Text
kawan-kawan tumblr, sekarang aku punya akun medium loh. kalau mau follow bisa ke https://medium.com/@rizkydeye. sampai jumpa di lain platform!
0 notes
Text
malam itu adalah harapan
anehnya, yang bisa memantik semangat dan membuat mata terjaga untuk menyelesaikan hal-hal sampai habis malam itu dengan cara mendapat kabar dari sesuatu yang, rasa-rasanya sih, sudah jauh banget sama hidupku. satu-dua halaman yang jauh di belakang, yang kamu selipkan pembatas buku, yang terus kamu buka-buka, karena dengan melakukannya kamu kembali menemukan alasan untuk tidak mengentikan pembacaan. halo harapan, aku masih ngikutin kamu kok!
1 note
·
View note
Text
Maghrib
Maghrib, di jalan
Amuk buruh rendahan
beradu bising
dengan Tuhan
0 notes
Text
We need to live by stories that help us deal with tough realities.
0 notes
Text
Hidup adalah kegagalan
yang pulih oleh persatuan
Dipupuknya daya batin
pada penerimaan atas yang lain
0 notes
Text
Seharusnya aku bisa lebih bersyukur
Entah sudah berapa banyak nikmat-nikmat aku dustakan
Sadar atau tidak sadar
Entah sudah berapa kali kesempatan baik lewat begitu saja tanpa diambil
Penyesalan demi penyesalan
Alih-alih syukur demi syukur
Seharusnya pengalaman bisa menjadi kawan
Bukan sekadar penonton yang tertawa menyoraki
Ketika aku melakukan kesalahan berulang kali
Ketika hasil belajar tidak berhasil menggerakan tubuhku
Apa beda aku dengan penafsir di dalam gua
Yang pandangnya menghadap dinding gelap
Sementara jauh di belakang punggungnya
Ada nyala lebih dari api
0 notes
Text
Gelas Kosong
Menenggak gelas kosong, menuntaskan samsara.
Tutup pintu, gantung kelambu.
Berak di cakrawala.
0 notes
Text
Cerpen: Sang Etnografer
Oleh: Jorge Luis Borges
Aku diberitahu tentang kisah ini di Texas, tetapi kisahnya terjadi di tempat lain. Kisah ini terdiri dari satu tokoh utama (meskipun di setiap cerita terdapat ratusan tokoh utama, yang tampak dan sembunyi, yang hidup maupun mati). Orang itu, aku yakin, bernama Fred Murdock. Ia tinggi, sebagaimana orang Amerika; rambutnya tidak pirang atau gelap, romannya cakep, dan bicaranya sedikit sekali.
Tidak ada yang khas dari dirinya, tidak juga keanehan yang biasa dibuat-buat oleh anak muda. Pembawaannya sopan, dan ia sangsi terhadap buku-buku serta para penulisnya. Ia sedang berada pada usia di mana seseorang belum kenal siapa dirinya, dan juga siap untuk berhadapan dengan segala kemungkinan nasib; sufisme Persia atau perdebatan asal-usul Hungaria, medan perang berbahaya atau rumus matematika, fanatik agama atau gila pesta. Di kampus, dosen pembimbingnya menyarankan agar ia mempelajari bahasa-bahasa Indian Amerika. Ritus-ritus esoterik tertentu masih dilangsungkan di beberapa suku di Barat; salah satu profesor, seorang pria tua, mengusulkan padanya untuk pergi dan tinggal di sana, mengamati ritusnya, dan menyingkap rahasia yang diberikan para dukun kepada peserta inisiasi. Ketika kembali, ia akan selesai dengan tesisnya, dan pihak kampus dengan senang hati akan segera menerbitkannya.
Murdock tertarik dengan saran itu. Salah satu leluhurnya tewas di perang perbatasan; konflik ras masa silam itu kini jadi ada kaitannya. Ia mesti sudah memperkirakan kesulitan apa saja yang terbentang di depan; ia harus dapat meyakinkan pria merah untuk menerimanya menjadi salah satu dari mereka.
Ia memulai perantauan panjangnya. Ia hidup selama lebih dari dua tahun di padang belantara, kadang terlindung tembok lumpur, dan kadang di alam terbuka. Ia bangun sebelum subuh, beranjak tidur saat magrib, dan bermimpi dalam bahasa yang bukan milik ayahnya. Ia membentuk dirinya berselera pada rasa-rasa yang tidak sedap, ia membungkus dirinya dengan setelan aneh, ia melupakan kota dan teman-temannya, ia mulai berpikir dalam pola yang bertolak belakang dengan logikanya. Selama beberapa bulan awal masa penelitannya, ia diam-diam membuat catatan; belakangan, ia sobek semua catatan itu – mungkin untuk menghindari kecurigaan pada diri sendiri, atau mungkin karena ia tidak lagi membutuhkannya. Setelah habis jangka waktu yang telah ditentukan untuk latihan-latihan jasmani maupun rohani khusus, sang imam menyuruh Murdock untuk mulai mengingat mimpi-mimpinya, dan menceritakan padanya saat fajar setiap pagi. Si pemuda mendapati dirinya bermimpi tentang kerbau di tiap malam bulan purnama. Ia melaporkan mimpi berulang ini kepada gurunya; dan akhirnya, sang imam membeberkan padanya doktrin rahasia sukunya. Suatu pagi, tanpa sepatah kata pun, Murdock minggat.
