Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
menjelang tidur kau selalu melompat dari jendela kamarku. sebuah keinginan menerobos bagai mentari pagi hingga di pelipis, mendarat di bibir dengan segala aroma belum menyikat gigi hingga tak ada waktu aku bermeditasi. sejenak kau telah masuk ke dalam diriku seperti melompat jendela dan menemukan seekor kucing malau-malu dengan sebelah mata berwarna hijau dan sebelah mata lagi kuning keemasan. kaki sebelah timpang menyeberang jalan antara minimarket, mampir membeli kopi sachet, menghisap rokok dekat rel kereta, gerbong-gerbong bertautan, jari jemari terjalin, melati disematkan di telinga dan sehelai baju di lantai. kau akan menyaksikan segerombolan anak berang-berang dengan air liur bergerak mencium punggung, piringan hitam memutar radiohead, enggan bergerak sebab sudah semestinya pulang ke pelukan. lengan terbuka, alam senggama, dengkur senyap.
0 notes
Text
Apakah kau juga sudah bertemu dengan malaikat yang mengibas-ngibaskan sayapnya di kubangan lumpur yang anyir itu? Apakah ia sudah mendekap dan menidurkanmu? Ihik! Ihik! Jangan risau, manisku, kalau kudapat satu malaikat berwajah kelabu, akan kubagi separo lidah ganjilnya untukmu.
Perempuan kencur itu terpukau; takjub oleh kilau lumpur yang menyala-nyala dari lubang makam yang kian membesar. Ia tahu sebentar lagi seluruh kota akan dililit cahaya. Hingga jendela surga sirna. Hingga pintu neraka tak ada.
O, engkau masih menatap sepasang malaikat menari di kubangan lumpur itu?
“Ya, malaikat-malaikat itu akan segera mengajak belajar terbang ke segala ruang meditasimu pada saat jendela surga ditutup untuk ayah dan ibumu.”
0 notes
Text
“Ibumu ada di rumah?” Gadis kencur tak segera menjawab.
“Maaf, apakah ibumu ada di rumah?” desis pengantar surat itu sekali lagi.
“Ibuku?” lenguh gadis kencur dalam nada tercekik,
Mendengar pertanyaan balik dia sangka kacau, pria berwajah keras itu kian bimbang memberikan surat. “Tidak! Tidak! Mungkin aku salah alamat, Tuan Putri. Mungkin tak seharusnya aku memencet bel di rumah ini. Aduh, lagi pula langit kian mendung, aku harus segera mengantar surat-surat lain. Jadi, masuklah ke rumah kembali. Tunggulah surat dari ayahmu besok, lusa, atau beberapa hari lagi….”
0 notes
Text
O, Keheningan yang indah, masih adakah yang ingin kau ceritakan kepadaku setelah pertempuran-pertempuran sia-sia yang mengenaskan itu?
“Apakah kau merasa telah mengenal kesetiaan melebihi pemahamanmu tentang aku?”
Tak sedikit pun kumengerti tentang kesetiaan ya, Junjungan.
“Kalau begitu pergilah ke gurun tanpa nama. Carilah oase paling bening. Bercerminlah di sana?”
Bercermin? Untuk apa?
“Tentu saja untuk membaca kisah-kisah kesetiaan-Ku. Tentu saja untuk membaca ketakjuban-ketakjubanmu pada-Ku.”
Kalau aku tak mau membaca?
“Kau akan tersesat ke dunia remukmu. Kau hanya akan meninggalkan jejak busuk di dunia rapuhmu…”
Kalau begitu aku tak akan pernah membaca ketakaburan-Mu.
“Hmm, kausangka kau bisa menghindar dari kisah-kisah-Ku? Karena itu bacalah…dan jangan berhenti sebelum Kuperintahkan engkau tidur dalam riuh rendah pertempuran itu.”
