dferdian-blog
dferdian-blog
langkah kecil
2 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
dferdian-blog · 8 years ago
Text
DILEMA NAIK GUNUNG
Beberapa minggu yang lalu aku bertemu dengan seorang teman lama. Dia terlihat lebih gemuk dari terakhir kali kami bertemu. Katanya itu karena dia sudah tidak pernah ke gunung lagi. Aku bertanya mengapa dan dia bilang, "Naik gunung hanyalah hura-hura yang sepi makna." Benarkah? Aku meragukannya.
Aku berusaha mencerna kata-katanya tapi karena tidak mengerti juga akhirnya aku memutuskan kalau itu mungkin karena pengaruh usia. Bagaimanapun juga dia adalah seorang pria dewasa yang pundaknya pastilah diberati dengan begitu banyak beban. Aku sendiri saat ini masih merasa sebagai anak ingusan yang kalau aku mau aku pasti bisa mengambil rembulan dan menaruhnya di meja makan.
Setahuku naik gunung adalah sebuah pembelajaran. Naik gunung mengajari kita untuk menghargai arti penting sebuah proses. Bukankah kita harus bersusah payah mendaki dari bawah untuk mencapai puncak dengan pemandangannya yang indah? Itu saja sudah cukup untuk menunjukkan betapa kita harus menjadi pejuang yang gigih karena di dunia ini tidak ada kesuksesan yang tanpa perjuangan. Cara-cara instan memang menyenangkan tapi seringkali mereka kurang memberikan kepuasan.
Setahuku naik gunung juga mengajari kita betapa kebersamaan terkadang melahirkan banyak keajaiban. Kalau tidak naik gunung aku tidak akan tahu bahwa sepotong coklat bisa mengenyangkan perut 5 orang. Kopi di Starbuck kalah enak dengan kopi yang kami masak. Dan semangkuk indomie bisa menjadi makanan paling lezat sedunia bila dinikmati bersama-sama. Kalau tidak naik gunung aku juga tidak akan tahu bahwa dengkuran temanku bisa menjadi lagu yang paling merdu dan betapa wajah konyolnya bisa membuatku rindu setengah gila. Setahuku naik gunung juga dapat menambah wawasan. Sebelumnya aku tidak tahu kalau di belahan bumi ini ada sebagian orang yang beranggapan bahwa 5 hari tidak mandi terkadang menyehatkan. 3 hari tidak gosok gigi tidak akan membuatmu mati dan betapa jumlah orang gila meningkat setiap tahunnya, sebagian masuk Rumah Sakit Jiwa, sebagian lagi berkeliaran di gunung, menyamar sebagai pengembara.
Tapi…Beberapa waktu lalu aku sedikit risau melihat teman-temanku naik turun gunung tanpa henti seolah-olah mereka lupa bahwa bumi terus berotasi. Pergantian siang dan malam menjadi tidak penting lagi karena bagi mereka Senin atau Selasa sama saja. Rabu dan Kamis mereka masih di gunung juga. Jumat, Sabtu, Minggu telah berganti nama menjadi Sekarang, Besok, dan Lusa diiringi pertanyaan yang selalu menyertainya,"Kita akan berada di puncak mana?" Awalnya kukira aku hanya iri melihat mereka tapi semakin sering dipikirkan semakin sering aku bertanya,"Buat apa?" Toh bagiku gunung-gunung itu sudah tak penting lagi. Aku lebih suka mencemaskan orang-orang yang mendakinya, orang-orang yang dengan mereka aku rela minum secawan bersama, tak peduli bahwa gigi mereka lebih sering dijejali dengan jengkol, pete, dan ikan teri daripada odol dan sikat gigi.
Kalau teoriku benar seharusnya semakin sering ke gunung kepala kita akan semakin tunduk ke bumi. Seharusnya kita semakin arif dan rendah hati karena kita menyadari betapa kita tak berarti apa-apa tanpa orang lain. Karena kita mengerti betapa rapuhnya kita hingga dengan mudahnya kita akan binasa bila alam menghendakinya. Hanya karena kemurahan Tuhanlah kita masih bisa menghirup segar udaraNya dan menikmati indah ciptaanNya.