Di kota, ia merindukan momen malam pertama tinggal di belantara, saat di mana ia merindukan kehidupan kota. Ia pergi menemui profesornya dan bilang bahwa ia telah mengetahui rahasia itu, tapi memutuskan untuk tidak mengungkapkannya.
“Apakah kamu terikat pada sumpahmu?” sang profesor bertanya.
“Bukan itu alasannya” jawab Murdock. “Aku memahami sesuatu di luar sana yang tidak bisa aku ungkapkan”
“Bahasa Inggris mungkin tidak mampu membahasakannya,” balas sang professor.
“Bukan itu, Prof. Sekarang aku tahu rahasia itu, aku bisa menjelaskannya dengan berbagai macam cara, sekalipun yang tak sesuai kebenaran. Aku tidak tahu harus bagaimana bilangnya, tapi rahasia itu menakjubkan, dan sains, bidang ilmu kita, bagiku kini tampak sebagai keserampangan belaka.”
Usai tarik napas ia menambahkan: “Dan lagipula, rahasia itu tidak begitu penting dibandingkan jalan yang membawaku sampai ke sana. Setiap orang harus menempuh jalan itu sendiri.”
Sang profesor berkata dingin: “Aku akan memberitahu komite perihal keputusanmu. Apa kau berencana untuk hidup bersama para Indian?”
“Tidak,” jawab Murdock. “Aku mungkin tidak akan pernah kembali ke belantara. Apa yang mereka ajarkan padaku berlaku di manapun dan dalam kondisi apapun.”
Itulah esensi dari percakapan mereka.
Fred menikah, bercerai, dan kini menjadi salah satu pustakawan di Yale.
Diterjemahkan dari bahasa inggris oleh Rizky Deye.
0 notes
Text
Mendengar Vira Talisa
Musiknya mengandung ketenangan adiktif. Barangkali, jika memang usahanya hendak mengalih-nafaskan Francoise Hardy ke dalam semesta musik Indonesia, ia berhasil. Sensasi yang terbangun, bagi saya, seperti “makan indomie soto di minggu pagi” – senin masih jauh dan mie instan ialah kenikmatan sederhana paling mudah disanggupi.
0 notes
Text
BERDIRI AKU oleh Amir Hamzah
Berdiri aku di senja senyap Camar melayang menepis buih Melayang bakau mengurai puncak Berjulang datar ubur terkembang.
Angin pulang menyeduk bumi Menepuk teluk mengempas emas Lari ke gunung memuncak sunyi Berayun-ayun di atas alas.
Benang raja mencelup ujung Naik marak mengerak corak Elang leka sayap tergulung Dimabuk warna berarak-arak.
Dalam rupa maha sempurna Rindu-sendu mengharu kalbu Ingin datang merasa sentosa Menyecap hidup bertentu tuju.
0 notes
Text
EPISODE oleh W.S. Rendra
Kami duduk berdua di bangku halaman rumahnya.
Pohon jambu di halaman itu berbuah dengan lebatnya dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat memainkan daun yang berguguran.
Tiba-tiba ia bertanya: “Mengapa sebuah kancing bajumu lepas terbuka?”
Aku hanya tertawa.
Lalu ia sematkan dengan mesra sebuah peniti menutup bajuku.
Sementara itu aku bersihkan guguran bunga jambu yang mengotori rambutnya.
0 notes
Text
WAKTU oleh W.S. Rendra
Waktu seperti burung tanpa hinggapan melewati hari-hari rubuh tanpa ratapan sayap-sayap mu’jizat terkebar dengan cekatan.
Waktu seperti butir-butir air dengan nyanyi dan tangis angin silir berpejam mata dan pelesir tanpa akhir.
Dan waktu juga seperti pawang tua menunjuk arah cinta dan arah keranda.
0 notes
Text
BERTAMU KE KUBURAN AYAH oleh Beni Satryo
Aku bertamu ke kuburan ayah
Memohon doa restu
“Kemarin kemiskinan datang ke rumah,” kataku
“Ia melamar ibu.”
0 notes
Text
Aku menunggumu di depan rumah nobita
Sambil mengumpulkan daya dan gema
Ketika kau sampai
Mari tersebar ke mana-mana
0 notes
Quote
Tidak ada jalan bebas hambatan menuju ilmu, dan hanya mereka yang tak gentar mendaki jalan terjal nan melelahkannya akan mendapat kesempatan meraih puncaknya yang berkilauan.
Marx, Karl.
0 notes
Text
Cerpen : Gelap Adalah Teman Setia
“Apa pendapatmu soal perempuan yang berkaca mata? Cantik, lucu, menggemaskan, atau bagaimana?”
“Um.. Entah, mungkin ia rabun?”
