanya hal mistis. Makanya, hati-hati deh kalo kita pendatang tinggal di kampung orang. Jangan sampai gara-gara nyari perkara, berujung sial. Baik-baiklah membina hubungan dan menyatu dengan mereka. Niscaya hidup bakal enak kayak ibuku, siapa tak kenal dia? *nyanyi lagu Ikang Fauzi*
Kalo ibuku mah demi keluarga bangetlah orangnya. Family first, beliaunya belakangan gpp, katanya. Kalo kata netijen, ibuku ibuable sekaliii. Semua pekerjaan rumah diselesaikan tanpa bala bantuan (tapi bapak sering kok bantuin ibu), mengurus anak-anaknya yang bandel dan doyan berantem satu sama lain, masakannya selalu numero uno mantap jiwa, suka bagi makanan ke tetangga, kalo belanja pekanan di pasar setiap hari Selasa pasti anaknya selalu dikasih goceng buat beli apapun yang dimau, sering beliin mainan dan aksesoris sampai langganan sama bang Kembar namanya. Kalo bapak urusan pendidikan, ibu bagian keterampilannya. Nggak ada unsur pemaksaan, ibu lebih ke mengarahkan anak-anaknya untuk menyeimbangkan belajar dan terampil. Anaknya suka diajakin untuk ikut perlombaan, ikut kegiatan sekolah atau di luar sekolah, yang penting anaknya juga enjoy.
Privilege sebagai anak pendatang, sering direkomendasikan untuk ikut keterampilan yang mana biasanya itu bakal memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Katanya, kalo orang pendatang pasti mau kalo disuruh bayar ini itu buat keperluan kegiatan, karena secara finansial ya orang pendatang nggak ragu untuk ngeluarin duit di kebutuhan tersier itu. Nggak cuma bagi pendatang aja lho ya, tapi juga bagi warlok yang punya pengaruh atau terpandang di sana. Waktu SD kelas 5-6, aku ikut drum band sekolah dengan posisi sebagai pemain pianika, dan berlanjut sampai SMP. Aku juga diikutkan sebagai penari tradisional bersama banyak banget teman lainnya, dan ada pertunjukannya gitu, biasanya menyambut orang penting di sana. Senam SKJ sesekolahan juga aku diikutkan, itu ada lombanya di lapangan merdeka di kampung. Aku juga pernah ikut lomba baca doa gitu dan juara 3 dapet hadiah handuk kalo nggak salah. Aku juga mewakili sekolah bersama beberapa teman untuk menari tradisional dalam rangka malam 17 Agustusan. Yang seru dari malam 17an adalah: semua sekolah di kecamatan itu ikut pawai obor. Bayangin siangnya ramai-ramai nyari bambu, terus minta dibikinin sumbu obornya, terus malemnya ngumpul di lapangan buat pawai keliling kampung nyalain obor. Pas pulang kan sendiri-sendiri, pasti takut dong, untung rumahku dekat banget sama lapangan alias lari sebentar langsung sampai rumah.
Dari semua itu, sebenarnya kehidupan kami nggak mulus-mulus banget. Di balik kata 'berkecukupan' itu pasti ada lika-likunya. Makanya tadi aku bilang aku pernah merasakan semuanya, yang membuat aku jadi banyak bersyukur atas kehidupan yang telah aku jalani. Bukan tinggal di kampung namanya kalo nggak pernah mati lampu. Bahkan setiap hari pasti ada jadwal mati lampunya. Makanya di rumah-rumah selalu sedia lampu semprong atau lilin atau senter yang masih pakai baterai gede yang warna orange itu. Itu mah masih enak bila dibandingkan ketika bapak baru pindah ke kampung pas jadi PNS, di tahun 80an bahkan listrik belum masuk sana. Apa enaknya tinggal di tempat yang tiap hari ada mati lampunya dan itu nggak sebentar? Ya biasa aja, karena udah terbiasa juga. Orang dulu mah nggak terlalu bergantung sama listrik. Kami masih bisa belajar kok pakai lampu semprong yang kacanya pasti menghitam kena asap apinya. Kami juga suka diajakin main bayangan sama bapak, menciptakan berbagai bentuk dari bayangan tangan. Kami juga bakal tidur sekeluarga di ruang tamu beralaskan tikar. Kami juga pernah makan nasi cuma pake telur dadar atau mie instant atau tempe goreng. Kalo lagi males makan, biasanya suka makan nasi anget pake garam doang, dan itu enak banget karena nasi angetnya dikepal-kepal dulu sama bapak, terus disuapin deh. Selain pakai garam, nasi anget juga enak banget dipakein blue band atau kecap. Sampai sekarang, aku masih sering makan nasi pakai margarin, dan kecap is my favoritto, semua makanan dikecapin kecuali yang bersantan. Dulu, kalo mau mandi harus nimba air sumur dulu. Dulu, masak masih pakai kompor sumbu yang mereknya Hock kalo nggak salah, dan masih pakai minyak tanah. Waktu itu sempat langka kan minyak tanah tuh, pernah sampai ngantre sambil bawa jerigen. Dulu, kalo mau isi bensin di spbu mesti ke ujung kulon alias jauh banget bisa sekalian jalan-jalan, yang ada baru diisi terus pulang udah abis deh itu bensin alias buat apaaa. Dulu, kalo ke sekolah ya jalan kaki, ramai-ramai sama teman. Karena kecamatan itu nggak luas, jadi temannya ya itu-itu aja. Meski beda sekolah pun bisa temenan. Dan mau main ke rumah teman di mana aja, sejauh apa, tetap bisa pulang jalan kaki. Palingan bakal dijemput bapak naik motor kalo udah jam 6 sore anaknya belum pulang. Segampang itu bagi orang tua untuk tahu anaknya lagi di rumah siapa. Mungkin diinfoin sama orang tua lainnya kali ya. Misalnya, anaknya lagi di rumah si A, terus lanjut main ke rumah si B. Terus orang tuanya sore-sore datang ke rumah A, kata orang tuanya si A, anaknya pergi ke rumah so B, jadilah si orang tua ini jemput anaknya di rumah si B. Mungkin yaaa. Dulu, belajar bareng ke rumah teman yang jauh pun dijabanin, malam-malam pulang sendirian masih nggak takut. Ya karena dulu nggak ada orang jahat di sana, paling-paling takut dikejar setan doang.