Tapi kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya. Semakin sering ke gunung kita menjadi semakin pongah. Besar kepala dan besar mulut. Kesederhanaan kita terkikis, digantikan dengan sikap meremehkan karena menganggap orang lain sudah tidak sepadan dengan kita. Sudah tidak level. Begitulah istilah kerennya. Mau tidak mau perkataan temanku terngiang kembali di telingaku. Naik gunung hanyalah hura-hura yang sepi makna. Aku mulai mempercayainya. Padahal bagiku butuh waktu seumur hidup untuk melupakan kemesraan saat kami makan sepiring bersama, kehangatan saat berdesak-desakan dalam tenda, kegembiraan saat kami tertawa mengejek cuaca yang mempermainkan kami seenak perutnya. Aku pasti salah saat berharap rasa itu akan seabadi kisah kami karena esok atau lusa mereka akan pergi ke gunung lagi, bertemu dengan orang baru lagi dan kamipun akan dilupakan dan ditinggalkan seperti barang yang usang.
Yah, memangnya kenapa mereka harus mengingat kami? Kami bukanlah siapa-siapa. Hanya teman duduk dalam kereta, teman tertawa saat sedang gembira. Sekali lagi aku seperti mendengar temanku berbisik di telingaku. Naik gunung hanyalah hura-hura yang sepi makna. Aku percaya.
Aku sering dibuat iri dengan apa yang kubaca tentang para pengembara Mongolia. Mereka adalah leluhur Jenghiz Khan, orang-orang yang dilahirkan di tenda, dimandikan dengan air sungai, dan menghabiskan seumur hidupnya di atas punggung kuda. Orang-orang yang hidup selaras dengan alam, begitu selarasnya hingga mereka akan bersedih bila mereka meninggal dan burung-burung nasar tidak mau memakan jasadnya. Orang-orang yang teguh memegang janji dan bersaudara sampai mati meski di dalam tubuh mereka mengalir darah yang berbeda. Cara hidup bar-bar seperti itu memang sudah tidak mungkin kita temui dalam kehidupan yang seperti sekarang ini tapi aku percaya hati manusia dulu ataupun sekarang pastilah terbuat dari bahan baku yang sama. Karenanya aku juga percaya tidaklah tidak mungkin bila kita memiliki persaudaraan yang abadi seperti para pengembara Mongolia.
 Bukankah mereka sendiri yang berkata bahwa Viking dan Bonek sama saja? Jak mania juga manusia. Tapi aku segera menyadari bahwa itu semua mungkin cuma euforia sesaat saja. Pada akhirnya waktu akan membuat mereka lupa bahwa mereka pernah mengatakannya. Bahkan janji reuni 10 tahun lagi di Ranu Kumbolo membuatku nyaris tertawa. Kedengarannnya itu seperti mimpi gila seorang anak muda yang tengah di mabuk cinta. Aku tak yakin kalau mereka akan mengingatnya karena bagaimanapun juga naik gunung hanyalah hura-hura yang sepi makna. Aku makin mempercayainya.
Aku pasti sudah setua temanku karena semakin lama aku jadi semakin sering meributkannya. Teringat pula pertanyaan klasik yang celakanya sampai hari ini belum juga aku temukan jawabannya. Orang-orang di sekitarku selalu bertanya,"Cape-cape naik turun gunung, apa yang kau cari?"
Seribu satu jawaban aku kemukakan, satu dua orang terpuaskan tapi jauh dari dalam lubuk hatiku tak satupun dari jawaban-jawaban itu yang kuyakini kebenarannya.
Kelelahan mencari menggiring otak bodohku pada sebuah kesimpulan ekstrim. Kalau aku tidak juga dapat menemukan alasan yang mendasarinya, itu berarti aku telah terjebak dalam sebuah perbuatan yang sia-sia. Lalu buat apa dilanjutkan? Sudah seharusnya bila semua diakhiri sampai di sini saja. Aku bersiap diri untuk patah hati yang terakhir kali. Setelah ini tidak boleh ada gunung lagi karena naik gunung hanyalah hura-hura yang sepi makna. Aku tidak dapat menyangkalnya. Tepukan di bahu membawaku kembali kepada saat itu. Deru mesin kereta menyamarkan isakannya. Seingatku orang-orang masih beranggapan bahwa air mata hanyalah milik perempuan karenanya aku percaya pemandangan tentang pria yang berurai air mata hanya ada dalam film India. Ketika berkesampatan melihatnya terjadi dalam dunia nyata aku yakin aku tidak akan sanggup menghadapinya.
