Tumgik
darkspyangel · 3 years
Text
Dalam postingan kali ini, saya ingin membuat pengakuan akan kebohongan yang pernah saya buat.
Dulu waktu SMA, dalam pelajaran Bahasa Indonesia, guru saya meminta salah seorang murid bercerita terkait salah satu pengalaman hidup yang dianggap paling menarik. Saya memberanikan diri untuk bercerita.
Saya bercerita bahwa waktu SMP saya pernah kekunci di ruang perpustakaan. Selama terkunci, saya katakan bahwa saya menggunakan komputer perpustakaan yang terkoneksi dengan jaringan internet. Padahal kejadian aslinya ialah saya hanya menunggu sampai seseorang secara tak sengaja membukakan pintu perpustakaan. Tanpa ada main dengan komputer sama sekali.
Mengapa saya menuliskan ini? Sederhana, saya ingin merasa damai dalam sisa hidup yang dimiliki (:
1 note · View note
darkspyangel · 4 years
Link
Setelah berkali-kali gagal dimuat, baru kali ini tulisan saya dimuat di Magdalene. Alhamdulillah. Monggo dibaca :)
1 note · View note
darkspyangel · 4 years
Text
Merayakan Menjadi Tua
Beberapa hari yang lalu, usia saya tepat menginjak tiga puluh tahun. Secara resmi tahun ini saya meninggalkan fase usia dua puluhan. Sebuah indikasi bahwa saya tidak lagi muda. 
Usia kepala tiga memang identik dengan masa awal usia senja. Tidak sedikit mereka yang merasa terlalu sayang dengan usia dua puluhannya sehingga meninggalkannya terasa berat. Terkhusus perempuan, berusa kepala tiga kerap dianggap sudah berkurang sisi menariknya dan terlalu matang untuk memulai sebuah petualangan baru.
Sebelum pindah ke Australia, saya pernah dihinggapi perasaan serupa. Saya bertanya dalam hati, seperti apakah diri ini kala berusia tiga puluhan. Apakah wajah saya bertambah keriput? Pada tingkat manakah karir yang saya tapaki kala berusia tiga puluh? Masih sanggupkah badan ini enerjik ketika masih berumur dua puluhan?
Setelah hidup hampir dua tahun di sini, saya mulai merubah perspektif perihal umur. Sering kala berpergian, saya menyaksikan para lansia yang bersemangat dalam beraktivitas. Mulai dari olahraga, menyetir mobil, menyetir bus, naik gunung, berkemah, mengajar, dan sebagainya. Mereka tidak malu, rikuh, atau terlihat sungkan untuk menjadi tua. Mereka merengkuh usia senja dengan penuh riang.
Menginjak usia tiga puluh tahun 2020, alih-alih merasa cemas dan tidak semangat karena tidak lagi muda, saya memilih untuk menyambutnya dengan penuh syukur. Saya memutuskan untuk memeluk usia kepala tiga dan beriring menapak tantangan di masa depan bersamanya. 
Saya memilih untuk merayakan usia saya yang semakin tua.
Brisbane, 25 November 2020
1 note · View note
darkspyangel · 4 years
Text
Ajakan Berjilbab
Baru-baru ini saya mendapati hal yang cukup ramai perihal perempuan untuk nyaman menjadi dirinya sendiri. Salah satu yang menarik perhatian ialah tentang beberapa perempuan yang memilih melepas jilbabnya. Ada satu akun Twiter yang memposting foto dirinya yang dulu berjilbab dan kini yang sudah tidak lagi menggunakan kerudung. Tidak ketinggalan tulisan pengiring yang intinya adalah merasakan kebebasan menjadi diri sendiri. Diri tanpa berjilbab ialah identitas yang memerdekakan, setidaknya bagi mereka.
Saya sendiri sebetulnya juga tidak mempermasalahkan pilihan para muslimah untuk berjilbab atau tidak. Biarlah masing-masing dari kita memiliki pemahaman sendiri soal aurat yang kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Hanya saja hal yang mengusik pikiran saya ialah apa yang dulu terjadi dengan mereka saat mulai berjilbab dan akhirnya setelah sekian tahun memutuskan untuk melepasnya. Saya sempat berpikir ada yang salah dengan cara kita dalam mengenalkan jilbab.