Inget banget waktu gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 dan gempa hebat di Padang tahun 2005, itu aku masih SD kelas 6. Sekampung ngungsi di atas bukit. Di kampungku kan ada laut dan ada bukit, jadi semuanya menghindari area laut yang berpotensi tsunami dan mengungsi ke bukit. Demi apa tengah malam semua heboh keluar rumah dan lari-lari menuju bukit, karena ramean dan panik jadi nggak ngerasa takut. Coba kalo nggak rame, serem gila gelap-gelapan di bukit yang emang serem. Pas di sekolah gempa susulan pun semua pada bernangisan di lapangan sekolah, mana tanah kelihatan retak-retak gitu pula. Terus orang tua pada jemputin anaknya untuk dibawa mengungsi lagi biar aman. Untungnya nggak kenapa-kenapa, padahal isunya gelombang air laut di pantai udah tinggi banget tapi nggak jadi tsunami, katanya dialihkan ke wilayah lain, nggak tahu siapa yang mengalihkannya. Katanya sih begitu, kampung kami ada yang menjaga.
Semua suka duka kami lalui di kampung, sedari bayi sampai aku kelas 1 SMA. Aku bersyukur pernah menghabiskan masa kecilku di kampung, banyak pelajaran dan pengalaman berharga yang aku dapatkan di sana. Bagaimana kekeluargaan dan solidaritas menjadi sangat penting, dan aku sangat menghargai adat dan budaya di sana serta orang-orang yang tinggal di dalamnya. Aku pernah merasakan menjadi lebih, cukup, dan kurang, tentunya itu menjadikanku selalu mensyukuri hidup. Aku menilai syukur dari sudut pandang yang berbeda, dari apa-apa yang sudah aku lewati dan masih terus kujalani. Sampai pada bulan Juni 2009 kami sekeluarga pindah ke Medan, kehidupan kami masih diuji dengan susah senang bersama. Bukan mudah hidup di kota besar, kami seperti memulai kehidupan yang baru, dari nol lagi. Pernah terpikir mending tinggal di kampung aja, karena jujur berat sekali di tahun-tahun awal kami pindah. Malah semakin tinggal di kota semakin merasa kurang, karena apa-apa mahal, dan semakin banyak kebutuhan. Kami tak lagi semakmur waktu di kampung. Tapi justru hal tersebut membuat kami semakin kuat, melewati proses hidup yang kami bangun dari nol, sangat kelihatan progresnya. Jadi, kami bisa lebih menghargai kehidupan ini. Dengan itu pun, aku merasa hubunganku dengan saudara sekandung yang dulunya tiada hari tanpa berantem, kini semakin kompak dan cukup dekat. Pendewasaan diri itu terasa sekali setelah melewati manis dan getirnya hidup. Jadi, di kala aku merasa down, ingat kembali bahwa lebih dari itu pernah kulalui. Di saat aku merasa sia-sia dalam menjalani hidup, ingat kembali bahwa terlahir cukup adalah sebuah privilege. Ketika keberuntungan rasanya nggak pernah berpihak padaku, ingat kembali bahwa kurang beruntung apa lagi punya keluarga yang seperti ini.
Untuk itu, kuhaturkan rasa terima kasih pada diriku yang sudah sekuat ini berjuang hingga detik ini. Tak lupa terima kasih pada keluargaku yang mengajarkan banyak hal dan memberikan experience yang amazing perfectly awesome. Jika kehidupan ini terasa sia-sia, ingatlah, masih banyak hal yang patut disyukuri. Nikmat Tuhan yang mana lagi yang kamu dustakan, masih diberi napas untuk bertahan hidup adalah sebaik-baiknya nikmat yang wajib disyukuri.
☆Maret 2021 - dins.
Tumblr media
3 notes · View notes