0 notes
Text
Ah, apakah dalam hidupmu, kau juga pernah melihat malaikat kecil menyembul dari ceruk kakus? Kalau pernah menatap makhluk menjijikkan itu, kupastikan dia bukan Sakram. Aku telah menggelontorkan berember-ember air di ceruk kakus. Aku yakin dia telah hanyut ke sungai amis yang melintasi rumah sakit jiwa di kotamu.
Atau kalau sayapnya tak menguncup, dia pasti tak mau hidup di kota ini. Aku mendengar dari Kirik, ia akan terbang ke Negeri Seribu Matahari. Ke negeri asal api. Ke negeri tempat pria anjing dan wanita peri membiakkan air mata di segala bunga dan kolam-kolam sunyi.
Aku sama sekali tak mengharapkan dia menjadi bangau bodoh yang selalu merindukan sarang hanya karena terlalu karib pada dengus pria anjing dan wanita peri yang melenakan. Dia harus selalu pergi dan tak perlu memikirkan jalan pulang yang sewaktu-waktu bisa membunuh secara perlahan-lahan.
Pergi, wahai bajingan kecil, pergi ke neraka pujaan.
0 notes
Text
Petir terdengar, gemuruh, cahaya kilat, langit seperti sandiwara dengan ornamen kematian yang panjang. Seolah menjadi musik pengiring turunnya malaikat maut. Apakah malaikat maut sudah mengenakan jubah kegelapannya? Seperti sebuah drama di atas panggung, kereta berjalan sementara hujan adalah lampu-lampu mungilnya, kemudian turunlah malaikat maut. Mencabut nyawa demi nyawa. Malaikat itu benar ada, tetapi tak ada yang tahu apakah malaikat pernah kehujanan, itu masih misteri, misteri dari sekian banyak misteri hidup. Misterilah yang membuat hidup ini jadi hidup. Dan malaikat maut pun memiliki kehidupan, hidup di alam ghaib, mungkinkah di alam ghaib juga ada hujan? Kalaupun ada, hujan yang ghaib tak akan pernah bisa menggeser hujan yang nyata. Dan tak ada yang namanya kereta ghaib, meski banyak kereta nyata yang mengirim penumpangnya ke alam ghaib. Barangkali alam ghaib memiliki pintu, dan hujan adalah pintu dari sekian banyak pintu, dan kereta adalah tongkat malaikat maut yang terjulur. Di ujungnya ada air mata.
Dua orang itu masih menatap hujan yang bukan air mata. Es krim chocolate sundae sudah habis, tinggal tisu berserakan. Derak gerbong terdengar bersama udara dingin, ternyata malam telah datang, sekeliling gerbong berangsur-angsur redup. Betapa tipis perbedaan antara nyata dan ghaib.
0 notes
Text
Malaikat menuntut kejam segerakan tidur.
Ketika jendela surga dibuka, ketika pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu, seorang malaikat yang lahir dan tumbuh dari doa serampangan perempuan kencur yang dianggap gila, sekali waktu akan merindukan tanah asal yang kabur. Tanpa sayap, dia akan menumpang kereta ketapang, menyusuri rel kepal kepala dan pelacur, menatap kabut dan maut, dan menceracau tentang hutan yang gaduh.
“Wahai, gadis kecilku, seharusnya kaulah yang lebih berhak menjadi penjaga jagat. Bukan aku atau sesuatu yang menyerupai waktu!” lolong malaikat itu sambil memerintahkan angin menggesek-gesekkan kesedihan bilah seribu bambu di kepala.
Tak lama kemudian ia akan memburu wangi rambut gadis kecil itu dan segera menidurkan dalam dekapan sayap halus dan usapan tangan tulus. “Anganmu sungguh indah, manisku, mimpimu sungguh seperti sungai yang seluruh tetes kristalnya berasal dari embun atau sisa tangis Isa sesaat sebelum menjemput ajal.”
0 notes
Text
— 13/87.
.
Tentang apa itu surga?
Apa saat telah berada di bawah tanah?
.
Tentang apa itu manusia?
Apa saat ayah bercerita bahwa kita diciptakannya ketika mengajak ibu bersenang-senang di bawah?