Karena itu aku memilih untuk segera berlalu dan pura-pura tidak tahu saat ia bertanya, "Bilakah kita kembali mendaki gunung bersama?"
Aku hanya ingin secepatnya kembali bertemu teman lamaku. Aku ingin menemuinya dan menyampaikan kisah ini padanya. Naik gunung hanyalah hura-hura yang sepi makna. Ah, itu pasti cuma omong kosongmu saja!
0 notes
dferdian-blog · 8 years ago
Text
KESAN PERTAMA (1)
Jatuh cinta, kebanyakan orang mengalami jatuh cinta pada saat pandangan pertama. Kecantikan atau ketampanan yang ditampilkan akan selalu memberi kesan pada pengagumnya. Termasuk aku yang mengalami hal ini, berawal dari kejenuhan kerja yang begitu-gitu saja, pergi pagi sampai matahari tak terlihat lagi, tak jarang aku lupa mandi, malah kadang lupa gosok gigi. Benar-benar aktivitas yang menjengkelkan yang aku alami beberapa tahun terakhir. “statis, ga ada perubahan!” gerutuku ketika melihat slip gajih. Rupanya perasaan itu tidak cuma dialami olehku, salah satu temanku mengeluhkan hal yang sama.
           “cape euy badan serasa remuk lembur terus” gilang membuka obrolan di waktu istirahat.
“iya sama, butuh piknik ini mah biar fresh” sahutku sambil menyenderkan badan.
“hayu ah der kemana? Kalo bisa mah ke pantai lah”
“serius nih? Nanti gue cari dulu tempatnya yang bagus..mau ajak siapa?” aku merubah cara dudukku merespon ide gilang.
“gw tawarin ke yang lain ya?”
“iya sana tawarin”
Tempat yang pertama muncul dipikiranku yaitu pulau tidung, saat itu pulau tidung memang sedang menjadi primadona bagi orang-orang yang ingin sekedar menjernihkan pikiran kotornya, kotor karna berisi aktivitas-aktivitas yang membosankan. Aku mulai bertanya pada mbah google tentang pulau yang sedang ramai diperbincangkan, “pulau tidung” setelah aku mengetik tulisan itu munculah deretan gambar-gambar pulau yang begitu eksotis karya para editing handal. Jariku berkali-kali menggeser trackball melihat-lihat gambar yang ditampilkan, ada satu foto yang membuat jariku berhenti, tak lama aku langsung mengklik foto yang menurutku cukup menarik diantara foto lainnya. Di foto itu terlulis karjaw island, aku langsung kembali bertanya pada mbah google tentang keberadaan karjaw island. Keningku mengkerut, pikiranku seketika berangan-angan sambil memantapkan hati “oke kesini!!!”
Esoknya aku bangun lebih pagi dari biasanya, masih sempet buat mandi serta tidak lupa gosok gigi!!! Dari awal masuk sampai istirahat makan, waktu terasa sangat lama, berkali-kali pandanganku tertuju pada jam dinding menantikan bel istirahat berbunyi.
“liat si gilang ga rip?” setelah makan selesai aku langsung mencari gilang.
“istirahat di depan kayanya der” ujar salah satu teman yang kutanya.
Dengan tempo cepat aku berjalan dari kantin menuju tempat istirahat sambil mencari-cari gambar yang ingin aku tunjukkan.
“gimana der?” sapa gilang saat aku berjalan mendekatinya.
“ada nih pantai yang keren, karimun jawa namanya..tapi lumayan jauh di jawa tengah” aku duduk disamping gilang kemudian mengambil hp dan menunjukkan foto-foto karimun jawa. Sementara gilang sedang melihat-lihat foto, kunyalakan rokok sambil menyenderkan badan ke tepi kursi.
“wiihhh mantep! hayu jadilah ngumpulin dari sekarang, kira-kira abis berapa nih? Butuh berapa hari der buat kesana? Nanti teh bentrok sama lembur hahaha” dengan mata terbuka  gilang melihat layar hpku, ia terus berbicara dengan antusias.