Saya masih ingat kala SMA, kakak kelas yang kerap menghimbau para muslimah untuk berjilbab ialah perempuan akan terlihat lebih cantik jika berjilbab. Sebuah himbauan yang saya sadari merupakan sebuah kekonyolan. Perempuan mau berjilbab atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya dengan kecantikan.Cantik tidaknya seseorang sebenarnya tidak lain merupakan standar buatan manusia yang tentu saja akan berbeda pada tiap tempat dan waktu. 
Narasi lain dalam kampanye soal jilbab ialah perempuan akan lebih terjaga dari bahaya jika menutup auratnya. Sebuah narasi yang terbantahkan dengan sendirinya seiring waktu karena korban kejahatan, terkhusus kejahatan seksual, juga menimpa mereka yang berjilbab. 
Narasi lain ialah dengan berjilbab, maka perempuan akan mendapatkan laki-laki yang baik sebagai pendamping hidup. Sebuah ajakan seolah-olah nilai perempuan ditentukan dari kualitas pendamping hidupnya.
Saya mulai berpikir ajakan untuk berjilbab sebenarnya sederhana saja, karena itu perintah Allah SWT kepada para muslimah. Tentunya dengan cara yang baik. Sesimpel itu, setidaknya bagi saya pribadi. 
Sehingga tidak perlu lagi ada “trauma” yang harus membekas pada ajakan untuk berhijab. 
Brisbane, 23 Agustus 2020
0 notes
darkspyangel · 4 years
Text
Pernah Ada Masa
Dulu pernah ada masa di mana saya sangat meyakini bahwa perintah berjilbab bagi muslimah bertujuan untuk melindungi mereka dari kejahatan seksual. Sehingga pada masa itu, saya pernah penganut sekte victim blaming kala terjadi kasus kejahatan seksual yang korbannya perempuan.
Sampai  bertahun kemudian saya mulai menyadari bahwa banyak di antara para korban yang justru kesehariannya menutup aurat. Pun ketika tidak menutup aurat pun, pakaian yang dikenakan korban juga masih terbilang sopan.
Lalu akhirnya sampailah saya pada titik bahwa perintah berjilbab sebenarnya tidak ada hubungannya dengan upaya menghindari perempuan agar tidak menjadi korban. Karena kejahatan seksual bersumber dari pelaku yang tidak beres. Menutup aurat ialah semata-mata perintah Allah kepada semua muslim, pun perintah berjilbab kepada para muslimah. Ketika mereka yang sudah menutup aurat ini ternyata menjadi korban, tidak menghapus kewajibannya untuk tetap menutup aurat. 
Kini, saya lebih memilih bahwa alasan saya berjilbab ialah salah satu upaya sebagai hamba Allah. Juga berpihak kepada mereka yang menjadi korban kejahatan seksual, apapun pakaian yang mereka kenakan.
Karena menutup aurat itu wajib. Melakukan kejahatan seksual juga sesuatu yang dilarang.
Brisbane, 6 Agustus 2020
0 notes
darkspyangel · 4 years
Link
Cerpen saya di rahma,id. Monggo dibaca :)
0 notes
darkspyangel · 4 years
Text
Menjadi Terbuang Tidak Selamanya Buruk
Pernahkah kamu berada dalam posisi menjadi orang yang terbuang? Dianggap tidak berguna dan hanya menyusahkan. Tiada satu pun yang menghendaki keberadaanmu hingga kau merasa sebatang kara di dunia penuh dengan hiruk pikuk.
Saya pernah berada dalam posisi tersebut. Lantaran masalah yang saya alami  dengan beberapa pimpinan di lembaga tempat saya mengajar sebelumnya, Pihak yayasan memutuskan bahwa saya harus dipindahkan ke lembaga lain. Semata-mata demi kestabilan kondisi kerja di sana.