.
Tentang apa itu kehidupan?
Apa saat berjalan ke gurun sahara tanpa alas kaki hingga telapak kaki terasa pecah?
0 notes
Text
STASIUN KEMATIAN, 1905.
Terlampau sudah seabad,
Kata-kataku menuangkan penumpang kereta,
Penumpang paling lalai letak pulang,
Mereka lebih girang berjejalan ditepi gerbong usang daripada meluluskan sela-sela kepalaku.
.
Lalu
.
Mengeja lirih dalam lorong sunyinya,
Otak mereka sudah di doktrin lisan sang penjual manisan,
Turut mengundi pujian dalam bejana,
Tenggelam dalam dunia kesengsaraan yang memanis-maniskan kata.
.
Dan lagi
.
Mereka juga keliru meringkuk teladan,
Ditiru kilap-kilap pemeran bayaran,
Digagap peraga berkilau cantik buatan,
Hingga tumbuh bersama mereka dalam kerendahan hina.
0 notes
Text
Panjatan derita malam terasing di sudut penjara busuk.
Mendadak penjara ini seperti baru saja melahirkan putra terkasih. Waktu itu malam belum lengkap, angin busuk menusuk tengkuk, dan sipir berkali-kali menatap arloji sambil berjalan terbungkuk-bungkuk. Namun sungguh di luar dugaan terlihat dari ceruk kakus menyembul bocah kecil dengan sayap bertulang ranum. Tak berani kukatakan kepada teman-teman satu sel betapa pada malam asin dan anyir itu sesosok malaikat kecil telah tersesat. Dan karena menyembul dari lubang gelap, tentu sayap-sayapnya menguncup, belepotan tinja, lumpur, oli, dan segala kotoran yang tak pernah kaubayangkan baunya. Meski demikian, kau tak boleh menyebut bocah kencur itu sebagai malaikat kecil yang senantiasa menebarkan parfum terwangi. Sebab kali pertama kulihat ia lebih menyerupai anjing yang selalu mendengus-dengus. Matanya menatap jeruji dengan liar dan ganas. Dari mulutnya yang penuh ludah sesekali menyalak keras-keras suara serigala ataupun berbagai hewan purba.
“Jangan kau sakiti dia,” tiba-tiba sipir menghardikku sambil menggandeng laki-laki kecil rupawan itu ke sel paling ujung.
“Aku tak akan pernah menyakiti dia,” kataku sambil membuncahkan desis tak keruan yang mungkin belum pernah didengar oleh sipir atau kepala penjara sekalipun.
—
Ya, aku tak akan pernah menyakiti malaikat kecil itu. Tak akan kubiarkan dia tidur bersama tikus-tikus bui. Tak kubiarkan siapa pun di penjara ini mencumbu dia semalam suntuk. Akan aku ajak berkelahi lelaki perkasa yang akan menggasak anus ranumnya itu.
“Kau tahu siapa bocah tengik ini?” sipir bertanya padaku.
—
Jemarinya yang lentik membelai rambut malaikat kecil itu.
Aku menggeleng. Namun dalam hati aku berkata, “Dia mesias kami. Dialah yang akan memerdekakan kami dari penjara busuk ini.”
0 notes
Text
Akhirnya aku tahu Kau memang meminta Resi Durna untuk menipuku. Kaubisikkan kepadanya, ”Sesatkan saja Bima ke Gunung Candradimuka agar ia dibelit ular, agar ia ditimpa pohon, agar ia dicakar naga, agar ia yakin betapa Sena hanyalah manusia rapuh dalam wajah yang remuk dan kehilangan makna.”