“ga tau belom cari info lagi, gampanglah tinggal googling aja, yang penting pastiin dulu mau tanggal berapa sama siapa aja yang mau ikut..gus lu mau ikut ga?” aku mengajak agus yang berada disamping gilang.
“mau kemana nih?” jawab agus dengan logat jawanya yang khas. “piknik gus ayo jangan kerja aja, sekali-kali kita liburan biar fresh” sahut gilang.
“gue udah ngajak anak yang lain, mereka ayo ayo aja tuh” sambung gilang melanjutkan obrolan.
“boleh nih, mau kapan? Harus ditentuin dari sekarang biar bisa nolak lemburan hehehe” ujar agus. Memang saat itu ditempat kerjaku  mengharuskan karyawannya untuk lembur setiap hari, termasuk sabtu-minggu!
Agus dan gilang masih melanjutkan obrolan-obrolan mereka, aku hanya diam mendengarkan mereka berdiskusi, tanganku masih memegang hp sambil melihat kalender, mencari tanggal yang pas untuk rencana liburan ini.
“tanggal 27 maret merah nih hari kamis, jum’at nya SKD ajalah (yang dimaksud skd disini adalah surat keterangan sakit yang dibuat oleh dokter), jawa tengah kan jauh pasti butuh waktu lama” aku memotong obrolan mereka menawarkan tanggal yang memungkinkan untuk pergi berlibur.
“ya udah jadiin der, siap ga gus?” Tanya gilang “siap lang, berapa nih budgetnya?” keceriaan menghiasi wajah agus merespon ajakan aku dan gilang.
“nanti gue cari info dulu” sahutku.
Tanggal sudah ditentukan, sekarang yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya bisa sampai ke karimun jawa? pake apa? bus kah? Kereta kah? atau pesawat? Semua pertanyaan yang ada dalam pikiranku kutanyakan langsung pada mbah google. Satu persatu pertanyaan terjawab sudah. Pulau karimun jawa ini terletak di utara laut jawa, agar dapat kesana bisa melalui dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Semarang dan Kabupaten Jepara. Oh ya, berdasarkan legenda yang beredar di kepulauan ini, Pulau Karimunjawa ditemukan oleh Sunan Muria. Legenda itu berkisah tentang Sunan Muria yang prihatin atas kenakalan putranya, Amir Hasan. Dengan maksud mendidik, Sunan Muria kemudian memerintahkan putranya untuk pergi ke sebuah pulau yang nampak “kremun-kremun” (kabur) dari puncak Gunung Muria, oleh karena itu maka dinamakanlah Pulau Karimun.
Sebagian informasi sudah aku dapat, sekarang tinggal bagaimana aku bisa kesana? Sambil berleha-leha ditemani secangkir kopi dengan alunan musik tetangga, aku terus mencari informasi, sampai akhirnya menemukan salah satu forum backpacker yang berisi tentang semua rencana perjalanan, salah satunya ke karimun jawa. Diantara planning yang ada, forum yang aku pilih adalah ajakan share cost ke karimun jawa dengan tanggal yang sama, aku langsung menghubungi nomor yang tertera yang  menamakan diri dian.
“siang mba dian, saya liat di forum backpacker, mba ada rencana ke karjaw? masih bisa gabung ga?” ku kirim pesan melalui whatsapp ke mba dian.
ga lama mba dian membalas pesanku “bisa mas ada 6 seat lagi nih”
“berapa biayanya mba?” saat itu aku bingung sendiri membaca kata seat “berati dibatas ya” ujarku dalam hati.
“kita targetnya sih 15 orang, kalo tercapai sekitar 550rb, kitakan share cost mas kalo koutanya ga terpenuhi pasti ada biaya tambahan”
“ok deh mba besok saya kabarin lagi ya, mau kasih tau dulu temen”
“ok mas ditunggu”
“okeee”
Keesokan harinya aku memberi kabar pada gilang dan agus bahwa jumlahnya dibatasi dan tersisa 6 lagi dengan biaya 550rb/orang. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi bertiga dan aku yang mengatur semua persiapannya.