Awalnya saya tidak terpikir bahwa sebenarnya saya dibuang. Waktu itu saya malah mengira bahwa alasan dipindah ialah sekolah tempat saya dipindahkan memang sedang membutuhkan tambahan tenaga pengajar. Namun beberapa bulan sesudahnya, kepala sekolah cerita bahwa saat rapat pimpinan semua lembaga di yayasan, tidak ada satu pun lembaga yang mau menerima saya. Saya dianggap mempunyai kemampuan sosial yang buruk. Satu-satunya lembaga yang bersedia menerima ialah sekolah terakhir saya mengajar sebelum akhirnya  pindah ke Australia.
Perasaan saya waktu tahu bahwa ternyata saya didepak ialah tentu saja sedih. Kala itu saya sempat merasa bahwa diri ini memang layaknya manusia buangan. Tidak punya makna. 
Namun saya memilih untuk tidak membiarkan perasaan terbuang meracuni pikiran dan kehidupan. Saya putuskan untuk mentransformasi status buangan ini menjadi pemicu untuk melahirkan kembali hobi menulis yang sempat terkubur. Menulis menjadi terapi untuk memulihkan stres yang muncul dari adanya perasaan terbuang.
Hasilnya ternyata tidak sia-sia. Untuk pertama kalinya, saya bisa memenangkan lomba menulis esai tingkat provinsi. Kemudian selanjutnya saya bisa menulis buku dan artikel untuk berbagai media. Pada titik inilah saya mensyukuri bahwa saya pernah menjadi orang buangan. Kalau saya tidak pernah dibuang, barangkali tiada pernah muncul kehendak untuk kembali mengasah hobi menulis.
Menjadi manusia terbuang tidak selamanya buruk. Seringkali hal tersebut merupakan momen untuk mendatangkan kekuatan sejati kita sebagai manusia.
Canberra, 15 Juni 2020
0 notes
darkspyangel · 4 years
Link
Tulisan terbaru saya di rahma,id. Monggo disimak. Semoga bermanfaat :)
0 notes
darkspyangel · 4 years
Text
Hidup di Luar Negeri Tidak Seindah Instastory
Hidup di luar negeri tidak seindah instastory. Hidup di negeri orang berarti harus siap untuk berjuang untuk adaptasi dengan kebudayaan masyarakat yang jauh berbeda dengan di tanah air.
Hidup di luar negeri tidak seindah instastory. Hidup di luar negeri berarti kita harus siap untuk mandiri dalam mengerjakan apapun. Karena segala pekerjaan yang menggunakan jasa dari mulai tukang renovasi rumah sampai tukang renovasi pintu, bayarannya sanggup membuat mereka untuk berlibur ke luar negeri. Kalau di Australia, minimal bisa ke Pulau Bali. Jadi sudah kebayang kan berapa biaya hidup di sini.
Hidup di luar negeri tidak seindah instastory. Hidup di negara lain berarti siap dengan konsekuensi belajar bahasa setempat. Kalau kamu ingin bisa bertahan hidup di sini, mau tidak mau harus diawali dengan belajar bahasa nasional yang berlaku  di negara yang kamu tinggali.
Hidup di luar negeri tidak seindah instastory. Hidup di luar negeri berarti kamu harus bisa masak sendiri. Minimal mau belajar. Kemampuan memasak ini tidak mengenal gender. Tidak peduli kamu seorang perempuan feminin atau lelaki maskulin, memasak menjadi kemampuan dasar ketika kamu memutuskan hijrah ke negeri orang. Selisih harga makan di restoran dengan masak sendiri sungguh amat jauh.
Hidup di luar negeri tidak seindah instastory. Hidup di luar negeri berarti kamu harus bersiap mengakrabkan diri dengan berbagai moda transportasi umum. Memiliki kendaraan bermotor sendiri seperti mobil dan motor merupakan suatu kemewahan. Mulai dari harga parkir yang setinggi langit sampai dendanya jika melanggar lalu lintas. Jangan berpikir cukup sidang atau “nembak” bakal kelar urusan. Karena yang langsung memantaumu adalah kamera pengawas lalu lintas dan kalau kamu melanggar, siap-siap dapat surat cinta berupa pemberitahuan tilang.