”Aku akan meminta bajingan kecil ini mencari Tirtapawitra, Paduka,” kata Resi Durna, ”aku berharap ia akan memburu sesuatu yang tak pernah ada. Ia akan bercakap dengan rumput tetapi sesungguhnya ia ditipu oleh kabut. Ia akan berlindung di gua berlumut, tetapi sesungguhnya sedang dimangsa naga maut. Akan kukaburkan pandangannya agar ia tersungkur ke jurang dan mayatnya hanyut ke laut…”
Akhirnya aku tahu Kau memang meminta Resi Durna untuk membunuhku. Kaubisikkan kepadanya, ”Ceburkan saja Bima ke samudera agar ia tahu kebenaran sejati hanya membuncah dari kegelapan palung, dari paus bersisik api dan naga yang linglung… ”
0 notes
Text
Negeri Tukang Mimpi
—
Namaku Pemanah Ulung. Selama ini tidak pernah ada yang luput dari bidikanku. Tidak juga matahari.
Di Negeri Dongeng-ku saat ini ada sepuluh matahari yang bersinar sehingga panas sekali. Tanahnya retak-retak dan sangat gersang karena tidak ada tumbuhan yang bisa hidup. Di sini juga tidak ada air yang mengalir karena terisap terik. Yang ada hanyalah lidah-lidah sepuluh matahari yang menjulur untuk membakar segalanya.
”Padamkanlah sembilan matahari karena seharusnya hanya ada satu matahari saja.” Pencakar Langit bertitah dan memberiku sebuah gendewa dengan sepuluh anak panah.
Baiklah, karena aku menginginkan keabadian maka segera akan kupadamkan sembilan matahari. Kemudian kurentang gendewa dan kubidik matahari demi matahari. Kulepaskan anak panah yang langsung terbang meluncur menuju jantung matahari.
Sebuah matahari padam dan meninggalkan lepuh di dadaku. Kupadamkan lagi matahari yang kedua. Ada yang meletup dalam darahku. Anak panah ketiga memecahkan sebuah matahari lagi sampai tali hatiku terasa putus. Aku masih terus membidik matahari keempat tanpa memedulikan sudah ada memar yang kian lebam. Selanjutnya kuselesaikan matahari kelima sambil merapatkan geligi menahan nyeri. Matahari keenam berdarah tetapi tidak ada merah yang mengalir. Nasib matahari ketujuh pun berakhir seperti tidak perlu ada air mata yang dididihkan dalam tangis. Matahari kedelapan pecah berkeping-keping tetapi aku masih berdiri dengan kukuh. Akhirnya kuselesaikan matahari kesembilan dan keabadian menjadi milikku.
0 notes
Text
KONSERVASI AKHIR BULAN TANPA KEPALA. 🍁
Menyiram eceng gondok di perkarangan.
Melatih berang-berang bernyanyi.
Mereparasi kadar kilas di kamar mandi.
Mengkemas studio pesawat terbang.
Membeli pakan angsa dan rusa di McDonald.
Mengkuras kolam piranha afrika.
Menambal kipas angin yang bocor.
Memperbaiki lampu mati di toko sepatu.
Membuat kompor gas dari bambu.
Mencuci bantal dan kasur di air got.
Meracik parfum dari sirup dan garam.
Mengepel atap dan tembok rumah.
Tidur siang di dalam pot bunga.
Menyambung pecahan gelas.
Menyetrika meja dan kursi.
Menanam bunga rafflesia di dapur.
Menghitung hasil panen laba-laba.
Memasak kotoran kelinci untuk makan malam.
Menjemur anak kunci dan lemari karena menjamur.
Mengantre sembako di posyandu.
Membajak kaktus di sawah.
Mencetak majalah bobo dengan batu.
Menjahit korden dan karpet di mesin cuci.
Memasang jaringan telepon dengan sapu lidi.
Menulis jurnal tentang bayi memakan patahan keramik.
0 notes
Text
MENANTI PERAYAAN KECIL DI HARI KEMATIANKU. 🍁
/1/
Maaf, tak sanggup aku menunda kematianmu, Puan, tak sanggup kupadamkan amuk unggun yang kaunyalakan dengan dendam kesumat, tak sanggup kuhentikan keinginanmu untuk mati wangi dalam kobar api yang kaunyalakan sendiri dengan hikmat.
-api kembali pada api.
-nyeri kembali pada nyeri.
