davidgampamole
davidgampamole
David Gampamole
5 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
davidgampamole · 3 years ago
Text
Harus Senang atau Marah?
“Mau pulang bareng?” tanya Dia.
Dia selalu saja datang dan menghilang tanpa peringatan.
“Gak usah. Sudah ada tumpangan,” jawabku.
“Siapa? Pacarmu ya?”
“Rio...” panggilku ke laki-laki yang baru saja mengeluarkan motornya dari tempat parkir. Aku sebenarnya tidak suka menumpang untuk pulang tapi demi menghindarinya apapun harus kulakukan.
Aku menghampiri Rio dan langsung naik tanpa meminta persetujuan darinya. “Ayo pergi,” kataku.
“Tapi...”
“Udah gak usah banyak tapi-tapinya. Jalan.”
Rio pun menancap gas. Dia hanya melihat kepergiaanku begitu saja rasaain.
“Tumben. Biasanya lo nolak.”
“Gak usah banyak tanya. Antar saja aku sampai rumah dengan selamat.”
5 atau 10 menit kemudian kami sudah sampai di perumahaanku. Aku sepertinya tidak sadar kalau Rio membawa motornya dengan cepat, yah sepanjang perjalanan aku terlalu banyak melamun. Dari jalan masuk perumahan rumahku hanya berjarak 5 meter saja jadi tidak butuh lama untuk sampai ke rumahku.
“Makasih,” kataku ke Rio.
“Iya, btw tadi siapa?” tanya dia.
“Bukan siapa-siapa,” jawabku dan langsung berjalan memasuki rumahku.
Hari ini aku tidak memiliki hasrat untuk masuk kelas. Aku tidak ingin bertemu dengan Dia saat ini, jadi aku memutuskan untuk duduk saja di kantin sampai aku mendapatkan cara untuk menghindari dia.
“Ini pesanannya,” kata si pelayan sambil memindahkan minum dan makanan dari nampan ke meja. Entah kenapa suara dari pelayan itu sangat familiar bagiku.
“Makasih.”
Saat aku ingin bertanya ke si pelayan sebuah suara mengagetkanku.
“Hei, cie bolos nih,” kata Kristin.
“kau membuat aku kaget.”
“Sorry, wih enak nih. Minta ya.”
Tanpa menunggu persetujuanku dia langsung mencomot pisang goreng itu. Dasar Kristin.
“Apa kau tau nama pelayan itu?” tanyaku ke Kristin sambil menunjuk pelayan yang lagi melayani para mahasiswa di meja lain.
“Tidak,” jawabnya sambil mengambil pisang goreng ku lagi.
“Hei, kalau mau pesan sana.”
“Kalau sudah ada, kenapa harus pesan lagi?”
Aku melihatnya dengan jengkel.
“Iya deh,” katanya sambil tersenyum tanpa dosa.
10 menit kemudian pesanan Kristin datang.
“Makasih,” kata Kristin.
“Apa kita pernah ketemu?” tanyaku ke si pelayan. Entah ini perasaan ku saja atau tidak, tapi si pelayan tersebut terkejut dengan pertanyaan. Dia tidak (belum) menjawab pertanyaanku, sesaat ku kira dia akan pergi tanpa menjawab pertanyaanku, “Maaf,” katanya sambil menundukkan kepalanya. Aku heran dengan kata-katanya itu, apa dia pernah berbuat salah padaku? Seingatku aku sangat jarang ke kantin, sekalipun aku ke kantin yang sering memesan itu Kristin aku hanya selalu menemaninya makan. “Maafin aku,” katanya lagi. Suaranya sangat familiar, aku mencoba mengorek informasi masa laluku mencoba mengingat suara-suara dari masa lalu ku. Nihil, otakku selalu melawan.
“Putri maafin aja,” kata Kristin.
“Aku tidak tau permasalahannya Kristin,” jawabku.