Hidup di luar negeri tidak seindah instastory. Barangkali kita hanya melihat sisi terang tinggal di negeri orang yang berisi dengan travelling ke berbagai destinasi wisata populer dan eksotis. Tetapi percayalah, apa yang kamu lihat di instagram ataupun media sosial lainnya bukanlah hal dominan dalam kehidupan manusia yang tidak tinggal di Indonesia.
Canberra, 9 Juni 2020
2 notes · View notes
darkspyangel · 4 years
Link
Salah satu tulisan saya yang dimuat di rahma,id. Monggo bagi yang berkenan membaca bisa klik tautan di atas :)
1 note · View note
darkspyangel · 4 years
Text
Soal Melepas Jilbab
Dulu kala SMA, saya pernah ditanya oleh teman saya yang beragama Katolik. Ia menanyakan apakah muslimah yang memutuskan berjilbab tidak boleh lagi melepas jilbabnya.
Saya sendiri sebagai manusia yang minim wawasan terkait agama, hanya polos menjawab tidak. Dasar jawaban saya ketika itu sederhana . Karena Islam berbeda dengan Katolik, di mana seorang biarawati yang telah melepas kerudungnya dilarang untuk kembali menjadi biarawati, termasuk pakaiannya. Bagaimana saya tahu soal ini? Tidak lain tidak bukan dari serial telenovela Carita de Angel. Sedangkan dalam Islam, sejauh yang saya amati, mereka yang melepas jilbab tidak ada larangan untuk kembali memakai jilbab.
Sebuah alasan yang saya himbau jangan ditiru karena tidak melalui proses pembacaan yang mendalam.
Soal berjilbab, saya melihat ada dua reaksi yang cukup tajam mengenainya. Bagi mereka yang memutuskan berjilbab, berbondong-bondong kita memberi ucapan selamat dan doa. Bahkan tidak jarang kita memberi pujian yang menyatakan bahwa ia terlihat semakin cantik setelah berjilbab.
Sedangkan bagi mereka yang awalnya berjilbab dan kemudian memilih untuk melepasnya. Reaksi yang ada tentu saja tidak segembira yang pertama. Masih ingat manakala salah satu selebritis yang heboh diberitakan karena memutuskan untuk melepas jilbabnya, ramai hujatan kepadanya. Menganggap dirinya tidak tunduk pada perintah Tuhan, membangkang pada apa yang tertulis di kitab suci, dan lain-lain. 
Tidak hanya selebgram. Semalam saya baru tahu bahwa ada salah satu dosen yang dulunya merupakan aktivis dakwah di almamaternya kini juga sudah tidak berjilbab. 
Saya sendiri hingga saat ini tetap berkeyakinan bahwa menutup aurat itu wajib. Termasuk mengenakan jilbab, saya yakini sebagai perintah yang diturunkan dalam Islam. Pun jika ditanya, apakah saya setuju dengan pilihan mereka yang melepas jilbab, jawaban saya jelas tidak.
Namun saya tidak sampai hati untuk menghakimi bahwa mereka yang melepas jilbab telah menjadi manusia yang membangkang terhadap agamanya. Begitu pula saya tidak pernah menyepakati hujatan kepada mereka yang melepas jilbab. Mengapa? Karena sesungguhnya faktor yang mendorong mereka melepas jilbab tidak sesederhana yang saya bayangkan. Banyak sekali hal kompleks yang menimpa mereka.
Sehingga sikap saya terhadap mereka yang melepas jilbab ialah tetap memperlakukan layaknya sikap sesama muslim. Mayoritas mereka yang melepas jilbab tidak sampai murtad dan tetap memilih Islam sebagai agamanya. Pilihan melepas jilbab merupakan sesuatu yang saya yakin mereka siap dengan segala konsekuensinya.
Canberra, 1 Juni 2020
3 notes · View notes
darkspyangel · 4 years
Text
Memeluk Keburukan Masa Lalu
Masa lalu merupakan bagian yang tidak akan pernah terpisahkan dari kehidupan. Tidak peduli masa lalu tersebut baik ataupun buruk.