“mba saya jadi gabung ya, bertiga”
“oke mas aku catat, siapa aja namanya? aku masukin ke grup ya?”
“dery, gilang, agus. Pembayarannya gimana mba?”
“bisa dp dulu setengahnya, terakhir awal bulan mas”
“tringg...tring….triiinggg!!” seketika hpku ramai oleh suara notifikasi, setiap hari aku membaca obrolan-obrolan mereka yang cukup asing dengan bahasan-bahasan yang mereka bicarakan, maka aku memilih untuk diam saja.
Waktu yang ditunggu telah tiba, saat itu aku hanya berfikir untuk pergi liburan! belum mengenal istilah backpacker, traveling, dan sejenisnya, aku  hanya menyiapkan beberapa stel pakaian ganti, tanpa memikirkan yang lain. Seminggu sebelum berangkat aku menuju terminal klari karawang untuk memesan tiket, ketika sampai di terminal beberapa orang berpenampilan preman mendekatiku.
“mau kemana mas, tegal, pekalongan, semarang?”
“Jepara kang”
“oh sini sini, buat kapan? Berapa orang?” Salah satu preman menarik tanganku dengan cepat.
“3 orang, berapa 1 nya?”
“160rb ajaaa (kalo ga salah ya…bener)”
Dari jauh-jauh hari kami bertiga sudah merencanakan ga mau ngambil lembur di hari pemberangkatan, alhasil atasan kami sedikit marah namun pada akhirnya membolehkan.
Jam 5 sore kami berkumpul di rumah gilang kemudian menuju terminal, dalam perjalanan menuju terminal kami terus mengobrol dengan raut gembira. Setelah melakukan konfirmasi ke PO bus, kami dipersilahkan masuk ke dalam bus dan mencari nomor kursi yang sesuai dengan tiket. Agus duduk dengan gilang, aku sendirian di depan mereka. Menurut info yang aku dapat perjalanan menuju jepara memakan waktu 12 jam, kami diminta agar sampai pelabuhan kartini (penyeberangan menuju pulau karimun jawa) jam 07.00, sedangkan bus yang dijadwalkan berangkat jam 18.00 molor selama 2 jam. Aku mulai waswas takut terlambat sampai ke pelabuhan. Sekitar jam 5 pagi bus berhenti sebelum memasuki kota Kudus dan semua penumpang diminta untuk turun.
“ada apa der?” Tanya gilang kebingungan dengan wajahnya yang baru bangun tidur.
“ga tau lang, istirahat dulu kali” jawabku dengan perasaan cemas.
Tidak lama kemudian bus yang sama mendekati bus kami .
“mohon maaf mas mba, yang mau ke karimun jawa bisa pindah ke bus depan, bus ini mau belok ke kudus” seorang kondektur denga logat jawanya meminta penumpang yang menuju karimun agar pindah ke bus lain.
“halah di oper! Ambil tas lang..” ujarku kesal sambil masuk ke dalam bus untuk mengambil tas. “pasti telat ini mah!” gerutuku dalam hati.
Setelah penumpang pindah, tidak lama bus kembali jalan menuju karimun, aku memilih tidur untuk menghilangkan rasa cemas.
“karjaw karjaw habisss, yang mau ke karimun bisa turun disini, mobilnya ndak masuk terminal” teriak kondektur yang membangunkanku.
Aku langsung melihat jam, “07.15, haduuhhh” kami langsung mengambil tas masing-masing dan berdiri didekat pintu. Setelah turun dipinggir terminal, kami berlari menuju beca kemudian langsung naik tanpa menanyakan harga “ke pelabuhan pak” ujarku.
Didalam beca aku membuka hp dan melihat ada pesan di grup dari mba dian “odi, tama, agung, dery kalian dimanaaaa?”
Aku sedikit merasa lega, karena ada beberapa juga yang telat.
“udah sampe, lagi sarapan” sahut agung.
“lagi di beca mba, mau sampe” aku ikut menjawab.
“gue di deket pintu masuk yak, pake kaos item”.
Sesampainya di pelabuhan aku langsung turun membayar beca.
“berapa pa?”