Si pelayan itu terus saja melihat ke bawah, dia tidak pernah memandang ku. Dia memakai blus berwarna merah serta celana jins hitam dan celemek berwarna hitam, sepertinya tingginya tidak jauh berbeda denganku, badannya juga ramping. Otak ku terus menolak untuk mengingat siapa orang ini. Aku bukan orang yang sabaran dan ini bukanlah sinetron yang di mana kau harus menunggu dia mengangkat kepalanya, otakku juga tidak mau di ajak kerja sama, jadi kuputuskan untuk berdiri dan berjalan ke arahnya dengan begitu aku bisa tau dia siapa.
“Kak Angel,” aku terkesiap. Kak Angel memandangku dengan sedikit sedih. Aku mundur beberapa langkah, tapi Kak Angel mendekatiku dan berkata “Aku minta maaf Putri.”. Aku tidak tau harus mengatakan apa, lalu sebuah teriakan dari arah warung “Hei, Angel. Kau pikir makanan ini bisa terbang sendiri ke meja pemesannya.”
“Eh, maaf, bu,” jawabnya sambil pergi ke warung.
Lagi-lagi aku tidak tau. Kebiasaan ku mengabaikan sekitar mulai menunjukkan sisi negatifnya, kenapa aku tidak pernah sadar sih? rutukku dalam hati. Aku melihat ke arah kak Angel lagi, entah datang dari mana sebuah kesenangan dalam memandangnya yang harus melayani para mahasiswa/i di sini. Aku tersenyum.
“Tidak baik kalau kamu tersenyum seperti itu,” kata Kristin sambil makan. Aku kembali duduk ke kursi ku dan berkata “Biarin, siapa suruh dulu-”
“Itu dulu, lihat sekarang,”
“Kau membelanya? Kau sahabatku atau bukan sih,” aku marah.
“Aku tidak membelanya tapi-”
“Tau ah,” kataku sambil pergi dari kantin itu.
0 notes
davidgampamole · 3 years ago
Text
Aku Benci Dia
“Itu dia.” teriak seseorang.
Secara reflex aku melihat ke sumber teriakan itu.
Itu adalah geng-nya Kak Angel. Aku harus pergi dari sini. Aku tidak mau berurusan dengan mereka. Aku bersiap-siap untuk lari tapi geng-nya Kak Angel sudah menghalangi jalan ku, berputar pikirku. Tapi Kak Angel sudah berada di sana. Geng-nya memegang kedua tanganku dan menarik aku menjauhi koridor sekolah, mereka membawa aku ke belakang sekolah.
“Bukankah sudah aku bilang untuk menjauhinya?” bentak Kak Angel.
Aku mencoba untuk melepaskan diri dari cengkeraman mereka tapi nihil, cengkeraman itu semakin kuat.
“Apa aku harus memukulmu dulu baru kau sadar? Hah?” tanyanya sambil menjambak rambutku.
“Sakit kak.”
“Makanya jauhin dia.”
“Tapi dia yang...”
“Gak usah banyak alasan.” timpal Kak Angel. “Kalau masih gak mau jauhin dia. Lihat apa yang akan ku perbuat padamu.” ancam Kak Angel. Geng-nya hanya tertawa mendengar kata-kata itu sambil menatap aku dengan sinis.
Mereka pun pergi meninggalkanku. Kau hanya selalu membuat aku dalam masalah.
“Hei. Dari mana aja?” tanyanya. “Aku cariin dari tadi tau.”
Aku tidak menggubrisnya dan hanya berjalan terus. Aku membencimu rutukku dalam hati kepadanya.
“Kok di sini?” tanya cowok itu.
Aku hanya diam, sambil terus menunggu angkutan umum.
“Di ganggu Angel and the gang lagi?” tanya cowok itu lagi.
“Iya.” jawabku singkat.
“Kau harusnya bilang ke dia.”
“Aku di ancam.”
“Hubungan kalian ribet.”
“Ternyata di sini.” seru Dia.
“Aku...”
“Akan ku urus.” timpal cowok itu.
Cowok itu pergi ke arahnya dan berkata “Aku perlu bantuanmu.”
“Nanti dulu.” jawabnya sambil berjalan ke arahku.
“Jati?” tanya sang sopir angkutan umum yang berhenti di depanku. Aku hanya mengangguk saja dan naik ke angkutan tersebut. Dia hanya menatap kepergianku dengan wajah yang heran. Ada baiknya kita tidak pernah bertemu.