“Ya tentu saja. Maksudku bukan itu. Maksudku, apa kau suka melihat perempuan berkaca mata?”
“Maksudmu, aku harus merasa suka jika melihat ada orang yang pengelihatannya buruk?”
“Ah.. Kau ini..”
Aku sempat curiga, jangan-jangan kau tidak menyukai perempuan. Pasalnya, setiap kita berbicara mengenai perempuan mesti berakhir dengan kejengkelanku akan pandanganmu yang tidak terpesona dengan wujud perempuan aduhai yang kubicarakan. Soal perempuan berkaca mata itu hanya salah satu contoh. Kau bahkan tidak menganggap Dian Sastro itu cantik, ampun, nikmat mana lagi yang kau dustakan. Dan yang paling menjengkelkan adalah, kau biasa saja dengan Dini, perempuan paling ciamik se-madrasah aliyah tempat kita sekolah dulu yang video-nya sedang melepas jilbab pernah tersebar ke seluruh siswa lelaki. Semua siswa lelaki kelas 12 yang divonis sebagai perekam dan penyebar video dihukum berdiri dua jam di lapangan di siang hari bolong, dan esok paginya harus shalat dhuha sebanyak 12 rakaat. Tapi ada satu siswa lelaki kelas 12 yang tidak dihukum, itu kau, bener-bener emang elu mah.
Kecurigaanku semakin menjadi-jadi ketika kau tidak bergetar sedikit pun saat menonton filem jav di rumah Rhino dua pekan yang lalu. Semua lelaki yang ada di kamar Rhino saat itu menelan ludah ketika filem yang dibintangi Sora Aoi diputar. Setelah dua filem, lima orang yang ada di dalam ruangan itu menjadi gelisah dan canggung, saling menatap pun seperti ragu, malah sibuk menentukan posisi duduk agar tidak terlihat ada bagian tubuh yang tegang. Tentu saja, setiap diantara kami menahan untuk tidak menjadi orang pertama yang pergi ke kamar mandi karena pasti akan ditertawakan oleh yang lain. Tapi kau, malah anteng saja diam di atas kasur sambil memakai earphone. Hadeh.
“Apakah kau menyukai perempuan?”
“Aku menyukai siapapun yang baik kepadaku.”
“Bukan itu, maksudku suka secara seksual.”
“Sejak kapan kau menjadi orang yang risau dengan orientasi seksual orang lain?”
“Aku hanya penasaran. Kau tahu kan setiap kita..”
“Tentu saja aku suka perempuan. Aku bukan gay.”
“Oke. Um.. Maaf kalau pertanyaanku menyinggung perasaanmu.”
“Santai saja. Lagipula, mengapa sih kau risau dengan apa-yang-aku-suka. Jangan-jangan kau malah yang suka denganku? Hih, merinding.”
“Sialan. Tentu saja aku suka perempuan, aku kan tadi bilang, hanya penasaran.”
Kemudian hening, kita lanjut menghabiskan kopi yang sudah dipesan sejak awal datang ke kedai kopi ini. Aku meneguk kopi toraja yang sudah tidak panas dengan geragas sampai habis, kau menyeruput kopi palintang dengan hati-hati. Kita duduk di bagian luar kedai ini yang membuatku dengan mudah melihat jalan raya. Malam ini jalanan ramai, entah ingin pergi kemana orang-orang itu, sampai rela berdesakan di jalan sambil menghirup asap solar yang keluar dari mobil Kijang – yang kuduga keluaran tahun 2000. Belum lagi suara knalpot racing rombongan motor pemuda yang senang berkelakar sembari berkendara itu tentu membuat suasana jalan menjadi semakin runyam. Semua orang itu seperti berjanjian untuk keluar pada waktu yang sama dari rumahnya masing-masing untuk memenuhi jalan raya di Pamulang yang tidak begitu besar ini. Aku diam termangu cukup lama dengan wajah melihat jalan raya sampai kau berdeham dan mengajak untuk pulang.
“Kau kuantar saja ya.”
“Tidak usah, aku jalan saja. Dekat kok.”
“Jalanan ramai. Ayo, aku memaksa.”
“Baiklah.”
Dengan motor, aku mengantarmu pulang ke rumah yang tidak terlalu jauh jaraknya. Aku menyetir, kau membonceng di belakang – tentu saja. Aku hanya mengantar sampai depan perumahan, karena rupanya satpam sudah memasang portal untuk menghalang kendaraan masuk. Kau turun dengan perlahan. Aku memberi tongkat sebagai alat bantu jalan yang tadi disimpan di bagian depan motor. Kau memegang tongkat tersebut dan bilang terima kasih. Lalu berjalan perlahan dengan tongkat untuk meraba-raba mencari jalan yang aman dilewati. Aku masih mengawasimu dari jauh sampai kau tiba di depan rumah. Sepertinya kau sadar aku belum beranjak pergi. Wajahmu yang masih tertempel kacamata hitam itu lalu menengok ke arahku dengan sedikit melenceng dan tersenyum.
“Hati-hati.” kau bilang dengan sedikit teriak.
0 notes