Kebanyakan kita barangkali lebih suka mengenang masa lalu yang membahagiakan dan berusaha menghempaskan masa lalu yang buruk. Masa lalu yang baik membuat kita bersyukur bahwa ada masa manakala rasa bahagia tersebut hadir. Masa lalu yang buruk membuat kita sesak akan kekurangan yang pernah dialami.
Namun bagi saya, masa lalu yang buruk bukanlah sebuah bencana yang harus disesali terus-menerus. Berdasarkan pengalaman yang saya alami, masa lalu yang buruk justru menjadi sebuah berkah. Tetapi menjadikan masa lalu yang buruk menjadi sebuah hadiah kehidupan baru akan terjadi setelah saya bersedia menerimanya secara utuh dan apa adanya. Merangkulnya sebagai salah satu babak kehidupan yang memberi warna dan keunikan.
Masa lalu yang buruk memang sempat membuat saya tidak bersemangat. Rasanya tidak ada lagi hal berharga yang bisa saya lakukan. Tetapi seiring berjalannya waktu, masa lalu yang buruk tersebut menuntun saya untuk menuangkan rasa tidak bersemangat tersebut ke dalam bentuk lain, yakni menulis. Sebuah hobi yang sempat terlupakan dan terabaikan selama bertahun-tahun. Menulis membuat saya mampu menerima keburukan masa lalu sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya saya sudah tidak lagi merisaukan masa lalu tersebut.
Keburukan masa lalu yang saya alami pada akhirnya membuat saya mampu mewujudkan mimpi yang sempat terkubur. Sebuah mimpi yang sederhana, menulis buku. Tidak hanya sebuah buku, tapi juga empat buku. Pun untuk pertama kalinya, saya berhasil memenangkan berbagai kompetisi menulis. Sebuah hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Masa lalu, baik dan buruk, merupakan anugrah yang perlu kita peluk erat.
Canberra, 27 Mei 2020
0 notes
darkspyangel · 4 years
Text
Perihal Pemakaman dan Layatan
Pandemi COVID-19 membuat otoritas di berbagai negara memberlakukan berbagai aturan yang intinya mencegah adanya kerumunan di berbagai acara. Termasuk acara pemakaman.
Barangkali tidak sedikit yang merasa bahwa kebijakan ini membuat kesedihan orang yang ditinggal menjadi semakin terasa. Semakin berkurang pula pelayat yang datang ke rumah untuk sekedar menghibur keluarga yang kehilangan.
Tetapi entah mengapa, saya justru melihat bahwa pandemi ini malah meringankan beban mereka yang kehilangan, mengingat tradisi acara pemakaman di Indonesia.
Hampir di semua tempat di Indonesia, khususnya bagi yang muslim, pemakaman selalu identik dengan menyelenggarakan pengajian, lengkap dengan berbagai hidangan dan berkat untuk dibagikan. Pengajian yang diadakan juga biasanya digelar beberapa hari. Ada yang tiga hari sampai seminggu. 
Usai pemakaman, bukan berarti acara telah selesai. Masih ada pelayat yang datang silih berganti. Jam berkunjungnya pun juga cenderung tidak terbatas.
Saya sempat berpikir, apakah “keharusan” macam ini justru malah membuat repot keluarga yang ditinggalkan? Perasaan kehilangan itu sudah berat dan melelahkan. Apalagi ditambah dengan kelelahan fisik akibat mengurus acara pemakaman dan layatan yang tiada habis. Berdasarkan pengalaman  kehilangan ayah akibat kecelakaan dua tahun silam, saya justru lebih membutuhkan acara ini segera selesai sehingga saya dan anggota keluarga lain bergegas istirahat untuk menenangkan hati dan pikiran. 
Untungnya, lingkungan tempat saya tinggal di Jogja termasuk tidak kaku kalau sudah menyangkut perihal pemakaman. Tidak ada keharusan untuk mengadakan pengajian selama berhari-hari. Ini tidak terjadi selama tiba-tiba. Ini semua bermula dari salah satu ketua RT di tempat saya yang justru sama sekali tidak mengadakan pengajian setelah istrinya meninggal. Beliau cukup mengadakan acara layatan secukupnya hingga istrinya dimakamkan. 