“30rb mas” (setelah dapat info harusnya 10rb)
Kami berjalan menuju pintu masuk dan mencari mba dian, mba dian melambaikan tangan pada kami, sesegera mungkin kami menghampiri mba dian. Kemudian aku menyalami semua orang yang berkumpul disekitarnya (termasuk yang bukan rombongan karena belum tau -_-).
Aku menghafal satu persatu nama yang ada di kelompok itu, ada dian, ina, retno, lingga, lita, intan, cristy, robin, candra, mahdi, budi, tomi (guide karimun jawa), odi, agung, dan tama. Ada kejadian lucu yang aku dan kedua temanku alami. Kami berbisik-bisik merasa minder, karena yang kami lihat mereka berpenampilan ala-ala traveler dengan tas daypack nya, ditambah diantaranya adalah mahasiswa, hahaha. Tapi kami coba tetap berbaur walaupun canggung.
           “kayanya salah masuk grup nih der” bisik gilang sambil menutup mulutnya. Aku hanya tersenyum memahami apa yang gilang maksud.
Jam 8 kami dipersilahkan masuk ke kapal oleh mas tomi. Kapal yang kami gunakan express bahari yang memakan waktu lebih cepat dibanding kapal lain. Kapal mulai jalan sekitar jam 9, di perjalanan kami semua mencoba mengakrabkan diri dengan saling menanyakan berbagai hal. Aku memilih pergi ke bagian belakang kapal untuk melihat pemandangan laut. Dibelakang aku bertemu dengan agung, odi, tama, dan dian.
“dari mana mas?” sapa agung bersama odi.
“karawang kang, akang dari mana?” tanyaku balik. Sebenarnya aku tau mereka berasal dari Bandung di grup wa, makanya manggil akang.
“kita dari Bandung, bertiga aja?” gantian odi yang nanya.
“iya bertiga” sahutku. Selanjutnya kami terdiam, memilih untuk menikmati hembusan angin serta memandangi hamparan laut yang begitu luas, sesekali kami berfoto.
Sekitar jam 12 siang kami tiba di pelabuhan karimun jawa. Kedatangan kami disambut oleh riuhnya suasana pelabuhan serta terik matahari yang begitu menyengat, namun tidak menyurutkan euforia yang aku rasakan saat itu. Sejenak kami semua istirahat ditempat teduh sambil menunggu mobil yang akan mengantarkan kami ke homestay.
Aku dan kedua rekanku bersama odi, tama, agung (selanjutnya akan aku sebut geng abg) mendapat homestay yang sama, sedangkan sisanya di homestay yang berbeda. Tiba di homestay, kami disambut oleh sepasang suami istri yang cukup menarik perhatian, yang mana suami sepertinya warga asli karimun sedangkan istrinya wanita bule, “anjrit beruntung banget tuh si mas nya” celetuk gilang dalam kamar. Suasana karjaw sama seperti komplek pada umumnya, namun pada saat itu belum ada listrik, sehingga masyarakat sekitar hanya menggunakan genset dan itu pun dinyalakan pada saat malam hari saja. Dengan tidak adanya listrik ditambah cuaca yang cukup panas membuat kami kegerahan, kami memutuskan untuk diam terlebih dahulu didalam kamar sambil membereskan barang-barang. Tidak lama kemudian ada ibu-ibu yang membawa makanan untuk kami, rasa lelah menghilangkan urat malu kami, tanpa segan-segan satu persatu dari kami langsung melahap makanan itu. Setelah itu kami kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Sore harinya kami keluar menghampiri rekan-rekan yang lain, kemudian jalan bersama untuk menikmati kedamaian yang disajikan pulau karimun jawa, lanjut menuju dermaga menikmati senja sore hari.
  “damai ye…betah nih gue dimari” dian meluapkan perasaannya.
“yaudeh lu tinggal aja disini, sape tau dapet bule hihihi” ledek budi menanggapi ucapan dian.
“hahaha bule afrika kaleeee” suasana kian mencair dengan adanya candaan-candaan kecil.