-benci kembali pada benci.
/2/
Aku sudah tak berani bercakap tentang tahta dan cinta, Puan, aku ragu memilih menjadi raja atau resi tanpa taman tanpa kupu-kupu bersayap wangi matahari. Aku tak berani, sungguh tak berani, menatap kilau mata dan bebuncah berahi yang menusuk-nusuk ke ulu hati.
-kasih lepas dari kasih.
-duka lepas dari duka.
-jiwa lepas dari jiwa.
/3/
”Kaukira aku tak bisa membunuhmu? Kaukira aku tak bisa membentang busur, menghunus keris, dan melayangkan gada ke tubuh rapuhmu?” katamu sambil terbang mencari algoritma dendam.
-hujan berhenti menjadi hujan.
-matahari berhenti menjadi matahari.
-bintang berhenti menjadi bintang.
/4/
Aku tahu kau akan bisa membunuhku, Puan, panahmu akan menancap di jantungku, dan para dewi akan menyayatkan pisau karat ke lambungku.
Tapi tidak sekarang, Puan, tidak ada aliran darah memberimu wahyu tentang hari kematianku. Tidak sekarang.
-sekuntum melati jatuh dari tanah dan terkubur.
-seekor kelinci jatuh dari matahari dan terkubur.
-sesosok perempuan jatuh dari jantung dan terkubur.
/5/
Engkaukah, Puan, yang merencanakan pembunuhan rahasia itu?
”Tuan, hamba hanya utusan, hanya titisan,” katamu meledek kegentaranku. Kematian ini sudah kutunggu, telah kutunggu sejak aku tahu hidup hanyalah kutukan pada seayat wahyu pada selarik doa kekecewaanmu.
-yang busuk kembali ke tanah.
-yang remuk kembali ke tanah.
-yang patah kembali ke tanah.
-kembali ke tanah dalam hujan darah.
0 notes
Text
MENJILAT KEMATIAN. 🍁
”Apakah mereka memintamu menirukan suara kelinci agar kaupaham pada suara hatimu sendiri?”
Mereka memintaku menirukan suara berang-berang.
”Apakah mereka memintamu menjulur-julurkan lidah seperti anjing tanah agar kaupaham pada jiwamu yang lebih busuk dari semua hewan?”
Mereka memintaku menjilat-jilat nanah yang mengucur dari jari kelingkingku.
”Apakah kauanggap mereka guru kebangsatan karena ia telah mengajarimu mengenal silau algoritma dendam?”
Mereka adalah dewa segala hal yang memberiku pelajaran urai menantang rasi kematian.
0 notes
Text
"Seandainya tanganku mengepal dan mulutku berteriak,” gumam penyair itu. Maka adakah langit akan terbuka dan cakrawala berubah warna? Dan di perjalanan sunyi menggiringnya pada gemuruh ombak yang melembur pasang. Tapi, adakah ia cukup bernapas panjang? Sementara di meja selembar majalah pagi tadi, memotret petinggi partai menjadi calon pesakitan pun luruh ke dalam berita yang gaduh. “Seandainya seni mampu menolak korupsi…” Gumamnya kembali disimpannya rapi. Di luar; cahaya bulan bergaram, berangkat raib dalam igauan malam.
0 notes
Text
Lagu Sedih
berang-berang beringas/ mecakari segala yang ada/ sang tupai mengintip pada celah dedaunan/ sementara/ sang rase menyelinap/ di balik akar gelap// berang-berang menggila/ akar-akar ludes/ batang-batang tumpes/ mengganas tanpa tegur sapa/ melibas sekitarnya/ dan,/ dor !!!/ tak seberapa lebar/ peluru itu merobek punggungnya/ tetapi darah itu/ mengalir tembus hingga dada/ berang-berang lunglai/ meletakkan kepala/ pada ujung akar yang dikeratnya/ tak ada negosiasi/ tak ada lagi konspirasi/ berang-berang mati/ tak ada lagi yang bisa dibeli///
0 notes