Apakah beliau orang yang anti dengan acara pengajian pasca pemakaman yang telah mengakar di RT kami? Sama sekali tidak. Beliau juga datang dan membantu acara yang serupa di rumah tetangga. 
Hal yang dilakukan oleh beliau sama sekali belum pernah dilakukan oleh penghuni lainnya di RT yang beliau pimpin. Beliau sempat menjadi perbincangan lantaran hal tersebut, namun lambat laun kami paham bahwa beliau justru secara tidak langsung hendak mengatakan bahwa acara pemakaman merupakan acara keluarga. Keluarga yang kehilanganlah yang berhak memutuskan apakah mereka akan mengadakan acara pengajian atau tidak usai pemakaman. 
Kondisi setiap keluarga juga tidak sama, baik secara psikis maupun finansial. Jangan sampai atas nama tradisi dan “sudah menjadi kebiasaan”, kita sebagai tetangga malah menambah beban mereka yang ditinggalkan untuk selama-lamanya. 
Karena pengalaman kehilangan bukanlah pengalaman yang bisa dipulihkan secara instan. 
Canberra, 26 Mei 2020
0 notes
darkspyangel · 4 years
Text
Standar Jadi-jadian
Setiap manusia mempunyai pencapaiannya masing-masing. Tidak ada yang tidak. Bagi saya, suatu kemustahilan jika ada yang mengaku bahwa dirinya tidak pernah meraih pencapaian apapun dalam hidupnya.
Hal yang kerap terjadi ialah kita terlarut dalam standar pencapaian yang artifisial, bias, dan dibuat-buat. Sebuah standar yang akhirnya menjelma menjadi seolah-olah standar tersebut merupakan hal yang baku. Kalau saya menamakannya standar jadi-jadian.
Banyak sekali standar jadi-jadian yang beredar di sekitar kita. Mulai dari keharusan menikah sebelum usia mencapai tiga puluh tahun, menjadi PNS merupakan kesuksesan yang utama, segera mempunyai anak setelah menikah, bisa kuliah di luar negeri, mendapatkan juara di setiap lomba, dan sebagainya. 
Tanpa terasa, standar jadi-jadian ini lambat laun membuat kebanyakan kita fokus pada hasil dan lupa dengan esensi pencapaian yang seharusnya dirayakan. Esensi pencapaian itu bernama proses. 
Setiap manusia mempunyai proses hidupnya sendiri-sendiri. Tidak ada orang yang mengalami proses hidup yang sama persis. Setiap masa anak manusia memberi warna berbeda pada tiap individu. Proses hidup yang berbeda juga akan menghasilkan standar pencapaian yang berbeda. 
Sehingga pada akhirnya, proses hidup yang berbeda inilah yang nantinya akan memberikan jenis pencapaian yang dialami oleh setiap dari kita. Lantaran tidak ada proses hidup seseorang yang lebih baik atau lebih buruk dari yang lain, maka tiada pula pencapaian yang lebih berkualitas atau tidak berkualitas daripada yang lain. Bagi saya, tidak ada juga kehidupan seseorang tersebut lebih baik atau lebih buruk daripada yang lain.
Itulah mengapa saya katakan mustahil jika ada manusia yang tidak mempunyai pencapaian dalam hidup. Barangkali memang ada orang yang tidak mempunyai pencapaian apabila standar pencapaian yang digunakan adalah standar jadi-jadian. Namun jika kita menyadari bahwa setiap kehidupan manusia itu unik maka sudah selayaknya kita juga mulai mawas bahwa semua orang pasti memiliki pencapaiannya masing-masing. Percayalah, setiap pencapaian yang kita alami tidak sama dengan orang lain.
Oya, omong-omong soal pencapaian. Tulisan ini dibuat untuk merayakan salah satu pencapaian yang akhirnya bisa saya raih yakni memasak opor ayam, rendang, dan sambal goreng ati buat merayakan lebaran.Alhamdulillah.
Canberra, 25 Mei 2020
0 notes
darkspyangel · 4 years
Text
Lebaran
Hari ini merupakan Ramadhan terakhir tahun ini. Sampailah kita pada penghujung puasa. 