0 notes
davidgampamole · 3 years ago
Text
Jangan Berharap
“Kau serius?” teriaknya.
“Bisa gk, gk usah teriak.” pintaku.
“Hehe maaf... Itu mengejutkan ku soalnya.” katanya.
“Kau pikir kau saja? Aku juga terkejut saat Dia ada di kelas tadi.”
“Kalau dia ada di kelas itu, berarti dia-nya udah lama di kampus ini.”
“Kok bisa sih kau gk nyadar kalau dia ada di kelas itu?” tanyanya lagi.
“Kau kan tau, aku kalau dah masuk kelas pasti akan sibuk bermain handphone sampai dosen-nya masuk”
“Kau harus berteman dengan teman sefakultas mu”
“Itu susah”
“Kau bisa melupakan dia, tapi kau tidak bisa melupakan hal itu?”
“Berhentilah melihat ke arah Dia, Kristin”
“Aku tidak melihatnya. Aku melihat Kak Daniel”
Kristin adalah sahabatku. Awalnya aku hanya menganggap dia teman saja, tapi dia sangat berbeda dengan teman-temanku saat SMA. Dia orangnya sangat konyol dan sangat perhatian padaku, pertemanan ini akhirnya berkembang menjadi persahabatan. Dia adalah satu-satunya sahabat yang kumiliki di hidup ini.
Kristin masih saja melihat ke arah Dia, atau lebih tepatnya ke arah Kak Daniel dan teman-temannya duduk dan di situ juga ada Dia. Aku tidak mau Dia salah sangka karena Kristin melihat mereka. Aku sudah tidak mempunyai urusan lagi dengan Dia, semua sudah berakhir.
Tiba-tiba saja Dia berdiri dan berjalan ke arah kami. Ya aku juga melihat ke arah mereka, ini karena Kristin tidak bisa 1 detik saja tanpa melihat ke arah Kak Daniel, sehingga aku juga terhipnotis untuk melihat mereka. Dia sudah beberapa langkah dari tempat kami, dan mata kami saling menatap satu sama lain. Tapi nyatanya Dia tidak ke tempat kami, Dia malah ke arah para perempuan yang duduk di seberang kami. Aku tidak tau maksudnya apa, mau membuat ku cemburu? Atau itu pacar barunya? Yah, aku tidak peduli.
“Apa dia mau membuat kau cemburu?” tanya Kristin.
“Gk tau, dan gk peduli.” kataku dengan acuh tak acuh.
“Hai. Apa bisa bergabung?” tanya seorang perempuan yang sepertinya dia adalah perempuan yang diajak bicara oleh Dia.
Aku tidak tau maksud dan tujuannya untuk bergabung dengan kami, aku akan menolaknya tapi Kristin memiliki pikiran lain atau dia senang membahas si Dia.
“Silakan.” kata Kristin sambil menatap ku dengan bebinar-binar sambil senyum licik. Itu adalah tatapan jailnya, saat-saat begini bukannya bantu malah menjaili ku.
“Kau Putri ‘kan? Aku Selfi”
“Iya, bagai...”
“Dia yang kasih tau” katanya dengan senyuman.
Apa maksudnya itu, dia mengatakan hal itu sambil tersenyum. Apa dia mau membuat ku cemburu karena hal itu? Maaf saja tapi itu tidak mempan.
“Lalu?” tanyaku tak acuh.
“Dia mau meminta maaf atas kesalahannya di masa lalu.”
Minta maaf? Kenapa tidak mengatakannya langsung saja? Apa dia sudah menjadi pengecut sekarang?
“Dia takut untuk mengatakan langsung karena kejadian di kelas tadi.” kata Selfi lagi.
“Karena itu aku akan menjadi penengah untuk kalian, kau bisa mengatakan hal apa yang ingin kau sampaikan ke Dia, dan aku akan menyampaikan hal itu ke Dia.”
Bel berbunyi menandakan pelajaran akan dimulai. Bel itu penyelamat ku dari hal ini, aku tidak bisa mengatak apa-apa karena aku merasa hubungan kami sudah berakhir dan biarlah seperti itu.