Aku sangat menikmati suasana dermaga, pandanganku seolah tak terhalang batas, melihat kapal-kapal kecil namun perlahan kian membesar, menandakan para nelayan sedang menuju pulang. Pengalaman pertama berada ditempat yang sunyi nan damai jauh dari keriuhan yang biasa aku dapat di kotaku. Aku lebih banyak diam karena kesulitan mengimbangi obrolan-obrolan mereka, namun ada hal-hal yang menarik bagiku sehingga aku selalu memperhatikan bahasan, candaan, dan cara mereka berbicara. Matahari kian menghilang seperti orang yang ingin menenggelamkan diri ke dasar lautan, menyisakan sinar yang mewarnai langit-langit dermaga karimun jawa.
Sang surya pun sudah tak terlihat lagi, suasana dermaga menjadi sunyi menyisakan deretan kapal yang terombang-ambing oleh terjangan ombak. Dengan perasaan damai serta sedikit goresan senyum aku kembali ke homestay, berjalan perlahan bersama rekanku yang lainnya. Aku bersama geng abg kembali ke homestay kami untuk membersihkan diri.
Berhubung kamar mandi hanya ada satu, mau tidak mau kami harus gantian untuk membersihkan diri. Sambil menunggu giliran kami mengobrol diruang tamu.
           “gila ye udah malem masih aja panas gini” tama mengeluhkan cuaca malam itu yang memang terasa panas. Beberapa dari kami sudah membuka baju untuk menyeka keringat.
           “iya ya padahal di pinggir pantai, tapi ga ada angin” ujar gilang yang merasakan hal yang sama “di kamar gue ada kipas tuh bang”
           “di kita juga ada, tapi kecil gitu mana kerasa”
           “di luar aja yo, ga tahan nih gue” ujar odi sambil pergi ke luar rumah.
Aku pun merasakan hal yang sama, cuaca yang ga terlalu bersahabat menemani kami malam itu. Ditambah listrik yang menjadi sumber energi untuk menyalakan kipas hanya berlaku sampai jam 12 malam. Tersiksalah kami malam itu.
Keesokan harinya setelah sarapan kami bergegas menuju dermaga, karena memang hari kedua dijadwalkan untuk mengeksplore pantai-pantai yang berada di karimun jawa. Suasana dermaga sudah ramai oleh wisatawan dengan masing-masing kesibukannya mempersiapkan segala keperluan, nampak dari raut wajah mereka terpancar kebahagiaan, termasuk aku bersama geng abg, kami menyempatkan foto terlebih dahulu di dermaga, tidak lama kemudian aku bergegas menuju kapal yang sudah siap mengantarkanku melihat keeksotisan pulau karimun jawa.
Tempat yang pertama kali kami kunjungi adalah penangkaran hiu, antusiasku begitu besar ingin melihat secara langsung hiu-hiu itu. Awalnya ku pikir itu adalah ikan jambal karena dari bentuk nampak mirip, hanya beda ukuran hahaha.
           “itu jambal ya der?” agus seperti membaca pikiranku
           “eyangnya gus hehehe”
           “hahahaha”
Kami diperbolehkan berenang bersama hiu-hiu, awalnya tidak ada satu pun yang berani turun lebih dulu, kami saling menyuruh untuk segera turun.
           “lu turun dulu sana yan, biar ikannya pada kenyang” ledek mahdi meminta dian turun duluan.
           “aseemmm looo, ga sadar bodi! Mas ini bahaya ga si?” si dian bertanya ke penjaga penangkaran, dengan hati-hati kakinya mulai menyentuh anak tangga.
           “aaaaaahhh takuuuttt”
           “udeh nyebur aja kali, ga bakal nape2 ini..tuh liat orang lain” ujar budi meminta dian agar segera turun.
           “lama lu yaaannnn”
           “byuuuurrrrrr” dian pun akhirnya tercebur setelah di dorong oleh mahdi.
           “mehdooongggg….sialan looo!!!”
           “hahahahaha” kami pun tertawa
           “awaasss yan dipaha luuu”
           “aarrrrggghhhhhhhh”
Satu persatu dari kami menuruni anak tangga menemani dian. Jujur akupun merasa takut, karna baru pertama kali melihat hiu secara langsung, dengan anggapan hiu adalah hewan buas yang suka menyantap daging manusia.
           “itu di kaki luuu hahaha”
           “Aaaaarrrggghhhh”
           “hahahahaaa”
Masih dengan keadaan cemas kami saling menakut-nakuti. Jantungku
0 notes