Tentunya kala memasuki jelang akhir Ramadhan, masyarakat Indonesia pada khususnya telah menyibukkan diri menyambut lebaran. Sebuah perayaan yang menyatukan berbagai elemen masyarakat di negeri ini, baik muslim maupun yang bukan muslim.
Tetapi tahun ini Indonesia akan mengalami lebaran dengan suasana yang jauh berbeda. Pandemi COVID 19 membuat hari raya ini menjadi tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Frekuensi silaturahim akan berkurang, pun juga penyelenggaraan open house pun bisa jadi nihil.
Tuntutan untuk social distancing demi meminimalisasi laju penyebaran virus tersebut membuat sebagian masyarakat mau tidak mau harus berhari raya di rumah. Tanpa takbiran keliling, sholat Ied berjamaah di lapangan, maupun berparade baju baru.
Namun bisa jadi inilah salah satu hikmah adanya COVID 19 di saat seperti ini. Agar kita kembali memaknai lebaran bukan dengan pengeluaran berlebihan untuk membeli baju baru, membeli banyak bahan makanan, ataupun berbelanja berbagai kue dengan jumlah melimpah. 
Barangkali kita tengah diajak untuk memaknai Idul Fitri dengan lebih simpel sehingga kita bisa lebih fokus menuntaskan Ramadhan dengan lebih paripurna dan utuh.
Canberra, 23 Mei 2020
0 notes
darkspyangel · 4 years
Text
Mengaktualisasikan Ketidaksempurnaan
Tumblr media
Beberapa hari yang lalu saya membaca majalah New Scientist dengan tema utama berjudul The Perfection Trap: How to Escape The Tyranny of Needing Exactly Right. Saya langsung tertarik dengan artikel yang mengulas tema tersebut dan langsung tamat dalam sekali duduk.
Hal yang membuat saya terpantik untuk membacanya ialah argumen bahwa menghendaki segala sesuatunya sempurna sebenarnya adalah masalah. Di dalamnya dijelaskan bagaimana sifat prefeksionis sebetulnya membebani pelakunya. Ada sebuah batasan tidak jelas antara prefeksionis dan bekerja keras. Kerap kita memadankan keduanya. Ketika hasil tidak sempurna maka itu buah dari kurangnya kerja keras. Sungguh sebuah pemikiran yang beracun.
Saya pernah mengalami fase bersikap prefeksionis. Ketika itu saya masih menjadi wali kelas di salah satu sekolah dasar swasta di Jogjakarta. Sikap prefeksionis saya dipicu oleh kuatnya opini sebagian wali murid terhadap guru. Saya cemas kalau sampai peforma kerja saya tidak tepat di segala sisi maka akan menimbulkan omongan negatif dari mereka. Apa yang membuat saya khawatir terhadap dampak opini wali murid? Tentu saja sebuah paham yang menisbahkan bahwa orang tua murid merupakan konsumen yang sudah bayar uang SPP, uang gedung, dan bermacam biaya lainnya yang tidak murah. Bayaran mahal inilah yang membuat saya gelisah kalau-kalau kinerja saya tidak sebanding dengan bayaran yang diberikan orang tua kepada sekolah (walaupun sekarang saya berani blak-blakan bilang bahwa gaji saya dan guru lain secara umum di bawah UMR dengan beban kerja yang tidak beda dengan PNS).
Apa yang saya lakukan? Saya berusaha berangkat pagi sehingga seringnya sebelum jam 6 sudah sampai di sekolah. Administrasi pengajaran saya kerjakan sedetail mungkin. Kelas harus dalam keadaan rapi dan bersih paripurna sebelum pulang. Semua koreksian saya selesaikan di sekolah. Saya harus memastikan semua murid harus memperoleh hasil pembelajaran di atas kriteria minimal manakala dikonversi dalam bentuk angka. Serta seabrek upaya lainnya.
Hasilnya saya puas, tapi hanya sementara. Sisanya ialah saya mudah uring-uringan manakala realita tidak sesuai rencana. Ujung-ujungnya justru saya menjadi tidak menikmati apa yang saya kerjakan.