“Maaf, aku harus masuk kelas.” kataku sambil berdiri, aku tidak mau lama-lama duduk di depan Selfi sambil dia menyampaikan pesan-pesan Dia.
Aku dan Kristin melangkah menjauhi kantin, sebelum langkah kamu lebih menjauhi kantin, aku menengok ke belakang, lebih tepatnya ke arah Dia dan Selfi. Mereka sepertinya lagi membicarakan hal yang serius, tapi aku tidak peduli. Sekarang aku maunya melangkah ke depan. Aku dan Kristin berpisah di koridor kampus.
Untungnya sekarang pergantian mata pelajaran, jadi aku bisa tenang karena aku tidak mungkin bertemu dia di sini. Semoga. Harapan itu pupus, gerembolan Kak Daniel memasuki kelas ini dan lagi-lagi ada Dia. Dan lagi-lagi Dia duduk di samping ku, ralat Dia tidak duduk di samping, di samping ku ada si Selfi. Sepertinya Selfi sebagai penengah kami itu benar. Yah setidaknya aku tidak duduk di sampingnya. Aku menyibukkan diri dengan handphone ku, lalu....
“Wangi masih sama ya, apa kau tidak pernah ganti parfum?”
Dia sudah di samping ku.
0 notes
davidgampamole · 4 years ago
Text
Semoga Selamanya
"Nih, minumannya"
"Makasih"
Modoinding, tempat kami sering menghabiskan waktu bersama, aku tidak akan mengatakan tempatnya secara spesifik karena biarlah tempat ini hanya menjadi tempat kami.
Saat itu siang hari, Modoinding selalu sejuk dan dingin. Saat disini kita akan disuguhkan dengan hamparan alam yang asri, disisi kiri kalian bisa melihat perkebunan dengan warna hijaunya yang lekat, sisi kanan kalian bisa melihat danau dengan di tengah-tengahnya ada sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Tikus.
"Gk kedinginan?" tanyaku.
"Gk, biasa aja" jawabnya sambil berdiri.
"Yuk berfoto ria" ajak dia.
"Hmm... foto? kau ini selalu saja berfoto" kataku.
"Ya, aku suka foto" jawabnya dengan senyuman.
Aku selalu merindukan hari-hari ini. Hari yang paling bahagia bagiku, jalan-jalan bersama dia, keliling kota Manado atau kami akan menghabiskan waktu kami seharian di Modoinding.
"Jangan ninggalin aku ya" kataku ke dia sambil memeluknya dengan erat.
0 notes
davidgampamole · 4 years ago
Text
Dia Yang Pergi
"Kita putus aja ya"
Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Aku sudah melupakannya tapi entah mengapa kata-kata itu tidak bisa hilang dikepalaku.
Sudah setahun dia meninggalkanku. 1 tahun, 6 bulan, 12 hari itulah umur hubungan kami, aku masih mengingatnya. Apa aku sudah benar-benar move on dari dia? Ya, sudah. Tapi beberapa hal-hal tentang dia sulit untuk dilupakan begitu saja.
"Neng, sudah sampai" kata pak ojek.
"Iya pak, makasih" kataku sembari turun dan membayar ongkosnya.
Aku berjalan masuk ke kelasku dan duduk, lalu menyibukkan diri dengan bermain ponsel sambil menunggu jam pelajaran mulai. Aku tidak menghiraukan sekitarku sampai seseorang menyentuhku, refleks saja aku melihat ke arah orang tersebut.
"Hai, apa kabar?" tanya seseorang itu sambil tersenyum.
Dia... Kenapa dia disini?
Senyum itu, senyuman khasnya yang selalu membawa kehangatan bagiku, tidak! Sadar Putri, dia sudah membuatmu hancur. Jangan terlena dengan senyumannya itu.
"Baik" jawabku datar.
Dia masih saja memandangku dengan senyuman khas itu. Aku secepatnya mengalihkan mataku ke arah lain, tidak mau terlena dengan senyumannya itu. Sudah cukup kehancuran yang di buat di hidupku.
1 note · View note