Sampai akhirnya saya sampai pada titik bahwa tidak mengapa seorang guru tidak sempurna. Tidak masalah seorang guru mempunyai kegemaran yang barangkali tidak sesuai dengan pakem sekolah ( saya suka mendengarkan lagu barat dan nonton film Hollywood di bioskop, sedangkan sekolah tempat saya mengajar merupakan sekolah Islam di mana kedua aktivitas tersebut dianggap “tabu”). Intinya saya perlu menerima ketidaksempurnaan saya sebagai guru dengan lapang dan mengaktualisasikannya.
Cara saya mengaktualisasikan ketidaksempurnaan tersebut ialah menulis. Menulis membuat saya bebas menjadi diri apa adanya. Saya merasa lapang menuangkan apa yang saya pikirkan dan rasakan, walaupun pemikiran tersebut tidak jarang bertentangan dengan “paham” yang terlanjur mengakar di sekolah tempat saya bekerja.
Waktu-waktu berikutnya saya tetap berangkat pagi, menyelesaikan koreksian di sekolah, dan memastikan murid mengikuti proses belajar. Namun saya tidak lagi resah manakala hasil yang ada meleset dari idealita. Saya mulai menikmati pekerjaan saya serta bersikap masa bodoh dengan omongan negatif sebagian para orang tua murid. 
Mengaktualisasikan ketidaksempurnaan membuat saya menerima kehidupan secara utuh.
Canberra, 11 Mei 2020
0 notes
darkspyangel · 4 years
Text
Jangan Mudah Kagum
Tumblr media
Di usia yang tidak lama mendekati angka tiga puluh, satu hal penting yang saya pelajari ialah: Jangan mudah untuk kagum dengan seseorang.
Ketika masih mahasiswa, zaman di mana idealisme masih tertanam kuat tanpa memahami realita, saya termasuk yang mudah kagum dengan seseorang karena sesuatu yang sebenarnya bias: seorang yang ber-IPK cum laude, sering konferensi di luar negeri, mendapat beasiswa untuk menlanjutkan studi di kampus-kampus negara maju, terlihat aktif di kegiatan dakwah, aktivis gerakan yang dialektikanya menjulang tinggi, berparas menarik, sering mengisi seminar, buku-buku hasil tulisannya yang menginspirasi, dan lain-lain. 
Ada banyak nama yang lewat dalam memori mengenai sosok ini. Mulai dari pemuda/pemudi yang saya kenal ketika kuliah, sosok mahasiswa kampus lain yang namanya tenar di kalangan organisatoris, sampai dengan para manusia yang sering dipanggil ustadz/ah.
Lalu beberapa tahun setelah saya lulus dan bekerja, kemudian sekitar empat tahun kemudian menikah, dan kini bersama suami menapak jejak di negeri orang, sosok yang tadinya menginspirasi itu ternyata “berubah”. Tidak semua, namun beberapa di antaranya.
Ada yang tadinya namanya sangat populer sebagai aktivis dan juga mendapat beasiswa ke luar negeri, kini menjadi politisi kutu loncat. Hijrah dari satu partai ke partai yang lain. Ada pula yang sekarang terlalu serius mem-branding dirinya di media sosial hingga baru saya sadari bahwa ternyata apa yang disampaikannya terlalu melangit dan tidak berkaca pada realitas. Paling parah ialah kasus salah satu mahasiswa berprestasi yang diduga melakukan pelecehan seksual kepada kurang lebih tiga puluh perempuan.
Kecewa? Tentu saja. Tapi hanya sebentar. Selanjutnya ialah saya mengolok diri sendiri, mengapa saya dulu begitu mudah kagum dengan mereka. Saya dulu begitu buta dan tuli untuk berpikir lebih dalam bahwa sebenarnya ada banyak orang di sekitar saya yang berhak mendapatkan rasa kagum dari saya. Mulai dari keluarga, tetangga, sampai dengan para pengurus masjid perumahan. Tanpa embel-embel berprestasi, IPK cum-laude,dan pernah ke luar negeri.
Sekarang yang saya lakukan ialah apresiasi secukupnya, tidak sampai mengagumi.
Canberra, 10 Mei 2020
2 notes · View notes